Senin, 16 September 2013

Kerusuhan Sosial dalam Sajak

Budi P. Hatees *
Riau Pos, 28 Juli 2013

SELAMA 2012 lalu, saya membaca sajak-sajak yang ditulis Isbedy Stiawan ZS (Bang Is), dipublikasikan di sejumlah media cetak. Banyak sajak yang ditulisnya, tetapi sajak-sajak yang akan saya bicarakan ini adalah sajak yang berhubungan dengan kerusuhan terakhir di Lampung Selatan.
Salah satu sajaknya berjudul ‘’Begitu Mudah’’. Temanya tentang kerusuhan sosial, dan Bang Is menyebutnya kerusuhan antara ‘pendatang’ dengan ‘tuan rumah’. Aku lirik dalam sajak berada pada posisi sebagai ‘pendatang’, menganggap ‘tuan rumah’ telah memposisikan ‘pendatang’ sebagai musuh yang harus dihabisi. Sebab itu, dalam sajak ini Bang Is menunjukkan keberpihakan kepada ‘pendatang’.

Beberpihak Bang Is sangat wajar. Dalam kerusuhan yang meletus pada 28 Oktober 2012 bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda korban sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di Desa Balinuraga. Artinya, sebagai penyair, Bang Is berpihak pada kelompok yang menderita, menjadi juru bicara dari raasa perih yang dialami oleh korban.

Sajak dibuka dengan bait: kini kau begitu mudah menggali makam/lalu menenggelamkan badan orang/karena itu kau sirami benih kebencian/kausulut kayu kau percikkan api: dendam. Pembukaan yang segera membawa pembaca pada situasi bahwa kerusuhan itu memojokkan ‘pendatang’ di Lampung, seakan-akan mereka merupakan entitas yang kehadirannya membawa problematik social bagi kehidupan ‘tuan rumah’.

Pokok pikiran Bang Is inilah yang hendak saya soroti. Sebagai seorang penyair, perspektif yang dipilihnya dalam melihat kerusuhan sosial itu penuh kekeliruan. Artinya, kerusuhan yang terjadi di Provinsi Lampung itu bukanlah kerusuhan antara ‘tuan rumah’ versus ‘pendatang’, tetapi kerusuhan antara masyarakat Lampung versus Lampung.

Memang, media massa di seluruh negeri ini, menyebut kerusuhan itu antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali. Tapi, kita harus menentangnya, terutama karena media massa selalu meruntuhkan apa yang sudah diluruskan dalam semangat nasionalisme.

Artinya, para awak media massa tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni untuk menghancurkan dikotomi-dikotomi yang ada di lingkungan masyarakat. Awak media massa merasa bahwa penghancuran terhadap dikotomi yang ada sama artinya dengan mengaburkan fakta yang ada, seolah-olah mereka punya dasar filosofi yang kuat untuk menolak pemikiran tentang fakta sebagai hasil rekonstruksi manusia atas realitas yang terjadi.

Sebagai hasil rekonstruksi, sudah diandaikan bahwa fakta tidak sama persis dengan realitas yang ada. Bila menukik pada kajian komunikasi terhadap pesan, apalagi bila kita sampai pada teori-teori komunikasi tentang agenda setting media, menjadi lebih jelas bahwa keyakinan para awak media massa sangat keliru.

Jadi, menyebut kerusuhan yang terjadi sebagai pertikaian antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali, merupakan kekeliruan yang akan memicu konflik sosial itu meluas menjadi konflik horizontal dan vertikal. Sebaiknya, para awak media massa tetap mengacu pada defenisi tentang masyarakat Lampung berdasarkan konvensi nasional, bahwa orang Lampung adalah orang-orang yang tinggal dan menetap di Lampung.

Tidak dipersoalkan apakah mereka penduduk asli atau pendatang, karena dikotomi itu melebur ketika dihadapkan pada kepentingan bangsa dan negara. Tapi, bila ternyata media massa memelihara dikotomi ‘tuan rumah’ dan ‘pendatang’, sudah seharusnya penyair menghancurkan dikotomi itu. Sebab, kepenyairan menuntut seseorang berada pada posisi untuk melihat manusia semata sebagai manusia, sehingga kepentingan-kepentingan manusia sama saja dengan manusia lainnya.

Status sosial, kelas sosial, dan segala hal terkait perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial adalah nilai-nilai yang tak layak dipertahankan oleh penyair dalam menjalankan kerja-kerja berkesenian. Ini sejalan dengan semangat seni yang sesungguhnya dalam melihat manusia.

***

Dikotomi-dikotomi sosial yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, selalu melahirkan persoalan krusial. Pada zaman orde baru, gemanya tak sampai ke telinga publik, karena militer mampu meminimalisir. Tapi di era reformasi saat ini, manakala otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk menegaskan eksistensi diri dengan membangun defenisi baru tentang lokalitasnya, perkara dikotomi itu semakin menajam.

Kepentingan bangsa dan negara terutama berkaitan dengan persatuan dan kesatuan, mulai diabaikan dan dimasabodohkan sejak otonomi daerah diperkenalkan. Konsep ‘penduduk asli’ dan ‘penduduk pendatang’ kembali diapungkan untuk mempertegas dikotomi agar eksistensi penduduk asli semakin menguat di daerah masing-masing. Tujuannya tak lain untuk kepentingan sesaat dalam rangka membuat defenisi yang sesuai tentang putra daerah, sehingga si putra daerah bisa membangkitkan kembali kapital-kapital sosial yang ada. Dengan begitu, segala yang lokal (lokalitas) didefenisikan secara keliru sebagai yang paling berhak.

Saya pernah tinggal sangat lama di Provinsi Lampung. Saat kerusuhan sosial pecah pada 28 Oktober 2012, saya tak lagi menjadi warga provinsi itu. Tapi saya punya kenangan indah bersama penduduk yang bertikai—warga Desa Agom di Way Panji dengan warga Desa Balinuraga yang dihuni oleh orang-orang Bali, di Lampung Selatan.

Pada 1997, ketika masyarakat yang bertikai itu masih hidup dalam satu kecamatan, Kecamatan Sidomulyo, mereka bisa berdampingan sebagai penduduk Kabupaten Lampung Selatan. Pemekaran wilayah Kecamatan Sidomulyo menjadi Kecamatan Way Panji, membuat warga kedua desa itu bagai musuh bebuyutan.

Akibat kerusuhan itu, diadakannya pertemuan antara pimpinan Lampung dan Bali. Dari pihak Bali, hadir Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedasteraputra Suyasa III; dan dari pihak Lampung hadir Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), Kadarsyah Irsya. Keduanya menandatangani maklumat kesepakatan perdamaian di hotel Novotel, Lampung, 4 November 2012.

Meski demikian, perjumpaan antara Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna dengan Kadarsyah Irsya, tidak membuat pertikaian itu selesai total. Ada luka yang menganga di antara penduduk Lampung itu, ada perih yang susah diobati, dan ada rasa kehilangan yang tak tersembuhkan.

Kelak, bisa dipastikan peristiwa yang menyedihkan rasa nasionalisme ini akan terulang lagi. Pasalnya, solusi yang ditawarkan sama-sekali tak solutif, terutama karena identifikasi terhadap persoalan ini tidak menyentuh akar yang sesungguhnya.

Sebetulnya, sejak lama kerusuhan sosial sering terjadi di Lampung. Pasca reformasi intensitas makin meningkat. Sejak 1996 sampai 2008 saya menetap di Lampung, hampir tiap bulan terjadi kerusuhan sosial. Para pengamat, medi massa, elite pemerintah, militer, polisi, dan aktivis selalu menyebutnya sebagai kerushan antara orang Lampung dengan pendatang.

Dikotomi itu selalu diapungkan, seakan-akan orang Lampung dengan pendatang seperti air dengan minyak. Susah disatukan, dan dikotomi itu harus dipelihara. Sebut saja WF Wertheim dalam The Lampung Affair: A Personal Perspective, Inside Indonesia (April, 1989). Dia mencatat bahwa letupan sosial terbuka, terutama terkait dengan isu tanah, yang melibatkan orang Lampung dengan pendatang sudah terjadi pada 1989.

Bagi para pengamat, konflik sosial ini dipicu kemarahan masyarakat Lampung karena eksistensi mereka kurang diakui di daerah kelahirannya akibat kehadiran para pendatang. Orang Lampung yang negerinya dijadikan wilayah transmigrasi menilai keberadaan orang-orang pendatang menimbulkan masalah. Tidak saja dalam persoalan tanah yang ditempati, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, sejumlah pihak di Lampung mengatakan bahwa kerusuhan kali ini semacam klimaks dari pola perjumpaan kedua pihak.

***

Sulit menolak kebenaran dari analisis para ahli tentang kerusuhan di Lampung. Sama sulitnya menolak bahwa Bang Is keliru dalam melihat persoalan kerusuhan. Artinya, memang, kerusuhan di Lampung terjadi antara masyarakat Lampung versus masyarakat yang datang ke Lampung. Cuma, siapa pun harus memperkuat defenisi tentang masyarakat Lampung yang menjadi konvensi nasional, sehingga dikotomi tidak dipakai lagi.

Bila dikotomi tetap jadi panduan, akan membangkitkan dikotomi-dikotomi lain, sehingga nilai-nilai kebersamaan akan terabaikan. Akibatnya, masyarakat sebuah daerah yang memang terdiri dari sekian banyak dikotomi, akan sulit hidup dalam satu lingkungan. Konon lagi mengharapkan mereka hidup dalam ikatan kohesivitas yang kuat, karena mereka lebih banyak diposisikan dalam kedudukan yang selalu bertentangan.

Lebih parah lagi, dikotomi sosial akan memicu dikotomi yang lebih personal. Contoh, jika kita mempertajam perbedaan antara orang yang secara fisik cantik atau ganteng dengan orang yang secara fisik buruk atau jelek, suatu saat mereka yang berada pada posisi didiskriditkan akan marah. Sekalipun fakta yang sesungguhnya tidak menyimpang, tapi mempertajam dikotomi bukan pilihan yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

*) Budi Hatees, lahir 3 Juni 1972. Banyak menulis esai di berbagai koran dan majalah. Buku esainya, ‘’Ulat di Kebun Polri’’ (2012), ‘’Teror-Teror Teroris’’ (2013), dan ‘’Srikandi di Meja Hijau’’ (2013)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/kerusuhan-sosial-dalam-sajak.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati