Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.
Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.
Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.
Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.
Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.
Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.
Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.
Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.
”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!
Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.
Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!
Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.
Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.
Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.
”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.
Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.
Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.
Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.
”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….”
Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.
Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….”
Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.***
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2009/06/21/tiada-darah-di-lamalera/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar