Sabtu, 08 Mei 2021

Panggung Terhukum

Ida Fitri *
Jawa Pos, 1 Des 2019
 
DI depan rumah ibadah, seorang ahli agama sedang berceramah, mengutip kitab suci, membuat orang-orang larut dalam getaran tertentu seperti segentong anggur merah ditumpahkan ke kerongkongan mereka. Sebuah panggung mencuat di antara orang-orang yang berkerumun dan mulai berteriak; menyebut nama-Nya dan mengutuk yang tersalah. Sebentar lagi hukuman itu akan dilaksanakan, tidak jelas apa yang saat ini saya rasakan. Rasa takutkah? Atau putus asakah? Berulang saya menanyakan pada diri sendiri musabab apa hari ini yang membuat saya berada di tempat ini; menunggu untuk dihukum dan dipermalukan. Panas matahari semakin menyengat, membuat anak-anak yang digendong ibunya untuk menonton pelaksanaan hukuman mulai menangis. Saya seperti terisap ke masa kecil saya, saat kakek masih hidup, kakek yang tinggi besar, berkulit gelap, dan berhidung mancung kerap mengaku keturunan Turki.
 
Suatu kali kakek bercerita; saat masa pendudukan Jepang, aku telah menjadi remaja tanggung, menyaksikan kesulitan yang dirasakan orang-orang di sekitarku. Para pemuda dipaksa membuat lorong-lorong gua di daerah pesisir dan hanya diberi sedikit makan, gua-gua benteng pertahanan Jepang. Mereka kelaparan dan menunggu malaikat maut menjemput, sementara di kampung-kampung orang-orang juga kekurangan makanan. Beberapa di antara mereka yang panjang akal menanam karung padi di belakang rumah sebelum tentara Jepang menyisir untuk mencari padi di lumbung-lumbung yang ada di kampung-kampung. Mereka mengaku sebagai saudara tua yang harus dibantu untuk memenangi perang melawan kafir Belanda. Mula pertama orang-orang mulai bersimpati. Tapi, melihat kelakuan mereka yang lebih jahat daripada kafir Belanda, orang-orang mulai melawan dengan melakukan berbagai muslihat; salah satu di antaranya mengubur goni padi, emas, dan harta berharga lainnya dalam tanah agar selamat dari jarahan para serdadu bermata sipit itu. Sekali waktu, aku juga pernah dimintai tolong oleh bapak untuk menggali lubang di bawah pohon sukun untuk menyembunyikan paon ringgit (liontin emas berbentuk bulat) milik ibu. Kami menanam pohon sukun kecil di atasnya sebagai penanda. Karena tidak menemukan apa-apa saat masuk ke kampung-kampung, para serdadu Jepang mengamuk dan menembak beberapa orang lelaki kampungku, salah satu di antaranya bapakku, indatu-mu. Beruntung, mereka tidak bertahan lama di daerah kita. Kekalahan memalukan dari sekutu membuat Jepang segera angkat kaki. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk bergabung dengan tentara. Tetapi tidak bertahun kemudian, ketika pemerintah pusat mengkhianati para pejuang utama. Mereka mengirim pasukan untuk membantai Tuan Beureueh dan pejuang utama lainnya. Padahal, saat itu Tuan Beureueh belum memutuskan untuk bergabung dengan pihak yang ingin mendirikan negara agama. Kedatangan pasukan besar dari Pulau Jawa membuat Tuan Beureueh tidak punya pilihan lain. Banyak pemuda yang bergabung dengan laskar Tuan Beureueh; salah satu di antaranya aku, kakekmu ini. Pada mulanya kami masih unggul karena menguasai hutan, menghafal setiap punggung bukit, mengenali setiap lekuk sungai. Tapi, tak lama kemudian kami terdesak dan terpecah-pecah dalam beberapa pasukan kecil. Aku yang belum memiliki pengalaman tempur pada suatu ketika malah terpisah dengan pasukanku. Lapar yang melilit perut membuatku nekat memanjat kelapa di pinggir sebuah kampung. Sialnya, begitu sampai di pelepah pertama, aku mendengar langkah-langkah bersepatu menginjak-injak semak belukar. Aku naik lebih tinggi dan mengintip dari atas pohon; beberapa tentara berseragam republik keluar dari semak belukar dan lewat tepat di bawahku. Aku berdoa kepada Tuhan semoga mereka tidak mendongak ke atas. Dan ternyata dikabulkan. Setelah mereka cukup jauh, aku turun tanpa memetik satu pun buah kelapa. Malam itu aku tidur di atas pohon beringin besar yang tumbuh tidak jauh dari tempat itu, tidur dalam kondisi kelaparan. Saking laparnya, aku membuat Tuhan jatuh iba dan mengirimkan seorang perempuan untuk mengantar makanan kepadaku. Ketika terbangun keesokan harinya, aku menemukan nasi berbungkus daun pisang dan lauk ikan asin bakar tersangkut di sebuah galah dekat cabang beringin yang kugunakan untuk tidur. Tuhan telah benar-benar mengirim makanan untukku, seperti yang Ia lakukan pada Maryam. Kalau dulunya aku menuruti bapak untuk tinggal di dayah, sudah pasti aku menjadi seorang wali atau setingkat aulia.
 
Dua hari kemudian baru kuketahui bahwa anggota pasukanku yang lain telah mati dibantai tentara republik. Ketika kudapati seorang anak perempuan yang mengaku bernama Saribanun, yang kemudian menjadi istriku, menggantungkan makanan di ujung galah dekat aku tidur di cabang beringin itu, gagallah seluruh mimpiku untuk menjadi wali. Aku tidak tahu harus bersyukur atau menyesal karena tersesat dan selamat. Mungkin yang patut kusyukuri, aku dilindungi dan disembunyikan oleh Teumeureuhom yang kemudian menikahkan putrinya denganku. Kakek saya mengakhiri ceritanya, membuat saya menyadari bahwa kakek saya pernah bergabung dengan pemberontak yang ingin mendirikan negara agama.
 
Seorang perempuan yang bertindak sebagai pembawa acara membacakan tata tertib acara selanjutnya, sementara para penonton semakin tidak sabar, meneriakkan nama saya agar segera dicambuk. Masjid semakin megah, saya semakin mengerut. Tuhan mungkin sedang tertawa-tawa mengejek saya, meski saya juga tidak tahu wujud tawa Tuhan seperti apa. Pembawa acara mencoba untuk menenangkan penonton yang semakin bersemangat. ”Dasar terlaknat!” Sebuah suara yang saya kenal mencuat di antara suara-suara lain yang tidak familier di telinga saya. Itu suara Aisyah Salbi, teman mengaji saya saat kecil dulu. Aisyah Salbi yang tidak melanjutkan sekolah dan menikah dengan Ibeunu anak Pawang Matnu. Ibu Aisyah Salbi adalah janda Halimah yang dulu sering meminjam uang kepada bapak saya semisal bapak sedang berada di rumah. Serta-merta saya menjadi teringat bapak yang sudah lama tiada.
 
”Kamu dengar suara air mengalir itu?” Suara bapak kembali terngiang di telinga saya, ”Lihat ke situ, ke tebing yang terjal. Di bawahnya ada sungai, tempat di mana leher orang pe-ka-i digorok.” Saya berhenti melangkah, melihat ke arah yang ditunjuk bapak. Suara burung-burung menyelingi suara air mengalir di celah berbatu. Saya tidak bisa melihat sungai yang dimaksud bapak dari tempat saya berada. Kaki saya melangkah ke arah yang ditunjuk bapak. Baru kali ini bapak mengajak saya pulang dari rumah kebun kami melalui punggung lereng gunung dengan ilalang dan belukar di kiri-kanan jalan setapak itu, jalan setapak menuju Pante Raya. Saya tinggal bersama ibu dan kakek di rumah kami yang berada di dataran rendah, sementara bapak tinggal di punggung gunung untuk menjaga lahan kopi kami. Susahnya mengakses sekolah dari lahan kopi membuat bapak merelakan ibu tinggal bersama kakek demi pendidikan anak-anaknya. Saat liburan sekolah, biasanya kami mengunjungi bapak di kebun kopi. Tapi, karena adik saya tahun ini disunat, maka liburan kali ini yang mengunjungi bapak hanya saya. Ibu menjaga adik yang ke mana-mana masih harus menggunakan kain sarung sambil mengeluh sakit di selangkangannya.
 
”Kamu mau ke mana? Jangan ke tempat itu, nanti kamu bisa kerasukan iblis. ” Bapak mencoba melarang saya seraya melangkahkan kaki mengikuti saya. ”Tidak apa-apa, Pak. Saya ingin melihat tempat itu. ”Saya takjub melihat air sungai pegunungan yang mengalir di antara batu-batu. Beberapa batu besar terlihat seperti benteng yang mencegah tanah jatuh dari tebing. Mencoba membayangkan tragedi puluhan tahun yang lalu, saya memejamkan mata. Sekelompok orang dengan mata tertutup, dibentak, dipukul, dan ketakutan diseret ke tempat ini, tanpa tahu kesalahan yang mereka perbuat. Mungkin salah satu dari mereka pernah berdiri di tempat saya berdiri saat ini. Lalu, satu per satu leher mereka digorok, membuat badan-badan mereka yang terkejut meronta-ronta. Dan ajal menghampiri orang-orang itu tanpa belas kasihan. ”Apa yang dibunuh di sini memang orang pe-ka-i, Pak?” tanya saya seraya membuka mata dan berpaling kepada bapak yang sudah berada di samping saya. ”Tidak juga. Sebagian besar adalah mereka yang menerima gula atau cangkul saat partai membagikannya. Yang lainnya karena dilaporkan sebagai pe-ka-i oleh tetangganya,” ujar bapak. Lalu, bapak mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan. Waktu itu saya masih bersekolah di sekolah lanjutan atas (SMA), apa yang diucapkan bapak berlalu begitu saja. Tetapi, tidak demikian setelah saya dewasa. Saya mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi berpuluh tahun yang lalu itu. Membaca buku dan mulai membicarakan hal sensitif tersebut dengan teman-teman saya. Jika pun yang dibunuh itu orang pe-ka-i, bolehkah mereka dibantai begitu saja hanya karena berbeda pilihan politik? Daerah saya yang berada di ujung pulau ini kerap menjadi saksi pembantaian yang satu ke pembantaian lainnya. Daerah operasi militer mengambil korban sangat banyak. Para lelaki dibunuh dan mayat mereka dicampakkan di sungai, di jalan, atau di belakang kios di pinggir hutan. Para perempuan juga kadang dibantai, bahkan di depan anaknya. Banyak yang telah bersuara karena kematian-kematian yang tidak masuk akal kala daerah saya dijadikan target operasi militer. Tetapi, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terdengar orang-orang bersuara tentang pembantaian di tahun ’60-an. Padahal, mereka sama-sama korban tidak bersalah yang memiliki anak-istri.
 
Karena sering membicarakan hal tersebut, saya dipanggil pimpinan lembaga di tempat saya bekerja, yang ujung-ujungnya saya dituduh sebagai anak pe-ka-i. Tidak hanya sampai di situ, tulisan saya di kolom Minggu telah menyeret saya menjadi pesakitan pada hari ini. Segala embel-embel partai yang sudah lama musnah itu dilabelkan kepada saya. Dan siang ini saya berdiri di antara empat pesakitan lainnya: tervonis mesum, tervonis judi, tervonis minum anggur, dan tervonis mencuri. Saya tidak tahu, sejak kapan tervonis anak pe-ka-i dimasukkan dalam daftar hukuman cambuk. Mungkin ini yang pertama sehingga penonton membeludak. Yang membawa anak menunjuk muka saya dan menerangkan kepada anak-anak mereka seperti apa anak pe-kai-i itu. Saya tidak tahu apakah hal-hal seperti ini layak dikonsumsi anak-anak, sementara bermain game saja dilarang para ahli agama. Teriakan orang-orang yang menonton prosesi hukuman semakin bergelora. Saya melirik empat pesakitan lain, saya tidak berani menuduh mereka lebih rendah daripada orang-orang yang berteriak di depan sana. Mungkin saja kasus mereka tidak beda jauh dengan kasus saya.
 
Suara pembawa acara terdengar nyaring memanggil nama saya dan membacakan vonis saya. Seseorang menyeret saya naik ke panggung. Giliran saya tiba, orang-orang semakin bersemangat melihat saya berada di atas panggung. ”Hancurkan pe-ka-i!” Saya diminta berdiri membungkuk di tengah panggung. Saya tidak bisa membaca raut wajah sang algojo yang berdiri di sudut karena wajahnya tertutup kain. Orang dewasa dan anak-anak berteriak memberi semangat kepada sang algojo yang mulai mengangkat cambuk. Kesalahan saya hanya karena mengungkit pembantaian yang pernah terjadi puluhan tahun lalu, yang apabila diusut tuntas bisa membuat banyak pihak kehilangan muka dan menanggung malu. Mendadak saya sangat ingin tersenyum, meski cambuk mendera punggung saya. Seperti Tuhan yang sedang tertawa di atas sana.
***

*) Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh Timur, tanggal 25 Agustus. Cerpennya dimuat di koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, dll. Kumcer pertamanya berjudul “Air Mata Shakespeare” terbit tahun 2016, dan kumcer keduanya bertajuk “Cemong” terbit di tahun 2017. http://sastra-indonesia.com/2021/05/panggung-terhukum/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati