Koran Tempo, 27 Januari 2008
Acep Zamzam Noor pantas berbahagia. Penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori puisi pada 18 Januari lalu. Acep meraih penghargaan itu melalui buku kumpulan puisi Menjadi Penyair Lagi (2007).
Ini penghargaan kedua dalam karier kepenyairan lelaki yang bulan depan berusia 48 tahun ini. Pada 2005 penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren di kota kelahirannya ini menerima South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand.
Kemenangan di Khatulistiwa Literary Award membuat kantongnya kian tebal. Ia berhak atas hadiah uang Rp 100 juta. "Lumayan, uang ini menjadi honor setelah 20 tahun menjadi penyair," ucapnya di atas panggung ketika menerima penghargaan itu di Atrium Plaza Senayan, Jakarta.
Acep adalah salah satu penyair Indonesia yang bertahan cukup lama mencurahkan dedikasinya pada perpuisian Indonesia. Menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, hingga saat ini ia telah menerbitkan delapan buku kumpulan puisi, antara lain Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), dan Jalan Menuju Rumahmu (2004).
Banyak karyanya yang dijadikan kajian oleh kalangan akademisi sastra di Tanah Air. Lulusan Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini pernah mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Italiana, Italia, selama dua tahun.
Sepulang dari Italia, suami Euis Nurhayati dan ayah empat anak ini memilih tinggal di Tasikmalaya. "Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang," ujarnya. Selain menulis puisi, ia melukis. Acep aktif berpameran, antara lain di Bandung, Yogyakarta, Bali, Jakarta, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Belanda.
Selasa lalu, Acep menerima wartawan Tempo, Erwin Dariyanto, dan fotografer Santirta untuk sebuah wawancara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Berikut ini petikannya.
Apa arti penghargaan Khatulistiwa Literary Award ini bagi Anda?
Sebenarnya, penghargaan semacam ini bagi penyair bukanlah target. Bagi penyair, menulis puisi itu bukanlah penghargaan semacam ini yang terpikirkan. Tapi Khatulistiwa ini, menurut saya, juga penting bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Bagi saya, ini hanya sebagai proses. Saya menulis puisi sudah 20 tahunan. Beberapa penghargaan yang saya terima menggambarkan bahwa saya bekerja dan orang memperhatikan.
Anda sudah puas dengan mendapat penghargaan ini?
Saya belum puas. Saya mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kerja saya selama ini dihargai. Tapi kerja saya akan berjalan terus. Saya tetap berproses tanpa atau dengan penghargaan sekalipun.
Apa Anda merasa sudah pantas mendapat penghargaan ini?
Kalau soal itu, orang lain yang menilai.
Beberapa kalangan menilai proses seleksi dan penjurian Khatulistiwa Literary Award tidak fair, bagaimana menurut Anda?
Ini begini, saya juga kurang tahu prosesnya seperti apa. Saya memang mendengar bahwa penjurian di KLA ini lain dari penjurian-penjurian yang lain. Bahwa ini tidak ada diskusi, tapi tiap juri memberikan angka atau apa, tapi ini juga melibatkan banyak sekali juri. Saya tidak tahu ini fair atau tidak. Tapi katanya ini proses penjurian yang lain. Alasan mereka, kalau lewat diskusi, akan ada yang dominan, sementara ini kan tidak ada, semua sama. Cuma, menurut saya, ini adalah sebuah versi KLA ini, ya, seperti ini.
Dengan sistem penjurian seperti itu, apakah penjurian Khatulistiwa Literary Award sudah ideal?
Mungkin kalau ideal belum. Sistem seperti ini, menurut saya, masih bisa dilakukan, tapi dengan kualitas juri yang semuanya mengerti puisi. Sistem seperti ini, menurut saya, bisa menjadi alternatif, dengan catatan jurinya yang benar-benar paham tentang sastra.
Apakah para juri Khatulistiwa Literary Award saat ini belum memahami sastra?
Jadi ini kan ada tiga tahapan. Saya kurang tahu siapa saja jurinya pada tahap pertama dan kedua. Tapi kayaknya ini jurinya dari berbagai kalangan, tidak khusus yang berlatar belakang sastra, ada filosofnya, ada juga sosiolognya. Juri di tahap terakhir ini agak komplet, ada akademisi, ada penyair, ada ahli puisi, ada redaktur koran. Cuma, apakah reputasi mereka pas atau tidak, itu juga mungkin dikaji lagi.
Penjurian yang ideal itu seperti apa?
Saya rasa, cara seperti itu ideal kalau orang-orangnya benar-benar mantap dan paham benar soal puisi.
Buku puisi Menjadi Penyair Lagi memiliki tren romantis. Apa keistimewaan puisi-puisi Anda dalam buku itu?
Jadi memang buku ini adalah kumpulan puisi liris dengan tema romantis. Di sini sebenarnya saya lebih menekankan masalah-masalah bahasa, bahasa dengan ungkapan yang sederhana, tapi juga mungkin bersih dan bening. Itu yang ingin saya tampilkan dari buku ini. Ini berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi saya sebelumnya. Isinya lebih ke puisi-puisi yang temanya sederhana, isinya juga sederhana, tapi saya ingin menghadirkan puisi dalam kesederhanaan itu.
Yang menjadi unggulan dalam buku itu puisi apa?
Saya kurang tahu. Akhirnya juga selera pembaca yang berbicara. Selera pembaca kan berbeda-beda. Ada beberapa memang yang saya sukai secara pribadi, yang kemudian saya jadikan judul buku itu, "Menjadi Penyair Lagi".
Kenapa memilih judul "Menjadi Penyair Lagi"?
Itu secara subyektif, karena saya menyukai sajak itu, dan itu saya kira mewakili keseluruhan dari puisi-puisi itu.
Bagaimana proses kreatif Anda membuat puisi?
Jadi itu (proses kreatif Menjadi Penyair Lagi) sebenarnya (berdasarkan) pengalaman teman-teman, hasil pengamatan sosial saya. Banyak sekali wanita muda yang ingin menjadi artis, penyanyi, dan semacam itu. Saya terilhami oleh mereka, anak-anak muda yang ingin menjadi artis.
Proses (kreatif) secara keseluruhan, pertama, saya menyukai jalan-jalan. Dalam satu bulan, setengah bulan lebih saya gunakan untuk jalan-jalan, entah ada acara entah tidak. Itu bagian dari proses kreatif saya. Saya sangat menikmati semua itu: bagaimana perjalanan saya di kereta, bus, saya melihat sekeliling saya. Juga ketika saya memasuki sebuah kota, apakah kota itu sudah lama saya kenal atau belum. Itu juga menjadi masukan-masukan bagi diri saya dan tersimpan dalam memori saya. Nah, hal-hal itu menjadi inspirasi bagi saya.
Tempat favorit yang menjadi sumber inspirasi Anda?
Nah, kalau kota, itu Yogya. Dan saya mencari pasar tradisional, terutama pasar di Bali. Saya pernah ke sebuah pasar di Bali, yaitu Pasar Kumbasari, dan membuat sebuah puisi berjudul "Kumbasari". Dan puisi itu sering dijadikan puisi wajib dalam lomba-lomba baca puisi di sana. Ini juga salah satu yang saya kunjungi. Saya tidak secara sengaja mencari puisi dengan mengunjungi pasar-pasar itu. Tapi sekadar jalan-jalan menikmati suasana, mengalir begitu saja. Tapi itu menjadi bahan bagi saya.
Jadi semua tempat bisa menjadi sumber inspirasi?
Saya sering mengatakan kepada teman-teman di komunitas bahwa pekerjaan seorang penyair itu sangat berat. Waktunya 24 jam, tidak dibatasi jam kerja dan libur nasional, libur kejepit, atau libur apa pun. Jadi ritmenya harus tetap terjaga selama 24 jam. Lalu menulis puisi itu sangat mahal biayanya. Saya bisa katakan bagaimana mahalnya biaya perjalanan, bagaimana biaya duduk di kafe memesan cappuccino atau bir. Ini tidak sebanding dengan honor yang diberikan majalah. Tapi ketika orang menulis puisi, honor dan hal-hal lainnya bukan menjadi yang utama.
Kepuasan apa yang Anda dapat dari menulis puisi?
Nah, ini kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mungkin juga hanya bisa dicapai oleh orang dengan hobi tertentu. Misalnya, orang bisa membeli bunga dengan harga ratusan juta sekadar untuk kenikmatan. Mungkin seperti itu juga saya mendapat kenikmatan dari menulis puisi. Ada kenikmatan batin ketika puisi selesai ditulis. Semacam orgasme begitu, agak sulit dijelaskan bagaimana kepuasan seorang penyair.
Puisi-puisi Anda sebelumnya mengusung tema religius, apakah ini karena Anda pernah tinggal di pesantren?
Ya, mungkin itu juga ada pengaruh. Tapi mungkin saja ketika orang memulai menulis puisi, dia akan mengalami perjalanan sendiri, perjalanan spiritual. Saya kira itu hal yang wajar. Sebuah fase dari setiap penyair akan mencapai tema-tema khusus, misalnya religius, dan itu saya lakukan sudah cukup lama, sekitar 1980. Saya menulis tema-tema religius dengan metafora persoalan-persoalan alam. Tapi di situ mulai masuk persoalan-persoalan sosial dan persoalan yang agak erotis juga masuk dalam buku saya.
Hanya sedikit penyair yang mempertahankan kepenyairannya. Apa yang membuat Anda bertahan sebagai penyair?
Ini hal yang sangat wajar saja. Orang, ketika mahasiswa, senang menulis puisi, kemudian setelah lulus, tidak lagi menulis puisi adalah hal yang sangat normal, dan itu akan terjadi pada setiap orang. Tapi yang bertahan itu yang luar biasa. Karena begini, mungkin mereka, menurut saya, salah niat. Ketika kepenyairan dianggap profesi, menurut saya, itu salah, paling bertahan selama lima tahun saja. Kalau kepenyairan dianggap sebagai profesi, berarti dia harus hidup dari puisi. Ini sesuatu yang tidak mungkin di Indonesia. Saya bisa bertahan karena tidak menganggap penyair ini sebagai profesi saya. Saya menganggap ini sebagai kesenangan saja, semacam hobi. Justru karena saya menganggapnya sebagai hobi, saya bisa bertahan lama. Dan hobi bukan hal yang main-main. Bisa juga serius tanpa perhitungan untung-rugi.
Apakah dengan menulis puisi ini, bisa memenuhi kebutuhan hidup?
Itu tidak mungkin. Saya pikir, tidak ada buku yang diterbitkan kemudian memberikan penghasilan bagi penyairnya. Itu tidak mungkin. Itu selalu rugi. Dari honor di koran, itu sangat kecil. Tidak mungkin bisa untuk hidup.
Dari menulis buku, berapa royalti yang Anda terima?
Nyaris tidak ada. Itu mungkin umumnya buku sastra yang bestseller.
Lalu bagaimana Anda bisa hidup?
Saya mungkin hidup dari keajaiban, ya. Selesai kuliah, saya nikah. Waktu itu saya sempat hidup dari menjual lukisan. Kemudian saya ke luar negeri selama dua tahun. Pulang dari sana tiba-tiba saya memutuskan tinggal di daerah. Ini juga mengagetkan teman-teman. Karena tinggal di daerah tidak menguntungkan bagi kelangsungan karier kepenyairan. Tapi, dengan tinggal di daerah, mungkin saya lebih tenang dalam menulis puisi. Pertama, mungkin kalau saya di kota, saya punya pekerjaan dan punya majikan, dan itu bagi saya adalah musuh dalam penulisan buku. Dengan mempunyai pekerjaan tetap, jadwal tetap itu akan mengganggu proses kreatif. Begitu juga dengan punya majikan.
Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang.
Mengapa peminat puisi lebih sedikit ketimbang peminat prosa?
Ini tidak aneh. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap serius pasti mempunyai minat yang terbatas.
Apakah melalui puisi Anda bisa menyalurkan aspirasi politik Anda?
Ya, kebetulan karena saya di daerah, ternyata aspirasi politik saya sangat efektif disampaikan melalui puisi. Misalnya, protes-protes saya mengenai kebijakan pemerintahan daerah di DPRD. Kebetulan saya di daerah sering diundang ke berbagai forum entah untuk membaca puisi entah sekadar berbicara, sehingga saya mempunyai kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi saya.
Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat puisi Indonesia?
Jadi saya tidak terlalu pesimistis, ya, masyarakat puisi Indonesia itu mempunyai masyarakat sendiri. Dibanding negara lain di dunia, di Indonesia ini lebih semarak. Lomba-lomba baca puisi yang diadakan di daerah selalu diikuti minimal 300 peserta. Itu juga salah satu yang menandakan bahwa puisi punya salah satu kesemarakan sendiri.
Bagaimana pendidikan puisi di sekolah?
Nah, itu salah satunya lewat lomba-lomba. Semakin sering saja mengadakan lomba-lomba. Dan ini yang menyelenggarakan adalah komunitas, bukan pemerintah.
Kenapa bukan pemerintah yang turun tangan? Apa masalahnya?
Nah, itu selalu begitu. Sebenarnya pemerintah punya program. Namun, selalu saja tidak sukses karena pemerintah tidak serius menggarapnya, tapi malas bekerja sama dengan komunitas.
Bagaimana peran pemerintah dalam memajukan puisi?
Sangat kecil perannya karena hanya memberi waktu dua jam untuk pelajaran bahasa Indonesia, bukan sastra, lo. Hanya ada beberapa menit untuk sastra ini. Ini sangat kurang. Idealnya, harus dipisahkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.
Bagaimana pelajaran sastra di negara lain?
Bisa jadi lebih bagus karena di Malaysia itu, tingkat SMA saja sudah bikin skripsi kecil yang membahas karya sastra, dan kebanyakan yang dibahas karya sastra Indonesia.
Apa yang harus dibenahi dalam pengajaran sastra di Indonesia?
Pertama, kurikulum. Ada memang beberapa sekolah yang guru-gurunya punya kesenangan pada sastra atau mempunyai hubungan dengan komunitas-komunitas, dia bikin kegiatan di luar kegiatan sekolah, ekstrakurikuler. Tapi kan tidak semua sekolah seperti itu.
Mengapa di Indonesia sangat sedikit kalangan bisnis yang menyukai puisi?
Nah, itulah, di Indonesia ini spesialisasi itu ketat sekali. Seorang dokter itu menjadi aneh ketika menyukai lukisan atau puisi. Padahal semestinya kesenian itu bisa memberikan pencerahan bagi semua kalangan.
Karya puisi yang paling berkesan bagi Anda?
Salah satunya yang judulnya "Cipasung", karena banyak orang yang menyukai puisi itu, dan itu puisi saya yang paling berhasil, dan berbicara tentang saya waktu kecil.
Apakah keluarga juga mendukung kegiatan Anda?
Saya hidup di kalangan pesantren. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra, kecuali ibu saya. Mereka tidak mendukung dan tidak melarang.
BIODATA
Nama: Acep Zamzam Noor
Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960
Istri: Euis Nurhayati
Anak: 1. Rebana Adawiyah 2. Imana Tahira 3. Diwan Masnawi 4. Abraham Kindi
Pendidikan:
# Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
# Universitas Italiana, Italia (1991-1993)
Pekerjaan:
# Penyair, Pengelola Sanggar Sastra Tasik
Penghargaan:
# South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
# Khatulistiwa Literary Award 2007
Buku Kumpulan Puisi:
# Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Jalan Menuju Rumahmu (2004), dan Menjadi Penyair Lagi (2007)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar