Budi P. Hatees *
Riau Pos, 28 Juli 2013
SELAMA 2012 lalu, saya membaca sajak-sajak yang ditulis Isbedy Stiawan ZS (Bang Is), dipublikasikan di sejumlah media cetak. Banyak sajak yang ditulisnya, tetapi sajak-sajak yang akan saya bicarakan ini adalah sajak yang berhubungan dengan kerusuhan terakhir di Lampung Selatan.
Salah satu sajaknya berjudul ‘’Begitu Mudah’’. Temanya tentang kerusuhan sosial, dan Bang Is menyebutnya kerusuhan antara ‘pendatang’ dengan ‘tuan rumah’. Aku lirik dalam sajak berada pada posisi sebagai ‘pendatang’, menganggap ‘tuan rumah’ telah memposisikan ‘pendatang’ sebagai musuh yang harus dihabisi. Sebab itu, dalam sajak ini Bang Is menunjukkan keberpihakan kepada ‘pendatang’.
Beberpihak Bang Is sangat wajar. Dalam kerusuhan yang meletus pada 28 Oktober 2012 bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda korban sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di Desa Balinuraga. Artinya, sebagai penyair, Bang Is berpihak pada kelompok yang menderita, menjadi juru bicara dari raasa perih yang dialami oleh korban.
Sajak dibuka dengan bait: kini kau begitu mudah menggali makam/lalu menenggelamkan badan orang/karena itu kau sirami benih kebencian/kausulut kayu kau percikkan api: dendam. Pembukaan yang segera membawa pembaca pada situasi bahwa kerusuhan itu memojokkan ‘pendatang’ di Lampung, seakan-akan mereka merupakan entitas yang kehadirannya membawa problematik social bagi kehidupan ‘tuan rumah’.
Pokok pikiran Bang Is inilah yang hendak saya soroti. Sebagai seorang penyair, perspektif yang dipilihnya dalam melihat kerusuhan sosial itu penuh kekeliruan. Artinya, kerusuhan yang terjadi di Provinsi Lampung itu bukanlah kerusuhan antara ‘tuan rumah’ versus ‘pendatang’, tetapi kerusuhan antara masyarakat Lampung versus Lampung.
Memang, media massa di seluruh negeri ini, menyebut kerusuhan itu antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali. Tapi, kita harus menentangnya, terutama karena media massa selalu meruntuhkan apa yang sudah diluruskan dalam semangat nasionalisme.
Artinya, para awak media massa tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni untuk menghancurkan dikotomi-dikotomi yang ada di lingkungan masyarakat. Awak media massa merasa bahwa penghancuran terhadap dikotomi yang ada sama artinya dengan mengaburkan fakta yang ada, seolah-olah mereka punya dasar filosofi yang kuat untuk menolak pemikiran tentang fakta sebagai hasil rekonstruksi manusia atas realitas yang terjadi.
Sebagai hasil rekonstruksi, sudah diandaikan bahwa fakta tidak sama persis dengan realitas yang ada. Bila menukik pada kajian komunikasi terhadap pesan, apalagi bila kita sampai pada teori-teori komunikasi tentang agenda setting media, menjadi lebih jelas bahwa keyakinan para awak media massa sangat keliru.
Jadi, menyebut kerusuhan yang terjadi sebagai pertikaian antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali, merupakan kekeliruan yang akan memicu konflik sosial itu meluas menjadi konflik horizontal dan vertikal. Sebaiknya, para awak media massa tetap mengacu pada defenisi tentang masyarakat Lampung berdasarkan konvensi nasional, bahwa orang Lampung adalah orang-orang yang tinggal dan menetap di Lampung.
Tidak dipersoalkan apakah mereka penduduk asli atau pendatang, karena dikotomi itu melebur ketika dihadapkan pada kepentingan bangsa dan negara. Tapi, bila ternyata media massa memelihara dikotomi ‘tuan rumah’ dan ‘pendatang’, sudah seharusnya penyair menghancurkan dikotomi itu. Sebab, kepenyairan menuntut seseorang berada pada posisi untuk melihat manusia semata sebagai manusia, sehingga kepentingan-kepentingan manusia sama saja dengan manusia lainnya.
Status sosial, kelas sosial, dan segala hal terkait perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial adalah nilai-nilai yang tak layak dipertahankan oleh penyair dalam menjalankan kerja-kerja berkesenian. Ini sejalan dengan semangat seni yang sesungguhnya dalam melihat manusia.
***
Dikotomi-dikotomi sosial yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, selalu melahirkan persoalan krusial. Pada zaman orde baru, gemanya tak sampai ke telinga publik, karena militer mampu meminimalisir. Tapi di era reformasi saat ini, manakala otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk menegaskan eksistensi diri dengan membangun defenisi baru tentang lokalitasnya, perkara dikotomi itu semakin menajam.
Kepentingan bangsa dan negara terutama berkaitan dengan persatuan dan kesatuan, mulai diabaikan dan dimasabodohkan sejak otonomi daerah diperkenalkan. Konsep ‘penduduk asli’ dan ‘penduduk pendatang’ kembali diapungkan untuk mempertegas dikotomi agar eksistensi penduduk asli semakin menguat di daerah masing-masing. Tujuannya tak lain untuk kepentingan sesaat dalam rangka membuat defenisi yang sesuai tentang putra daerah, sehingga si putra daerah bisa membangkitkan kembali kapital-kapital sosial yang ada. Dengan begitu, segala yang lokal (lokalitas) didefenisikan secara keliru sebagai yang paling berhak.
Saya pernah tinggal sangat lama di Provinsi Lampung. Saat kerusuhan sosial pecah pada 28 Oktober 2012, saya tak lagi menjadi warga provinsi itu. Tapi saya punya kenangan indah bersama penduduk yang bertikai—warga Desa Agom di Way Panji dengan warga Desa Balinuraga yang dihuni oleh orang-orang Bali, di Lampung Selatan.
Pada 1997, ketika masyarakat yang bertikai itu masih hidup dalam satu kecamatan, Kecamatan Sidomulyo, mereka bisa berdampingan sebagai penduduk Kabupaten Lampung Selatan. Pemekaran wilayah Kecamatan Sidomulyo menjadi Kecamatan Way Panji, membuat warga kedua desa itu bagai musuh bebuyutan.
Akibat kerusuhan itu, diadakannya pertemuan antara pimpinan Lampung dan Bali. Dari pihak Bali, hadir Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedasteraputra Suyasa III; dan dari pihak Lampung hadir Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), Kadarsyah Irsya. Keduanya menandatangani maklumat kesepakatan perdamaian di hotel Novotel, Lampung, 4 November 2012.
Meski demikian, perjumpaan antara Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna dengan Kadarsyah Irsya, tidak membuat pertikaian itu selesai total. Ada luka yang menganga di antara penduduk Lampung itu, ada perih yang susah diobati, dan ada rasa kehilangan yang tak tersembuhkan.
Kelak, bisa dipastikan peristiwa yang menyedihkan rasa nasionalisme ini akan terulang lagi. Pasalnya, solusi yang ditawarkan sama-sekali tak solutif, terutama karena identifikasi terhadap persoalan ini tidak menyentuh akar yang sesungguhnya.
Sebetulnya, sejak lama kerusuhan sosial sering terjadi di Lampung. Pasca reformasi intensitas makin meningkat. Sejak 1996 sampai 2008 saya menetap di Lampung, hampir tiap bulan terjadi kerusuhan sosial. Para pengamat, medi massa, elite pemerintah, militer, polisi, dan aktivis selalu menyebutnya sebagai kerushan antara orang Lampung dengan pendatang.
Dikotomi itu selalu diapungkan, seakan-akan orang Lampung dengan pendatang seperti air dengan minyak. Susah disatukan, dan dikotomi itu harus dipelihara. Sebut saja WF Wertheim dalam The Lampung Affair: A Personal Perspective, Inside Indonesia (April, 1989). Dia mencatat bahwa letupan sosial terbuka, terutama terkait dengan isu tanah, yang melibatkan orang Lampung dengan pendatang sudah terjadi pada 1989.
Bagi para pengamat, konflik sosial ini dipicu kemarahan masyarakat Lampung karena eksistensi mereka kurang diakui di daerah kelahirannya akibat kehadiran para pendatang. Orang Lampung yang negerinya dijadikan wilayah transmigrasi menilai keberadaan orang-orang pendatang menimbulkan masalah. Tidak saja dalam persoalan tanah yang ditempati, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, sejumlah pihak di Lampung mengatakan bahwa kerusuhan kali ini semacam klimaks dari pola perjumpaan kedua pihak.
***
Sulit menolak kebenaran dari analisis para ahli tentang kerusuhan di Lampung. Sama sulitnya menolak bahwa Bang Is keliru dalam melihat persoalan kerusuhan. Artinya, memang, kerusuhan di Lampung terjadi antara masyarakat Lampung versus masyarakat yang datang ke Lampung. Cuma, siapa pun harus memperkuat defenisi tentang masyarakat Lampung yang menjadi konvensi nasional, sehingga dikotomi tidak dipakai lagi.
Bila dikotomi tetap jadi panduan, akan membangkitkan dikotomi-dikotomi lain, sehingga nilai-nilai kebersamaan akan terabaikan. Akibatnya, masyarakat sebuah daerah yang memang terdiri dari sekian banyak dikotomi, akan sulit hidup dalam satu lingkungan. Konon lagi mengharapkan mereka hidup dalam ikatan kohesivitas yang kuat, karena mereka lebih banyak diposisikan dalam kedudukan yang selalu bertentangan.
Lebih parah lagi, dikotomi sosial akan memicu dikotomi yang lebih personal. Contoh, jika kita mempertajam perbedaan antara orang yang secara fisik cantik atau ganteng dengan orang yang secara fisik buruk atau jelek, suatu saat mereka yang berada pada posisi didiskriditkan akan marah. Sekalipun fakta yang sesungguhnya tidak menyimpang, tapi mempertajam dikotomi bukan pilihan yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*) Budi Hatees, lahir 3 Juni 1972. Banyak menulis esai di berbagai koran dan majalah. Buku esainya, ‘’Ulat di Kebun Polri’’ (2012), ‘’Teror-Teror Teroris’’ (2013), dan ‘’Srikandi di Meja Hijau’’ (2013)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/kerusuhan-sosial-dalam-sajak.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar