Ribut Wijoto
beritajatim.com 13 Okt 2017
Pada Puisi, Goenawan Mohammad selalu mengusung tema pahit
getir kehidupan manusia. Sebuah ironi, sebuah absurditas, sebuah misteri,
keniscayaan, ambiguitas, orang-orang gagah yang gagal.
Di sini, pada puisi Goenawan Mohamad, bekerja kinerja tafsir. Penyair menafsirkan fakta (kenyataan), menafsirkan kehidupan, menafsirkan perjalanan kisah seseorang.
Di sini, pada puisi Goenawan Mohamad, bekerja kinerja tafsir. Penyair menafsirkan fakta (kenyataan), menafsirkan kehidupan, menafsirkan perjalanan kisah seseorang.
Untuk lebih mempertajam kisah, puisi Gonawan kerap kali mengutip langsung pernyataan atau pembicaraan sang tokoh. Juga kadang mengutip langsung komentar tokoh lain terhadap tokoh yang dikisahkan.
Selain karena ketajaman tafsirnya, secara teknik, puisi Goenawan Mohamad sangat memaksimalkan beragam citraan. Goenawan memberi gambaran terhadap sesuatu yang bersifat abstrak. Sesuatu yang susah diungkap dengan kalimat langsung, oleh Goenawan Mohamad, diberi wujud citraan sehingga mudah dimengerti.
Citraan Goenawan Mohamad juga dimaksudkan untuk merangsang panca indra pembaca. Ketika panca indra telah terangsang, pembaca bakal tergugah untuk memikirkan hal lain. Sebagai contoh, ketika dimunculkan kata 'api', otomatis pembaca bakal memikirkan tentang panas atau tentang pembakaran. Ketika ditulis 'Udin membawa segumpal api dalam langkah-langkahnya', pembaca otomatis membayangkan tokoh Udin yang berjalan dengan pikiran panas (emosi), Udin siap membakar apapun yang ditemuinya.
Di sini, citraan mengarahkan pembaca untuk berasosiasi atau membayangkan sesuatu di luar teks: tafsir. Maka, makna puisi bisa bermacam-macam, tidak tunggal. Beda pembaca bisa menafsirkan berbeda untuk satu puisi yang sama. Salah satunya karena imbas dari citraan.
Meski tumpah ruah citraan, jangan mengira puisi lantas meninggalkan logika. Justru sebaliknya, citraan puisi sangat bersandar pada logika. Sebab pada logikalah bisa didapatkan universalitas (kesepakatan umum). Misalnya semua orang sepakat bahwa 2 kali 2 sama dengan 4. Tetapi, puisi lantas memakai dua logika. Pertama adalah logika umum. Kedua, logika tekstual atau logika dalam teks. Perpaduan dua logika itulah yang membikin puisi sarat makna.
Mari kita mulai perbincangan dengan membaca puisi Goenawan Mohamad berjudul 'Aktor' ini:
Aktor
– untuk Moh. Sunjaya
Aktor terakhir menutup pintu.
“Caesar, aku pulang.”
Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan.
Siapapun pulang. Meski pada jas dengan punggung yang berlobang ia
masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat
kematian.
“Teater,” sutradara selalu bergumam, “hanya kehidupan dua malam.”
“Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.
Ia selalu merasa bisa menjawab.
Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata.
Tapi pada tiap reruntukan panggung
ia lupa kata-kata.
Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik — tiga detik yang yakin:
dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi.
Ia tak menyukai melankoli.
2012
Puisi ini pernah dimuat di harian Kompas, Minggu (25 November 2012). Berkisah tentang pahit getir seorang aktor, Goenawan merujuk pada tokoh Muh Sanjaya, seorang aktor kawak dari Bandung. Muh Sanjaya ini sebenarnya berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memilih hidup berkesenian. Menjadi aktor, sutradara, penyiar, dan lain-lain. Dia menjadi aktor sejak tahun 1955. Bahkan di usia 75 tahun, yaitu tahun 2012, pria lajang ini masih bermain teater dengan menjadi aktor utama lakon 'Nyanyian Angsa'.
GM membuka puisi dengan larik berisi adegan: 'Aktor terakhir menutup pintu'. Langsung disambung dengan kutipan langsung: 'Caesar, aku pulang'.
Pembaca seperti disodori dengan sebuah adegan orang menutup pintu. Lalu ada yang pembicaraan pamit pulang.
Sampai di sini, adegan dihentikan, GM beralih pada penggambaran suasana yang senyap. Ruang kosong, cermin dingin, dan wajah tua yang ditinggalkan. Larik terakhir ini bersifat ambigu, sebab dimulai dengan kata 'seperti'. Dia bisa memberi perumpamaan atasi situasi yang lengang sekaligus penggambaran seorang tokoh yang tua yang sendirian karena ditinggal pulang oleh teman-temannya sesama aktor.
Multi tafsir kembali diulang dalam pembukaan bait kedua: Siapapun pulang. Kata 'siapapun' ini bisa merujuk pada semua orang yang meninggalkan si tokoh tua dalam bait pertama sekaligus bisa merujuk pada kehidupan umum manusia, bahwa setiap orang bakal berpulang, mati.
Dari dua bait itu, lihatlah bagaimana GM mengolah ritme kalimat. Rangkaian kalimat yang membentuk musikal. Kadang kalimat pendek, kadang panjang, kadang diselipi dengan ucapan langsung.
Lihat pula GM memainkan rima. Bunyi sengau (ng) berulang pada 'dan ruang-rias kosong'. Perulangan bunyi 'in' pada 'cermin jadi dingin'. GM tidak secara baku memakai pola pantun, di mana setiap bunyi akhiran selalu sama. Tetapi, dia memakai seperlunya. Yang terpenting, rima tersebut mempertajam imaji puitik.
Di bagian lain, untuk membangun musikal, GM menggunakan repitisi atau perulangan, yaitu 'pada tiap reruntukan panggung' dan 'tiga detik'. Selain efek bunyi, repetisi tentunya bermanfaat untuk mempertajam medan makna.
Salah satu kegemaran lain GM yang tersaji dalam puisi ini adalah pemakaian kosa kata lama. Kosa kata yang sudah sangat jarang dipakai dalam berkomunikasi. Di sini GM memunculkan diksi 'reruntukan'. Kata dasarnya 'reruntuk' lalu ditambahi akhiran -an. Saya cek di kamus, kata tersebut berarti 'barang-barang yang sudah rusak' atau berarti juga 'reruntuhan'.
Begitulah, penyair adalah pemulung kata-kata. Orang yang sangat memiliki perhatian terhadap bahasa, terhadap kata, terhadap ujaran.
Jadi akan lebih baik kalau seorang penyair memiliki KBBI,
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebab kalau mau membaca-baca KBBI, kita menjadi
tersadar bahwa banyak sekali kata yang sebenarnya baku tetapi sudah tidak
pernah dijumpai dalam percakapan di masyarakat maupun di tulisan-tulisan media
massa. Sebaliknya, banyak kata-kata baru di percakapan umum yang belum
tercantum dalam kamus, alias belum baku. Atau, fungsi KBBI adalah, bila
kita benar jadi penyair, puisi kita tidak kalah bagus dari Goenawan Mohamad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar