Riau Pos, 8 Mei 2005
Marhalim Zaini
Seperti lilin yang redup. Ia penat. Matanya terpejam, setengah tidur. Dalam posisi tubuh serupa itu, ia tak mungkin bisa tidur. Kedua kakinya ia sandarkan ke dinding, badan dan tangannya bertelentang di atas kasur. Ini obat buat kaki yang semalaman berjalan berkeliling kota. Jendela itu, sengaja terbiar. Menganga. Angin malam, di kota gerah ini, bagai sahabat karib yang setia. Biarkan leluasa menyapa. Dan untunglah ia tak salah memilih kamar hotel, dengan sebuah jendela yang menghadap ke wajah kota. Angin malam tak membuat perutnya jadi gembung, tapi ac, ia tak suka. Ac, membuat hidungnya tersumbat. Dan ia membenci ac, seperti ia membenci kota kecil yang gerah ini.
Matanya masih terpejam, tapi tak tidur. Seperti masih terus berselirat kesibukan kota dalam tubuhnya. Seperti masih terus menggumpal rasa penasaran di hatinya. Ini bukan kota pertama. Sebagai seorang konsultan perusahaan yang bertugas di bidang foundation engineering, bertandang ke pelosok-pelosok kota di berbagai negeri adalah hal biasa. Dari daerah yang kosong terisolir sampai kota besar metropolitan. Dari pedalaman Irian Jaya sampai kota industri seperti Batam. Baginya, pekerjaan serupa ini telah mengajarkan banyak hal tentang tabiat sebuah kota, sebuah peradaban. Lengkap dengan manusia-manusianya yang aneh dan asing. Dan ia, sungguh telah hafal, di mana bisa menemukan perempuan-perempuan yang siap menemani malam-malam sepinya. Simpang Lima di Semarang, Sarkem di Jogja, Teleju di Pekanbaru, Silir di Solo, Jalan Kalibaru di Cirebon, Kampung Baru atau Lapangan Tembak di Palembang yang konon kini telah ditertibkan, apalagi Bali, dan jangan tanya di Batam, serta segala macam nama lainnya di segala macam daerah. Bahkan di sebuah kota yang tampak sopan dan santun pun, ia bisa dengan mudah menemukan perempuan-perempuan yang bersedia untuk ditiduri. Ia sempat berkesimpulan, bahwa tak ada satu pun kota di negeri ini yang tak memiliki pelacur.
Tapi kota kecil ini, sudah dua kali dua puluh empat jam ia menelusuri seluk beluk sudut likunya, belum ia temukan sebuah kompleks lokalisasi prostitusi. Bahkan ia belum menemukan seorang perempuan pun yang merespon dengan serius, saat segala sinyal yang coba ia layangkan pada perempuan-perempuan pelayan di kedai kopi misalnya, atau perempuan-perempuan yang bersitatap di jalan-jalan, perempuan-perempuan penjual baju dalam di pasar, perempuan-perempuan yang bekerja sebagai tukang ketik di perusahaan-perusahaan kecil yang sempat disinggahinya. Mereka semua cukup merespon dengan tatapan mata secukupnya, tak berlebihan seperti yang ia lakukan saat bertemu dengan perempuan yang ia anggap menarik, dan tidak mesti cantik. Sebagai pencandu perempuan, ini sungguh menyakitkan.
Ah, dua kali dua puluh empat jam ditambah lima hari di hutan pedalaman daerah ujung Buton, menjadi konsultan pembangunan jembatan, adalah hari-hari yang melelahkan. Kehadiran perempuan pada situasi serupa ini, untuk seorang pencandu seperti dia, tentu bagai seteguk air di tengah kemarau. Biasanya, hari-hari menjadi demikian melelahkan, saat pekerjaan yang semestinya bisa selesai dalam waktu dua hari, kini harus molor sampai lima hari. Dan inilah daerah proyek dengan para pekerjanya yang tampak tidak profesional. Ia sesungguhnya sudah sangat terbiasa berhadapan dengan orang-orang serupa ini. Tapi kali ini, tampaknya ia sedang masuk ke daerah dengan tingkat korupsi teratas di negeri ini. Persiapan utama sebelum ia berangkat, adalah keteguhan untuk tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun yang dapat membuat pekerjaannya bernilai negatif. Apalagi ini, fasilitas umum. Sebuah jembatan yang melintasi sungai tempat masyarakat berlalu-lalang. Ia tak bisa main-main untuk sedikit saja berbohong tentang kapasitas tanah, ukuran kedalaman, kualitas cor, dan segala macamnya. Tapi persoalannya menjadi lain, saat ia mulai diminta dengan sedikit memaksa untuk membuat laporan secara tertulis, dan menandatanganinya, bahwa apa yang telah dikerjakan adalah sesuai dengan rencana semula, maka ini menjadi rumit. Ia cukup terheran-heran dengan kelakuan para kontraktor di daerah ini, yang dengan sangat berani menciutkan anggaran untuk pembelian bahan bangunan. Tapi apa hendak dikata, mereka yang punya kuasa. Dan pada akhirnya, ia, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, haruskah ia menandatangani sebuah kebohongan? Tidak, ini idealisme kerja. Ia tetap menuliskan laporan secara obyektif, dan membiarkan para mafia itu bersungut-sungut.
Barangkali inilah juga yang membuat stresnya bertambah. Sudahlah ditempatkan di sebuah lokasi yang menyerupai bekas sebuah bencana besar, dengan ribuan pohon hutan yang ditebangi sembarangan, jauh dari kehidupan manusia, dan tentu saja dengan malam yang gulita tanpa aliran listrik, bahkan harus pula ikut memadamkan sisa api yang masih merambati gambut di sekitar pemondokan, lalu harus pula berhadapan dengan para mafia, dan kini tak ia temukan seorang perempuan pun yang mau menemaninya. Sungguh, ini sangat melelahkan. Dan ia tak habis pikir, kenapa masih terlampau banyak daerah terisolir serupa ini, di sebuah negeri yang di dalam buminya terdapat jutaan barel minyak. Ia mengira, bekerja dengan para mafia profesional inilah, yang justru membuat daerah ini tak berkembang dengan cepat dan pesat. Sebab semua dana pembangunan telah pun kena sunat. Mungkinkah uang dapat membuat kota ini melupakan perempuan?
Tidak mungkin. Sebab ia masih melihat angka kemiskinan demikian tinggi di kota ini. Komplek pelacuran biasanya tercipta, salah satunya disebabkan oleh kemiskinan. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai menuju lokasi, ia melihat barisan rumah-rumah berdinding kulit kayu yang reot di pinggir-pinggir sungai yang terkena abrasi. Kaki-kaki rumah mereka terlihat kurus-kurus. Anak-anak, para orang tua, penduduk setempat, tampak demikian menikmati kemiskinan mereka, berenang dalam air sungai berwarna coklat oleh limbah. Tapi mungkin saja, di daerah terpencil serupa ini, tak ada perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Mereka biasanya sangat menjunjung tinggi adat istiadat setempat. Melarang dan menyekat pergaulan yang terlampau bebas antara lelaki dan perempuan. Dan tampaknya, kemiskinan bukan alasan bagi mereka untuk keluar dan mengingkari nilai-nilai kebudayaan mereka, lantas memilih untuk menjadi pelacur.
Tapi, sudahlah. Dua hari lagi pekerjaan akan selesai. Dan ia akan meneruskan perjalanan ke kota yang lain, yang ia yakin akan bertemu dengan banyak perempuan yang mau ditiduri. Ia kemudian merubah posisi tidurnya. Menelentangkan seluruh badannya ke posisi sempurna. Menarik nafas, yang tersekat. Matanya bersiap untuk tidur. Membuang jauh seluruh bayangan tentang perempuan. Jarum jam telah menunjukkan angka tiga dini hari. Tapi badan yang terlampau penat, biasanya tak mudah untuk bisa secepatnya tidur. Bayangan lain yang hadir justru adalah seorang perempuan yang sangat ia kenali. Perempuan yang sempat hidup bersamanya selama lebih dua tahun. Tapi sebuah perkawinan yang gagal tak bisa begitu saja menyalahkan cinta. Ia yakin, sampai kini pun, setelah lebih dari dua tahun berpisah, mereka masih saling mencintai. Tapi konflik terkadang datang tak mengenal waktu. Ia menyerbu seperti peluru yang tajam, berdesing beruntun. Bahkan kita tak sempat sedikitpun bisa mengelaknya. Dan demikianlah, mereka harus memutuskan untuk berpisah, tanpa seorang anak. Bekas istrinya kini bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Jakarta. Dan ia sendiri memilih untuk tetap berpetualang dari daerah ke daerah, menekuni pekerjaan sebagai konsultan. Dan selepas itu perempuan-perempuan lain hadir silih berganti. Datang dan pergi. Meski dalam batinnya ia sering menggerutu, rupanya tak seorang perempuan pun yang bisa ia pilih sebagai pengganti.
Ia memiringkan posisi tidurnya ke dinding hotel. Berharap bayangan bekas istrinya tak lagi hadir. Memeluk bantal guling berwarna merah. Di luar, lampu kota masih mengerdip malas, dengan sesekali pijar lampu kendaraan yang cepat melintas. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Langit mulus seperti sebuah hamparan karpet hitam yang membentang. Baru saja, ia berhasil melelapkan matanya, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Ia tersentak. Seolah tak percaya dengan telinganya. Siapa pula yang datang dini hari begini. Petugas hotel, tidak mungkin. Lalu siapa? Aldi, temannya sepekerjaannya? Juga tak mungkin. Aldi baru saja berangkat ke Tanjung Pinang tadi siang. Selain Aldi, ia tak mengenal siapapun di kota kecil ini. Dan ia tak merasa pernah berjanji dengan siapapun untuk bertemu malam ini, apalagi dini hari begini. Ah, hanya ilusi. Biasanya kepenatan selalu membuat ia mengigau. Dan ia berusaha untuk tidur kembali. Tapi tidak. Suara pintu terus saja diketuk seseorang dari luar. Dan seketika pikirannya kembali pada sosok perempuan. Mungkinkah keajaiban tiba-tiba datang? Seorang perempuan yang kesepian tiba-tiba mengetuk pintu kamar hotelnya, dan mengharapkan pelukan hangat seorang lelaki? Tapi bukankah kisah serupa itu hanya terjadi dalam fiksi? Ia tak begitu yakin. Kemudian ia berusaha mengingat-ingat kembali seluruh perjalanannya menyusuri kota kecil ini. Apakah perempuan pemilik tambak udang yang sama-sama duduk di lobi hotel tadi yang datang? Ia memang sempat bercakap-cakap sekejap. Dan belum sempat membicarakan hal-hal di luar konteks bisnis. Ah, mungkin saja. Sebab tadi sebelum berpisah, ia sempat melemparkan sebuah senyum yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah respon yang positif.
Dan ia bergegas bangun. Memakai kembali t-shirt yang teronggok di tepi ranjang. Membenarkan tempat tidur, dan memakai sandal jepit, berjalan menuju pintu. Suara ketukan masih saja terdengar dari luar. Dengan pertanyaan dan rasa penasaran tak menentu, ia memutar gagang pintu. Dan betapa terkejutnya ia, tiga orang lelaki berdasi membawa tas hitam tersenyum lebar, dan di antaranya tampak seorang perempuan sipit yang tersenyum simpul, berkulit putih, memakai kaos ketat dan rok super mini. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Sebab ia tahu, apa yang mereka mau. Dalam hatinya ia berbisik, benarlah tak ada satu kota pun di negeri ini yang tak memiliki pelacur. Tapi kebohongan itu, haruskah aku tandatangani?***
Pekanbaru, 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar