Riau Pos, 7 Agus 2005
Marhalim Zaini
Seratus meter dari arah selatan pelabuhan Internasional Bandar Sri Laksemana, sebuah taman yang buruk sedang berselimut dalam musim yang buruk. Hujan dan panas, saling bergantian tak beraturan, bahkan tak jarang datang bersamaan. Musim serupa ini, adalah ketidakmenentuan. Bagi para penyadap karet, hujan selalu tak diharapkan. Tapi kemarau juga membuat orang-orang di kampung kesulitan air. Jika biasanya mereka bisa menampung air hujan yang turun dari langit untuk keperluan sehari-hari, kini mereka harus menguras dan menggali sumur dengan air yang berwarna merah kecoklatan. Dan ketidakmenentuan semacam ini seringkali terjadi. Sebuah musim yang membingungkan di sebuah kota yang gamang.
Di sebuah taman yang buruk berselimut musim yang buruk itu, seorang lelaki duduk di sebuah bangku batu, berpayung batu, berlindung dari gerimis. Seorang lelaki sederhana. Hampir dua jam ia membiarkan mulutnya tak lepas dari rokok. Hampir dua jam matanya menyaksikan kapal-kapal datang dari arah laut. Kapal-kapal yang malas. Dan memuntahkan orang-orang dengan wajah yang memucat. Orang-orang yang bersalaman, berpelukan. Tersenyum, tertawa. Orang-orang yang berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia melihat gerimis sedang dimainkan angin, membuat ia teringat rok panjang istrinya, yang melambai, gemulai. Tak jauh dari taman, di antara toko sepatu dan toko emas, ia melihat seorang lelaki tengah baya sedang duduk bersidekap kedinginan. Kopiah hitam bertengger di kepalanya. Lelaki itu mungkin saja sedang tertidur. Dan membiarkan barisan batu akiknya, kesepian dan kedinginan. Penjual akik, di kota ini, adalah para penunggu setia kaki lima pertokoan. Terlampau setia untuk nasib yang tak beranjak.
Dua jam telah lewat. Senja dan hujan, turun bersamaan. Rokok tinggal sebatang puntung. Tak sedap duduk sendiri dalam gerimis tanpa rokok. Sebelum ia meninggalkan bangku batu, meninggalkan taman yang buruk, dan berlari menuju pertokoan, ia sempat mengamati sesamar wajah orang-orang yang baru saja naik dari sped boat, terutama perempuan. Tapi, tak lama. Ada yang miris, untuk bisa terus bertahan menatapnya. Ada juga debar yang berkali-kali menyambar. Dan ia pun berpaling. Mencoba berlari dari musim yang buruk, menuju emperan pertokoan. Ia mengibas-ngibaskan bekas air di jaketnya yang berwarna pudar. Ia memilih masuk ke sebuah kedai kopi yang pintunya masih terbuka. Memilih duduk di sudut dekat jendela kaca. Ia ingin menghangatkan badannya dengan memesan segelas kopi panas dan sebungkus rokok. Sembilan meja bundar coklat tua dan kursi-kursi yang mengelilinginya, tampak lengang. Hanya seseorang bermata sipit, paruh baya, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir memainkan sempoa. Ini magrib yang basah. Orang-orang pastilah lebih memilih berada di rumah. Membentang kasur di depan tv kecil tengah rumah, kumpul bersama keluarga, menonton siaran berita Malaysia tentang nasib para tki, sambil menikmati ubi rebus yang panas.
Tapi di luar jendela, ia masih juga melihat becak-becak lalu-lalang, keluar dari arah pelabuhan, membawa orang-orang dengan wajah yang memucat. Sesekali, ingin juga ia melihat mereka dari jarak yang lebih dekat. Melihat gurat perjalanan yang melelahkan di garis wajah mereka. Sambil menanyakan bagaimana kabarnya orang seberang. Bagaimana keadaan para pendatang di negeri orang. Tapi untuk apa. Dari dalam kedai kopi ini saja, ia dapat melihat wajah sebuah kota yang lelah. Dan melihat lintasan-lintasan kendaraan yang bergegas dan meninggalkan percik genangan air hujan di jalan. Tapi sayang, dari dalam kedai kopi ini juga ia sedang tak bisa mengelak dari lintasan-lintasan nasib yang simpang-siur di kelopak matanya, menjelma bayangan-bayangan yang buruk, di sebuah kota dengan musim yang buruk pula. Tidak, ia tidak sedang menunggu hujan reda. Atau tidak sedang menunggu siapapun. Ia telah bersumpah, untuk tidak menunggunya. Menjemputnya. Sakit hati karena tak dianggap sebagai suami, adalah sakit hati yang membatu. Dan biarlah, di kedai kopi ini, ia habiskan waktu, menatap segala yang lewat dari balik kaca jendela, sampai malam benar-benar telah membawanya bersebati dengan musim yang tak terduga. Dengan musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***
Perempuan itu telah berdiri berbaris, saat sped boat mulai merapat ke pelabuhan. Semua penumpang selalu saja tampak tidak sabar, saat telah dekat pada debar. Ia melihat jam di tangan kirinya. Dan memandang langit dari kaca jendela yang lembab. Senja menyungkup bersama mendung yang menggantung. Gerimis telah lama turun. Orang-orang semakin bergegas naik. Berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia selalu malas membawa tas yang besar. Terutama sejak sebuah tasnya pernah lesap setibanya di pelabuhan Sungai Duku. Dan tak seorang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Beginilah rupanya, pelabuhan-pelabuhan yang terbiar, dan dihuni oleh para preman. Biasanya, tas-tas yang dicampakkan dari atas kapal disambut oleh para preman yang menyerupai petugas. Atau petugas yang menyerupai preman. Mereka sama saja. Sulit membedakannya. Sebab mereka sama-sama punya kekuasaan dan wewenang untuk mengatur para penumpang yang naik turun. Dan biasanya, untuk pekerjaan yang sesungguhnya memang sudah menjadi tugas mereka itu, para penumpang ditarik ongkos sebesar dua ribu perak. Dan untuk kepulangannya kali ini, ia terpaksa membawa sebuah koper yang lumayan besar. Apa boleh buat. Tidak ada jalan lain, untuk tidak menyerahkan uang dua ribu perak kepada petugas/preman pelabuhan itu.
Senja dan hujan, turun bersamaan. Perempuan itu membenarkan kerudung ungu yang melilit di wajahnya, yang disapu angin laut. Seorang perempuan yang sederhana. Seperti roda travel pak yang diseretnya, langkah kakinya memberat. Enam setengah jam ditambah empat setengah jam perjalanan di atas laut, membuat banyak sendi-sendi di badannya terasa pegal dan penat. Bukan. Bukan hanya karena perjalanan, tapi juga adalah karena sebab terjadinya perjalanan ini. Sebuah sebab yang memaksa ia harus pulang. Kepulangan yang terpaksa memang selalu membuat banyak sendi-sendi di jiwa terasa pegal dan penat. Tak ada yang menyangka untuk kepulangan yang serupa ini. Tapi karena resiko ini tak hanya ditanggungkan oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh ratusan perempuan yang lain, maka ia tak terlalu berkecil hati. Meskipun, takkan pernah terlupakan dalam sejarah hidupnya bagaimana rasanya sakit hati diusir dari negeri orang. Dan kemiskinan di depan mata adalah resiko yang harus kembali dijumpainya. Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Kemiskinan inilah yang membuat ia selalu berani dan nekat untuk pergi dari kampung, mengadu nasib di negeri jiran.
Ia tak berharap ada yang menjemputnya. Kepulangan ini bukanlah kepulangan yang istimewa. Dan ia tahu, suaminya takkan mungkin menjemputnya. Sakit hati karena pergi tanpa direstui, tentu masih belum termaafkan. Suaminya, meski seorang pekerja balak di hutan pedalaman di daerah Belitung, tak pernah mengizinkan jika harus bekerja ke luar negeri. Baginya, susah senang hidup, lebih baik dinikmati di negeri sendiri. Lagi pula lima anak-anaknya yang masih kecil-kecil, siapa pula yang akan menjaga dan merawatnya. Berharap pada emak yang sudah setengah abad itu? Tak mungkin. Tapi ia mungkin bukan tipe perempuan yang bisa diam dan manut. Apalagi setelah melihat kondisi ekonomi yang kian hari kian melemah. Ia kemudian, secara diam-diam nekat berangkat bersama sejumlah perempuan kampung yang lain. Dan tentu saja ia tak sempat menyaksikan kemarahan suaminya. Akibatnya, surat-surat yang ia kirimkan ke kampung, tak pernah satu pucukpun dibalas. Meski ia tetap terus mengirimkan sebagian penghasilannya lewat Cik Karim pemilik tongkang. Dan ia berharap, kelak suaminya akan memaafkannya.
Ia telah sampai di gerbang utama pelabuhan. Sebuah becak menghampiri. Dalam hujan yang terus menderas, becak berjalan seperti seorang tua yang renta, terseok-seok menuju kaki lima pertokoan. Malam telah turun, masih bersama hujan. Oplet terakhir menuju kampungnya yang berjarak enam puluh kilometer itu, biasanya hanya sampai pukul lima sore. Ia kemudian memutuskan untuk singgah di kedai kopi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menginap di sebuah wisma di kota kabupaten ini. Ia turun dari becak, mengulurkan sejumlah uang pada tukang becak, menurunkan tas, dan bergegas menyeretnya ke kaki lima, tepat di depan sebuah kedai kopi. Ia melangkah masuk. Memilih duduk di sudut dinding. Terlalu muak melihat hamparan luas lautan, kini ia sejenak membatasi pandangan. Menghadap ke arah lelaki paruh baya bermata sipit, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir sibuk memainkan sempoa. Ia kemudian memesan segelas kopi panas dan semangkuk sup ayam.
Badannya kini bersandar ke dinding. Memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Sanggupkah ia pulang? Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Menjumpai kemiskinan, dan merangkulnya kembali dalam pelukan nasib badan? Entahlah. Tiba-tiba ia gamang. Bukan pilihan yang ringan untuk kembali berjalan mundur ke belakang. Tapi, jujur, ia merindukan mereka. Merindukan semuanya. Tapi apakah kerinduan dapat mengalahkan kemiskinan? Ia tidak yakin. Dan hujan di luar, terus saja membawa kepekatan malam pada musim yang tak terduga. Pada musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***
Enam puluh kilometer lebih dari kota kabupaten, sebuah rumah panggung tua berdiri dengan kaki-kakinya yang menggigil. Rupanya hujan sampai juga di kampung ini. Dari jauh, tampak kerlip lampu colok yang berpijar lemah, mengintip dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari papan dan kulit kayu. Seorang perempuan tua berumur setengah abad lebih, sedang duduk menekuri sebuah tikar pandan yang belum jadi. Bunyi daun pandan kering yang bersentuhan, keluar dari celah jejarinya yang keriput. Ia sedang demikian suntuk menganyam. Pada sudut lain, lima orang anak kecil tampak berserak, tertidur pulas. Mereka adalah anak-anak yang penat menunggu waktu. Penat menunggu kepulangan orang tua mereka. Malam yang hujan, telah menidurkan mereka dalam musim yang buruk. Tapi, benarkah Abah akan membawa Emak mereka pulang?***
Pekanbaru, Maret 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar