tempointeractive.com
Sebanyak 21 gelas merah berbaris membentuk sudut 30 derajat. Di ujungnya, bagian sudut, empat ekor capung berbagai warna hinggap di bibir gelas. Sementara itu, satu ekor capung lainnya baru muncul dari lubang. Capung-capung bercengkerama satu sama lain.
Itu adalah salah satu lukisan karya I Wayan Sujana yang berjudul Lorong Pertemuan. Bersama 14 lukisan lainnya, lukisan berukuran 180 x 145 sentimeter itu dipamerkan di Artsphere Galeri, Jakarta, 13 Desember hingga 12 Januari. Pameran itu diberi tajuk “Transparency”.
Sayap capung dan gelas merupakan dua obyek yang transparan dalam lukisan Suklu, panggilan Sujana, tersebut. Bagi Suklu, capung memberikan kesan yang teramat berarti. “Bagi saya dan sebagian orang, capung merupakan utusan perwakilan arwah nenek moyang,” ujar pria asal Klungkung, Bali, itu.
“Saya seakan punya ikatan sama capung,” ia melanjutkan. Selain alasan mistis itu, lanjut Suklu, kehadiran capung sering dimaknai sebagai penanda bahwa udara sekitarnya bersih.
Kurator pameran, Arif Bagus Prasetyo, mengatakan perupa Suklu menjelajahi tema transparan tak hanya pada obyek yang tembus pandang, seperti sayap capung, stoples, dan pakaian dalam wanita. “Dia juga melukiskan ketransparanan dalam konteks konseptual, yakni bunga,” ujar Arif.
Lihat saja lukisannya yang berjudul Rasa Harum. Lukisan berukuran 178 x 148,5 sentimeter itu menggambarkan sepotong rok yang digantung pada sebuah hanger. Dari dalam rok, keluar bunga-bunga berwarna merah dan kuning sehingga mengumpul di lantai.
Menurut Arif, bunga sering dianggap mengusung kualitas ketransparanan nonvisual. “Bunga adalah lambang ketransparanan batiniah,” ujar pria yang baru saja meraih juara lomba kritik sastra itu. Bunga dalam lukisan Suklu, Arif melanjutkan, berbicara tentang hal-ihwal yang melampaui pengalaman visual, seperti ingatan dan perasaan.
Ketransparanan yang diusung Suklu, kata Arif, membeberkan hakikat lukisan sebagai ilusi yang tercipta dari rekayasa visual artistik pada kanvas. “Berupa tabir transparan yang berdiri antara pelukis dan dunia,” ujarnya.
Selain konsep transparan, Arif menggarisbawahi ketekunan Suklu menggarap garis secara rinci. Setiap lukisan Suklu selalu diwarnai oleh serat garis yang dianyam dengan ketekunan dan konsentrasi tinggi. “Bagaimana ia mengolah garis yang merupakan tradisi Bali menjadi karya kontemporer, itu sangat luar biasa,” ujarnya.
Dalam lukisannya, Suklu menggunakan garis sebagai medium untuk membatasi ruang atau dimensi. Tengok saja lukisannya yang berjudul Siapa Tinggalkan Rupa berukuran 128 x 128 sentimeter. Pada bagian kiri lukisannya, tergambar sepasang pakaian dalam perempuan, bra, dan celana dalam yang tergantung pada sebuah bingkai.
Sementara itu, pada bagian kanan atas, terlihat setengah sosok tubuh wanita telanjang yang menekukkan kakinya. Jika berada dalam satu ruang, maka tubuh perempuan itu seakan-akan berada di plafon ruangan yang sama dengan pakaian dalam yang tergantung tersebut.
Namun, yang membedakan dimensi kedua obyek itu, kata Arif, adalah garis-garis yang tersusun secara vertikal, yang juga dipertajam oleh gradasi warna pada setiap bagiannya. “Garis menjadi pembatas dan pembeda ruang dimensi obyeknya,” ujar Arif.
Eksploitasi terhadap garis, kata Arif, efektif menjelmakan sebuah dunia khayali, tapi terasa akrab. “Lewat permainan tebal-tipis, kerapatan, arah dan pola distribusi, kanvas Suklu menghadirkan irama, gerak, vibrasi, kedalaman tiga dimensional, dan iluminasi gelap terang.”
***
http://sastra-indonesia.com/2009/04/gelas-merah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar