Jumat, 26 September 2008

Kota Ini Tak Ada Pelacur

Riau Pos, 8 Mei 2005
Marhalim Zaini

Seperti lilin yang redup. Ia penat. Matanya terpejam, setengah tidur. Dalam posisi tubuh serupa itu, ia tak mungkin bisa tidur. Kedua kakinya ia sandarkan ke dinding, badan dan tangannya bertelentang di atas kasur. Ini obat buat kaki yang semalaman berjalan berkeliling kota. Jendela itu, sengaja terbiar. Menganga. Angin malam, di kota gerah ini, bagai sahabat karib yang setia. Biarkan leluasa menyapa. Dan untunglah ia tak salah memilih kamar hotel, dengan sebuah jendela yang menghadap ke wajah kota. Angin malam tak membuat perutnya jadi gembung, tapi ac, ia tak suka. Ac, membuat hidungnya tersumbat. Dan ia membenci ac, seperti ia membenci kota kecil yang gerah ini.

Matanya masih terpejam, tapi tak tidur. Seperti masih terus berselirat kesibukan kota dalam tubuhnya. Seperti masih terus menggumpal rasa penasaran di hatinya. Ini bukan kota pertama. Sebagai seorang konsultan perusahaan yang bertugas di bidang foundation engineering, bertandang ke pelosok-pelosok kota di berbagai negeri adalah hal biasa. Dari daerah yang kosong terisolir sampai kota besar metropolitan. Dari pedalaman Irian Jaya sampai kota industri seperti Batam. Baginya, pekerjaan serupa ini telah mengajarkan banyak hal tentang tabiat sebuah kota, sebuah peradaban. Lengkap dengan manusia-manusianya yang aneh dan asing. Dan ia, sungguh telah hafal, di mana bisa menemukan perempuan-perempuan yang siap menemani malam-malam sepinya. Simpang Lima di Semarang, Sarkem di Jogja, Teleju di Pekanbaru, Silir di Solo, Jalan Kalibaru di Cirebon, Kampung Baru atau Lapangan Tembak di Palembang yang konon kini telah ditertibkan, apalagi Bali, dan jangan tanya di Batam, serta segala macam nama lainnya di segala macam daerah. Bahkan di sebuah kota yang tampak sopan dan santun pun, ia bisa dengan mudah menemukan perempuan-perempuan yang bersedia untuk ditiduri. Ia sempat berkesimpulan, bahwa tak ada satu pun kota di negeri ini yang tak memiliki pelacur.

Tapi kota kecil ini, sudah dua kali dua puluh empat jam ia menelusuri seluk beluk sudut likunya, belum ia temukan sebuah kompleks lokalisasi prostitusi. Bahkan ia belum menemukan seorang perempuan pun yang merespon dengan serius, saat segala sinyal yang coba ia layangkan pada perempuan-perempuan pelayan di kedai kopi misalnya, atau perempuan-perempuan yang bersitatap di jalan-jalan, perempuan-perempuan penjual baju dalam di pasar, perempuan-perempuan yang bekerja sebagai tukang ketik di perusahaan-perusahaan kecil yang sempat disinggahinya. Mereka semua cukup merespon dengan tatapan mata secukupnya, tak berlebihan seperti yang ia lakukan saat bertemu dengan perempuan yang ia anggap menarik, dan tidak mesti cantik. Sebagai pencandu perempuan, ini sungguh menyakitkan.

Ah, dua kali dua puluh empat jam ditambah lima hari di hutan pedalaman daerah ujung Buton, menjadi konsultan pembangunan jembatan, adalah hari-hari yang melelahkan. Kehadiran perempuan pada situasi serupa ini, untuk seorang pencandu seperti dia, tentu bagai seteguk air di tengah kemarau. Biasanya, hari-hari menjadi demikian melelahkan, saat pekerjaan yang semestinya bisa selesai dalam waktu dua hari, kini harus molor sampai lima hari. Dan inilah daerah proyek dengan para pekerjanya yang tampak tidak profesional. Ia sesungguhnya sudah sangat terbiasa berhadapan dengan orang-orang serupa ini. Tapi kali ini, tampaknya ia sedang masuk ke daerah dengan tingkat korupsi teratas di negeri ini. Persiapan utama sebelum ia berangkat, adalah keteguhan untuk tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun yang dapat membuat pekerjaannya bernilai negatif. Apalagi ini, fasilitas umum. Sebuah jembatan yang melintasi sungai tempat masyarakat berlalu-lalang. Ia tak bisa main-main untuk sedikit saja berbohong tentang kapasitas tanah, ukuran kedalaman, kualitas cor, dan segala macamnya. Tapi persoalannya menjadi lain, saat ia mulai diminta dengan sedikit memaksa untuk membuat laporan secara tertulis, dan menandatanganinya, bahwa apa yang telah dikerjakan adalah sesuai dengan rencana semula, maka ini menjadi rumit. Ia cukup terheran-heran dengan kelakuan para kontraktor di daerah ini, yang dengan sangat berani menciutkan anggaran untuk pembelian bahan bangunan. Tapi apa hendak dikata, mereka yang punya kuasa. Dan pada akhirnya, ia, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, haruskah ia menandatangani sebuah kebohongan? Tidak, ini idealisme kerja. Ia tetap menuliskan laporan secara obyektif, dan membiarkan para mafia itu bersungut-sungut.

Barangkali inilah juga yang membuat stresnya bertambah. Sudahlah ditempatkan di sebuah lokasi yang menyerupai bekas sebuah bencana besar, dengan ribuan pohon hutan yang ditebangi sembarangan, jauh dari kehidupan manusia, dan tentu saja dengan malam yang gulita tanpa aliran listrik, bahkan harus pula ikut memadamkan sisa api yang masih merambati gambut di sekitar pemondokan, lalu harus pula berhadapan dengan para mafia, dan kini tak ia temukan seorang perempuan pun yang mau menemaninya. Sungguh, ini sangat melelahkan. Dan ia tak habis pikir, kenapa masih terlampau banyak daerah terisolir serupa ini, di sebuah negeri yang di dalam buminya terdapat jutaan barel minyak. Ia mengira, bekerja dengan para mafia profesional inilah, yang justru membuat daerah ini tak berkembang dengan cepat dan pesat. Sebab semua dana pembangunan telah pun kena sunat. Mungkinkah uang dapat membuat kota ini melupakan perempuan?

Tidak mungkin. Sebab ia masih melihat angka kemiskinan demikian tinggi di kota ini. Komplek pelacuran biasanya tercipta, salah satunya disebabkan oleh kemiskinan. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai menuju lokasi, ia melihat barisan rumah-rumah berdinding kulit kayu yang reot di pinggir-pinggir sungai yang terkena abrasi. Kaki-kaki rumah mereka terlihat kurus-kurus. Anak-anak, para orang tua, penduduk setempat, tampak demikian menikmati kemiskinan mereka, berenang dalam air sungai berwarna coklat oleh limbah. Tapi mungkin saja, di daerah terpencil serupa ini, tak ada perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Mereka biasanya sangat menjunjung tinggi adat istiadat setempat. Melarang dan menyekat pergaulan yang terlampau bebas antara lelaki dan perempuan. Dan tampaknya, kemiskinan bukan alasan bagi mereka untuk keluar dan mengingkari nilai-nilai kebudayaan mereka, lantas memilih untuk menjadi pelacur.

Tapi, sudahlah. Dua hari lagi pekerjaan akan selesai. Dan ia akan meneruskan perjalanan ke kota yang lain, yang ia yakin akan bertemu dengan banyak perempuan yang mau ditiduri. Ia kemudian merubah posisi tidurnya. Menelentangkan seluruh badannya ke posisi sempurna. Menarik nafas, yang tersekat. Matanya bersiap untuk tidur. Membuang jauh seluruh bayangan tentang perempuan. Jarum jam telah menunjukkan angka tiga dini hari. Tapi badan yang terlampau penat, biasanya tak mudah untuk bisa secepatnya tidur. Bayangan lain yang hadir justru adalah seorang perempuan yang sangat ia kenali. Perempuan yang sempat hidup bersamanya selama lebih dua tahun. Tapi sebuah perkawinan yang gagal tak bisa begitu saja menyalahkan cinta. Ia yakin, sampai kini pun, setelah lebih dari dua tahun berpisah, mereka masih saling mencintai. Tapi konflik terkadang datang tak mengenal waktu. Ia menyerbu seperti peluru yang tajam, berdesing beruntun. Bahkan kita tak sempat sedikitpun bisa mengelaknya. Dan demikianlah, mereka harus memutuskan untuk berpisah, tanpa seorang anak. Bekas istrinya kini bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Jakarta. Dan ia sendiri memilih untuk tetap berpetualang dari daerah ke daerah, menekuni pekerjaan sebagai konsultan. Dan selepas itu perempuan-perempuan lain hadir silih berganti. Datang dan pergi. Meski dalam batinnya ia sering menggerutu, rupanya tak seorang perempuan pun yang bisa ia pilih sebagai pengganti.

Ia memiringkan posisi tidurnya ke dinding hotel. Berharap bayangan bekas istrinya tak lagi hadir. Memeluk bantal guling berwarna merah. Di luar, lampu kota masih mengerdip malas, dengan sesekali pijar lampu kendaraan yang cepat melintas. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Langit mulus seperti sebuah hamparan karpet hitam yang membentang. Baru saja, ia berhasil melelapkan matanya, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Ia tersentak. Seolah tak percaya dengan telinganya. Siapa pula yang datang dini hari begini. Petugas hotel, tidak mungkin. Lalu siapa? Aldi, temannya sepekerjaannya? Juga tak mungkin. Aldi baru saja berangkat ke Tanjung Pinang tadi siang. Selain Aldi, ia tak mengenal siapapun di kota kecil ini. Dan ia tak merasa pernah berjanji dengan siapapun untuk bertemu malam ini, apalagi dini hari begini. Ah, hanya ilusi. Biasanya kepenatan selalu membuat ia mengigau. Dan ia berusaha untuk tidur kembali. Tapi tidak. Suara pintu terus saja diketuk seseorang dari luar. Dan seketika pikirannya kembali pada sosok perempuan. Mungkinkah keajaiban tiba-tiba datang? Seorang perempuan yang kesepian tiba-tiba mengetuk pintu kamar hotelnya, dan mengharapkan pelukan hangat seorang lelaki? Tapi bukankah kisah serupa itu hanya terjadi dalam fiksi? Ia tak begitu yakin. Kemudian ia berusaha mengingat-ingat kembali seluruh perjalanannya menyusuri kota kecil ini. Apakah perempuan pemilik tambak udang yang sama-sama duduk di lobi hotel tadi yang datang? Ia memang sempat bercakap-cakap sekejap. Dan belum sempat membicarakan hal-hal di luar konteks bisnis. Ah, mungkin saja. Sebab tadi sebelum berpisah, ia sempat melemparkan sebuah senyum yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah respon yang positif.

Dan ia bergegas bangun. Memakai kembali t-shirt yang teronggok di tepi ranjang. Membenarkan tempat tidur, dan memakai sandal jepit, berjalan menuju pintu. Suara ketukan masih saja terdengar dari luar. Dengan pertanyaan dan rasa penasaran tak menentu, ia memutar gagang pintu. Dan betapa terkejutnya ia, tiga orang lelaki berdasi membawa tas hitam tersenyum lebar, dan di antaranya tampak seorang perempuan sipit yang tersenyum simpul, berkulit putih, memakai kaos ketat dan rok super mini. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Sebab ia tahu, apa yang mereka mau. Dalam hatinya ia berbisik, benarlah tak ada satu kota pun di negeri ini yang tak memiliki pelacur. Tapi kebohongan itu, haruskah aku tandatangani?***

Pekanbaru, 2005

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati