Kamis, 19 Januari 2012

Medèn-medèni Sapardi Djoko Damono

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian VII kupasan keenam dari paragraf awalnya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Ini menuntasi tulisan-tulisan sebelumnya mengenai paragraf awal IK, sebalutan muakhir demi pijakan lanjut. Saya mulai sedikitnya merevisi pandangan kritikus Maman S Mahayana di bukunya “9 Jawaban Sastra Indonesia” sebuah orientasi kritis, diterbitkan Bening Publishing, cetakan 2005, Bagian IV: Sarana Pendekatan Sastra, dahan ke 8 berjudul ‘Sastra dan Filsafat’ halaman 343. Di bawah ini terambil dua paragraf pembukanya bagi pondasi langkah ke muka. Nan disesuaikan keimanan sorot mata saya berproses kreatif, yang berangkat dari buah keyakinan setelah baca ke belakang, demi peroleh kepurnaan sepaduan kehidupan.

“Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat. Betapapun penekanannya pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian, apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.”

“Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Sastra mungkin juga mempertanyakan hakikat dan keberadaan manusia, tetapi dalam bentuk yang lebih menekankan pada nilai-nilai estetik daripada logika atau pemikiran yang dalam filsafat justru sangat penting. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.” (Maman S Mahayana)
***

Di dua paragraf itu kritikus berusaha memisahkan dua sisi mata uang gambarannya nan elok, tentu atas kepentingan jalur pendidikan. Atau dilandasi hadirnya dua cabang sah, yang sudah diterima masyarakat dunia meluas. Ini wajar sebagai insan di luaran; pengamat, peneliti, namun tak otomatis menjadi dua cabang jiwa dalam diri pelaku. Masalahnya bisa ditemukan pada contoh yang diunggah kritikus pula pada terusan esainya, yang hanya saya jumput lapisan muka di atas. Yakni karya-karya sastra terbaik tak lekang jaman, tidak bisa lepas nilainya filsafat, dan gagasan filosofi ampuh menembus abad-abad, kerap kali kalau tak boleh dibilang pasti, berbalutan unsur sastrawi. Maka tegas saya bertanya pada sejarah jua kepada para pelakunya; Adakah karya sastra mempuni, yang tidak punya kandungan filsafat? Adakah karya filsafat tangguh usianya tanpa paras ayu sastrawi? Atau tidakkah keindahan berpikir, reruang ayu merenung, hasil olahan nan melimpah di dalamnya bersimpan nilai tampan, bagi syarat memasuki alamat susastra?

Seingat saya (dalam arti semoga kelak ada merevisinya), penerjemah, sastrawan, kritikus Sapardi Djoko Damono pernah menghimbau agar karya sastra dijauhkan dari ilmu pengetahuan (Sapardi Djoko Damono: Jadikan Sastra sebagai Seni Bukan Ilmu di Sekolah, Kompas, 14 Oktober 2010). Otomatis bisa dibilang menghasilkan karya klangenan, bobotnya lamunan, mentok bikin rindu tak ketulungan pada gergaji kepenyairannya, ini dapat dirujuk kepastian ke puisi-puisinya. Secara terbuka saya lebih condong penyair, politikus Muhammad Iqbal, pula filsuf Jacques Derrida yang tegas berpendapat; “puisi ialah filsafat atau pun filsafat adalah sastra (puisi)” [kalau tak keliru pada bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Iqbal) dan “Margins of Philosophy” (Derrida)]. Sekadar menyebut nama yang tampak dalam karya-karyanya; Goethe, Nietzsche, Leo Tolstoy, Hamka serta para insan langgeng dalam sejarah, sekecilnya diterima sebagian bangsa dunia. Mereka menginsyafi logam mata uang itu sangat bernilai gambaran sisi-sisi mata uangnya, terlihat jelas teksturnya saat ditimpa sorot cahaya.

Walau kritikus Mahayana mengudar perbedaannya, tetap insaf selogam mata uang pada paragraf 15-nya: “Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra —yang bermutu— akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.”
***

Jika volumenya saya tinggikan, tidakkah kitab-kitab suci menapas harumi gerak hayati insan, apakah bersebut agama samawi, ardhi, agama langit pula bumi. Ajarannya sangat dalam filosofi jua tinggi derajat kesastrawiannya, ruhaniah sejarah mewangi terkandung berbalut psikologi demi dijiwai pengikutnya, disamping hitungan matematis Ilahi dan lainnya. Olehnya patut disayangkan kalau ada paham menceraikan sisi-sisi mata uangnya, apalagi terang-terangan dipastikan ambruk ke lembah kejahiliaan. Sekadar permainan tak beri faedah kecuali kesenangan indrawi, jauh dari cahaya luhung kesabaran, kesahajaan, perangai keagungan. Namun sebaliknya tampak coba-coba, spontanitas nanggung, grusa-grusu membawa kaki-kaki kepincangan yang diperindah bebusana imaji, tanpa benang sutra realitas murni.

Memang kedua kaum pemeluk bentukan ajaran agama tersebut, banyak kurang terima disaat lelembar ruhaniah akidahnya dikaitkan arus sungai anak filsafat, sastra dan lainnya. Setidaknya jadi patokan, sebuah karya besar tentu bersimpan pelbagai keilmuan, serupa fitroh keuniversalan nilai terkandung di dalamnya, demi dinaya abadi menerobos hukum kausalitas yang juga menentukan corak digelarnya. Tafsiran muncul kemudian, kembangkan kuntum-kuntum kembang peradaban harum mewangi memelanting tirta embun pagi pemikiran bagi bumi-hati para insani. Ini terus berkumandang, sejauh penerusnya mampu berdialog dengan jaman dilakonkan. Sedangkan karya pincang, picisan, kurang bersimpan pengetahuan, hanya kelangenan, iseng sekadar sugesti akal-akalan, dapat dipastikan terlempar ke jurang kekelaman, buntu sehawa desas-desus mengumbar senang tanpa kumandang kehakikan.
***

Catatan di atas saya tinggal beberapa hari, maka agak sulit melanjutkan. Demi menyambung secara mencari tertanda, saya bercerita pengalaman malam kemarin, kehendaknya mengikat benang kemungkinan menjelma sambungan rahmat perolehan.

Seperti biasa saya jalan menuju rumah saudara di sebrang desa, kerap berpapasan orang gila (balutan fisiknya begitu). Yang membuat senang bersisipan dengannya kemarin, langkahnya dipercepat, tidak sebiasanya lamban, malahan kadang jalan sepersenti jua berhenti saat menjumpai. Terus terang seraya ada magnetik tiap bertemu, terpantul dari sikapnya dalam jiwa saya sejenis teguran, bahasa tanda harus dicermati dalam. Meski tak saling kenal, saya yakin ia pun penasaran dengan bobot sama, pula soal pemikiran seakan telah paham tindak prilaku saya sehari-hari walau jarang bertatapan muka, sewujud sederhana dapat disebut guru spiritual. Memang saya kerap berpapasan orang gila dan ia istimewah, seolah peroleh pencerah meski tak saling sapa. Entah ada ikatan energi apa, mungkin bisa dimaknai kekuatan ‘bahasa diam’, yang pesonakan mata dan telinga.

Dengan tubuh agak-agak saya miringkan serupa belajar dari keadaan “kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan, ketidak-eksplisit-an (inexplicitness), terlalu tergantung konteks (context dependence), dan menyesatkan (misleading)” kala berjalan mengamati orang itu. Mungkin IK atau orang gila termaknakan ini filosof, sosiolog, antropolog, kritikus atau sejarawan yang tengah mengalami keterlepasan, kala memadukan nilai-nilai di dalamnya hingga terbentuk pengertian berbeda. Olehnya di lelembar selanjutnya saya mencoba, tentu tak coba-coba asal-asalan, namun demi pemahaman berpijak di jalur semestinya, mengungkap kekuatan bahasa ‘diam’ dari mereka atau seorang saja, Ignas Kleden.

Setidaknya berjalan tubuh dimiringan tetap berposisi imbang kesadaran mawas, peroleh makna belum terungkap. Mungkin istilah ‘membongkar’ kurang tepat, tapi telisik membaca ulang membuka reruang penalaran lain masuk menentukan apa saja yang terbit dari uraian teks terbaca, dengan harapan menyibak ladang kemungkinan seluas-luasnya, atau ketunggalan anak sungai tersempal dari sungai besarnya. Ini bukan tak fokus, tidakkah anak-anak sungai dipastikan menuju muaranya masing-masing? Dan sempalan terjadi membentuk sejarah drajadnya kemudian hari, di sisi mengurangi bencana luapan membanjir di atas ketunggalan sungai asal; ego. Inilah arus bebidang pengetahuan sebagai fitroh nilai dikandung dalam teks itu, maka sekiranya teks melimpah ruhaniahnya, akan memantul kejayaan sepadan imbang kodrat-iradat kehadirannya.

Demikian bagian VII. Untuk paragraf dua dan selanjutnya dari esai IK, akan diperlakukan separagraf pertama. Jika pembaca kurang sepakat, boleh bongkar balik nan tentu saya jawab kalau umur masih bersarung badan. Dengan catatan melalui buku atau tulisan sepadan, demi media dialog mambangun wacana berlanjut, yang saya pikir lebih menantang daripada kupasan menghakimi lewat beberapa lembar merasa sudah. Oleh saya telah habis tertarik pesona, karena ‘orang-orang gila’ lebih mempesona di jalan-jalan pengetahuan hidup. Mereka penuh beraura, berdaya hipnotis nilai murni daripada kata-kata bermakna tunggal dekat superioritas.

Akhirnya saya ambil ujaran lama, “Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor” (Wirid Hidayat Jati, R. Ng. Ronggowarsito) makna bebasnya, “Manakala detikan takdir telah terpastikan, maka tiadalah yang sanggup menghentikan.”
____________________
Keterangan Tambahan:
Surat masuk facebook dari Maman S Mahayana, selepas uraian saya di atas:

“”Hubungan Sastra dan Filsafat.” Dalam perkembangan pemikiran saya, memang tak sedikit filsafat yang ditulis dalam bentuk karya sastra; atau karya sastra yang sesungguhnya filsafat. Sebutlah Bagawat Ghita, Homerus, Mahabharata, Ramayana, bahkan Javid Namah (Iqbal) dan Hayy Ibn Yazhan (Ibn Thufail), Orang Asing (Camus), tidak sedikit yang memperlakukannya sebagai karya filsafat. Perdebatan itu sampai sekarang belum selesai. Intinya: ada yang kukuh mengatakan itu karya filsafat; ada pula menempatkannya karya sastra; tetapi ada juga memasukkannya ke dalam karya filsafat sekaligus sastra, atau sastra sekaligus filsafat. Jadi, analogi pembedaan dua sisi mata uang itu dalam hubungan sastra-filsafat, sekadar hendak menegaskan, bahwa sastra-filsafat begitu erat kaitannya, sehingga tidak gampang dipisahkan. Di sinilah kelebihan sastra, sebab sastra dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Piramida Korban Manusia karya Peter L Berger, merupakan karya sosiologi yang sengaja dikemas dalam bentuk karya sastra. Sekarang Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dijadikan bahan kuliah antropologi tentang kemiskinan strutktural. Tetralogi Pram, juga banyak digunakan sebagai bahan untuk menelusuri sejarah awal kebangkitan Nasional (Indonesia). Begitulah, posisi karya sastra yang dapat memasuki berbagai wilayah ilmu lain menyebabkan karya sastra tak jarang diperlakukan sebagai karya sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Jadi, pada akhirnya pemisahan sastra dan filsafat itu, bisa saja akan sulit dilakukan ketika kita berhadap dengan mahakarya yang di sana, filsafat dan sastra berkelindan.”

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati