Selasa, 21 Oktober 2014

DZIKIR-DZIKIR CINTA (Potret Romantisme Di Pesantren)

Nita Zakiyah
http://niethazakia.blogspot.com

A. Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang di ungkapkan dengan media bahasa, telah berada di tengah-tengah peradaban manusia dan di terima sebagai suatu realitas sosial budaya sejak ribuan tahun yang lalu. Sepanjang perjalanannya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sastra itu sendiri tidak hanya mengandung nilai-nilai budi, imajinasi, dan emosi tetapi telah di anggap suatu karya kreatif yang hidup dalam suatu masyarakat baik hanya di manfaatkan oleh suatu komunitas tertentu maupun berbagai golongan (masyarakat luas) sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi (Semi, 1990:1)


Dalam perkembangan sastra modern, kritik sastra memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya sebagai usaha menjembatani gagasan yang di sampaikan pengarang lewat teks sastra kepada pembaca, tetapi juga memberi panduan untuk memahami karya sastra(Mahayana, 2005: 219), agar sistem sastra bisa berfungsi sebaik-baiknya.
Dzikir-dzikir cinta -selanjutnya disingkat DDC- merupakan potret romantisme di pesantren, sangat menarik untuk menjadi bahan kritik sastra, karena terdapat keberanian penulis memotret sisi lain pesantren, mengungkap yang tidak terungkap, terselubung dan tabu untuk dibicarakan di lingkungan pembentuk generasi agamis seperti pesantren. Sebuah romantisme, istilah yang erat dengan dominasi rasa, dan berbagai peristiwa di susun secara dramatis, hanya memberi sedikit tempat pada rasio untuk berperan. Akan tetapi Romantisme yang di maksud disini bukan sebuah aliran, namun kisah romantis yang terjadi di kalangan santri, perasaan cinta yang mengharu biru. Meski romantisme sangat di tonjolkan, namun sarat dengan pesan-pesan moral, disampaikan dengan beragam cara yang mudah di tangkap oleh pembaca. Walau pada akhirnya penelaah menggunakan salah satu aliran sastra ini sebagai pisau analisis.

I. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga yang menjadi rujukan nilai dan etika, sejak awal kelahirannya menyimpan misi dari para ulama terdahulu yang di antaranya mentransmisikan islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang di tulis berabad-abad yang lalu (Bruinessen: 1995: 17). Ilmu yang bersumber dari kitab klasik, dianggap sesuatu yang statis, tidak dapat di sentuh, kalaupun itu terjadi, hanya untuk diperjelas dan dirumuskan kembali dengan kandungan yang tidak berbeda. Demikian salah satu contoh kekakuan tradisi yang menyelimuti dunia pesantren. Meski di era kini, terdapat dua jenis pesantren baik salafiyah yang bercorak tradisional baik dari sisi kitab yang di pelajari hingga system belajar mengajar santri, dan khalafiyah yang menggunakan corak modern pada sisi-sisinya termasuk pada kitab yang di pelajari dan berbagai sistemnya.

Berkaitan dengan novel yang akan di telaah (DDC), mengekspresikan realitas pesantren salafiyah yang kental dengan tradisi, selain itu, yang mendominasi dari DDC, yaitu ungkapan sisi lainnya, romantisme di dunia pesantren yang tidak jarang melanda antara sesama santri, terutama bila letak pesantren putra berdekatan dengan pondok putri. Fenomena tersebut bukan hanya isapan jempol saja, akan tetapi realitas yang tidak jarang terjadi di pesantren. Salah satu penyebabnya adalah peraturan yang di buat dengan rapat, justru kerap membuat santri mencari celah. Larangan yang terlalu ketat, pada akhirnya justru menghilangkan ketakdziman terhadap larangan itu sendiri. Karena pada hakikatnya manusia itu makhluk yang “merdeka”.

II. Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, DDC menggambarkan sisi lain dari pesantren, “interaksi-eksotis” yang tabu untuk di ungkap khususnya.

Meski karya sastra merupakan gambaran dari pengalaman pribadi ataupun suatu masyarakat, tak akan sama persis dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya karena sebuah dunia dalam suatu cerita itu sudah mengalami beberapa fase yang meliputi beberapa proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan. Kemudian baru dituangkan dalam susunan-susunan kata yang di bumbui dengan imajinasi (Mahayana, 2005: 336). Akan tetapi, kejujuran penulis dalam menuangkan peristiwa tidak dapat di nafikan begitu saja.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Apakah telah terjadi kelonggaran tradisi, dan pesantren merupakan salah satu tempat yang tidak terlewatkan oleh budaya barat, sebagaimana yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya? serta sejauh manakah, novel ini mencerminkan kehidupan pesantren, khususnya fenomena romantisme di dalamnya?. Persoalan yang akan coba di jawab dengan pijakan berbagai sumber. Meski karena beberapa faktor alasan, penalaah di sini tidak merincinya secara detail.

B. Landasan Teori.
Sebagaimana dalam sejarah kritik dan teori sastra, terdapat salah satu pendekatan sosiologi untuk memahami karya sastra. Karya sastra disini dipahami sebagai karya yang tidak hadir begitu saja sehingga menafikan latar belakang sastra itu sendiri, akan tetapi adanya keterkaitan dengan semesta dimana karya itu lahir, ia berupa potret kehidupan sang sastrawan itu secara khusus, maupun masyarakat secara umum, serta merupakan hasil hubungan diakletis antara sastrawan dan realitas objektif, seperti kondisi sosial, budaya, dan politik yang berada di sekitarnya.(islam, Telaah sosiologi sastra: 1). Kendati demikian, sastra menurut Endraswara tetap di akui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (kamil , Tulisan&Himpunan makalah bahan kuliah: 78) yang dapat dinikmati oleh pembaca, di fahami dan di manfaatkan (Sapardi, 2002: Makalah Bahan Kuliah).
Selain melalui landasan sosiologi, kritik sastra ini juga menggunakan pendekatan melalui aliran romantisme. Sebuah aliran yang beraktualisasi pada pengungkapan rasa, dimana realitas kehidupan dilukis dalam bentuk yang indah dan halus, serta setiap konflik baik bahagia maupun sebaliknya, disusun secara detail dan dramatis, dengan tujuan utama, menyentuh dan mengguncang emosi pembaca (Kamil: Tulisan& Himpunan makalah bahan kuliah: 33).

Pada zaman romantik, karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnya atau sebagai hasil imajinasi pengarangnya yang mengurai pandangan, pemikiran, dan perasaannya(Yapi Taum, 1997: 25), kemudian karya tersebut lahir dari jiwa yang jernih dan rasa yang tajam.

C. Sejarah Hidup Pengarang
Anam Khoirul Anam, lahir di Ngawi, 26 juni 1982. Tumbuh dan besar di sebuah kampung daerah pegunungan. Ketika kecil pernah bercita-cita menjadi ABRI, namun sekedar cita-cita anak kecil yang kemudian terkubur dengan iringan waktu. Ia seorang yang familiar, menjadikannya sangat lentur; cakap dan mudah bergaul dengan siapa saja.

Penulis novel best seller ini banyak menimba ilmu di pesantren tradisional (salafy) sejak jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah), dan menempuh studi di MAN 2 Madiun angkatan 1999. Kemudian melanjutkan program studi di fakultas Tarbiyah (D2) UII Madiun, setelah tamat, di tahun 2003 ia meneruskan studi S1-nya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fakultas Adab, jurusan bahasa dan sastra Arab hingga sekarang. Sejak berstatus sebagai mahasiswa UIN ia tinggal di salah satu pondok pesantren salafy di yogya. Hingga lahirlah karya ini sebagai cerminan hidupnya di pesantren.

Di samping itu ia aktif di Lembaga “KUTUB”. DDC merupakan karya perdananya yang berbentuk novel, namun karya-karyanya yang lain telah dipublikasikan antara lain di: Jawa Pos, Seputar Indonesia, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surya, Bulletin Savior dll. Prestasi yang pernah di raihnya yaitu pernah menjadi juara III dalam lomba puisi se-UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2005)

D. Ringkasan Cerita (sinopsys)
Sebelum menceritakan ringkasan cerita, karena substansi dari novel ini begitu kompleks, maka hanya di batasi pada peristiwa yang berkisar pada kisah romantisme di dunia pesantren.

Adapun tokoh pada novel ini menampilkan kiayi Mahfudz, pengasuh pondok pesantren yang merupakan salah satu latar terjadinya peristiwa, serta putrinya Fatimah. Dan Kiayi Muhsin, sosok kiayi Muhsin tidak hadir secara langsung dan berperan dalam novel ini, akan tetapi hadir sebagai sosok sahabat kiayi Mahfudz ketika sama-sama masih berstatus sebagai santri, di sini kiayi Mahfudz sebagai pencerita kisah perjuangan cinta sahabatnya yang mencintai putri kiayi, Aisyah, dan tidak mendapatkan restu dari sang kiayi- ayah, sekaligus guru pesantren. Oleh karena itu hukuman demi hukuman ia jalani di sebabkan cinta terlarang yang di jalani. Kisah pilu dua sejoli yang teringkari oleh etika, terberangus hingga mereka tak berdaya. Cinta yang terbungkus norma, religi dan karisma dalam penjara suci. Dan puncak dari hukuman yang diterimanya serta membuat kiayi naik pitam ia harus mengasingkan diri di bukit selama 40 hari, dan setiap harinya harus membaca surat At-taubah, ketika di sebuah gudang nan sepi, kiayi menemukan dirinya dan Aisyah sedang asyik masyuk berdua dalam keadaan bibir yang beradu, desah-desah peluh bercampur nafsu, bermandian, berkejaran dalam aliran darah, serta mengalir dalam luapan rasa yang menggelora. Sedangkan Aisyah diberi hukuman dengan dipingit didalam rumah, Setelah selesi dari masa ta’dzir, Muhsin muda mencoba melamar Aisyah namun ditolak kecuali bila ia mampu memenuhi syarat untuk menguasai berbagai ilmu agama, hingga melebihi kiayinya, sejak itu ia angkat kaki dari pondok dan “melahap” berbagai ilmu, lantas dengan kehendak Nya, cinta mereka dapat bersatu karena Muhsin kembali dan membuktikan kesungguhan cintanya. Kekuatan cinta yang dilandasi dengan ketulusan karena Allah semata.

Juga menghadirkan sosok Rusli, ‘mantan’ santri kiayi muhsin yang kemudian pindah ke pondok kiayi mahfudz atas arahan kiayi muhsin, dan Nikmah santriwati dari Gus Mu’ali, lokasi pondoknya tidak jauh dengan pondok kiayi Mahfudz. Rusli dan Nikmah mengalami kisah cinta yang tidak kalah tragis. Berpisah karena Rusli yang menjadi abdi ndalem, di minta untuk menikahi putrinya Fatimah yang secara diam-diam menyimpan hati padanya. Ia tak dapat menolaknya, dengan membawa hutang budi pada sang kiayi di sertai rasa hormat yang tinggi serta adanya unsur pengaruh dari kondisi sosial adat istiadat yang berlaku di pesantren, pada kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa, walau hanya untuk memperjuangkan cintanya, yang mampu ia lakukan hanya menyimpan cintanya pada Sukma dalam peti emas dan menikah dengan putri kiayi. Ia telah menikah namun tak mampu menepis cinta pada Sukma meski yang di sampingnya adalah Fatimah. Dan karena ketulusan cintanya, ia dapat menikah dengan Sukma setelah Fatimah meninggal setelah melahirkan anak pertama Rusli. Lantas setelah rentang waktu yang tidak terlalu panjang Rusli meninggal dalam kecelakaan motor ketika ingin mengisi pengajian, sedangkan Sukma pasca di tinggalkan oleh suaminya ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal bersama bayi yang ada dalam rahimnya. Pada ending kisah ini di ceritakan bahwa mereka bertiga (Rusli, Fatimah dan Sukma) hidup bahagia di alam lain.

Dan berbagai kisah aneh santri yang nyeleneh, baik santri yang berhubungan dengan sesama (homoseks dan lesbi). Maupun bagi santri yang memiliki ilmu hikmah yang supranatural, di dalam novel salah satunya dengan nama ilmu ngerogoh sukma[1].

E. Analisis
Pada kesempatan kali ini, analisis di sandarkan pada pendapat Laurenson dan Swingewood bahwa penelitian ini mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Berpijak pada teori, penulis novel memang berdomisili di lingkungan pesantren, sebagaimana karya sastra yang tercipta, berlatar pesantren. Bahkan secara terus terang penulis mengatakan bahwa karya yang ada di tangan penelaah kini(DDC) merupakan sebagian dari kisah hidupnya. Keberanian untuk mengungkap sisi lain pesantren. Tentunya tanpa menafikan peran pesantren dalam pembentuk moral bangsa.

Di samping itu sastra sebagai cermin masyarakat, digunakan untuk melihat refleksi masyarakat di dalamnya. Kisah yang ada dalam novel ini juga merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari santri dan merupakan kritik tajam yang seakan-akan meletakkan posisi santri sebagai manusia biasa yang tidak di dalam jiwanya terdapat gejolak darah muda, ingin mencintai dan di cintai. Di titik ini terdapat permainan romantisme yang meliputi eksploitasi rasa ( ??????? ), luapan rasa cinta yang di iringi dengan kebahagiaan dan kesedihan. Tergambar pada ungkapan “ entah mengapa sehari tanpa bias bayangmu, hari-hariku makin sunyi. Mati. Tak ada energi yang mampu mendorongku untuk mengejar hari. Aku makin lemah tanpa hadirmu. Jiwa ini makin meronta ketika sejengkal jarak mencoba pisahkan rasa kita”. Juga pada “ ada denyar-denyar bahagia menusuk relung-relung hatinya, beriring letupan senyum antar keduanya. Letupan-letupan rasa malu yang tak terkira. Keakraban dua insane yang telah di mabuk cinta itu mulai tersulut. Rembulan yang redup di angkasa biru seperti malu-malu menampakkan wajahnya. Biru, sebiru cinta dalam hati mereka yang tengah di mabuk asmara”. Kisah bahagia dan derita yang di susun dengan dramatis, di uraikan secara tuntas dan sempurna. Juga khayal (??????)atau imajinasi dari penulis, merupakan kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indera atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan(Sudjiman, 1990: 36). Karya yang terpancar dari alam ide sang kreator, terletak pada ilmu hikmah supranatural ngerogoh sukmo, ngerogoh sukmo dalam kisah ini hanya berupa fiksi, namun ilmu-ilmu hikmah di dunia pesantren yang semacam itu, meski tidak semua orang tahu, jumlahnya sangat banyak, dan tidak sedikit santri yang “ngamal” ilmu hikmah dengan tujuan yang beragam.

Kembali pada tataran sosiologi sastra, karya yang berkisar kehidupan pesantren ini lahir pada september 2006, mengenai tahun lahirnya karya ini juga merupakan cermin dari sebuah zaman, bahwa pada tahun tersebut globalisasi yang melanda negeri ini juga berimbas pada kehidupan di pesantren, walau masih banyak nilai-nilai yang sama sekali tidak bergeser pada tempatnya, tapi santri sebagai anak zaman tentu saja tidak akan sama dalam hal pemikiran dengan santri generasi lalu, karena hidup di zaman yang berbeda. Contoh kecilnya, dewasa ini banyak santri yang suka mendengarkan musik masa kini, baik beraliran pop, jazz, dangdut, bahkan rock. Bukan hanya mendendangkan gambus, shalawat nabi dan berbagai jenis aliran musik islami lainnya. Dari sini dapat dilihat modernisasi juga menjalar pada kehidupan pesantren meski tidak “sebulat” pada generasi muda non pesantren yang kehidupannya riilnya sudah di warnai dengan beragam imbas dari globalisasi seperti gaya hidup sangat pragmatis, cair, hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Meski pengertian ini terlepas dari generasi-generasi muda yang hingga saat ini tetap mempersiapkan dirinya membangun negeri.

Berbeda bila DDC lahir sebelum tahun 1980, hal yang tidak mungkin terjadi. Kajian tentang pesantren berkisar sebelum tahun 1980-an masih menjadi hal langka sehingga keberadaannya masih sedemikian asing bagi perbincangan sehari-hari. Konsekuensi logisnya saat kajian tentang pesantren menjadi hal langka yang berakibat kurang dikenalnya pesantren di ranah masyarakat luas, bagaimana jadinya bila isu yang lahir langsung berupa isu negatif. Kemungkinan terbesarnya, pesantren akan mendapat cibiran masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang belum mengenal “sisi dalam” pesantren dan peran sertanya di kancah perjuangan mempertahankan Negara kita tercinta.

Karya DDC mencerminkan kisah romantisme di pesantren, sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, dari mulai hubungan emosional rasa antar santriwan dan santriwati yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebuah kontras memang. Di dalam pondok pesantren memandang lawan jenis itu dilarang, apalagi mencintai. Haram adalah bahasa orang pesantren. Zina. Dilarang mencintai santriwati, meski boleh menyayangi. Hubungan cinta hanya dikenal dalam ikatan pernikahan. Begitulah slogan yang di gembar gemborkan dalam dunia pesantren. Namun pada hakekatnya, ada pergolakan batin disana. Ada usaha memunafiki kejujuran hati yang hakiki di dalam pengkhianatan terhadap cinta.

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa dalam karya ini mengungkap sisi lain pesantren berdasarkan keberanian dan kejujuran penulisnya, kisah-kisah tersebut memang fenomena yang kerap terjadi pesantren. Namun pada hakikatnya dunia sastra adalah dunia imajinatif, fakta dalam karya sastra pada hakikatnya fiksionalitas. Ia merupakan hasil pencampuran antara pengalaman, imajinasi, kecendekiaan dan wawasan pengarang. Dan pengalaman yang diperoleh pengaranga/penulis karya sastra telah mengalami beberapa proses, meliputi perenungan, penghayatan, lalu di evaluasi. Lantas dengan kemampuan imajinasi dan keluasan wawasan pengetahuannya, pengarang mengungkapkan kembali dengan bahasa sebagai media. Jadi, sejauh manapun karya sastra sebagai cermin memantulkan bias, cerita dalam karya tersebut hanya menjadi sebuah dunia rekaan. Kesimpulannya meski terdapat sisi-sisi nyata dari DDC, kisah nyata yang di alami lalu di ungkapkan kembali oleh pengarang, namun hanya merupakan sebuah cerita yang sudah melalui beberapa proses yang telah di sebutkan tadi, dan proses akhirnya melahirkan dunia rekaan pengarang semata.

Adapun di sebabkan ruang lingkup santri yang semuanya laki-laki maupun sebaliknya. Banyak terjadi hal yang tidak di inginkan, hubungan antar sesama yang seharusnya tidak pernah boleh terjadi. Kisah ini juga beriringan dengan fakta di lingkungan pesantren. Banyak kasus serupa terjadi, hanya saja bagi putri kiayi yang mencintai khadam/abdi ndalem ayahnya itu jarang sekali terjadi di dunia nyata. Meski tidak menutup kemungkinan bila hal itu terjadi.

F. Penutup
Demikianlah serangkaian kritik dan analisis sebuah karya sastra melalui pendekatan sosiologi dan di lengkapi dengan aliran romantis. Sangat di sadari masih terdapat banyak kesalahan maupun ketidaksesuaian, untuk itu berbagai saran serta kritik yang membangun akan di terima dengan sambutan hangat dan tangan terbuka.
Tak ada asa yang lebih tinggi, hanya berharap semoga karya ini dapat bermanfaat untuk penganalisa sebagai pelajar dan pemula khususnya, dan bagi pembaca umumnya.

Kepada bapak dosen dan untuk semua oknum yang telah membantu hingga tugas ini selesai, saya haturkan beribu terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga.

G. Daftar Pustaka
Anam, Anam Khoirul, Dzikir-dzikir Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. Ke-10.
Semi, M. Atar, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993, cet. Ke-1.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
Mahayana, Maman S., Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening, 2005, cet. Ke-1.
Kamil, Sukron, Tulisan Dan Himpunan Kritik Sastra Arab, Teori Klasik Dan Modern, Jakarta: Fakultas Adab Dan Humaniora, 2004.
Damono, Sapardi Djoko, Klasifikasi Dan Bagan Sosiologi Sastra, Makalah Bahan Kuliah, 2002.
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.
Yapi Taum, Yoseph, Pengantar Teori Sastra, Flores: Nusa Indah, 1997, cet. Ke-1.
__________________________
[1] Ilmu dengan keluarnya ruh dari jasad, sehingga bisa menemui orang yang di inginkan tanpa sepengetahuan siapapun(biasanya pada malam hari). Dengan demikian orang yang “ngilmu” bisa berbuat apa saja terhadap korbannya termasuk berbuat mesum. Sedangkan orang yang dalam keadaan tidur dan menjadi korban hanya merasa bahwa ia telah mimpi basah.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati