Senin, 01 September 2008

Pencuri (Bukan) Malaikat

Teguh Winarsho AS

Asshalatu khairu minna naum...
Allahu akbar, Allhu akbar....
Laa illaha illallah....

SENYAP subuh tiba-tiba pecah oleh gema suara azan. Laki-laki itu, Hasan, hatinya bergetar. Ia harus segera menunaikan kewajibannya. Mengambil air wudu dan salat berjemaah. Tapi, ah, ada sesuatu yang membuat pikirannya resah gelisah. Kedua kakinya enggan melangkah. Tampak di atas, langit subuh meremang bertabur bintang sisa malam pekat yang nyaris pudar. Sementara di udara, kabut tipis mulai bergerak dari arah bukit melulur pepohonan, bergetar pada lampu-lampu neon di pinggir jalan.

Setelah menghimpun segenap kekuatan, Hasan memberanikan diri keluar dari balik rumpun bambu dan ilalang. Berjalan mengendap-endap menerobos semak belukar, menyembunyikan buntalan karung di antara semak tak terjamah. Di jalan depan, dalam remang pandang Hasan melihat beberapa orang tua berjalan terbungkuk-bungkuk menuju surau. Mengamit tasbih. Aroma minyak wangi meruap dari tubuh orang-orang tua itu menyentak hidung Hasan.

Hasan berjingkat keluar dari pekarangan mengikuti langkah orang-orang itu menuju surau. Jalanan tampak lengang karena memang begitulah jemaah subuh di surau, hanya berisi orang-orang tua tak pernah lebih enam orang. Dingin air yang mengucur dari padasan, terasa dingin membasuh wajah Hasan manakala ia wudu. Sejurus kemudian Hasan melangkah hati-hati menapaki undakan surau, duduk bersila di barisan depan menunggu ikamat. Geremeng suara zikir membuat Hasan hanyut, terlena, hingga mulutnya ikut bergerak melafalkan asma Allah dengan segenap rindu dan kepasrahan.

Lalu, seseorang mengumandangkan ikamah. Hasan segera berdiri dan sempat menghitung, hanya ada lima orang yang berjemaah. Hati Hasan tiba-tiba perih, seperti tertusuk beribu duri.

"Matamu merah, Hasan. Apakah semalaman kau tidak tidur?" usai salat subuh Haji Ali menghampiri, menepuk pundak Hasan.

Hasan tergeragap, menggosok-gosok mata. "Belum, Pak Haji...." Suara Hasan parau, membetulkan duduk.

"Aku kagum padamu, Hasan. Kau anak muda yang masih mau menjaga rumah Allah. Seperti kau lihat sendiri tak ada anak muda yang mau jemaah subuh di sini. Hanya orang-orang tua yang sudah bau tanah," kata Haji Ali penuh kekaguman pada Hasan. Senyumnya mengembang. "Oh, ya, kudengar kau sudah memutuskan tinggal di kampung ini. Itu baik sekali. Amalkan ilmu yang kau peroleh selama di pesantren untuk kemaslahatan umat."

"Insya Allah, Pak Haji. Selain itu, sudah lama saya punya cita-cita ingin mendirikan masjid di kampung ini."

"Masjid? Aku setuju sekali, Hasan. Surau ini sudah terlalu tua dan tak layak. Tapi apakah kau punya uang? Untuk mendirikan masjid butuh uang tidak sedikit. Kau tahu sendiri, banyak orang kaya di kampung ini, tapi mereka enggan mengeluarkan sebagian harta kekayaan mereka di jalan Allah."

Hasan mengempaskan napasnya yang sekian lama tertahan di dada. Ada perasaan perih yang menikam. "Mudah-mudahan Allah memberi saya rezeki yang banyak, sehingga saya bisa mewujudkan keinginan itu. Saya juga berharap nantinya orang-orang kampung kemudian rajin datang ke masjid."

"Amin. Amin. Memang, siapa lagi yang akan memuliakan rumah Allah, jika bukan kita umatnya? Aku sangat mendukung gagasanmu, Hasan."

Hasan mengangguk-angguk. Di Timur, di antara lengap kabut dan embun yang masih menempel di ujung dedaunan, seberkas cahaya merah perlahan merekah. Sebentar lagi terang matahari menyentuh tanah. Sebentar lagi orang-orang kampung keluar rumah. Mendadak Hasan gelisah. Ia teringat buntalan karung yang ia sembunyikan di antara semak tak terjamah di pekarangan kosong seberang jalan. Tak ingin berlama-lama, Hasan segera menyalami laki-laki tua di depannya, pamit mohon diri.

***

Azan isya baru saja berkumandang. Tapi Hasan tidak segera bergegas ke surau lantaran di rumahnya, di atas tikar pandan, kini duduk tiga anak muda. Pandangan mata mereka tegas, tajam, menyiratkan niat yang tulus dan kesungguhan. Sembari mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh, Hasan menatap satu persatu anak muda sebaya dia itu. Lalu, "Mulai sekarang, berjemaahlah kalian di sini. Sebab, masjid tak lain adalah tempat sujud. Akan kudirikan masjid di rumah ini!" Dalam senyap suara Hasan bergetar. "Banyak orang kaya di kampung ini, tapi tak ada sebuah masjid pun! Astaghfirullah...."

"Kau ingin mendirikan masjid? Apakah kau punya uang?" Seseorang bertanya ragu.

Sejenak Hasan menatap orang itu lalu tertawa pelan. Matanya sahdu, lembut dan dalam, seperti bening telaga di pegunungan. "Allah Mahakaya dan Maha Pemurah," jawab Hasan penuh kepastian.

Memutar-mutar butir tasbih, hatinya terus berzikir. "Kekayaan Lurah Santani, Juragan Gambuh, Carik Wadi, Pak Baskoro, Pak Gani, tak ada apa-apanya di hadapan Allah."

Sesaat Hasan melepaskan tasbih, menjentikkan jari kecilnya. "Ingat, Allah Penguasa dan pemilik langit dan bumi, tak akan kekurangan cara untuk membuat seseorang menjadi kaya atau tiba-tiba jatuh miskin! Kun faya kun! Jadi, maka jadilah!"

Dingin malam menerobos jendela. Disusul gerimis, tiris. Tapi, tiga anak muda itu tetap tak berpaling dari hadapan Hasan. Duduk khusyuk. Dalam hati mereka memendam kekaguman pada Hasan. Ya, Hasan, yatim piatu yang dulu teramat miskin, setelah delapan tahun lebih merantau kini pulang dengan pikiran gemilang dan mulai beranjak dari kemiskinannya. Semua orang tahu, sepetak sawah peninggalan orangtua Hasan, mustahil bisa membuat Hasan seperti sekarang ini. Apalagi musim kemarau panjang, sawah itu tak menghasilkan apa-apa, kecuali bongkah-bongkah tanah merah.

"Ketahuilah, semua yang ada di langit dan bumi ini milik Allah. Di situ melimpah rezeki Allah, asal kita mau bekerja keras dan istikamah!" Suara Hasan menjadi lirih, ditelan gerimis yang nampaknya akan menjadi hujan deras. Sesekali angin kencang meliuk, mengempas daun-daun mangga di halaman depan. Hasan beranjak menutup jendela. Selingkar tasbih masih melekat erat di genggamannya.

"Maksudmu?"

Hasan seperti terkejut mendapat pertanyaan itu. Tapi senyum yang kemudian mengembang di bibirnya mampu menghapus keterkejutannya. "Beribadah hanya kepada Allah dan bekerja giat!"

"Selama ini aku sudah bekerja giat dan tekun beribadah. Tapi aku masih tetap miskin. Seandainya aku mencuri, apakah aku berdosa?"

Kembali Hasan tersentak. Sesaat keningnya berkerut. Namun, bibirnya kembali bergerak, tersenyum. Matanya menyorot teduh. Wajahnya bercahaya. "Suatu hari para sahabat datang ke rumah Khalifah Umar mengadukan seorang pencuri yang ketahuan mengambil harta milik orang kaya. Para sahabat menginginkan agar Khalifah Umar sendiri yang memotong tangan pencuri itu. Akan tetapi, Khalifah Umar tidak tega melakukannya karena pencuri itu hidupnya miskin. Beberapa hari kemudian para sahabat datang lagi ke rumah Khalifah Umar membawa pencuri yang sama. Kembali Khalifah Umar tidak tega memotong tangan pencuri itu. Khalifah Umar justru bilang, jika dia sampai mencuri untuk yang ketiga kalinya, maka yang harus dipotong bukan tangan si orang miskin, melainkan tangan si orang kaya. Jadi...."

***

Kampung Majnun yang sebagian besar penduduknya kaya raya dilanda resah, terancam bangkrut, miskin. Setiap malam ada saja warganya yang mengaku kecurian. Bahkan di siang bolong, seekor kambing bisa hilang dari kandang. Sepeda motor yang baru diparkir di halaman rumah mendadak raib, hilang. Begitu pula televisi, tape, radio, jemuran, buah-buahan, begitu cepat lesap dari pandangan. Sedetik saja lepas dari pandangan, barang-barang itu bisa melayang.

Meskipun keamanan sudah ditingkatkan, pencuri itu selalu berhasil lolos. Malam adalah saat keresahan menebah menghantui penduduk kampung hingga mereka tak bisa tidur nyenyak. Belum pernah mereka dicekam keresahan seperti ini. Orang-orang pun kemudian sibuk menjaga harta bendanya masing-masing.

Sementara itu, Hasan dibantu tiga orang temannya sibuk merampungkan fondasi masjid di tanah pekarangan rumahnya.

"Allah menguji mereka dengan kehilangan harta benda semata-mata agar selalu ingat pada Allah. Bukankah Allah yang telah memberi mereka kemakmuran? Kelak, jika masjid ini selesai dibangun mudah-mudahan mereka sadar, kembali ke jalan Allah." Suara Hasan terdengar lantang di siang terik, mengelus-elus jenggotnya yang kian panjang dan lebat sembari mengawasi Burhan, Munaf, dan Rasyid, tiga murid setia yang terus sibuk merampungkan fondasi masjid. Terengah-engah tiga orang itu, menggotong batu, mengangkut pasir dan membuat adonan semen. Truk sesekali menderu menurunkan bahan bangunan.

"Apakah Allah akan mengutuk kampung ini?"

Termenung sesaat, Hasan menggeleng. "Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Oya, Munaf, apakah bapakmu sekarang sudah mulai salat?"

Munaf yang ditanya mengangkat kepalanya. "Sudah. Bahkan kadang puasa Senin-Kamis."

"Bagus. Mudah-mudahan kelak bisa menjadi ahli surga. Bagaimana dengan bapakmu, Burhan?"

"Kemarin sudah rajin, tapi sekarang berhenti."

"Kenapa?" Hasan kaget, mendekat.

"Sejak sepeda motornya hilang, bapak tak mau salat!"

Mendengar jawaban itu wajah Hasan memucat bagai tersengat arus listrik. Tapi hanya sesaat. "Apakah rumahmu masih yang di dekat sungai itu, Burhan? Rumah paling megah di antara penduduk di sekitarnya?"

"Benar. Ada apa?"

"Oh...tidak apa-apa. Mungkin bapakmu lupa zakat. Suruh bapakmu kembali salat. Semoga Allah mengganti dengan rezeki yang berkah dan berlimpah."

***

Tak ingin pembangunan masjid tersendat-sendat, Hasan akhirnya menyewa tenaga kuli bangunan. Diam-diam warga kampung berdecak kagum. Di tengah kemiskinan yang terus merongrong, Hasan justru makin kaya. Meskipun lantai masih tanah, dinding belum dilapisi semen, kubah belum dipasang, tapi masjid itu sudah digunakan untuk salat berjemaah. Hasan selalu mengumandangkan azan sekaligus bertindak sebagai imam. Pada jemaah salat subuh Hasan akan memberi ceramah singkat. Tapi, hanya hari-hari pertama saja masjid itu ramai. Hari-hari berikutnya sepi. Jemaahnya tak pernah lebih sepuluh orang.

Keresahan warga kampung kian buncah lantaran sudah hampir delapan bulan pencuri yang meresahkan itu belum tertangkap. Segala upaya sudah dikerahkan, tapi selalu gagal. Memang, beberapa orang pernah melihat pencuri itu, tapi seperti siluman pencuri itu tiba-tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah terendus jejaknya. Beberapa orang lagi pernah melihat pencuri itu mengendap-endap masuk serambi masjid, tapi begitu dilihat ke dalam, hanya kelenggangan yang ada.

Dendam yang tak tertahan membuat warga kampung terus berjaga-jaga sepanjang siang dan malam. Mereka banyak yang berhenti bekerja hanya karena ingin menangkap pencuri. Dan, entah dari mana sumbernya, kasak-kusuk itu mulai santer terdengar. Kasak-kusuk yang menyebut nama Hasan sebagai biang kerok pencurian selama ini. Begitulah, kebencian mulai tumbuh di dada setiap orang pada Hasan. Tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Orang-orang pun mulai mengintai setiap gerak-gerik Hasan.

Hingga suatu malam, ketika bulan bersinar cukup terang, misteri panjang itu mulai terungkap. Sepuluh orang lebih, tak mungkin pandangan mata mereka tertipu. Dan, laki-laki yang sembunyi di balik semak-semak dengan buntalan melekat di punggung itu, jelas tak lain kecuali Hasan! Dengan pedang terhunus dan kebencian membuncah, serentak orang-orang memburu laki-laki itu. Mereka tampak beringas, bersorak-sorai, justru karena orang yang selama ini dikenal alim dan saleh oleh masyarakat ternyata seorang pencuri ulung.

Kentongan segera dipukul, pedang diayun-ayunkan, sesekali tampak berkilat tertimpa cahaya bulan.

Pencuri itu tinggal lima belas atau dua puluh meter lagi, tapi mendadak orang-orang berhenti. Merapat. Menajamkan pendengaran. Dari masjid, suara azan subuh terdengar nyaring, menggema, menusuk-nusuk gendang telinga. Selain sudah sangat hafal, telinga sepuluh orang tak mungkin salah dengar. Jelas suara azan itu milik Hasan! Ya, suara Hasan! Dan, bukankah hanya Hasan satu-satunya orang di kampung yang sudi mengumandangkan azan?

Lalu siapa pencuri itu? Dalam diam orang-orang saling pandang. Heran.
---
Depok, 2004-2005
pernah termuat di Lampung Post 2005

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati