Kamis, 25 September 2008

RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I - XCVIII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=227


Suara gending-gending masih megalun dalam jiwamu,
walau tetabuhannya telah dihentikan, merasakan diamnya ke puncak membiru
lalu sukma berbisik, mengetuk jendela perempuan-perempuan abadi (IV: I).

Ketukan tembang mengalun ke tangga pesawahan wewaktu,
ia membuat minuman yang paling kau sukai sehabis berlatih lama
pepohon kehidupan itu menggeraikan tetangkai usiamu (IV: II).

Masuklah kemari wahai jiwa-jiwa yang berada di luar
laksana awan-gemawan membukakan pepintu,
singgahlah wahai kau, dan tetaplah di kedamaiannya (IV: III).

Istirahlah di ketinggianmu, biarkan mereka memandang kesulitan
sebab cinta-kasih penglihatannya terawat
walau nafasnya hampir memupus kepada sulur rimba angkasa (IV: IV).

Perbaikilah tarianmu, sebelum panggung wengi persembahkan purnama,
masa-masa dinanti mata bening embun sang keheningan sejati rasa (IV: V).

Lambaian sampurmu, murni bahasa lain gemulai jiwa,
sedang lautanmu mengaduk-aduk dasar kemanusiaan, tetapi mereka masih terdiam
seumpama karang bodoh oleh isyarat gelombang (IV: VI).

Meminjam pena dari lautan tak berdasar,
wewarna berubah sulit menangkapnya, hanya penglihatan jiwanya menjadi pengertian
sedangkan tubuh sama mayanya, saat bayangan diartikan getaran semata (IV: VII).

Ia tak bosan berucap, jagalah dirimu wahai perempuan abadi
sebab takdirmu seharum pamor sejarah padma dalam telaga kasih (IV: VIII).

Ciptakan sakit hati mereka atas cemburu,
dengan itu akan mengerti wewarna bebatuan di dasar kali (IV: IX).

Semakin ditunjukkan kemarahan, teringat masa silam pernah tenggelam,
aku pemandu, mengangkat tubuh pena sebagaimana kali ini (IV: X).

Kenapa tak lagi dalam jiwamu? Jasadmu menari bukannya memanggil,
pelajarilah keteguhan fajar menanti terbangnya burung bangau
menuju pesawahan lembah, ngarai petilasan (IV: XI).

Teruskanlah, meski langit masih menggeliat manja atas kokok ayam jantan,
jadikan matahari penerang jalan bagi domba ke padang rumput bebunga (IV: XII).

Mengapa memilih tidur bersama pengembala dungu di antara mekar puja?
Kemarilah, wahai yang mengendap dekat daun jendela di balik selambu (IV: XIII).

Usah menjangkau kedalaman curiga mengusung prasangka,
lepaskan seluruh beban ruang-waktu, datanglah berwajah renyah-ringan
sebab kecantikanmu sesegar gunung tropis di layar langit membiru (IV: XIV).

Kau ingat bersama angin mengibas untaian rambutmu,
kelembutan menjuntai kubur kebosanan dan tariklah pengertian
kepompong mencipta sayap kekupu terbang di bunga penampilan
kepada kebun pandanganmu seorang (IV: XV).

Jika terasa gelisah, hakikat kebenaran mendekatmu,
ruang-waktu mengabadikan dirimu menerangkan senyuman (IV: XVI).

Ia tak menyia-nyiakan pengalaman membimbing,
menuntun alirannya kepada muara sentausa (IV: XVII).

Sebongkah batu menyumbat mata air menerobos nalar ketabahan,
kehendaknya memecah bebatuan kerikil menjadikan bermakna (IV: XVIII).

Barangsiapa lahir berkekuatan, akan menghadang memukul lawan,
merindu pemekaran, itulah watak lapang menerima pengaduan (IV: XIX).

Jurang terjal karang cadas berkilau memantulkan sinar
tak hanya menerima tidak berdasar ceruk kesungguhan nurani
kalau ditimba, walau bersimbah maut berdarah juang (IV: XX).

Nikmatilah keganjilan, esok bakal tersadar kebenaran kini
menemukan limpahan ruh hakikat madunya kembang (IV: XXI).

Yang berjalan sering terlupa jemarinya lentik berlambaian
serupa syair tubuh para penari menuju batas-batas keheningan
semakin memperjelas benteng kesadaran kerajaannya (IV: XXII).

Kau keraton di segenap dirinya, semua tiada canggung,
lebur menguap bersama sukma-sukma jatuh cinta (IV: XXIII).

Biarkan keganjilan memandu ke perkampungan terpencil,
melewatinya kian mengakrabkan ayunan kaki terlahir (IV: XXIV).

Tidak perlu berjalan menghindari sebab rasa malu,
biarkan pertemuan bernadakan takdir memberi-terima
sebagai bahasa mencari tidak berjarak (IV: XXV).

Buang jauh-jauh perasaan mual terhadap tinta menghitam,
percayalah sebelum catatan ini kau simpan, esok bakal terkenang
dan kajilah dengan batin sesederhana nantinya (IV: XXVI).

Dia merasa lega kau merawat kedekatan saudara, apabila menjemukan
ambillah persembahan ini, mengartikan senggang tak hanya bagimu (IV: XXVII).

Dia sangatlah bahagia di tengah-tengah limpahan doa
merawat jari-jemari mewujudkan tari-tarian puja (IV: XXVIII).

Wahai kelembutan, rapikan kukumu bergunting kearifan,
aku ingin memandangmu rapi di segenap hal
tidak terkecuali pribadimu, begitu santun maha peramal (IV: XXIX).

Kau merawat diam di antara bola-bola matamu,
dirimu tahu sedang kembara jauh ke dasar kewanitaanmu
sepadan ruang kehidupan menerima pengajaran (IV: XXX).

Setiap perintahnya tiada mencederai cemburu melukaimu,
ia tandas kasih perhatian menyayangi sungguh (IV: XXXI).

Rawatlah sungai jemarimu
yang mengalir murni dari sela-sela keheningan (IV: XXXII).

Tubuhmu serupa bambu yang ditarik bayu atau jangan-jangan
angin tertarik goyangan daunmu, menuju pantai harapan (IV: XXXIII).

Kesengajaan tulisan ini menjadikan bacaan takdirmu,
kehidupan membuka ketika lelangkah ke muka (IV: XXXIV).

Terimalah penantianmu sebab kau dewi ditunggu-tunggu,
laksana mendung menghitam dalam musim kelabu (IV: XXXV).

Berilah senyuman ke hadapan saudara-saudaramu,
hatimu bukan pertama sebab semuanya telah dikodratkan
tetapi kehadiranmu bermakna baru pada giliran itu (IV: XXXVI).

Kelebihanmu dapat merasakan coretan bathin kesungguhan,
ia tengah memahat relief di bangunan candi hatimu (IV: XXXVII).

Selamilah perasaannya, ia di kediamanmu paling rahasia
ketika kau mengangguk lewat semilir bayu
dihempaskan nafasnya ke dalam nafasmu (IV: XXXVIII).

Ini kekekalan yang berkumandang di pebukitan, lantas ia berseru,
cintailah perempuanmu seperti kau meyakini masa-masa abadi (IV: XXXIX).

Usahakan menguasai ruang-waktunya,
keluar-masuk dunia hampa menuju kelanggengan,
ia seakan berkata, di atas pebukitan nasib memiliki makna (IV: XL).

Kalam pembuka sangatlah berhimpitan serupa coretan terakhir
maka biarkan waktu senantiasa hening memaknai diri, perawan bukan kosong
seperti ladang digali hayati, menjelma perjamuan kasih paling manusiawi (IV: XLI).

Yakinlah telah diatur pemilik Kehendak,
lama memahami keberadaan benang-benang jiwa,
menatap pandang dalam gulungan setia (IV: XLII).

Terimalah tumpahan wedang dentingan gelas penghormatan, nasib si putri
mendengarkan katupan sayap kekupu dalam pesta musim persemaian (IV: XLIII).

Kehalusan budi kembara melebihi kangennya kupu-kupu pangeran
yang mengepak sedari jarak sangat lama (IV: XLIV).

Hanya demi memberikan semilir salam seharum ilalang
serupa fitroh semak belukar di hutan tropis dekat jalan (IV: XLV).

Apabila kelelahan dia mengobati dengan senyumnya sendiri,
tubuhnya pun pulih dalam telaga jiwa seharum kesturi (IV: XLVI).

Kala malam sepi, memintalah pengajaran pada gemintang,
lalu amati kerling mana yang paling kau sukai (IV: XLVII).

Rasakan keberadaanmu lantas ambil isyarat mendoa,
agar kejora senantiasa bersemayam dalam dada (IV: XLVIII).

Ingatlah kau bintang itu tetapi janganlah dijawab
sebelum keterasinganmu susut akrab, kau memberi lebih sebelumnya
atau itulah hipotesamu paling perawan yang pernah ada (IV: XLIX).

Ruh suci hayat mengunjungimu, kelepak sayapnya perkasa
menjagamu dari jarak tidak kau ketahui nan kau inginkan (IV: L).

Bukankah dambamu memberi jalan kedamaian, yang
kanan-kirinya dihiasi bebunga dan tiada bebatuan curiga
sebab nafasmu berhasrat ketulusan (IV: LI).

Yang sanggup melewati tapakan sunyi sebab tahu tingkatan ketabahan
menjadikan dirinya penentu di mata waktu; setiap perempuan tersadar sebagai
pilihannya sendiri, itu awal kepercayaan dalam jiwa segera damai abadi (IV: LII).

Sayap-sayap nyawa menggodamu dari kekhusyukan menggebu,
kembalilah kepada pengertian utama, pilihanmu sesungguhnya
bukan sekadar sungguh-sungguh tanpa keyakinan (IV: LIII).

Warisilah kepribadian ibumu, santun mempelajari
dan tekun menyempurnakan yang sudah ada (IV: LIV).

Jika menembangkan satu pengertian kan bercabang berduri,
berserat lagi bergetah, kau keturunan pohon berakar kokoh (IV: LV).

Ia tak menyebut berwibawa tetapi sosok anggun manusiawi,
membuat mereka sungkan oleh cahayamu berkilauan penuh
kepada memandang, niscaya nikmat tiada tara (IV: LVI).

Yang menyisir naungan malam demi sepenggal dunia lain,
permukaan siang berputar cepat tiada terpegang, hanyalah cahaya
sedang bayangan bukan penghalang (IV: LVII).

Hadirmu menambah magnit selagi alam di balik hijab
di tengah pengelanaan malam menumbuhkan cahaya fajar,
ditiup bayu membuka dedaun telinga perindu (IV: LVIII).

Ingatlah rimbunan pohon bersyair, rintik gerimis di hutan jati
saat purnama ditindih awan ditiupkan angin tempaan masa silam (IV: LIX).

Inilah gerakan musim-musim di bumi yang diikuti anak-anaknya,
kokok ayam mengetuk palu membuka gerbang dini hari, lagu serangga
bersahut-sahutan menyatukan irama katak seuntai sembahyang
seakan tak mau melewati wengi tanpa makna (IV: LX).

Sepi-sunyi berbunga mekar-hening-harum khusyukkan pena,
kembang teratai berkelopakan putih menerima takdir nyata (IV: LXI).

Ia bersila di antara bayang bergetar ditajamkan cahaya,
sesekali menjenguk ketenangan di luar,
tangan mega-mega terdiam merasakan kesendirian (IV: LXII).

Serpihan kabut samar-samar menyapa hasrat pendaki,
nikmatnya menambah bilangan tiada ragu memperbesar rindu
pada kau seorang, penghibur keengganan terpisah (IV: LXIII).

Gemerincing air pegunungan ke lembah semedi
pada kaki-kaki pemuda menjangkau tepian (IV: LXIV).

Mentari esok kekupu betina singgah di depan mata,
sayapnya mengepak berwarna senyum menggoda jiwa (IV: LXV).

Dirinya menanti pemakmur ladang jiwa yang lama kering,
hijau laut biru perindu, siapa menemukan pasangan kerang di pantai
demi sempurnakan tembang persembahan (IV: LXVI).

Jadikan ini kisah berharga pengisi ranum kalbumu,
kala langgam pagi diabadikan dunia, ruh lembutnya ditiup pedesaan
menuju kota-kota yang penghuninya mabuk berat keagungan (IV: LXVII).

Layang ini setangkai sekar merekah, jagalah serupa merawat tubuhmu
demi masa lanjut mengidungkan hikayat purbani bernilaikan pekerti (IV: LXVIII).

Lengking suara malammu seperti pernah teralami, tetembangan serangga
melewati masa dingin-tenang berlaksa-laksa langgam manusiawi (IV: LXIX).

Anggaplah bayangan teman pengganti, menghidupi kesendirian sunyi,
setelah deras hujan menyirami tlatah ke-adiluhung-an para leluhur (IV: LXX).

Ia memperlihatkan wajah paling terang,
kau melewatinya dikunjungi malam-malam silam (IV: LXXI).

Yang ia jalankan dikokohkan cahaya fajar,
ribuan kelelawar mencicipi buah bulan menggantung kemerahan (IV: LXXII).

Suara klenengan menyambut puja melebur sayapnya bagi kepakan abadi,
ia menjangkau pebukitan pada lereng-lereng terjal pedalaman waktu (IV: LXXIII).

Seluruh makhluk menghampiri, ada merayap, mengendap, melesat,
ada pula yang melaju laksana perahu (IV: LXXIV).

Terimalah pengajaran tiada habisnya,
lagi kekalkan dirimu kepada kehadiran seterusnya (IV: LXXV).

Kereta kencana lewat di sampingmu, menantilah sekembali dari perigi,
di mana setiap gelombang itu gerbang kerajaannya terbuka (IV: LXXVI).

Cahaya dan gelap ombak menyenangkan perasaan pasangan,
jiwamu-jiwanya merasakan pula tetesan sisa-sisa gerimis menyapa,
tercatat di lembaran dedaunan dikumpulkan masa (IV: LXXVII).

Pun demikian mereka borbondong sebab tertinggal,
yang telah tiba di tempat tujuan, menyantap hidangan tuan rumah
yang menyuguhkan wewangi kembang kesegaran peribadatan (IV: LXXVIII).

Buah ranum terasa manis dan harum kemboja menambah rangsangan,
senantiasa dahaga madu lebah tersimpan lama di kedua pundak sayap cinta,
ini bukan persengketaan, tetapi penebaran kasih berluap sayang (IV: LXXIX).

Setiap tarikan nafasnya memulihkan kesegaran,
kau teguk penuh khusyuk dengan datang tidak terlambat
atau menanti kereta hadir selanjutnya (IV: LXXX).

Tubuh bidadari harum mendekat penuh gairah cinta telah disucikan,
ambillah daya sekeliling wengi-mu,
bagi yang sekadar lewat, tidak perlu diberi jawab (IV: LXXXI).

Tidakkah banyak bersyukur bakal menimba kedalaman, kau mendapati
yang tidak terbayangkan, ini telah menjadi aturan sebelumnya (IV: LXXXII).

Irama kesemutan kaki-kaki setia lebih dulu sampai,
ketimbang yang pulas mendengkur atau perjalanan ngelantur (IV: LXXXIII).

Siapa sanggup mencapai tumpukan batu menstupa dengan keberadaan langit,
kecuali seekor burung elang telah ditakdirkan berkuasa terbang (IV: LXXXIV).

Wahai saudaraku, selamatkan kekupu yang terkulai di halamanmu
tanpa merontakkan sayapnya, merontokkan bedaknya, dan elus bebulu lembutnya
agar senantiasa setia menjaga di pangkuan tangan mesra penuh rela (IV: LXXXV).

Sekali tiupan sayang membangunkan tenaga kembali, dan
taruhlah beban sekarat, tidakkah kekupu bertelur lalu menetas,
seperti bayi-bayi merayap, dirimu laksana ulat (IV: LXXXVI).

Balutan tinta di kertas ketakutan mencoreng kulit wajah,
jadilah kau serupa dirinya, tidak sekadar bersinggah (IV: LXXXVII).

Badan kentungan berhenti bergoyang, kenapa masih ada bimbang?
Dan kenapa pula menyimpan kecurigaan? Apa pahalanya? (IV: LXXXVIII).

Mataair tetesan hujan abu-abu mendendangkan dedaun gugur
selaksa bayangan ditinggal terbang, kau dengar lelangkah ingin pulang,
tidakkah jalur di wilayahmu belum semuanya terlewati? (IV: LXXXIX).

Di waktu hening benar-benar membutuhkan,
teruskan tapakan usia bertambah lengang, dekatkan suaramu
pada gema kesendirian, ia merestui perjalanan mengagumkan (IV: XC).

Boleh kau cepat merasa kenyang, menganggap enteng persimpangan,
asal pedangmu melebihi tajamnya batu yang didatangkan dari gunung tertinggi,
tempat di mana burung-burung tiada pernah sanggup beranak-pinak (IV: XCI).

Pebukitan Ngerempak kayu putih desa Ngelipar, batang-batangnya
cemerlang berhutan cahaya, bebatuan kerikil memantulkan sinar bulan,
menggantikan kulit tubuh-tubuh perempuan (IV: XCII).

Seyogyanya lebih dulu menikmati seperti biasa
daripada memandang kegilaan sementara (IV: XCIII).

Akrabkan ketakutanmu serupa perasaan jatuh cinta,
lalu kau terbiasa oleh hawa paling ganjil sekalipun (IV: XCIV).

Tajamkan seluruh indramu biar peka merekam pengabdian
yang menyerupai lintasan angin menapak tilas jejak kembara (IV: XCV).

Yang berusaha keluar bergandengan
demi menemukan hakikat kebersamaan (IV: XCVI).

Tidakkah praduga menyerupai seringai singa?
Sebagaimana tiga gelombang suara angsa menegur ingatan,
bangau mengajarkan terbang menyelusupi pekat malam (IV: XCVII).

Sungguh yang patuh pantas dinamakan setia, petuah ini rawatlah
serupa fahami jagad diri, kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya
kepada kalian, kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati