Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=227
Suara gending-gending masih megalun dalam jiwamu,
walau tetabuhannya telah dihentikan, merasakan diamnya ke puncak membiru
lalu sukma berbisik, mengetuk jendela perempuan-perempuan abadi (IV: I).
Ketukan tembang mengalun ke tangga pesawahan wewaktu,
ia membuat minuman yang paling kau sukai sehabis berlatih lama
pepohon kehidupan itu menggeraikan tetangkai usiamu (IV: II).
Masuklah kemari wahai jiwa-jiwa yang berada di luar
laksana awan-gemawan membukakan pepintu,
singgahlah wahai kau, dan tetaplah di kedamaiannya (IV: III).
Istirahlah di ketinggianmu, biarkan mereka memandang kesulitan
sebab cinta-kasih penglihatannya terawat
walau nafasnya hampir memupus kepada sulur rimba angkasa (IV: IV).
Perbaikilah tarianmu, sebelum panggung wengi persembahkan purnama,
masa-masa dinanti mata bening embun sang keheningan sejati rasa (IV: V).
Lambaian sampurmu, murni bahasa lain gemulai jiwa,
sedang lautanmu mengaduk-aduk dasar kemanusiaan, tetapi mereka masih terdiam
seumpama karang bodoh oleh isyarat gelombang (IV: VI).
Meminjam pena dari lautan tak berdasar,
wewarna berubah sulit menangkapnya, hanya penglihatan jiwanya menjadi pengertian
sedangkan tubuh sama mayanya, saat bayangan diartikan getaran semata (IV: VII).
Ia tak bosan berucap, jagalah dirimu wahai perempuan abadi
sebab takdirmu seharum pamor sejarah padma dalam telaga kasih (IV: VIII).
Ciptakan sakit hati mereka atas cemburu,
dengan itu akan mengerti wewarna bebatuan di dasar kali (IV: IX).
Semakin ditunjukkan kemarahan, teringat masa silam pernah tenggelam,
aku pemandu, mengangkat tubuh pena sebagaimana kali ini (IV: X).
Kenapa tak lagi dalam jiwamu? Jasadmu menari bukannya memanggil,
pelajarilah keteguhan fajar menanti terbangnya burung bangau
menuju pesawahan lembah, ngarai petilasan (IV: XI).
Teruskanlah, meski langit masih menggeliat manja atas kokok ayam jantan,
jadikan matahari penerang jalan bagi domba ke padang rumput bebunga (IV: XII).
Mengapa memilih tidur bersama pengembala dungu di antara mekar puja?
Kemarilah, wahai yang mengendap dekat daun jendela di balik selambu (IV: XIII).
Usah menjangkau kedalaman curiga mengusung prasangka,
lepaskan seluruh beban ruang-waktu, datanglah berwajah renyah-ringan
sebab kecantikanmu sesegar gunung tropis di layar langit membiru (IV: XIV).
Kau ingat bersama angin mengibas untaian rambutmu,
kelembutan menjuntai kubur kebosanan dan tariklah pengertian
kepompong mencipta sayap kekupu terbang di bunga penampilan
kepada kebun pandanganmu seorang (IV: XV).
Jika terasa gelisah, hakikat kebenaran mendekatmu,
ruang-waktu mengabadikan dirimu menerangkan senyuman (IV: XVI).
Ia tak menyia-nyiakan pengalaman membimbing,
menuntun alirannya kepada muara sentausa (IV: XVII).
Sebongkah batu menyumbat mata air menerobos nalar ketabahan,
kehendaknya memecah bebatuan kerikil menjadikan bermakna (IV: XVIII).
Barangsiapa lahir berkekuatan, akan menghadang memukul lawan,
merindu pemekaran, itulah watak lapang menerima pengaduan (IV: XIX).
Jurang terjal karang cadas berkilau memantulkan sinar
tak hanya menerima tidak berdasar ceruk kesungguhan nurani
kalau ditimba, walau bersimbah maut berdarah juang (IV: XX).
Nikmatilah keganjilan, esok bakal tersadar kebenaran kini
menemukan limpahan ruh hakikat madunya kembang (IV: XXI).
Yang berjalan sering terlupa jemarinya lentik berlambaian
serupa syair tubuh para penari menuju batas-batas keheningan
semakin memperjelas benteng kesadaran kerajaannya (IV: XXII).
Kau keraton di segenap dirinya, semua tiada canggung,
lebur menguap bersama sukma-sukma jatuh cinta (IV: XXIII).
Biarkan keganjilan memandu ke perkampungan terpencil,
melewatinya kian mengakrabkan ayunan kaki terlahir (IV: XXIV).
Tidak perlu berjalan menghindari sebab rasa malu,
biarkan pertemuan bernadakan takdir memberi-terima
sebagai bahasa mencari tidak berjarak (IV: XXV).
Buang jauh-jauh perasaan mual terhadap tinta menghitam,
percayalah sebelum catatan ini kau simpan, esok bakal terkenang
dan kajilah dengan batin sesederhana nantinya (IV: XXVI).
Dia merasa lega kau merawat kedekatan saudara, apabila menjemukan
ambillah persembahan ini, mengartikan senggang tak hanya bagimu (IV: XXVII).
Dia sangatlah bahagia di tengah-tengah limpahan doa
merawat jari-jemari mewujudkan tari-tarian puja (IV: XXVIII).
Wahai kelembutan, rapikan kukumu bergunting kearifan,
aku ingin memandangmu rapi di segenap hal
tidak terkecuali pribadimu, begitu santun maha peramal (IV: XXIX).
Kau merawat diam di antara bola-bola matamu,
dirimu tahu sedang kembara jauh ke dasar kewanitaanmu
sepadan ruang kehidupan menerima pengajaran (IV: XXX).
Setiap perintahnya tiada mencederai cemburu melukaimu,
ia tandas kasih perhatian menyayangi sungguh (IV: XXXI).
Rawatlah sungai jemarimu
yang mengalir murni dari sela-sela keheningan (IV: XXXII).
Tubuhmu serupa bambu yang ditarik bayu atau jangan-jangan
angin tertarik goyangan daunmu, menuju pantai harapan (IV: XXXIII).
Kesengajaan tulisan ini menjadikan bacaan takdirmu,
kehidupan membuka ketika lelangkah ke muka (IV: XXXIV).
Terimalah penantianmu sebab kau dewi ditunggu-tunggu,
laksana mendung menghitam dalam musim kelabu (IV: XXXV).
Berilah senyuman ke hadapan saudara-saudaramu,
hatimu bukan pertama sebab semuanya telah dikodratkan
tetapi kehadiranmu bermakna baru pada giliran itu (IV: XXXVI).
Kelebihanmu dapat merasakan coretan bathin kesungguhan,
ia tengah memahat relief di bangunan candi hatimu (IV: XXXVII).
Selamilah perasaannya, ia di kediamanmu paling rahasia
ketika kau mengangguk lewat semilir bayu
dihempaskan nafasnya ke dalam nafasmu (IV: XXXVIII).
Ini kekekalan yang berkumandang di pebukitan, lantas ia berseru,
cintailah perempuanmu seperti kau meyakini masa-masa abadi (IV: XXXIX).
Usahakan menguasai ruang-waktunya,
keluar-masuk dunia hampa menuju kelanggengan,
ia seakan berkata, di atas pebukitan nasib memiliki makna (IV: XL).
Kalam pembuka sangatlah berhimpitan serupa coretan terakhir
maka biarkan waktu senantiasa hening memaknai diri, perawan bukan kosong
seperti ladang digali hayati, menjelma perjamuan kasih paling manusiawi (IV: XLI).
Yakinlah telah diatur pemilik Kehendak,
lama memahami keberadaan benang-benang jiwa,
menatap pandang dalam gulungan setia (IV: XLII).
Terimalah tumpahan wedang dentingan gelas penghormatan, nasib si putri
mendengarkan katupan sayap kekupu dalam pesta musim persemaian (IV: XLIII).
Kehalusan budi kembara melebihi kangennya kupu-kupu pangeran
yang mengepak sedari jarak sangat lama (IV: XLIV).
Hanya demi memberikan semilir salam seharum ilalang
serupa fitroh semak belukar di hutan tropis dekat jalan (IV: XLV).
Apabila kelelahan dia mengobati dengan senyumnya sendiri,
tubuhnya pun pulih dalam telaga jiwa seharum kesturi (IV: XLVI).
Kala malam sepi, memintalah pengajaran pada gemintang,
lalu amati kerling mana yang paling kau sukai (IV: XLVII).
Rasakan keberadaanmu lantas ambil isyarat mendoa,
agar kejora senantiasa bersemayam dalam dada (IV: XLVIII).
Ingatlah kau bintang itu tetapi janganlah dijawab
sebelum keterasinganmu susut akrab, kau memberi lebih sebelumnya
atau itulah hipotesamu paling perawan yang pernah ada (IV: XLIX).
Ruh suci hayat mengunjungimu, kelepak sayapnya perkasa
menjagamu dari jarak tidak kau ketahui nan kau inginkan (IV: L).
Bukankah dambamu memberi jalan kedamaian, yang
kanan-kirinya dihiasi bebunga dan tiada bebatuan curiga
sebab nafasmu berhasrat ketulusan (IV: LI).
Yang sanggup melewati tapakan sunyi sebab tahu tingkatan ketabahan
menjadikan dirinya penentu di mata waktu; setiap perempuan tersadar sebagai
pilihannya sendiri, itu awal kepercayaan dalam jiwa segera damai abadi (IV: LII).
Sayap-sayap nyawa menggodamu dari kekhusyukan menggebu,
kembalilah kepada pengertian utama, pilihanmu sesungguhnya
bukan sekadar sungguh-sungguh tanpa keyakinan (IV: LIII).
Warisilah kepribadian ibumu, santun mempelajari
dan tekun menyempurnakan yang sudah ada (IV: LIV).
Jika menembangkan satu pengertian kan bercabang berduri,
berserat lagi bergetah, kau keturunan pohon berakar kokoh (IV: LV).
Ia tak menyebut berwibawa tetapi sosok anggun manusiawi,
membuat mereka sungkan oleh cahayamu berkilauan penuh
kepada memandang, niscaya nikmat tiada tara (IV: LVI).
Yang menyisir naungan malam demi sepenggal dunia lain,
permukaan siang berputar cepat tiada terpegang, hanyalah cahaya
sedang bayangan bukan penghalang (IV: LVII).
Hadirmu menambah magnit selagi alam di balik hijab
di tengah pengelanaan malam menumbuhkan cahaya fajar,
ditiup bayu membuka dedaun telinga perindu (IV: LVIII).
Ingatlah rimbunan pohon bersyair, rintik gerimis di hutan jati
saat purnama ditindih awan ditiupkan angin tempaan masa silam (IV: LIX).
Inilah gerakan musim-musim di bumi yang diikuti anak-anaknya,
kokok ayam mengetuk palu membuka gerbang dini hari, lagu serangga
bersahut-sahutan menyatukan irama katak seuntai sembahyang
seakan tak mau melewati wengi tanpa makna (IV: LX).
Sepi-sunyi berbunga mekar-hening-harum khusyukkan pena,
kembang teratai berkelopakan putih menerima takdir nyata (IV: LXI).
Ia bersila di antara bayang bergetar ditajamkan cahaya,
sesekali menjenguk ketenangan di luar,
tangan mega-mega terdiam merasakan kesendirian (IV: LXII).
Serpihan kabut samar-samar menyapa hasrat pendaki,
nikmatnya menambah bilangan tiada ragu memperbesar rindu
pada kau seorang, penghibur keengganan terpisah (IV: LXIII).
Gemerincing air pegunungan ke lembah semedi
pada kaki-kaki pemuda menjangkau tepian (IV: LXIV).
Mentari esok kekupu betina singgah di depan mata,
sayapnya mengepak berwarna senyum menggoda jiwa (IV: LXV).
Dirinya menanti pemakmur ladang jiwa yang lama kering,
hijau laut biru perindu, siapa menemukan pasangan kerang di pantai
demi sempurnakan tembang persembahan (IV: LXVI).
Jadikan ini kisah berharga pengisi ranum kalbumu,
kala langgam pagi diabadikan dunia, ruh lembutnya ditiup pedesaan
menuju kota-kota yang penghuninya mabuk berat keagungan (IV: LXVII).
Layang ini setangkai sekar merekah, jagalah serupa merawat tubuhmu
demi masa lanjut mengidungkan hikayat purbani bernilaikan pekerti (IV: LXVIII).
Lengking suara malammu seperti pernah teralami, tetembangan serangga
melewati masa dingin-tenang berlaksa-laksa langgam manusiawi (IV: LXIX).
Anggaplah bayangan teman pengganti, menghidupi kesendirian sunyi,
setelah deras hujan menyirami tlatah ke-adiluhung-an para leluhur (IV: LXX).
Ia memperlihatkan wajah paling terang,
kau melewatinya dikunjungi malam-malam silam (IV: LXXI).
Yang ia jalankan dikokohkan cahaya fajar,
ribuan kelelawar mencicipi buah bulan menggantung kemerahan (IV: LXXII).
Suara klenengan menyambut puja melebur sayapnya bagi kepakan abadi,
ia menjangkau pebukitan pada lereng-lereng terjal pedalaman waktu (IV: LXXIII).
Seluruh makhluk menghampiri, ada merayap, mengendap, melesat,
ada pula yang melaju laksana perahu (IV: LXXIV).
Terimalah pengajaran tiada habisnya,
lagi kekalkan dirimu kepada kehadiran seterusnya (IV: LXXV).
Kereta kencana lewat di sampingmu, menantilah sekembali dari perigi,
di mana setiap gelombang itu gerbang kerajaannya terbuka (IV: LXXVI).
Cahaya dan gelap ombak menyenangkan perasaan pasangan,
jiwamu-jiwanya merasakan pula tetesan sisa-sisa gerimis menyapa,
tercatat di lembaran dedaunan dikumpulkan masa (IV: LXXVII).
Pun demikian mereka borbondong sebab tertinggal,
yang telah tiba di tempat tujuan, menyantap hidangan tuan rumah
yang menyuguhkan wewangi kembang kesegaran peribadatan (IV: LXXVIII).
Buah ranum terasa manis dan harum kemboja menambah rangsangan,
senantiasa dahaga madu lebah tersimpan lama di kedua pundak sayap cinta,
ini bukan persengketaan, tetapi penebaran kasih berluap sayang (IV: LXXIX).
Setiap tarikan nafasnya memulihkan kesegaran,
kau teguk penuh khusyuk dengan datang tidak terlambat
atau menanti kereta hadir selanjutnya (IV: LXXX).
Tubuh bidadari harum mendekat penuh gairah cinta telah disucikan,
ambillah daya sekeliling wengi-mu,
bagi yang sekadar lewat, tidak perlu diberi jawab (IV: LXXXI).
Tidakkah banyak bersyukur bakal menimba kedalaman, kau mendapati
yang tidak terbayangkan, ini telah menjadi aturan sebelumnya (IV: LXXXII).
Irama kesemutan kaki-kaki setia lebih dulu sampai,
ketimbang yang pulas mendengkur atau perjalanan ngelantur (IV: LXXXIII).
Siapa sanggup mencapai tumpukan batu menstupa dengan keberadaan langit,
kecuali seekor burung elang telah ditakdirkan berkuasa terbang (IV: LXXXIV).
Wahai saudaraku, selamatkan kekupu yang terkulai di halamanmu
tanpa merontakkan sayapnya, merontokkan bedaknya, dan elus bebulu lembutnya
agar senantiasa setia menjaga di pangkuan tangan mesra penuh rela (IV: LXXXV).
Sekali tiupan sayang membangunkan tenaga kembali, dan
taruhlah beban sekarat, tidakkah kekupu bertelur lalu menetas,
seperti bayi-bayi merayap, dirimu laksana ulat (IV: LXXXVI).
Balutan tinta di kertas ketakutan mencoreng kulit wajah,
jadilah kau serupa dirinya, tidak sekadar bersinggah (IV: LXXXVII).
Badan kentungan berhenti bergoyang, kenapa masih ada bimbang?
Dan kenapa pula menyimpan kecurigaan? Apa pahalanya? (IV: LXXXVIII).
Mataair tetesan hujan abu-abu mendendangkan dedaun gugur
selaksa bayangan ditinggal terbang, kau dengar lelangkah ingin pulang,
tidakkah jalur di wilayahmu belum semuanya terlewati? (IV: LXXXIX).
Di waktu hening benar-benar membutuhkan,
teruskan tapakan usia bertambah lengang, dekatkan suaramu
pada gema kesendirian, ia merestui perjalanan mengagumkan (IV: XC).
Boleh kau cepat merasa kenyang, menganggap enteng persimpangan,
asal pedangmu melebihi tajamnya batu yang didatangkan dari gunung tertinggi,
tempat di mana burung-burung tiada pernah sanggup beranak-pinak (IV: XCI).
Pebukitan Ngerempak kayu putih desa Ngelipar, batang-batangnya
cemerlang berhutan cahaya, bebatuan kerikil memantulkan sinar bulan,
menggantikan kulit tubuh-tubuh perempuan (IV: XCII).
Seyogyanya lebih dulu menikmati seperti biasa
daripada memandang kegilaan sementara (IV: XCIII).
Akrabkan ketakutanmu serupa perasaan jatuh cinta,
lalu kau terbiasa oleh hawa paling ganjil sekalipun (IV: XCIV).
Tajamkan seluruh indramu biar peka merekam pengabdian
yang menyerupai lintasan angin menapak tilas jejak kembara (IV: XCV).
Yang berusaha keluar bergandengan
demi menemukan hakikat kebersamaan (IV: XCVI).
Tidakkah praduga menyerupai seringai singa?
Sebagaimana tiga gelombang suara angsa menegur ingatan,
bangau mengajarkan terbang menyelusupi pekat malam (IV: XCVII).
Sungguh yang patuh pantas dinamakan setia, petuah ini rawatlah
serupa fahami jagad diri, kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya
kepada kalian, kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII).
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar