Selasa, 03 April 2012

Estetika Skizofrenia Puisi Indonesia

Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Puisi Indonesia tidak pernah selesai mencari bentuk-bentuk operasional bahasa yang baru. Setelah sukses dengan kemendayuan Pujangga Baru, ketajaman dan efektifitas Chairil Anwar—diteruskan oleh Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Muhammad—kini muncul fenomena baru yang belum pernah ditemukan dalam bahasa puisi sebelumnya. Fenemona tersebut adalah konstruksi bahasa skizofrenia. Apakah telah tercipta bahasa estetik puisi skizofrenia? Bagaimanakah operasional estetik teks puisi skizofrenia?

1

Istilah skizofrenia berasal dari psikoanalisa Freud. Istilah ini digunakan untuk menyebut penyakit yang ditandai dengan terpecahnya identitas kepribadian, tampak antara lain dalam ketidaksesuaian antara fungsi-fungsi intelektual dan fungsi-fungsi afektif. Penderita skizofrenia yang belum parah, dalam batasan tertentu, masih dapat berinteraksi dengan masyarakat. Tentu saja, masyarakat mesti sedikit sabar dalam memahami ucapan-ucapan yang seringkali tidak logis, tidak sesuai dengan logika umum masyarakat. Tata bahasa yang digunakan mungkin benar tetapi kategori pengisinya, seringkali, kacau, atau sebaliknya.

Adalah Roman Jakobson (1895-1982), seorang ahli bahasa kelahiran Rusia, menerapkan model bahasa Saussure terhadap pengidap skizofrenia. Hasilnya ada dua model kesalahan bahasa yaitu, pertama kekurangan dalam substitusi (paradigmatik) akan mengambil jalan menuju ekspresi metonimis, kedua kekurangan dalam kombinasi (sintagmatik) yang akan menjajarkan kata-kata khusus atau metafora. Pada kasus pertama, penderita masih menggunakan tata bahasa yang benar hanya saja kategorinya acak. Misalnya, ketika untuk mengidentifikasikan “hitam”, akan dijawab dengan “kematian”. Sedangkan pada kasus kedua, penderita sudah kesulitan dalam membina tata bahasa. Yang dilakukan, penderita menjajarkan beberapa kata yang berbeda-beda untuk tujuan yang sulit dimengerti. Misalnya, untuk menggambarkan orang yang sedang sakit, penderita akan bilang “sapi, kursi dorong, suster, lantai, suntik, aduh!”

Model-model pengucapan penderita skizofrenia diadopsi oleh para pemikir postmodernisme dalam mencari alternatif logika berbahasa. Jacques Lacan (1901-1981), seorang ahli psikoanalisa postmodernisme, mendefinisikan skizofrenia sebagai putusnya rantai penandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Seseorang telah menggunakan bahasa di dalam bawah sadarnya. Artinya, di dalam proses otak telah terjadi proses berbahasa, atau ada sebuah struktur yang mirip bahasa. Pemikiran-pemikiran tentang skizofrenia ini menandai kritik—mungkin keruntuhan—model oposisi biner bahasa dari Saussure. Lebih jauh lagi, skizofrenia menandai bangkrutnya logika pemikiran strukturalisme, berganti dengan post-strukturalisme.

2

Puisi-puisi Indonesia terkini mempunyai kecenderungan mempergunakan konstruksi bahasa skizofrenia dalam dalam menyajikan bahasa estetik, sekaligus dalam mengungkapkan makna. Sebagai contoh dapat diperiksa puisi Afrizal berjudul “Dalam Gereja Munster” bait ketiga berikut: Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu / berderak lagi / membawa remaja-remaja bercumbu / dan hari esok putih menggumpal / Aku tersedu / Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu.

Penyebutan larik /kereta telah disalibkan/ dalam puisi di atas menegaskan dua kesalahan berbahasa. Pertama, diksi “kereta” hadir menggantikan diksi “manusia”, sebab praktek penyaliban hanya dilakukan pada manusia. Ataukah secara konsep, diksi “kereta” adalah manusia. Kedua, diksi “disalibkan” hadir menggantikan diksi “dijalankan”, sebab kereta sebagai kendaraan hanya bisa dikendarai atau dijalankan. Ataukah secara konsep, diksi “disalibkan” adalah dijalankan. Sangat sulit diketahui duduk persoalannya.

Mendasarkan kajian pada model oposisi biner Saussure, larik /kereta telah disalibkan/ adalah suatu kejanggalan paradigmatik yang akut. Diksi “kereta” berposisi sebagai subyek dan “telah disalibkan” berposisi sebagai kata kerja. Berarti, secara sintagmatik (kombinasi) berhubungan. Tetapi secara paradigmatik, diksi “kereta” dengan diksi “salib” bila dilekatkan bersama-sama tidak dapat menghasilkan pemahaman. Kedua diksi tersebut pada akhirnya diposisikan sebagai metafor, diksi yang mewakili diksi-diksi lain -bahkan lebih dari pada diksi.

Puisi-puisi Beni Setia antologinya Harendong juga memiliki kecenderungan skizofrenia yang berhasil. Seperti dalam puisi berjudul “Ikan”: anakku menjadi bendera dan naik ke puncak / lewat tali dan orang-orang tengadah / : aku menenggak wiski dan nyanyi lantang / “sudah bebas negeri kita” bagi yang di puncak.

Bait pada puisi di atas disusun melalui larik-larik dengan hubungan pengisahan dan komunikasi yang patah-patah. Ada diskontinuitas atau keterputusan—ciri ucapan-ucapan penderita skizofrenia—pada tiap penggalan larik. Ibarat seorang petutur/ pendongeng kisah dipenggal-penggal sehingga tidak mencipta alur yang linier. Dan sebagai sebuah teks puisi jadi, tentu saja, operasional bahasa estetik tersebut adalah sebuah kesengajaan. Perlu dicari dampak operasionalnya.

Pola diskontinuitas, kembali dalam sebuah kesengajaan teks, berarti usaha menolak pengisahan yang linier. Teks puisi yang utuh. Nirwan Dewanto pernah menulis tentang penyusunan teks sejarah, yaitu: kita akan menyadari bahwa setiap masyarakat, setiap sistem, menempuh jalan sejarah secara partikular. Tidak harus jalan lurus (linier), tetapi dapat berbelok tak terduga-duga. Dapat juga jalan melingkar, menemukan titik awal dalam keseimbangan baru, seperti daur ulang. Seperti dikatakan Levi-Strauss; kebudayaan adalah permainan seluruh sistem, seluruh paradigma, sehingga, dalam ruang kebudayaan kita akan melihat tidak hanya satu sejarah, tetapi sejarah-sejarah, “awan debu sejarah-sejarah”.

Kiranya, puisi-puisi berciri estetik skizofrenia sedang memberi pelajaran tentang penyusunan sejarah. Nirwan Dewanto telah memberi konsep penulisan teks atau pembahasaan realitas. Lebih dari itu, puisi tidak hanya memberi konsep tetapi bentuk penyusunan. Bahwa kisah atau sejarah tidak mesti linier. Kisah bisa juga berbentuk diskontinuitas. Dampak bagus dari penyusunan kisah atau sejarah yang diskontinuitas adalah tiadanya pusat penceritaan. Yang ada, kisah-kisah kecil yang saling berdiri sejajar dan akhirnya membentuk satu kisah besar yang plural, saling melengkapi, saling menghubungi, dan saling menolak. Kisah diskontinuitas. Seperti, puisi-puisi di atas atau seperti yang sudah dicoba oleh Milan Kundera dalam novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa.

3

Teks puisi skizofrenia menyajikan narasi yang terpenggal-penggal. Hasilnya, tercipta lobang-lobang kosong yang mesti diproduksi sendiri oleh pembaca. Proses pembacaan teks puisi menjadi kegiatan mengisi lobang-lobang kosong—diskontinuitas—sehingga menjadi teks utuh sebagai kisah. Sebagai syarat komunikasi. Seperti soal-soal ujian anak SD yang berupa kalimat tidak lengkap, dan siswa disuruh mengisi kekosongannya. Hanya saja, pada sebuah soal ujian, kebenaran pengisian ditentukan oleh penguji. Telah ada jawaban spesifik sebagai kriteria tunggal. Pada puisi, kebenaran pengisian tergantung kepada pembaca. Pengarang sudah melepas teks puisi kepada publik dan kepada publik pula nasib teks puisi ditentukan. Pertaruhan hanya terjadi pada cara publik membangun paradigma agar pengisian bersifat universal, dapat dipahami orang lain.

Kebebasan merakit dan mengisi kekosongan teks puisi adalah kebebasan personal yang, tentu saja, tidak terbebas dari jebak-polemik. Seperti seorang anak muda yang bermain playstation, sejauh-jauh mempermainkan perilaku tokoh-tokoh dan kualitas ketangkasan ide serta geraknya, masih dibatasi dengan fasilitas-fasilitas dan titik jenuh mesin. Anak muda tersebut bebas menggerakkan kaki tokoh game tetapi tidak bisa menambah jumlah kaki, bebas menyerang musuh tetapi tidak untuk mengajaknya bercinta, boleh mendiamkan tokoh tetapi mesti mau menerima kekalahan, boleh maju dan terus maju ke level lebih tinggi tetapi ada level terakhir di mana playstation tidak punya operasional lanjutan. Toh, tidak ada larangan untuk tidak peduli kepada playstation, sama dengan tidak ada keharusan mengurusi playstation. Hanya saja, ketika seseorang memasuki dunia playstation, tawaran kekebasan bertukar rusuh dengan rambu-rambu dan tanda seru.

Setiap diksi dalam puisi telah terkutuk untuk menyandang makna literal. Makna yang ada berkat kesepakatan diam masyarakat, atau kadangkala, kreasi para pemegang kebijaksanaan linguistik. Dalam masyarakat, diksi-diksi dirakit untuk komunikasi dengan pola operasional yang fleksibel—asal ada saling pemahaman—, operasional yang baku ada pada tata bahasa resmi (EYD). Diksi-diksi puisi dibentuk sebagai teks jadi dengan pola operasional yang menyimpang dari rakitan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya berbeda.

Diksi pada teks puisi dilekatkan pada operasional baru. Pembacaan akan gagal meraih makna dan kenikmatan apabila menggunakan pola operasional yang beredar atau dipakai dalam masyarakat. Pemaknaan hanya bisa diperoleh dengan cara membaca diksi-diksi secara terpisah. Diksi dibaca sebagai metafor. Setelah pemaknaan secara parsial, terpisah, dicari operasional utuh yang menghasilkan pemaknaan teks. Lagi-lagi, pembaca yang ditekankan untuk memproduksi wacana.

Seorang pembaca mungkin, dari rekayasa sistem operasional bahasa, sudah menemukan makna. Merasa sudah menemukan makna sebenarnya dari sebuah puisi. Tetapi memang ada orang-orang tertentu, merasa tidak puas dengan hasil pembacaan pertama. Pembacaan dilanjutkan berulang-ulang untuk memperoleh variasi-variasi pola operasional bahasa, variasi-variasi makna. Pada “puisi cerdas”—meminjam istilah S. Yoga—pembaca dimungkinkan memperoleh tumpah ruah ragam bahasa dan menikmati macam-macam pusaran makna. Pembacaan dengan pola operasional bahasa yang berlainan, bisa jadi, menghasilkan makna yang berbeda. Makna yang saling mendukung pada sublimasi makna atau makna yang bertentangan sehingga tidak ada kepastian orientasi tunggal, atau deretan makna yang tidak berhubungan sama sekali.

Model bahasa skizofrenia dalam bahasa estetik puisi berarti melegalkan bahasa tersebut sebagai model pembahasaan tersendiri. Bersanding-jajar dengan—atau menggantikan—model oposisi biner Saussure yang hanya melegalkan penafsiran tunggal.

Mengakhiri bahasan tentang bahasa estetik skizofrenia, penulis ingat bahwa sebuah karya sastra senantiasa mencipta sebuah realitas, sebuah masyarakat. Pada kasus tersebut, tercipta sebuah masyarakat skizofrenia. Masyarakat pengguna ragam bahasa skizofrenia. Pada masyarakat tersebut, mungkin, seorang guru bebas bertugas di kelas sekolah dengan memakai pakaian preman. Seorang pelajar teladan, sesaat sesudah penerimaan penghargaan oleh kepala sekolah, akan mengambil minuman bersoda tinggi, mengocoknya keras, dan menyemprotkannya ke seluruh hadirin, seperti yang biasa dilakukan Kenny Robert sehabis menjuarai GP 500.

______, Waru Kabupaten Sidoarjo
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/14/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati