Buku:
Edisi
Revolusi dalam Kritik Sastra
MEMBONGKAR
MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Buku
Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusasteraan Indonesia
Penulis:
Nurel
Javissyarqi
Penerbit:
PuJa
(Pustaka puJAngga), Lamongan
Arti
Bumi Intaran, Yogyakarta @2018
ISBN: 9786027731905
1
. Tentang Saya Sebagai Pembaca
Sebelum
menuliskan catatan tentang buku: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (Selanjutnya:
MMKI), maka saya merasa perlu untuk menempatkan diri saya ditempat mana saya
berada dalam konteks sebagai pembaca. Pertama, saya adalah orang yang gemar
membaca, artinya gemar mendapatkan sesuatu berupa pengertian-pengertian baru,
hiburan, dan sensasi-sensasi lain dari hasil pembacaan teks. Dari alasan yang
pertama ini terkandung cerita mengenai bagaimana saya mendapatkan buku MMKI.
Ketika saya melihat paparan cover buku ini di Facebook (FB) sebenarnya saya
sudah tertarik ingin membacanya, tetapi untuk pengadaan buku itu sudah terlambat,
karena anggaran pembelian buku saya setiap bulan sudah meluncur ke tempat lain.
Untunglah promotor buku ini berbaik hati untuk mencatat saya dalam daftar pre-order,
hingga beberapa hari kemudian saya bisa menerima kiriman bukunya, dan
kemudian berkesempatan membacanya. Alasan yang kedua adalah: Sebagai salah satu
pembaca tentu saja saya tidak mewakili pembaca yang lain. Sebagaimana alasan
pertama yang saya sebutkan tadi, membaca saya ibaratkan mirip dengan menonton
suatu pertunjukan, entah itu pertunjukan wayang kulit, orkes dangdut, konser
musik atau bioskop. Buku adalah tiket masuk, isi buku adalah tarian penulisnya
dan saya menonton di situ. Sebagai penonton tentu saya berhak tertawa,
tepuk-tangan bersorak, diam maupun berteriak1. Sama-sama menonton, posisi saya
tentu berbeda dengan dewan juri yang berhak memberi nilai sesuai dengan
kriteria-kriteria tertentu untuk sebuah ajang pertunjukan kontes menyanyi
misalnya. Tetapi saya masih berhak memilih juara favorit yang dipilih oleh para
penonton. Disini saya mengupayakan sebagai penonton yang dengan serius dan
takzim menonton dan menikmati pertunjukan selesai. Bayangkan sesudah
pertunjukan, saya diwawancarai oleh seseorang dengan pertanyaan: “Bagaimana
menurut anda pertunjukan tadi?” Jawaban yang saya berikan tentu saja tidak
seluruhnya obyektif meskipun saya berusaha keras. Selalu saja ada unsur
subyektivitas itu pasti2. Apalagi MMKI bukanlah buku biasa sebagaimana mengutip
Tengsoe Tjahjono: Dalam buku ini Nurel dirangsang oleh tafsir Ignas Kleden atas
puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai tafsir sangat mungkin subjektivitas
Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah yang mendorong subjektivitas Nurel
membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Buku ini merupakan
kritik atas kritik. Subjektivitas atas subjektivitas3.
2
. Tentang Sosok Fisik Buku MMKI
Cover
: Begitu
saya menimang-nimang buku MMKI yang berukuran extra half quarto setebal
tidak kurang 500 halaman ini, yang saya lakukan pertama adalah melihat cover
halaman depan. Cover itu separuh diisi oleh lukisan surealistik dengan dominasi
komposisi warna tanah yang tidak begitu menyolok: Sebuah perahu kayu dengan
tulisan lambung huruf jawa dan hanya tersisa kata le-ga. Perahu itu ditumpangi
mahluk jadi-jadian, dan tentakel besar menyeruak masuk ke lambung kapal. Nampak
tatapan penumpang di anjungan itu tertuju kepada seseorang yang berjalan
meninggalkan perahu dengan tutup kepala berupa kotak bujur sangkar yang diberi
tanda tanya. Kaki seseorang itu dibelenggu dengan rantai dan bola. Separuh
cover depan diisi dengan judul buku, diikuti dengan sebuah paragraf kutipan.
Secara keseluruhan cover depan buku ini terasa berdesak-desak dengan pesan awal
yang mau disampaikan, tetapi saking berdesak-desaknya teks dan gambar
disitu, pembaca malah tidak dapat menagkap maksudnya secara optimal.
Kutipan paragraf di depan nampak membingungkan, misalnya terbaca beberapa
singkatan MASTERA, SCB yang baru diketahui setelah kita membuka bukunya.
Demikian pula apa yang termuat di sampul belakang, sebagai pembaca saya
berharap menemukan semacam endorsement atau testimoni yang berisi elusidasi
4. Maksud penulis dengan kutipan-kutipan yang terpampang di situ mungkin
untuk menggarisbawahi bagian-bagian penting uraian yang ada di dalam buku.
Semacam highlight. Tetapi yang ditemukan justru percikan kutipan-kutipan
yang terkesan hilang ujung-pangkalnya.
Sub
Titles: Memasuki
halaman IV, halaman sub-titles, ditemukan nama-nama penyunting, setting-layout
dan Design Cover. Saya menduga, penyunting bertindak juga sebagai proof-reader.
Jika memang demikian, salah satu tugas penyunting adalah mengamankan
seluruh maksud teks bahkan diharapkan tidak ada kesalahan sampai titik zero
error. Adalah ironis jika buku segagah MMKI ini memiliki relatif banyak
salah ketik atau bahkan menampilkan istilah maupun kosa kata baru yang pembaca
harus meraba sendiri maksud istilah dan kosa kata itu. Catatan berkaitan dengan
hal ini telah didaftar dengan cukup lengkap oleh Siwi D Saputro5. Bagi saya
sebagai pembaca, kasus ini mengesankan kerja editor yang kurang teliti atau
kalau tidak ya tergesa-gesa untuk kejar tayang, hingga apa boleh buat harus
abai terhadap wilayah penting yang sebenarnya menjadi skala prioritas tampilan
teks.
Pengantar
dari Penulis: Halaman
V, Pengantar dari Penulis. Saya mengharapkan adanya semacam keterangan tentang:
How to Use This Book, artinya penulis mengantarkan kepada pembaca apa yang
mau disampaikan oleh sekujur isi buku dalam bentuk sebuah ringkasan dengan
paragraf tersendiri yang termuat dalam pengantar itu. Karena isi buku ini
adalah mengkritik sebuah kritik, maka mau tak mau pembaca harus membaca lebih
dulu apa yang dikritik. Materi yang dimaksud dilampirkan pada halaman Lampiran
(halaman 411 dan seterusnya)6. Diharapkan juga, penulis mempersilahkan pembaca
untuk “loncat” dulu ke Lampiran supaya membaca keseluruhan apa yang mau
dikritisi, sehingga ketika memasuki Bagian 1 dan Bagian-Bagian selanjutnya,
dengan serta merta pembaca sudah bisa mengikuti tiap paragraf yang dikritisi
oleh penulis.
Bagian-Bagian. Terdapat dua
puluh lima Bagian yang mengupas satu per satu paragraf. Sayang sekali tiap
judul Bagian-Bagian tersebut hanya menyatakan judul yang serupa, dan menyatakan
urutan angka kupasan saja yang berbeda. Misalnya: Bagian IV – Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia (kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat esainya
Dr. Ignas Kleden). Sebagai pembaca saya lebih merasa nyaman jika pada judul
setiap Bagian tidak melulu menampilkan urutan kupasan, tetapi mengandung
sub-judul. Taruhlah misalnya pada Bagian II, setelah judul utama, dilengkapi
sub-judul: Mengusut kata “Menerobos”, misalnya begitu. Jadi si pembaca akan
lebih fokus akan maksud penulis bahwa di Bagian tersebut didedah kata
“menerobos” dengan segala kaitannya. Hal ini diharapkan berlaku pada judul Bagian-Bagian
yang lain. Sebagai pembaca, saya menemui kesulitan pada setiap bagian untuk
menemukan hal terpenting apa sih yang akan disampaikan oleh penulis pada
bagian tersebut. Saya seperti menikmati tarian elok yang ditarikan oleh
penulis sepanjang tiap bagian, tetapi tidak menemukan hal kritis terpenting
yang mau disampaikannya pada Bagian itu. Mungkin juga di wilayah ini, saya
boleh dicurigai sebagai pembaca yang strukturalis, yang menuntut MMKI ditulis
secara struktural sebagai layaknya textbook. Tetapi memang begitulah,
karena MMKI adalah sekumpulan esai, bukan novel fiksi. Saya tidak keberatan
dengan tarian yang dilakukan oleh penulis pada setiap Bagian yang ditulisnya,
tetapi menurut saya, tarian itu beresiko mengendurkan daya kritik dan
mengurangi daya ketajamannya. Maka pada setiap akhir Bagian, saya menyarankan
disediakan sebuah paragraph yang berlaku sebagai epilog untuk
menyimpulkan gagasan utama Bagian tersebut dan ringkasan kritik yang telah
dituliskannya. Jika tidak demikian, maka tulisan setiap Bagian berkesan nggeladrah.
3
. Beberapa Simpulan
Sebagai
Pembaca, saya merasakan perlu ekstra tenaga untuk membaca MMKI. Mempelajari
dulu tulisan Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri pada lampiran. Niscaya
memang harus saya baca dulu agar memahami apa yang dikritik oleh penulis MMKI-
Nurel.
Editor
dari MMKI seharusnya tidak melakukan kesalahan, baik itu kesalahan typo dan
salah cetak yang sejenis, demikian juga dengan istilah-istilah yang tidak baku
dan relatif baru diberi catatan kaki, dan penjelasan seperlunya sehingga (dari
sisi pembaca) pembacaan teks menjadi lebih nyaman tanpa pembiaran melewati
teks-teks yang kurang dimengerti oleh pembaca.
Secara
keseluruhan MMKI menyampaikan banyak pesan. Ini nampak pada kepiawaian penulis
mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada daftar bacaan
dan referensi yang dicantumkan disana. Daftar referensi, Daftar Pustaka,
menurut saya sangat penting, sebab orang hanya bisa berkarya dengan memakai pundak
orang lain sebagai acuan. Hal ini selain sebagai penghargaan atas karya
orang lain itu, juga untuk mempermudah pembaca mengenali urutan pemikiran yang
disampaikan oleh penulis.
Catatan
ini dibuat ketika pembacaan MMKI masih berlangsung, dan jangan lupa bahwa
catatan ini disusun oleh seorang pembaca yang tidak mewakili pembaca lainnya,
dengan kata lain barangkali mengandung lebih banyak subyektivitas daripada
obyektivitasnya.
Wassalam.
Ever Onward.
__________________________________
1
Menonton, dalam ungkapan Jawa: Ndelok, singkatan dari: Kendel alok atau berani
berteriak.
2
Bandingkan misalnya dengan Martina Rysová pada Suroso @2015:Kritik sastra
adalah bidang diskusi sastra, yang, melalui ulasan teks dan teks-teks lain
bertujuan untuk menginterpretasikan, mengevaluasi dan mengklasifikasikan karya
sastra. Kritik sastra bertujuan untuk membedakan dalam karya sastra nilai
aktual dari yang tidak nyata, dan menilai serta mengevaluasi kualitas karya
sastra. Meskipun kritik sastra berdasarkan aturan teori sastra, juga berlaku
rasa estetika mereka, sehingga setiap kritik tidak dapat melepaskan kesan
subjektif dari penulisnya
3
Tengsoe Tjahjono sebagaimana dikutip Siwi D. Saputro; FB 31/03/2018
4
Perlakuan baik, semacam apresiasi ringkas
5
Ibid, Siwi D Saputro, FB 31/03/2018
6
Sebuah catatan tambahan, diharapkan Lampiran ini disertakan selengkapnya
termasuk catatan kaki. (Lihat catatan kaki di halaman 424).Karena dari catatan
kaki seringkali maksud teks dapat lebih diketahui maksudnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar