Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Puisi Indonesia tidak pernah selesai mencari bentuk-bentuk operasional bahasa yang baru. Setelah sukses dengan kemendayuan Pujangga Baru, ketajaman dan efektifitas Chairil Anwar—diteruskan oleh Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Muhammad—kini muncul fenomena baru yang belum pernah ditemukan dalam bahasa puisi sebelumnya. Fenemona tersebut adalah konstruksi bahasa skizofrenia. Apakah telah tercipta bahasa estetik puisi skizofrenia? Bagaimanakah operasional estetik teks puisi skizofrenia?
1
Istilah skizofrenia berasal dari psikoanalisa Freud. Istilah ini digunakan untuk menyebut penyakit yang ditandai dengan terpecahnya identitas kepribadian, tampak antara lain dalam ketidaksesuaian antara fungsi-fungsi intelektual dan fungsi-fungsi afektif. Penderita skizofrenia yang belum parah, dalam batasan tertentu, masih dapat berinteraksi dengan masyarakat. Tentu saja, masyarakat mesti sedikit sabar dalam memahami ucapan-ucapan yang seringkali tidak logis, tidak sesuai dengan logika umum masyarakat. Tata bahasa yang digunakan mungkin benar tetapi kategori pengisinya, seringkali, kacau, atau sebaliknya.
Adalah Roman Jakobson (1895-1982), seorang ahli bahasa kelahiran Rusia, menerapkan model bahasa Saussure terhadap pengidap skizofrenia. Hasilnya ada dua model kesalahan bahasa yaitu, pertama kekurangan dalam substitusi (paradigmatik) akan mengambil jalan menuju ekspresi metonimis, kedua kekurangan dalam kombinasi (sintagmatik) yang akan menjajarkan kata-kata khusus atau metafora. Pada kasus pertama, penderita masih menggunakan tata bahasa yang benar hanya saja kategorinya acak. Misalnya, ketika untuk mengidentifikasikan “hitam”, akan dijawab dengan “kematian”. Sedangkan pada kasus kedua, penderita sudah kesulitan dalam membina tata bahasa. Yang dilakukan, penderita menjajarkan beberapa kata yang berbeda-beda untuk tujuan yang sulit dimengerti. Misalnya, untuk menggambarkan orang yang sedang sakit, penderita akan bilang “sapi, kursi dorong, suster, lantai, suntik, aduh!”
Model-model pengucapan penderita skizofrenia diadopsi oleh para pemikir postmodernisme dalam mencari alternatif logika berbahasa. Jacques Lacan (1901-1981), seorang ahli psikoanalisa postmodernisme, mendefinisikan skizofrenia sebagai putusnya rantai penandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Seseorang telah menggunakan bahasa di dalam bawah sadarnya. Artinya, di dalam proses otak telah terjadi proses berbahasa, atau ada sebuah struktur yang mirip bahasa. Pemikiran-pemikiran tentang skizofrenia ini menandai kritik—mungkin keruntuhan—model oposisi biner bahasa dari Saussure. Lebih jauh lagi, skizofrenia menandai bangkrutnya logika pemikiran strukturalisme, berganti dengan post-strukturalisme.
2
Puisi-puisi Indonesia terkini mempunyai kecenderungan mempergunakan konstruksi bahasa skizofrenia dalam dalam menyajikan bahasa estetik, sekaligus dalam mengungkapkan makna. Sebagai contoh dapat diperiksa puisi Afrizal berjudul “Dalam Gereja Munster” bait ketiga berikut: Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu / berderak lagi / membawa remaja-remaja bercumbu / dan hari esok putih menggumpal / Aku tersedu / Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu.
Penyebutan larik /kereta telah disalibkan/ dalam puisi di atas menegaskan dua kesalahan berbahasa. Pertama, diksi “kereta” hadir menggantikan diksi “manusia”, sebab praktek penyaliban hanya dilakukan pada manusia. Ataukah secara konsep, diksi “kereta” adalah manusia. Kedua, diksi “disalibkan” hadir menggantikan diksi “dijalankan”, sebab kereta sebagai kendaraan hanya bisa dikendarai atau dijalankan. Ataukah secara konsep, diksi “disalibkan” adalah dijalankan. Sangat sulit diketahui duduk persoalannya.
Mendasarkan kajian pada model oposisi biner Saussure, larik /kereta telah disalibkan/ adalah suatu kejanggalan paradigmatik yang akut. Diksi “kereta” berposisi sebagai subyek dan “telah disalibkan” berposisi sebagai kata kerja. Berarti, secara sintagmatik (kombinasi) berhubungan. Tetapi secara paradigmatik, diksi “kereta” dengan diksi “salib” bila dilekatkan bersama-sama tidak dapat menghasilkan pemahaman. Kedua diksi tersebut pada akhirnya diposisikan sebagai metafor, diksi yang mewakili diksi-diksi lain -bahkan lebih dari pada diksi.
Puisi-puisi Beni Setia antologinya Harendong juga memiliki kecenderungan skizofrenia yang berhasil. Seperti dalam puisi berjudul “Ikan”: anakku menjadi bendera dan naik ke puncak / lewat tali dan orang-orang tengadah / : aku menenggak wiski dan nyanyi lantang / “sudah bebas negeri kita” bagi yang di puncak.
Bait pada puisi di atas disusun melalui larik-larik dengan hubungan pengisahan dan komunikasi yang patah-patah. Ada diskontinuitas atau keterputusan—ciri ucapan-ucapan penderita skizofrenia—pada tiap penggalan larik. Ibarat seorang petutur/ pendongeng kisah dipenggal-penggal sehingga tidak mencipta alur yang linier. Dan sebagai sebuah teks puisi jadi, tentu saja, operasional bahasa estetik tersebut adalah sebuah kesengajaan. Perlu dicari dampak operasionalnya.
Pola diskontinuitas, kembali dalam sebuah kesengajaan teks, berarti usaha menolak pengisahan yang linier. Teks puisi yang utuh. Nirwan Dewanto pernah menulis tentang penyusunan teks sejarah, yaitu: kita akan menyadari bahwa setiap masyarakat, setiap sistem, menempuh jalan sejarah secara partikular. Tidak harus jalan lurus (linier), tetapi dapat berbelok tak terduga-duga. Dapat juga jalan melingkar, menemukan titik awal dalam keseimbangan baru, seperti daur ulang. Seperti dikatakan Levi-Strauss; kebudayaan adalah permainan seluruh sistem, seluruh paradigma, sehingga, dalam ruang kebudayaan kita akan melihat tidak hanya satu sejarah, tetapi sejarah-sejarah, “awan debu sejarah-sejarah”.
Kiranya, puisi-puisi berciri estetik skizofrenia sedang memberi pelajaran tentang penyusunan sejarah. Nirwan Dewanto telah memberi konsep penulisan teks atau pembahasaan realitas. Lebih dari itu, puisi tidak hanya memberi konsep tetapi bentuk penyusunan. Bahwa kisah atau sejarah tidak mesti linier. Kisah bisa juga berbentuk diskontinuitas. Dampak bagus dari penyusunan kisah atau sejarah yang diskontinuitas adalah tiadanya pusat penceritaan. Yang ada, kisah-kisah kecil yang saling berdiri sejajar dan akhirnya membentuk satu kisah besar yang plural, saling melengkapi, saling menghubungi, dan saling menolak. Kisah diskontinuitas. Seperti, puisi-puisi di atas atau seperti yang sudah dicoba oleh Milan Kundera dalam novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa.
3
Teks puisi skizofrenia menyajikan narasi yang terpenggal-penggal. Hasilnya, tercipta lobang-lobang kosong yang mesti diproduksi sendiri oleh pembaca. Proses pembacaan teks puisi menjadi kegiatan mengisi lobang-lobang kosong—diskontinuitas—sehingga menjadi teks utuh sebagai kisah. Sebagai syarat komunikasi. Seperti soal-soal ujian anak SD yang berupa kalimat tidak lengkap, dan siswa disuruh mengisi kekosongannya. Hanya saja, pada sebuah soal ujian, kebenaran pengisian ditentukan oleh penguji. Telah ada jawaban spesifik sebagai kriteria tunggal. Pada puisi, kebenaran pengisian tergantung kepada pembaca. Pengarang sudah melepas teks puisi kepada publik dan kepada publik pula nasib teks puisi ditentukan. Pertaruhan hanya terjadi pada cara publik membangun paradigma agar pengisian bersifat universal, dapat dipahami orang lain.
Kebebasan merakit dan mengisi kekosongan teks puisi adalah kebebasan personal yang, tentu saja, tidak terbebas dari jebak-polemik. Seperti seorang anak muda yang bermain playstation, sejauh-jauh mempermainkan perilaku tokoh-tokoh dan kualitas ketangkasan ide serta geraknya, masih dibatasi dengan fasilitas-fasilitas dan titik jenuh mesin. Anak muda tersebut bebas menggerakkan kaki tokoh game tetapi tidak bisa menambah jumlah kaki, bebas menyerang musuh tetapi tidak untuk mengajaknya bercinta, boleh mendiamkan tokoh tetapi mesti mau menerima kekalahan, boleh maju dan terus maju ke level lebih tinggi tetapi ada level terakhir di mana playstation tidak punya operasional lanjutan. Toh, tidak ada larangan untuk tidak peduli kepada playstation, sama dengan tidak ada keharusan mengurusi playstation. Hanya saja, ketika seseorang memasuki dunia playstation, tawaran kekebasan bertukar rusuh dengan rambu-rambu dan tanda seru.
Setiap diksi dalam puisi telah terkutuk untuk menyandang makna literal. Makna yang ada berkat kesepakatan diam masyarakat, atau kadangkala, kreasi para pemegang kebijaksanaan linguistik. Dalam masyarakat, diksi-diksi dirakit untuk komunikasi dengan pola operasional yang fleksibel—asal ada saling pemahaman—, operasional yang baku ada pada tata bahasa resmi (EYD). Diksi-diksi puisi dibentuk sebagai teks jadi dengan pola operasional yang menyimpang dari rakitan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya berbeda.
Diksi pada teks puisi dilekatkan pada operasional baru. Pembacaan akan gagal meraih makna dan kenikmatan apabila menggunakan pola operasional yang beredar atau dipakai dalam masyarakat. Pemaknaan hanya bisa diperoleh dengan cara membaca diksi-diksi secara terpisah. Diksi dibaca sebagai metafor. Setelah pemaknaan secara parsial, terpisah, dicari operasional utuh yang menghasilkan pemaknaan teks. Lagi-lagi, pembaca yang ditekankan untuk memproduksi wacana.
Seorang pembaca mungkin, dari rekayasa sistem operasional bahasa, sudah menemukan makna. Merasa sudah menemukan makna sebenarnya dari sebuah puisi. Tetapi memang ada orang-orang tertentu, merasa tidak puas dengan hasil pembacaan pertama. Pembacaan dilanjutkan berulang-ulang untuk memperoleh variasi-variasi pola operasional bahasa, variasi-variasi makna. Pada “puisi cerdas”—meminjam istilah S. Yoga—pembaca dimungkinkan memperoleh tumpah ruah ragam bahasa dan menikmati macam-macam pusaran makna. Pembacaan dengan pola operasional bahasa yang berlainan, bisa jadi, menghasilkan makna yang berbeda. Makna yang saling mendukung pada sublimasi makna atau makna yang bertentangan sehingga tidak ada kepastian orientasi tunggal, atau deretan makna yang tidak berhubungan sama sekali.
Model bahasa skizofrenia dalam bahasa estetik puisi berarti melegalkan bahasa tersebut sebagai model pembahasaan tersendiri. Bersanding-jajar dengan—atau menggantikan—model oposisi biner Saussure yang hanya melegalkan penafsiran tunggal.
Mengakhiri bahasan tentang bahasa estetik skizofrenia, penulis ingat bahwa sebuah karya sastra senantiasa mencipta sebuah realitas, sebuah masyarakat. Pada kasus tersebut, tercipta sebuah masyarakat skizofrenia. Masyarakat pengguna ragam bahasa skizofrenia. Pada masyarakat tersebut, mungkin, seorang guru bebas bertugas di kelas sekolah dengan memakai pakaian preman. Seorang pelajar teladan, sesaat sesudah penerimaan penghargaan oleh kepala sekolah, akan mengambil minuman bersoda tinggi, mengocoknya keras, dan menyemprotkannya ke seluruh hadirin, seperti yang biasa dilakukan Kenny Robert sehabis menjuarai GP 500.
______, Waru Kabupaten Sidoarjo
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/14/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar