Nurel Javissyarqi*
Inikah kerjanya cinta? Dalam tubuh di kedalaman jiwa. Semacam sugesti suci, atau uap yang didatangkan dari pegunungan paling tinggi. Inikah bayu yang berasal dari dataran Himalaya? Yang mengaduk-aduk relung terdalam, mencipta rindu dan rindu. Bagaimana dirinya bisa masuk? Melewati keraguankah? Kecurigaankah? Atau melalui lorong keimanan?
Ilmu pengetahuan pun berasal dari sumbernya. Ia sumber segala sumber, inspirasi murni lagi tak terabai. Bagaimana kerjanya cinta sanggup menembus batas estetik? Intelektual serta spiritual? Maka perlu diselidik ke dalam intinya, bahwa segalanya dihasilkan dari terompetnya.
Cinta menggetarkan dunia, cinta pulalah yang mensejajarkan sesama. Ia berada di luar batas serta di kedalamannya, namun bukan batasannnya. Ia isi memaknai segala sesuatu, tetapi bukan isinya. Ia adalah ruh senyawa. Siapa yang sanggup menangkapnya? Ia bukan perwujudan, muka hanyalah topeng-bopeng. Ia yang menjalankan setiap rencana dan barisan kelicikan juga.
Saudara perlu hawatir, jika kerjanya melenceng dari yang diinginkan. Juga harus lihai saat-saat mengembangkan potensinya. Ini bukan jenis ketidaksetiaan, tapi keberlangsungan akan kerjanya.
Janganlah bersandar terlebih dulu, sebelum menemukan formula penempatan cinta saudara. Ini kerja amat berat yang kudu ditanggung. Sebab selangkah saja keliru, akan melukai jiwa cinta.
Memang ada saat-saat penyembuhan atau obat. Dan sebaiknya saudara menanggulangi sebelum sia-sia. Petiklah hikmah dari percintaan, walau sangat mendasar. Sebab itu akan mengangkat percintaan luar biasa, pengalaman yang tidak ternilai harganya.
Mungkin sedikit bisa dimengerti, cinta sanggup melapangkan segala urusan, menyegarkan alam fikiran, menyuburkan perasaan dari kesempitan. Atau waktu-waktu genting itu sanggup terpegang, jika tidak tanggung, tetapi ke dasar kesetiaan.
Sebanding itu, kita menemukan pula bagaimana cinta sanggup mencelakai, mencederai si pecinta atau yang dicintai. Saudara kudu ingat, ia semacam bayu atau grojogan banyu yang siap menerjang, menghantam. Maka buatlah tanggul sebaik mungkin, agar alirkannya tidak salah atau kebablasana, dan yang tertinggal berupa mangfaat-manfaat.
Menjadi bijak kiranya, kalau tidak dikelompakkan dalam ruang-ruang waktu bidang penelitian serta kajian. Sebab dirinya universalitas lagi bertanggung jawab. Ia ibarat kaca memantulkan segala yang saudara geluti. Ia bukan gula-gula setelah manisnya hilang bersama sirnanya tubuh.
Ia bukan mawar kering karena layu angin. Cinta ialah ruh yang menghadirkan kerja kehidupan manusia. Bagi si pragmatis pun sebenarnya ada kerjanya. Hanya saja berupa potongan-potongan yang menyakitkan, dan tentu ini tidak menyehatkan jiwa.
Tengoklah prosesi hujan, dan cinta sebagaimana demikian. Ini tidak terkira yang sebenarkan bisa diperhitungkan. Cinta secara sadar atau tidak mengambil kemungkinan yang tidak terpikirkan, sejenis lintasan penghubung antara imaji dan realitas. Maka sarang ruh daripada cinta kudu dilaksanakan, agar pengambilan reranting-dahannya menjadi kongkrit tercerahkan.
Ini bukanlah kemandekan menunggu datangnya pulung. Hisaplah kekuatannya lalu simpan, sebab suatu ketika ia akan melahirkan sang anak burung bersayap kemerdekaan berfikir. Kebebasan menentukan pilihan, tidak terpenjara aliran pun keyakinan diri yang membuta.
Sungguh maskulin kalau cinta dipertontonkan di pertokoan. Adakah sesuatu yang mencederai dirinya? Tentunya ada. Sebab cinta berawal dari kejujuran, bukannya berasal polesan yang diada-adakan. Cinta bukan pengadaan suatu barang atau jiwa, tetapi sanggup mengadakan segalanya.
Ini semangat bertubi, tetapi bukan seruduk banteng. Di sini perhitunga harus dilewati, sebelum menanjaki keyakinan kepada yang dicintai, sedurung meluncurkan sebuah roket bernama hasrat.
Begitu indah jikalau cinta diasah, ia sehalus pisau tajam yang menghunus setiap lipatan penipuan. Memang ada memangfaatkan kerjanya dengan kelicikan, tetapi siapa yang sanggup menanggung umurnya? Sebab keculasan tidak memiliki umur sama sekali di matanya.
Cinta memandang dengan tatapan lembut walau pada mega, ia mengerti isyarat alam raya dirinya. Ia penjala lihai dalam melemparkan jala, namun pribadinya bukanlah jala itu, dan bukan penangkap tersebut. Ia serupa hasrat yang mengumpulkan ikan-ikan, sehingga yang didapat dalam setiap ayunan jalanya, berupa keikhlasan.
Syukurlah jikalau tengah memasukinya, sedikit demi sedikit akan kerjanya. Bagaimana kalau cintanya ditolak? Ini pertanyaan amat mendasar akan kerjanya. Di sini ada pemilikan dua jalan, terbunuh oleh cinta, atau membunuh dengan cinta.
Sementara di antara keduanya, ada pekabutan yang melenakan, semacam keputusasaan berkepanjangan. Memang ada saat-saat bagaimana cinta itu hadir, dan pergi secara tiba-tiba. Benarkah ini cinta? Atau sekadar menggurit-gurit kata hati bertuliskan cinta? Maka penantian amatlah perlu, sebagai salah satu unsur daripada kerjanya.
Pada kedua jalan di atas, saudara jangan mengalihkan pandangan kepada yang tercinta, tetapi ramulah teknik-tekniknya. Kalau awalnya mencintai serupa perhatian langsung di depan, maka kini alihkan. Dan cinta merupakan salah satu jalan menuju keikhlasan.
Di sini saudara bisa ikhlas mencintai tanpa mengganggu yang dicinta. Semisal mencintai pelajaran fisika, maka alihkan rumusan-rumusan itu dalam ajaran filsafat atau di bidang lain, hasilnya nanti tentunya sama. Saudara tetap mencinta sepenuh jiwa, mencapai apa yang saudara cintai. Ini sejenis soal tubuh, dan cinta tidak membahas tubuh begitu njelimet.
Cinta itu spiritualitas yang bergesekan dengan materialitas. Ini permusuhan abadi yang setiap insan menaggung resikonya. Karena itu, menjadi layak penelitian ini diangkat ke muka, di sebuah meja perjamuan tengah malam.
Setelah saya perhatikan seksama, kerjanya cinta sungguhlah luar biasa, mendominasi pernik-pernik kehidupan. Terkadang kerjanya tidak kentara, tetapi begitu jelas bila terkuak. Secara kebendaan atau perwujudan, cinta sering dikalahkan, namun benarkah demikian? Saya fikir hanya berputusasa yang demikian. Ini berhubungan langsung dengan makna kenikmatan dari hasil kerjanya.
Rasa nikmat itu salahsatu unsur yang ditawarkannya, ia sanggup mempercepat daya rangsang tanpa kebablasan. Ia merupakan sambungan kabel telepon perasaan dari kedua zat, yang dicintai dan mencintai, atau bermakna bercinta.
Cinta itu kekuasaan yang tidak menguasai, inilah kesahajaan dari padanya. Bedakan hasrat cinta dengan hasrat berkuasa? Cinta yang membatu namun bukanlah batu. Cinta melebur ke segenap unsur, tetapi bukan menutupi unsur-unsur. Ia sanggup bersenyawa dengan siapa saja. Mampu menyadari kesalahan-kesalahan secepat datangnya. Ia ingatan sekaligus bahan kehilafan.
Cinta itu pemaafan yang tidak terhingga. Kesan yang tidak terlupakan sejarah, walau ada perubahan musim dan jamannya. Ia benteng tidak jebol adanya serbuan betubi-tubi atau gerilyawan. Ia sanggup mengangkat sesuatu yang remang menjadi kejelasan. Tetapi bukannya mengkaburkan yang jelas menjadi keremangan. Atau keremangnya itu, wujud pengendalian daripada yang diselewengkan.
Cinta bukanlah mitos yang semua dapat menungganginya, tetapi jenderal perang yang memiliki ribuan tentara terlatih. Hanya berpenerimaan cinta, kita bisa memiliki segalanya di kedalaman diri, tubuh serta jiwa, hadir dari setiap kerjanya. Sedangkan dendam merupakan topeng yang harus disingkirkan. Akan berkurang tentara-tentaranya kalau pemimpinnya terlena, sebab cinta itu suatu yang berjalan terus-menerus, tanpa ada kemandekan.
Siapa yang mengistirahatkannya, saya fikir bukan cinta. Apakah kekecewaan atau kepikunan yang diembannya? Kekecewaan bukanlah efek dari padanya, namun efek daripada hasrat yang berlebihan. Maka timbullah pertanyaan di benak saudara; apakah cinta menumpah segala yang dikandung, dari dalam diri demi yang dicintai? Atau melewati perhitungan waktu dan tempat?
Jika pertanyaan itu dijawab, akan terjadi kecurigaan cinta di dalam diri. Karenanya, rasakanlah dalam diri, tetapi jangan mencari-cari cinta pada diri yang gulita. Sebab cinta itu sesuatu yang memancar, namun bukannya mudah diketemukan. Sebab setiap hati ada yang berkarat, ada nan bening pula. Olehnya, secepat keadaan hatilah hendaknya menemukan cinta. Ini pangkasan pada teyeng-teyeng yang menutupi pencayahaannya. Bukannya penggelembungan yang menyempitkan unsur-unsur lain.
Menjadi persis sejalan, ruh daripada kerja ialah cinta. Di sini saudara kudu merelakan menguliti kejiwaan diri. Merelakan sesuatu yang tak pantas masuk ke dalam bidang pemikiran dan perasaan saudara. Sebab penempatan tidak ada gunanya, pada rak yang sudah tertata. Malah akan mengotori, menyibukkan kerja tanpa dilandasi cinta.
Cinta, sanggup menyulap sesuatu yang tidak bermakna menjadi mulia. Di sini penciptaan formula kejujuran ditarik, sehingga bimbang terbuang, dan was-was menjelma kehendak mutlak. Dalam pada itu, bukannya was-was kegaduhan, yang dihasilkan dari mencla-menclenya lidah. Maka perlu adanya pengulangan, sejenis latihan-latihan kecil, membaca ayat-ayat kehidupan, sehingga tidak lupa tujuan.
Inilah was-was yang dihasilkan cinta, bukan was-was sebelum kedatangannya. Bisakah ditebak jujukan cinta, kapan dan dimana tempatnya? Pertanyaan ini menjadi panjang kalau tidak merasakan kerjanya. Sekali lagi, rasakanlah kerjanya dalam diri. Materi-materi di atas dihasilkan dari endapan, perenungan panjang, namun tidak meninggalkan unsur lain.
Adakah unsur-unsur hidup selain cinta? Segalanya dari cinta, dan akan kembali kepadanya pula. Maka bisa dikatakan, di sini pengerucutan cahaya yang dituju kembangkan demi menciptakan kesan, yang mengharapkan pesan-pesan dari yang tercintai.
Menjadi sempit, kalau saudara memaknai ini sesuatu mengada atau tak berguna. Sebab ini benang-benang halus yang berpandangan teliti lagi jitu, jangan sampai luput-tercerabut dari akarnya. Cinta menjadi lebih bermakna, bilamana dilandasi keyakinan diripada yang dicintainya.
Ini ngeranggehnya sukma cinta pada sesuatu di luar kebendaan, di luar batas ruang-waktu yang masih menggunakan ruang-waktu dalam diri kehidupan. Atau bisa diibaratkan mencintai sesuatu yang telah tiada. Kalau telah tiada, berarti pernah ada dan itu benang yang jelas lagi mudah tarikannya.
Tetapi, kalau mencintai sesuatu yang belum terlihat ada, atau belum tahu juntrungnya. Maka keyakinan yang harus tampil. Sebab cinta tanpa keyakinan itu kosong. Cinta sanggup hadir seperti keyakinan pun mampu menghadirkan dirinya. Maka seiring-sejalan kemantapan, keduanya menyerbu ke dataran nyata, menjangkau hakekatnya.
Terlihat gagasan seronok, kalau tidak dimengerti keberadaannya. Maka, pesan paling mendasar itu sebuah kemisterian harus digali. Di sini ada melewati pembukaan misteri, untuk menemukan hakekat misteri, ada pula yang langsung mengkaji kerjanya cinta dari misteri.
Pembuatan misteri lebih terangnya saat melemparkan dadu. Misteri yang terkandung; angka berapa yang keluar? Tetapi ini sudah selesai bagi para ahli. Di benak mereka pun, mempercayai adanya kemungkinan. Inilah kerjanya cinta yang lain, yang begitu jelas bagi pecinta.
Dan makna pecinta berdekatan dengan kembara. Adalah bukan kesimpangsiuran dibuat-buat bagi kembara, atau terbolak-baliknya hati si kembara. Ini didasari jiwa pengelana, yang selalu haus mencari dan sudih menguliti hakikat hidup dari kemisteriannya.
Sungguh kiranya menapak menyebandingkan misteri dengan keraguan. Kesamaan pada lakunya, rabahan pensuasanaan yang diharapkan dari keraguan dan misteri. Mengintriki dirinya menjadi sekutu dalam kerjasama.
Dalam keraguan memasuk bidang kepala, lantas misteri mengikuti. Sebab bersama keyakinan yang ada pun, jiwa saudara masih ragu. Maka jelaslah, saudara adalah anak tangan keraguan diri sendiri. Ini bidang lain yang harus digarap, agar mencapai hakekat ragukan. Misteri yang dimisterikan untuk dihadirkan sebagai kekongkritan. Inikah permainan garis tangan nasib dengan kesungguhan?
Bagaimana bisa masuk ke rumah? Apalagi ke pekarangan orang lain? Disini keraguan akan mendukungmu meloloskan segala permasalahan cinta. Ini pintu lain demi menghadirkan yang dicintai. Dengan keraguan berani menanggung resiko, bukan resiko jahat atau buruk, tetapi resiko senyuman. Karena siapapun marah atau kesal, dalam masa tertentu ia akan mempertimbangkan.
Dan jika diteruskan keraguan, keyakinan akan hadir menolong, melumpuhkan kecurigaan. Ini serupa teknik akrobat di hadapan penonton. Tetapi bukan bermain licik dalam hal tersebut. Kita hanya pertajam sikap senyawa, untuk dihadirkan ke pentas. Pertunjukan mendebarkan ini, menguliti perasaan bersama misteri. Oh cinta.
*) Pengelana yang menyukai dunia sastra dari Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar