Kamis, 04 Januari 2018

Jalan Pulang Sapardi

Haris Firdaus
harisfirdaus.id

Sapardi Djoko Damono, dengan topi pet hijau pupus, blazer warna krem, dan celana panjang kelabu, bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah-langkah pelan, nyaris seperti tertatih, ia menuju panggung. Tepuk tangan dalam durasi panjang menggemuruh, mengiringi perjalanan itu.

Semua itu terjadi Jumat malam (25/3), di Teater Salihara, Jakarta, pada acara perayaan 70 tahun Sapardi Djoko Damono. Dalam acara kemarin, Sapardi benar-benar tampil sebagai bintang. Begitu acara resmi selesai, sejumlah penggemarnya langsung mengerubuti Sapardi. Mereka menyodorkan buku-buku Sapardi untuk ditandatangani, kadang-kadang minta foto bersama juga. Sapardi dengan sabar melayani mereka, meski kadang sikapnya kikuk—mungkin ini karena kebanyakan penggemarnya adalah anak-anak muda dan modis.

Saat membuntuti Sapardi di tempat coffe break, saya melihat seorang remaja cowok berpakaian modis menyodorkan setumpuk buku puisi untuk ditandatangani. Sapardi menuruti permintaan itu, dengan sabar membuka satu demi satu buku-buku tersebut lalu menggoreskan tanda tangan, sembari berbincang ringan dengan sang penggemar. Setelah semua itu usai, keduanya berfoto bersama. Sang penggemar tampak senang, cukup lama ia tertawa-tawa pada seorang temannya.

Antuasiasme pengunjung, juga tepuk tangan panjang yang menggema sepanjang acara, menunjukkan bahwa Sapardi adalah penyair yang bukan hanya dihormati di “kalangan sastra” saja tapi juga dikenal baik oleh orang-orang awam. Puisi-puisinya tak hanya dibicarakan secara antusias oleh para pengamat sastra dan ditiru oleh para penyair yang lebih kemudian, tapi juga digubah menjadi lagu, dikutip dalam sinetron, bahkan pernah dicantumkan dalam undangan pernikahan.

Sapardi, tidak bisa tidak, adalah salah satu penyair terpenting yang pernah dimiliki Indonesia. Sejak menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, DukaMu Abadi, pada 1969, penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940, itu langsung ditahbiskan sebagai salah satu pembaharu puisi Indonesia. Sumbangan terpentingnya kala itu adalah menawarkan semacam alternatif atas puisi-puisi pamflet yang mendominasi Indonesia sejak 1960-an.

Pada waktu yang lebih kemudian, puisi-puisi Sapardi juga akan dianggap sebagai alternatif atas puisi-puisi gelap yang kemunculan awalnya di dekade 1950-an dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Pengamat sastra Nirwan Dewanto menganggap, puisi Sapardi adalah titik tengah yang berada di antara dua kutub ekstrem: puisi amanat-pamflet yang mengkhotbahi pembaca dan puisi eksperimental yang gelap dan tak memedulikan pembaca. Penyair Hasan Aspahani, dalam sebuah esai panjang soal Sapardi, menganggap Sapardi adalah penyair yang konsisten untuk tak terjebak menjadi “nabi” atau “anak-anak”.

Pada hakikatnya, apa yang dimaksudkan Nirwan dan Hasan serupa: “nabi” yang dikatakan Hasan adalah representasi para penyair yang menulis puisi amanat, sementara “anak-anak” merupakan simbol atas sosok penyair yang secara sengaja tak memedulikan komunikasi dalam puisi. Pernyataan bahwa puisi-puisi Sapardi berada di “titik tengah” tentu saja benar dan penting, tapi mengatakan itu saja untuk puisi Sapardi jelas-jelas tidak cukup.

Sebab, jumlah puisinya sungguh banyak dan tiap puisi sesungguhnya mengandung kompleksitas masing-masing. Sejak 1969, Sapardi telah menerbitkan sepuluh kumpulan puisi, beserta sejumlah kumpulan cerpen, kumpulan esai, dan buku terjemahan. Prosesnya menulis puisi dimulai jauh sebelum DukaMu Abadi terbit—sajak pertama Sapardi dimuat di ruang kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada 1957, saat ia 17 tahun dan duduk di bangku SMA.
***

Pada 2002, saat memberi pengantar untuk kumpulan puisinya yang berjudul Ada berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Sapardi menulis: “Tiba-tiba saja malam ini saya merasa buku kumpulan sajak ini, yang semuanya ditulis tahun 2001, adalah yang terakhir”. Kenyataannya, kumpulan itu bukanlah yang terakhir karena tahun lalu Sapardi menerbitkan buku sajak yang berjudul Kolam.
Para pembaca puisi Indonesia yang haus akan pembaharuan mungkin bertanya: untuk apa Sapardi, dalam usia yang nyaris 70 tahun, kembali menerbitkan buku sajak? Apakah ada sesuatu yang “baru” yang hendak ia sampaikan melalui Kolam?

Mereka yang mengharapkan sesuatu yang “baru” dalam Kolam pastilah kecewa. Kenyataannya, Kolam menjadi semacam alat bagi Sapardi untuk menegaskan pilihan estetiknya dalam bersajak. Kolam adalah “jalan pulang” Sapardi kepada arus dominan sajak-sajaknya.

Kenapa “jalan pulang”? Sebab, dalam kumpulan puisi yang terbit 9 tahun sebelum Kolam, yakni Ayat-ayat Api, Sapardi seperti mengambil kelokan dari jalan estetik yang sudah ia tempuh sebelumnya. Jika sebelumnya Sapardi dikenal sebagai penyair yang jarang bicara secara cukup vulgar tentang tema-tema sosial, dalam kumpulan itu, tema berbau sosial muncul dalam sejumlah sajak.

Sejak melihat cover Ayat-ayat Api, kita sudah tahu ada sesuatu yang berbeda dalam kumpulan tersebut. Berlainan dengan cover-cover kumpulan sajak Sapardi sebelumnya, juga berbeda dengan sampul buku puisi pada umumnya, Ayat-ayat Apimemajang gambar bentrokan antara mahasiswa dengan pasukan keamanan di bagian depan, sementara di bagian belakang tampak suasana kerusuhan yang mengingatkan orang pada peristiwa Mei 1998.

Salah satu puisi yang mungkin bisa mewakili tema sosial dalam kumpulan ini adalah yang berjudul “Dongeng Marsinah”. Ini sajak yang bercerita, tentu saja, tentang Marsinah, aktrivis buruh asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang meninggal karena penganiayaan berat. Sapardi mengisahkan bagaimana Marsinah ditangkap, dengan bahasa yang tak subtil sama sekali:

Di hari baik bulan baik,/ Marsinah dijemput di rumah tumpangan/ untuk suatu perhelatan./ Ia diantar ke rumah Siapa,/ ia disekap di ruang pengap,/ ia diikat ke kursi/…// Ia tidak diberi air,/ ia tidak diberi nasi;/…/ Dalam perhelatan itu,/ kepalanya ditetak,/…/ dan tubuhnya dibirulebamkan/ dengan besi batangan.//…

Dalam ukuran Sapardi, ini sajak yang keras. Kata-kata “ditetak” atau “dibirulebamkan” termasuk kata-kata yang jarang digunakan Sapardi dalam puisi-puisinya yang biasanya penuh dengan hujan atau burung. Selain itu, narasi yang timbul dalam “Dongeng Marsinah” hampir semuanya komplet, tidak rumpang sebagaimana sajak-sajak naratif Sapardi.

Dalam sajak “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”, Sapardi kembali berkisah dengan kalimat-kalimat jelas, minim metafor, dan secara tegas menunjukkan simpati sosialnya. Aku-lirik dalam sajak itu dikisahkan sangat terlibat dengan peristiwa kematian seorang mahasiswa yang bahkan tidak dikenalnya. Membaca sajak ini jelas terasa bahwa Sapardi terasa sangat dekat dengan persoalan yang kemudian ia gubah menjadi sajak. Ia hampir-hampir tidak berjarak lagi.

Kedekatan dengan objek sajak itu sebenarnya merupakan sesuatu yang janggal jika kita mengamati perjalanan estetik Sapardi. Sebab, seperti yang pernah ia sampaikan dalam beberapa kesempatan, Sapardi adalah penyair yang sebisa mungkin menjaga jarak dengan persoalan yang akan ia gubah menjadi sajak. Ia melepaskan keterlibatan emosional diri biografisnya dengan objek sajaknya agar emosi yang muncul dalam puisi-puisinya tidak tumpah ruah. Dalam sajak Sapardi, aku-lirik bukanlah diri biografisnya. Aku-lirik itu bisa siapa saja atau bahkan apa saja.

Maka, berbeda dengan Chairil Anwar yang sajak-sajaknya sangat sering dinisbatkan pada pengalaman pribadinya, sajak-sajak Sapardi hampir sepenuhnya steril dari ruang biografisnya. Jika memang harus ada aku-lirik dalam sajak Sapardi, maka ia biasanya hadir secara samar-samar dan tidak dominan karena kehadirannya kemudian ditimbuni dengan serangkaian citraan benda-benda yang datang dalam konvensi lirik atau naratif. Kadang-kadang, aku-lirik bahkan sepenuhnya hilang, digantikan benda-benda, hewan, atau tumbuhan.

Semacam itulah yang akan kita temui kembali dalam Kolam—setelah sebelumnya juga kita temui dalam DukaMu AbadiMata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), dan beberapa buku puisi Sapardi yang lain. Sajak pertama dalam Kolam, juga barangkali salah satu sajak yang paling kuat dalam kumpulan itu, yakni “Bayangkan Seandainya”, menerapkan hampir semua “rumus baku” Sapardi. Sajak itu liris dan menghadirkan sosok manusia bersama benda-benda, hewan, dan tumbuhan. Mereka bukan hanya hadir secara bersama-sama, tapi juga berhubungan secara dekat dan bahkan saling menggantikan. Petikan sajak itu antara lain:

Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/ berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;// bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu/ menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari/ bulu-bulunya;//…

Menyimak “Bayangkan Seandainya”, kita hanya akan menemui citraan yang sambung-menyambung, satu citraan yang lebih kemudian merupakan pengembangan dari sebelumnya. Seperti sajak-sajak Sapardi yang dulu, sajak ini mengosongkan diri dari amanat, tidak emosional, dan kita sebagai pembaca tak bisa mengharapkan “makna” dalam pengertian konvensional. Yang bisa kita lakukan adalah menenggelamkan diri ke dalam citraan-citraan Sapardi yang lembut, atau menghanyutkan diri kita ke arus bunyi yang timbul saat kita membacanya. Dengan melakukan itu, rasanya sudah cukup untuk mengerti keindahan sajak itu.

Pada sejumlah sajak lain di dalam Kolam semisal, “Secangkir Kopi”, “Pohon Rambat”, dan “Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini”, motif yang serupa—menjejerkan benda-benda, hewan, dan tumbuhan dengan manusia—masih juga kita temui. Hanya, dalam ketiga sajak itu, mereka tidak saja dekat tapi juga “berinteraksi” dengan manusia. Lucunya, kadang-kadang kita tahu bahwa mereka berinteraksi dengan sosok manusia yang hadir dalam sajak justru karena Sapardi menulis mereka tidak melakukan “interaksi”, seperti yang terbaca dalam “Secangkir Kopi”:

Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu/ kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa/ membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup/ ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak/ bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di/ atas meja setiap pagi.//

“Secangkir Kopi” mungkin sajak yang bagus untuk melihat persambungan sekaligus sedikit perbedaan estetika sajak-sajak dalam Kolam dengan puisi Sapardi yang dominan. Sebab, selain persambungan yang sudah dibahas di atas, “Secangkir Kopi” mengandung sedikit kelainan, yakni hadirnya simbol-simbol kehidupan urban melalui kata-kata seperti “asap”, “kerja”, dan “kota”. Simbol kehidupan urban semacam itu, juga muncul kembali dalam beberapa puisi, misalnya “Kota Kami”, “Sonet 11”, “Asap Pabrik”, dan “Taman Kota”.

Meski terasa sedikit nuansa baru, Kolam tetaplah “jalan pulang” Sapardi. Dalam sebuah perbincangan singkat dengan saya di sela-sela acara perayaan 70 tahunnya, Sapardi mengaku tak berniat menyampaikan sesuatu yang spesial melalui Kolam. “Nggak, nggak ada. Proses menulis saya sama dengan kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya,” katanya.

Barangkali, kita memang harus menerima Kolam tanpa pretensi mencari pembaharuan. Toh, sejak lama Sapardi sudah membuktikan bahwa ia seorang pembaharu, dan kini, di usianya yang senja, kita mungkin hanya harus mencintai puisi-puisinya dengan sederhana.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati