Sabtu, 27 September 2008

Sebuah Musim yang Buruk

Riau Pos, 7 Agus 2005
Marhalim Zaini

Seratus meter dari arah selatan pelabuhan Internasional Bandar Sri Laksemana, sebuah taman yang buruk sedang berselimut dalam musim yang buruk. Hujan dan panas, saling bergantian tak beraturan, bahkan tak jarang datang bersamaan. Musim serupa ini, adalah ketidakmenentuan. Bagi para penyadap karet, hujan selalu tak diharapkan. Tapi kemarau juga membuat orang-orang di kampung kesulitan air. Jika biasanya mereka bisa menampung air hujan yang turun dari langit untuk keperluan sehari-hari, kini mereka harus menguras dan menggali sumur dengan air yang berwarna merah kecoklatan. Dan ketidakmenentuan semacam ini seringkali terjadi. Sebuah musim yang membingungkan di sebuah kota yang gamang.

Di sebuah taman yang buruk berselimut musim yang buruk itu, seorang lelaki duduk di sebuah bangku batu, berpayung batu, berlindung dari gerimis. Seorang lelaki sederhana. Hampir dua jam ia membiarkan mulutnya tak lepas dari rokok. Hampir dua jam matanya menyaksikan kapal-kapal datang dari arah laut. Kapal-kapal yang malas. Dan memuntahkan orang-orang dengan wajah yang memucat. Orang-orang yang bersalaman, berpelukan. Tersenyum, tertawa. Orang-orang yang berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia melihat gerimis sedang dimainkan angin, membuat ia teringat rok panjang istrinya, yang melambai, gemulai. Tak jauh dari taman, di antara toko sepatu dan toko emas, ia melihat seorang lelaki tengah baya sedang duduk bersidekap kedinginan. Kopiah hitam bertengger di kepalanya. Lelaki itu mungkin saja sedang tertidur. Dan membiarkan barisan batu akiknya, kesepian dan kedinginan. Penjual akik, di kota ini, adalah para penunggu setia kaki lima pertokoan. Terlampau setia untuk nasib yang tak beranjak.

Dua jam telah lewat. Senja dan hujan, turun bersamaan. Rokok tinggal sebatang puntung. Tak sedap duduk sendiri dalam gerimis tanpa rokok. Sebelum ia meninggalkan bangku batu, meninggalkan taman yang buruk, dan berlari menuju pertokoan, ia sempat mengamati sesamar wajah orang-orang yang baru saja naik dari sped boat, terutama perempuan. Tapi, tak lama. Ada yang miris, untuk bisa terus bertahan menatapnya. Ada juga debar yang berkali-kali menyambar. Dan ia pun berpaling. Mencoba berlari dari musim yang buruk, menuju emperan pertokoan. Ia mengibas-ngibaskan bekas air di jaketnya yang berwarna pudar. Ia memilih masuk ke sebuah kedai kopi yang pintunya masih terbuka. Memilih duduk di sudut dekat jendela kaca. Ia ingin menghangatkan badannya dengan memesan segelas kopi panas dan sebungkus rokok. Sembilan meja bundar coklat tua dan kursi-kursi yang mengelilinginya, tampak lengang. Hanya seseorang bermata sipit, paruh baya, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir memainkan sempoa. Ini magrib yang basah. Orang-orang pastilah lebih memilih berada di rumah. Membentang kasur di depan tv kecil tengah rumah, kumpul bersama keluarga, menonton siaran berita Malaysia tentang nasib para tki, sambil menikmati ubi rebus yang panas.

Tapi di luar jendela, ia masih juga melihat becak-becak lalu-lalang, keluar dari arah pelabuhan, membawa orang-orang dengan wajah yang memucat. Sesekali, ingin juga ia melihat mereka dari jarak yang lebih dekat. Melihat gurat perjalanan yang melelahkan di garis wajah mereka. Sambil menanyakan bagaimana kabarnya orang seberang. Bagaimana keadaan para pendatang di negeri orang. Tapi untuk apa. Dari dalam kedai kopi ini saja, ia dapat melihat wajah sebuah kota yang lelah. Dan melihat lintasan-lintasan kendaraan yang bergegas dan meninggalkan percik genangan air hujan di jalan. Tapi sayang, dari dalam kedai kopi ini juga ia sedang tak bisa mengelak dari lintasan-lintasan nasib yang simpang-siur di kelopak matanya, menjelma bayangan-bayangan yang buruk, di sebuah kota dengan musim yang buruk pula. Tidak, ia tidak sedang menunggu hujan reda. Atau tidak sedang menunggu siapapun. Ia telah bersumpah, untuk tidak menunggunya. Menjemputnya. Sakit hati karena tak dianggap sebagai suami, adalah sakit hati yang membatu. Dan biarlah, di kedai kopi ini, ia habiskan waktu, menatap segala yang lewat dari balik kaca jendela, sampai malam benar-benar telah membawanya bersebati dengan musim yang tak terduga. Dengan musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***

Perempuan itu telah berdiri berbaris, saat sped boat mulai merapat ke pelabuhan. Semua penumpang selalu saja tampak tidak sabar, saat telah dekat pada debar. Ia melihat jam di tangan kirinya. Dan memandang langit dari kaca jendela yang lembab. Senja menyungkup bersama mendung yang menggantung. Gerimis telah lama turun. Orang-orang semakin bergegas naik. Berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia selalu malas membawa tas yang besar. Terutama sejak sebuah tasnya pernah lesap setibanya di pelabuhan Sungai Duku. Dan tak seorang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Beginilah rupanya, pelabuhan-pelabuhan yang terbiar, dan dihuni oleh para preman. Biasanya, tas-tas yang dicampakkan dari atas kapal disambut oleh para preman yang menyerupai petugas. Atau petugas yang menyerupai preman. Mereka sama saja. Sulit membedakannya. Sebab mereka sama-sama punya kekuasaan dan wewenang untuk mengatur para penumpang yang naik turun. Dan biasanya, untuk pekerjaan yang sesungguhnya memang sudah menjadi tugas mereka itu, para penumpang ditarik ongkos sebesar dua ribu perak. Dan untuk kepulangannya kali ini, ia terpaksa membawa sebuah koper yang lumayan besar. Apa boleh buat. Tidak ada jalan lain, untuk tidak menyerahkan uang dua ribu perak kepada petugas/preman pelabuhan itu.

Senja dan hujan, turun bersamaan. Perempuan itu membenarkan kerudung ungu yang melilit di wajahnya, yang disapu angin laut. Seorang perempuan yang sederhana. Seperti roda travel pak yang diseretnya, langkah kakinya memberat. Enam setengah jam ditambah empat setengah jam perjalanan di atas laut, membuat banyak sendi-sendi di badannya terasa pegal dan penat. Bukan. Bukan hanya karena perjalanan, tapi juga adalah karena sebab terjadinya perjalanan ini. Sebuah sebab yang memaksa ia harus pulang. Kepulangan yang terpaksa memang selalu membuat banyak sendi-sendi di jiwa terasa pegal dan penat. Tak ada yang menyangka untuk kepulangan yang serupa ini. Tapi karena resiko ini tak hanya ditanggungkan oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh ratusan perempuan yang lain, maka ia tak terlalu berkecil hati. Meskipun, takkan pernah terlupakan dalam sejarah hidupnya bagaimana rasanya sakit hati diusir dari negeri orang. Dan kemiskinan di depan mata adalah resiko yang harus kembali dijumpainya. Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Kemiskinan inilah yang membuat ia selalu berani dan nekat untuk pergi dari kampung, mengadu nasib di negeri jiran.

Ia tak berharap ada yang menjemputnya. Kepulangan ini bukanlah kepulangan yang istimewa. Dan ia tahu, suaminya takkan mungkin menjemputnya. Sakit hati karena pergi tanpa direstui, tentu masih belum termaafkan. Suaminya, meski seorang pekerja balak di hutan pedalaman di daerah Belitung, tak pernah mengizinkan jika harus bekerja ke luar negeri. Baginya, susah senang hidup, lebih baik dinikmati di negeri sendiri. Lagi pula lima anak-anaknya yang masih kecil-kecil, siapa pula yang akan menjaga dan merawatnya. Berharap pada emak yang sudah setengah abad itu? Tak mungkin. Tapi ia mungkin bukan tipe perempuan yang bisa diam dan manut. Apalagi setelah melihat kondisi ekonomi yang kian hari kian melemah. Ia kemudian, secara diam-diam nekat berangkat bersama sejumlah perempuan kampung yang lain. Dan tentu saja ia tak sempat menyaksikan kemarahan suaminya. Akibatnya, surat-surat yang ia kirimkan ke kampung, tak pernah satu pucukpun dibalas. Meski ia tetap terus mengirimkan sebagian penghasilannya lewat Cik Karim pemilik tongkang. Dan ia berharap, kelak suaminya akan memaafkannya.

Ia telah sampai di gerbang utama pelabuhan. Sebuah becak menghampiri. Dalam hujan yang terus menderas, becak berjalan seperti seorang tua yang renta, terseok-seok menuju kaki lima pertokoan. Malam telah turun, masih bersama hujan. Oplet terakhir menuju kampungnya yang berjarak enam puluh kilometer itu, biasanya hanya sampai pukul lima sore. Ia kemudian memutuskan untuk singgah di kedai kopi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menginap di sebuah wisma di kota kabupaten ini. Ia turun dari becak, mengulurkan sejumlah uang pada tukang becak, menurunkan tas, dan bergegas menyeretnya ke kaki lima, tepat di depan sebuah kedai kopi. Ia melangkah masuk. Memilih duduk di sudut dinding. Terlalu muak melihat hamparan luas lautan, kini ia sejenak membatasi pandangan. Menghadap ke arah lelaki paruh baya bermata sipit, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir sibuk memainkan sempoa. Ia kemudian memesan segelas kopi panas dan semangkuk sup ayam.

Badannya kini bersandar ke dinding. Memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Sanggupkah ia pulang? Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Menjumpai kemiskinan, dan merangkulnya kembali dalam pelukan nasib badan? Entahlah. Tiba-tiba ia gamang. Bukan pilihan yang ringan untuk kembali berjalan mundur ke belakang. Tapi, jujur, ia merindukan mereka. Merindukan semuanya. Tapi apakah kerinduan dapat mengalahkan kemiskinan? Ia tidak yakin. Dan hujan di luar, terus saja membawa kepekatan malam pada musim yang tak terduga. Pada musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***

Enam puluh kilometer lebih dari kota kabupaten, sebuah rumah panggung tua berdiri dengan kaki-kakinya yang menggigil. Rupanya hujan sampai juga di kampung ini. Dari jauh, tampak kerlip lampu colok yang berpijar lemah, mengintip dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari papan dan kulit kayu. Seorang perempuan tua berumur setengah abad lebih, sedang duduk menekuri sebuah tikar pandan yang belum jadi. Bunyi daun pandan kering yang bersentuhan, keluar dari celah jejarinya yang keriput. Ia sedang demikian suntuk menganyam. Pada sudut lain, lima orang anak kecil tampak berserak, tertidur pulas. Mereka adalah anak-anak yang penat menunggu waktu. Penat menunggu kepulangan orang tua mereka. Malam yang hujan, telah menidurkan mereka dalam musim yang buruk. Tapi, benarkah Abah akan membawa Emak mereka pulang?***

Pekanbaru, Maret 2005

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati