Teguh Winarsho AS
Asshalatu khairu minna naum...
Allahu akbar, Allhu akbar....
Laa illaha illallah....
SENYAP subuh tiba-tiba pecah oleh gema suara azan. Laki-laki itu, Hasan, hatinya bergetar. Ia harus segera menunaikan kewajibannya. Mengambil air wudu dan salat berjemaah. Tapi, ah, ada sesuatu yang membuat pikirannya resah gelisah. Kedua kakinya enggan melangkah. Tampak di atas, langit subuh meremang bertabur bintang sisa malam pekat yang nyaris pudar. Sementara di udara, kabut tipis mulai bergerak dari arah bukit melulur pepohonan, bergetar pada lampu-lampu neon di pinggir jalan.
Setelah menghimpun segenap kekuatan, Hasan memberanikan diri keluar dari balik rumpun bambu dan ilalang. Berjalan mengendap-endap menerobos semak belukar, menyembunyikan buntalan karung di antara semak tak terjamah. Di jalan depan, dalam remang pandang Hasan melihat beberapa orang tua berjalan terbungkuk-bungkuk menuju surau. Mengamit tasbih. Aroma minyak wangi meruap dari tubuh orang-orang tua itu menyentak hidung Hasan.
Hasan berjingkat keluar dari pekarangan mengikuti langkah orang-orang itu menuju surau. Jalanan tampak lengang karena memang begitulah jemaah subuh di surau, hanya berisi orang-orang tua tak pernah lebih enam orang. Dingin air yang mengucur dari padasan, terasa dingin membasuh wajah Hasan manakala ia wudu. Sejurus kemudian Hasan melangkah hati-hati menapaki undakan surau, duduk bersila di barisan depan menunggu ikamat. Geremeng suara zikir membuat Hasan hanyut, terlena, hingga mulutnya ikut bergerak melafalkan asma Allah dengan segenap rindu dan kepasrahan.
Lalu, seseorang mengumandangkan ikamah. Hasan segera berdiri dan sempat menghitung, hanya ada lima orang yang berjemaah. Hati Hasan tiba-tiba perih, seperti tertusuk beribu duri.
"Matamu merah, Hasan. Apakah semalaman kau tidak tidur?" usai salat subuh Haji Ali menghampiri, menepuk pundak Hasan.
Hasan tergeragap, menggosok-gosok mata. "Belum, Pak Haji...." Suara Hasan parau, membetulkan duduk.
"Aku kagum padamu, Hasan. Kau anak muda yang masih mau menjaga rumah Allah. Seperti kau lihat sendiri tak ada anak muda yang mau jemaah subuh di sini. Hanya orang-orang tua yang sudah bau tanah," kata Haji Ali penuh kekaguman pada Hasan. Senyumnya mengembang. "Oh, ya, kudengar kau sudah memutuskan tinggal di kampung ini. Itu baik sekali. Amalkan ilmu yang kau peroleh selama di pesantren untuk kemaslahatan umat."
"Insya Allah, Pak Haji. Selain itu, sudah lama saya punya cita-cita ingin mendirikan masjid di kampung ini."
"Masjid? Aku setuju sekali, Hasan. Surau ini sudah terlalu tua dan tak layak. Tapi apakah kau punya uang? Untuk mendirikan masjid butuh uang tidak sedikit. Kau tahu sendiri, banyak orang kaya di kampung ini, tapi mereka enggan mengeluarkan sebagian harta kekayaan mereka di jalan Allah."
Hasan mengempaskan napasnya yang sekian lama tertahan di dada. Ada perasaan perih yang menikam. "Mudah-mudahan Allah memberi saya rezeki yang banyak, sehingga saya bisa mewujudkan keinginan itu. Saya juga berharap nantinya orang-orang kampung kemudian rajin datang ke masjid."
"Amin. Amin. Memang, siapa lagi yang akan memuliakan rumah Allah, jika bukan kita umatnya? Aku sangat mendukung gagasanmu, Hasan."
Hasan mengangguk-angguk. Di Timur, di antara lengap kabut dan embun yang masih menempel di ujung dedaunan, seberkas cahaya merah perlahan merekah. Sebentar lagi terang matahari menyentuh tanah. Sebentar lagi orang-orang kampung keluar rumah. Mendadak Hasan gelisah. Ia teringat buntalan karung yang ia sembunyikan di antara semak tak terjamah di pekarangan kosong seberang jalan. Tak ingin berlama-lama, Hasan segera menyalami laki-laki tua di depannya, pamit mohon diri.
***
Azan isya baru saja berkumandang. Tapi Hasan tidak segera bergegas ke surau lantaran di rumahnya, di atas tikar pandan, kini duduk tiga anak muda. Pandangan mata mereka tegas, tajam, menyiratkan niat yang tulus dan kesungguhan. Sembari mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh, Hasan menatap satu persatu anak muda sebaya dia itu. Lalu, "Mulai sekarang, berjemaahlah kalian di sini. Sebab, masjid tak lain adalah tempat sujud. Akan kudirikan masjid di rumah ini!" Dalam senyap suara Hasan bergetar. "Banyak orang kaya di kampung ini, tapi tak ada sebuah masjid pun! Astaghfirullah...."
"Kau ingin mendirikan masjid? Apakah kau punya uang?" Seseorang bertanya ragu.
Sejenak Hasan menatap orang itu lalu tertawa pelan. Matanya sahdu, lembut dan dalam, seperti bening telaga di pegunungan. "Allah Mahakaya dan Maha Pemurah," jawab Hasan penuh kepastian.
Memutar-mutar butir tasbih, hatinya terus berzikir. "Kekayaan Lurah Santani, Juragan Gambuh, Carik Wadi, Pak Baskoro, Pak Gani, tak ada apa-apanya di hadapan Allah."
Sesaat Hasan melepaskan tasbih, menjentikkan jari kecilnya. "Ingat, Allah Penguasa dan pemilik langit dan bumi, tak akan kekurangan cara untuk membuat seseorang menjadi kaya atau tiba-tiba jatuh miskin! Kun faya kun! Jadi, maka jadilah!"
Dingin malam menerobos jendela. Disusul gerimis, tiris. Tapi, tiga anak muda itu tetap tak berpaling dari hadapan Hasan. Duduk khusyuk. Dalam hati mereka memendam kekaguman pada Hasan. Ya, Hasan, yatim piatu yang dulu teramat miskin, setelah delapan tahun lebih merantau kini pulang dengan pikiran gemilang dan mulai beranjak dari kemiskinannya. Semua orang tahu, sepetak sawah peninggalan orangtua Hasan, mustahil bisa membuat Hasan seperti sekarang ini. Apalagi musim kemarau panjang, sawah itu tak menghasilkan apa-apa, kecuali bongkah-bongkah tanah merah.
"Ketahuilah, semua yang ada di langit dan bumi ini milik Allah. Di situ melimpah rezeki Allah, asal kita mau bekerja keras dan istikamah!" Suara Hasan menjadi lirih, ditelan gerimis yang nampaknya akan menjadi hujan deras. Sesekali angin kencang meliuk, mengempas daun-daun mangga di halaman depan. Hasan beranjak menutup jendela. Selingkar tasbih masih melekat erat di genggamannya.
"Maksudmu?"
Hasan seperti terkejut mendapat pertanyaan itu. Tapi senyum yang kemudian mengembang di bibirnya mampu menghapus keterkejutannya. "Beribadah hanya kepada Allah dan bekerja giat!"
"Selama ini aku sudah bekerja giat dan tekun beribadah. Tapi aku masih tetap miskin. Seandainya aku mencuri, apakah aku berdosa?"
Kembali Hasan tersentak. Sesaat keningnya berkerut. Namun, bibirnya kembali bergerak, tersenyum. Matanya menyorot teduh. Wajahnya bercahaya. "Suatu hari para sahabat datang ke rumah Khalifah Umar mengadukan seorang pencuri yang ketahuan mengambil harta milik orang kaya. Para sahabat menginginkan agar Khalifah Umar sendiri yang memotong tangan pencuri itu. Akan tetapi, Khalifah Umar tidak tega melakukannya karena pencuri itu hidupnya miskin. Beberapa hari kemudian para sahabat datang lagi ke rumah Khalifah Umar membawa pencuri yang sama. Kembali Khalifah Umar tidak tega memotong tangan pencuri itu. Khalifah Umar justru bilang, jika dia sampai mencuri untuk yang ketiga kalinya, maka yang harus dipotong bukan tangan si orang miskin, melainkan tangan si orang kaya. Jadi...."
***
Kampung Majnun yang sebagian besar penduduknya kaya raya dilanda resah, terancam bangkrut, miskin. Setiap malam ada saja warganya yang mengaku kecurian. Bahkan di siang bolong, seekor kambing bisa hilang dari kandang. Sepeda motor yang baru diparkir di halaman rumah mendadak raib, hilang. Begitu pula televisi, tape, radio, jemuran, buah-buahan, begitu cepat lesap dari pandangan. Sedetik saja lepas dari pandangan, barang-barang itu bisa melayang.
Meskipun keamanan sudah ditingkatkan, pencuri itu selalu berhasil lolos. Malam adalah saat keresahan menebah menghantui penduduk kampung hingga mereka tak bisa tidur nyenyak. Belum pernah mereka dicekam keresahan seperti ini. Orang-orang pun kemudian sibuk menjaga harta bendanya masing-masing.
Sementara itu, Hasan dibantu tiga orang temannya sibuk merampungkan fondasi masjid di tanah pekarangan rumahnya.
"Allah menguji mereka dengan kehilangan harta benda semata-mata agar selalu ingat pada Allah. Bukankah Allah yang telah memberi mereka kemakmuran? Kelak, jika masjid ini selesai dibangun mudah-mudahan mereka sadar, kembali ke jalan Allah." Suara Hasan terdengar lantang di siang terik, mengelus-elus jenggotnya yang kian panjang dan lebat sembari mengawasi Burhan, Munaf, dan Rasyid, tiga murid setia yang terus sibuk merampungkan fondasi masjid. Terengah-engah tiga orang itu, menggotong batu, mengangkut pasir dan membuat adonan semen. Truk sesekali menderu menurunkan bahan bangunan.
"Apakah Allah akan mengutuk kampung ini?"
Termenung sesaat, Hasan menggeleng. "Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Oya, Munaf, apakah bapakmu sekarang sudah mulai salat?"
Munaf yang ditanya mengangkat kepalanya. "Sudah. Bahkan kadang puasa Senin-Kamis."
"Bagus. Mudah-mudahan kelak bisa menjadi ahli surga. Bagaimana dengan bapakmu, Burhan?"
"Kemarin sudah rajin, tapi sekarang berhenti."
"Kenapa?" Hasan kaget, mendekat.
"Sejak sepeda motornya hilang, bapak tak mau salat!"
Mendengar jawaban itu wajah Hasan memucat bagai tersengat arus listrik. Tapi hanya sesaat. "Apakah rumahmu masih yang di dekat sungai itu, Burhan? Rumah paling megah di antara penduduk di sekitarnya?"
"Benar. Ada apa?"
"Oh...tidak apa-apa. Mungkin bapakmu lupa zakat. Suruh bapakmu kembali salat. Semoga Allah mengganti dengan rezeki yang berkah dan berlimpah."
***
Tak ingin pembangunan masjid tersendat-sendat, Hasan akhirnya menyewa tenaga kuli bangunan. Diam-diam warga kampung berdecak kagum. Di tengah kemiskinan yang terus merongrong, Hasan justru makin kaya. Meskipun lantai masih tanah, dinding belum dilapisi semen, kubah belum dipasang, tapi masjid itu sudah digunakan untuk salat berjemaah. Hasan selalu mengumandangkan azan sekaligus bertindak sebagai imam. Pada jemaah salat subuh Hasan akan memberi ceramah singkat. Tapi, hanya hari-hari pertama saja masjid itu ramai. Hari-hari berikutnya sepi. Jemaahnya tak pernah lebih sepuluh orang.
Keresahan warga kampung kian buncah lantaran sudah hampir delapan bulan pencuri yang meresahkan itu belum tertangkap. Segala upaya sudah dikerahkan, tapi selalu gagal. Memang, beberapa orang pernah melihat pencuri itu, tapi seperti siluman pencuri itu tiba-tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah terendus jejaknya. Beberapa orang lagi pernah melihat pencuri itu mengendap-endap masuk serambi masjid, tapi begitu dilihat ke dalam, hanya kelenggangan yang ada.
Dendam yang tak tertahan membuat warga kampung terus berjaga-jaga sepanjang siang dan malam. Mereka banyak yang berhenti bekerja hanya karena ingin menangkap pencuri. Dan, entah dari mana sumbernya, kasak-kusuk itu mulai santer terdengar. Kasak-kusuk yang menyebut nama Hasan sebagai biang kerok pencurian selama ini. Begitulah, kebencian mulai tumbuh di dada setiap orang pada Hasan. Tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Orang-orang pun mulai mengintai setiap gerak-gerik Hasan.
Hingga suatu malam, ketika bulan bersinar cukup terang, misteri panjang itu mulai terungkap. Sepuluh orang lebih, tak mungkin pandangan mata mereka tertipu. Dan, laki-laki yang sembunyi di balik semak-semak dengan buntalan melekat di punggung itu, jelas tak lain kecuali Hasan! Dengan pedang terhunus dan kebencian membuncah, serentak orang-orang memburu laki-laki itu. Mereka tampak beringas, bersorak-sorai, justru karena orang yang selama ini dikenal alim dan saleh oleh masyarakat ternyata seorang pencuri ulung.
Kentongan segera dipukul, pedang diayun-ayunkan, sesekali tampak berkilat tertimpa cahaya bulan.
Pencuri itu tinggal lima belas atau dua puluh meter lagi, tapi mendadak orang-orang berhenti. Merapat. Menajamkan pendengaran. Dari masjid, suara azan subuh terdengar nyaring, menggema, menusuk-nusuk gendang telinga. Selain sudah sangat hafal, telinga sepuluh orang tak mungkin salah dengar. Jelas suara azan itu milik Hasan! Ya, suara Hasan! Dan, bukankah hanya Hasan satu-satunya orang di kampung yang sudi mengumandangkan azan?
Lalu siapa pencuri itu? Dalam diam orang-orang saling pandang. Heran.
---
Depok, 2004-2005
pernah termuat di Lampung Post 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar