Anita Dhewy
Jurnalperempuan.org
Minggu (16/08) bertempat di Galeri Cemara 6, Jakarta,
penyair Eka Budianta meluncurkan kumpulan puisinya yang berjudul Cincin untuk Langit. Kumpulan
puisi yang dimaksudkan sebagai persembahan pribadi untuk ikut merayakan 70
tahun terbangunnya Republik Indonesia ini banyak bertutur tentang desa
kelahirannya, Ngimbang, yang terletak di Lamongan, Jawa Timur.
Eka Budianta
yang juga merupakan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sejak tahun 2013 ini
mengawali acara dengan menuturkan perjalanan dan pengalaman hidupnya yang
menandai fase-fase penting dalam hidupnya lewat foto-foto yang ditampilkan
melalui slide show.
Eka mengungkapkan bahwa kritikus sastra Indonesia HB Jassin mempunyai peran
besar dalam proses penulisannya. Menurutnya HB Jassin meletakkan dasar-dasar
penulisan yang baik. Eka juga menuturkan bahwa Chairil Anwar telah
menginspirasi dirinya dan membuatnya menjadi seorang penyair.Dalam acara yang dihadiri sejumlah sahabat dan kerabat tersebut penyair Jose Rizal Manua membacakan puisi Eka yang berjudul “Listrik dan Jalan Ibu”. Pembacaan puisi kemudian dilanjutkan dengan paparan Romo Mudji Sutrisno tentang Cincin untuk Langit yang berisi 45 puisi. Mudji memaparkan bahwasanya Ngimbang yang banyak disebut dalam sejumlah puisi di buku ini adalah cara pandang dan cara merasa. Selain itu kata pasar yang merupakan kata kunci kedua menurut Mudji merupakan tempat kehidupan yang memanggil kita semua, pasar adalah juga tempat untuk mengawal budaya, maka kita dapat menemukan sejumlah nama pasar disebut dalam buku tersebut. Bagi Mudji penyair adalah orang yang dengan kemampuan khusus hidup dalam kata. Dan hidup dalam kata tentunya adalah hidup dalam makna kehidupan itu sendiri.
Paparan dari Mudji Sutrisno dilanjutkan dengan penampilan Ananda Sukarlan yang diminta secara langsung saat acara untuk menunjukkan kepiawaiannya memainkan piano karena kebetulan di ruangan tersebut terdapat piano. Ananda mengungkapkan ada sekitar 14 puisi Eka yang telah ia buat menjadi musik. Diakuinya puisi Eka telah menginspirasinya dalam menciptakan tembang puitik. Dalam kesempatan tersebut Ananda memainkan Rapsodia Nusantara No.8 dan berhasil memukau hadirin. Penampilan Ananda dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh sejumlah perempuan. Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR yang juga penyair membacakan puisi Eka yang berjudul “Memikirkan Ngimbang”, berikut petikannya: Marsman yang baik/Inilah Ngimbang, desaku untuk seluruh bumi/Desa tua yang membawa pesan Raja Airlangga, dengan bermacam-macam prasasti dari sebelas abad yang silam/inilah ngimbang, kampung halaman kita semua. Sementara Dhenok Kristianti membacakan dua puisi yakni “Cangkir Pecah” dan “Mencuri Senja”.
Puisi yang terakhir tersebut menurut Dhenok agak romantis
sehingga dia tertarik untuk membacakannya: Bayangkan, langit membisu/tidak
mau tahu ada matahari yang dari pagi sampai sore berjuang membuatnya
bahagia/Tapi sinarnya tidak cukup untuk menerangi cincin di salah satu
jarinya/Mungkin langit tak punya jari. Penyair dari Bali Ni Putu Putri
Suastini membacakan puisi Eka yang berjudul “Untuk Ibunda” yang berkisah
tentang Pangeran Diponegoro: Mengapa pulau yang terindah di
bumi ini jadi bersimbah darah, Ibu?/Untuk jubah berlumur darah itukah Ibu
melahirkan aku di sini?/ Bagaimana jawab kita ibu, kalau ada yang bertanya/
“Apa manfaat Perang Diponegoro?”/ “Mengapa harus ada perang Jawa?” Pembacaan
puisi ini diselingi lantunan mantra hingga menghasilkan pembacaan yang sangat
memikat. Peluncuran buku di sore hari itu ditutup dengan ramah tamah dan foto
bersama serta penandatanganan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar