Kamis, 09 Oktober 2008

D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia Modern

Jamal D. Rahman
Sumber, http://jamaldrahman.wordpress.com/

Dia adalah manusia ajaib dalam khazanah sastra Indonesia. Dari mana datangnya penyair ini? Apa yang bisa menjelaskan bahwa dari Batangbatang, sebuah desa sekitar 20 km sebelah timur kota Sumenep, Madura, lahir seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai? Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, D. Zawawi Imron tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi estetis yang relatif memukau. Dalam hubungannya dengan kepenyairan Zawawi, yang paling penting dari desa kelahirannya mungkin kekayaan alamnya —kekayaan alam di mata seorang penyair. Sudah barang tentu terdapat hubungan kompleks antara alam desa dengan kepenyairan Zawawi, yang tidak mungkin direduksi menjadi sekedar hubungan kausalitas linear. Tapi apa pun bentuk hubungan itu, desa Batangbatang pastilah memiliki arti penting bagi Zawawi.

Salah satu sisi menarik dari hubungan Batangbatang dengan kepenyairan Zawawi, yang mungkin perlu juga dipertimbangkan dalam melihat kepenyairan pria kelahiran tahun 1946 ini, adalah fakta berikut. Dalam bahasa Madura dan bahasa Indonesia kata batang kebetulan memiliki arti yang sama (Asis Safioedin, S.H., 1977: 56), hanya bentuk jamaknya yang berbeda: tang-batang dalam bahasa Madura; batang-batang dalam bahasa Indonesia. Maka dalam bahasa Madura desa Zawawi itu disebut Tangbatang, dan biasa diindonesiakan menjadi Batangbatang. Karena kesamaan arti tersebut, pada hemat saya tak ada problem etimologis untuk memaknai Batangbatang, desa Zawawi itu, dalam konteks karier Zawawi sendiri sebagai penyair Indonesia.

Setidaknya bagi saya, Batangbatang adalah sebuah nama yang puitis. Tidak mudah menemukan nama desa yang puitis, bahkan sekedar nama desa yang jelas artinya, khusunya di Maduara. Agak mengeherankan bahwa desa Zawawi memiliki nama yang bukan saja jelas artinya, melainkan juga puitis dan imajinatif. Pemberian nama itu seakan-akan penuh perhitungan: ada rasa literer di sana; ada imaji; ada denyut estetis. Yang lebih menarik adalah bahwa nama tersebut merupakan idiom yang sangat akrab dengan alam agraris pedesaan, sebuah kata yang pastilah mengacu pada perbendaharaan desa pada umumnya, dan desa Zawawi pada khususnya. Dengan demikian, Batangbatang bukanlah nama yang asing bagi sebuah desa di pedalaman Maduara itu.

Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Kalau Anda datang ke desa itu dari arah utara, maka setelah melewati desa Batangbatang Daya, Anda akan memasuki wilayah lain desa tersebut dengan nama yang, dilihat dari bahasa Indonesia, lebih puitis lagi: Batangbatang Laut! Nama tersebut terpampang pada papan nama desa di pinggir jalan raya. Lepas dari problem pengindonesiaan nama desa itu, Batangbatang Daya dan lebih-lebih Batangbatang Laut jelas merupakan nama yang sangat puitis, imajinatif, dan asosiatif. Batangatang Laut adalah sebuah nama yang secara puitis mengandung imaji alam daratan dan imaji alam laut, yang nanti terefleksi dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron.

Demikianlah Batangbatang seakan sebuah nama yang menyedihkan dirinya bagi kelahiran seorang penyair dan intelektual yang memiliki rasa literer, imaji dan denyut estetis. Nama itu seolah memberikan seluruh bakat, daya artistik dan itelektualnya kepada anak desa terbaiknya, sehingga hanya dengan pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan sekitar setahun pendidikan pesantren pun dia mampu lahir sebagai penyair yang diperhitungkan, penulis cerita rakyat Madura, kolonmnis di berbagai media cetak, pembicara dalam forum-forum akademis, dosen di beberapa perguruan tinggi, mubalig, dan pelukis. Semua profesi ini dibangun dari desanya yang tandus nun jauh di ujung timur Pulau Madura. Dia lahir dari keluarga petani miskin pula.
Tapi lebih dari sekedar memberikan seluruh bakat, daya artistik dan intelektual, bagi Zawawi kehidupan desa bahkan membangkitkan vitalitas hidup yang tak habis-habisnya. Desa tempatnya lahir dan besar itulah yang mula-mula menjadi telaga lahir kreativitasnya sebagai penyair. Katanya (D. Zawawi Imron, 1996: 137-138),

Saya dilahirkan di sebuah dusun yang terletak di lembah sebuah bukit, yang di pinggir-pinggir dusunnya masih hutan belukar. Pada pagi hari, saya dapat melihat bagaimana matahari terbit dai celah bukit. Dan jika kebetulan bulan purnama, saya pun dapat menyaksikan bulan muncul dari puncak siwalan. Di hutan itu, masih banyak berkeliaran ayam hutan. Ya, saya lahir di tengah alam yang masih murni, dan indah menurut ukuran saya. Di sebelah selatan rumah, ada telaga kecil, di situlah saya biasa mandi, sambil memperhatikan capung-capung merah, biru, saling berkejaran dan sewaktu-waktu menyentuhkan kakinya ke air. Saya merasakan ini pertunjukan yang sangat mengasyikkan. Saya juga sering membuat perahu-perahu kecil sari ilalang, lalu melayarkannya di atas air itu sambil membayangkan bandar-bandar yang jauh, yang belum pernah saya singgahi, tapi sering disebut kakek. Memang, kakek sering berlayar ke Probolinggo, Tuban, bahkan Banjarmasin. Melayarkan perahu-perahu ilalang ini punya kenikmatan tersendiri. Ini antara lain yang mempengaruhi angan saya tentang kehidupan, baik yang bisa dibayangkan angan, maupun yang tak bisa dibayangkan, tapi itu terasa sangat indah.

Kerap saya memperhatikan ibu ketika duduk mengahadap ke barat sambil membaca sebuah buku dengan suara syahdu sekalipun saya tak mengerti maksudnya. Saya perhatikan, ibu penuh kesungguhan. Setelah agak besar, baru saya tahu bahwa yang dibaca ibu itu Al-Qur’an.

Ada lagu-lagu Madura yang kata-katanya tak seluruhnya saya mengerti saat itu, tapi irama lagunya mampu membuat hati saya tergetar. Ada gamelan Madura yang disebut saronen untuk mengiringi kerapan sapi. Saya lihat jika saronen itu ditabuh, orang-orang yang sedang jalan pun seakan menyesuaikan langkahnya dengan iramanya.

Keindahan seperti itulah yang berpengaruh pada jiwa saya untuk merasakan bahwa hidup itu begitu segarnya sehingga berkenalan dengan alam di sekililing punya andil besar dalam perjalanan kreatif sastra saya di kemudian hari.

II
Orang cenderung tergoda untuk membandingkan puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. karena mereka berasal dari daerah yang sama, di samping karena keduanya sama-sama mangangkat Madura dalam karya mereka. Ketika membicarakan penyair-penyair Indonesia dekade 1970-an yang belum benar-benar menonjol, A. Teeuw mengatakan bahwa Zawawi adalah “seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” (A. Teeuw, 1989: 163). Sayangnya, Teeuw tak menunjukan sedikit pun di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi, sehingga kita pun tak tahu sejauhmana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya.

Sudah pasti penilaian itu berdasarkan pada perkembangan kepenyairan Zawawi sampai akhir dekade 1970-an, ketika Teeuw mengemukakan pendapatnya di atas. Tapi sangat mungkin tidak semua karya Zawawi hingga akhir dekade itu ampai ke tangan Teeuw, karena ternyata banyak puisinya baru dimuat dalam kumpulan puisi yang terbit pada dekade berikutnya. Sementara, kepenyairan Zawawi mengalami perkembangan penting dan mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986)2

Meskipun demikian, sajak-sajak Zawawi tetap relatif jarang dibicarakan atau dibahas dalam publikasi-publikasi luas dan terbuka, kecuali penelitian-penelitian akademis untuk keperluan tugas-tugas akhir kesarjanan di beberapa universitas, khususnya oleh Subagio Sastrowardoyo khusus untuk Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Air Mata (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 208-221). Seraya mengatakan bahwa secara subjektif Subagio menyukai puisi-puisi Zawawi, dia menunjukkan pula keganjilan-keganjilan imajinya, yang menurut Subagio mengurangi tenaga ucap puisi-puisi Zawawi sendiri. Tapi dia segera mengatakan bahwa apa pun wujud puisi-puisi Zawawi, dia tetap mencintainya. Sebab bagaimanapun, bagi Subagio (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 219-220),

D. Zawawi Imron telah mencapai kematangan mengucap dan bersikap. Bahasa puisi bukan soal kata-kata dengan bunyi dan makna denotatif dan konotatifnya belaka, tetapi juga soal angan-angan yang timbul dari konteks kata, serta struktur yang merupakan kebulatan dan kepaduan bicaranya …. Dan Zawawi Imron telah berhasil mencapai pengucapan pribadi yang khas itu ….

III
D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Yang lebih penting adalah bahwa dia tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain.

Dan Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karier kepenyairannya. Pada sajak yang berjudul “Ibu”, misalnya, yang ditulis pada tahun 1966, idiom-idiom Madura relatif kental, dan dengan itulah Zawawi menyatakan cintanya kepada sang ibu. Saya kutip seluruhnya (D. Zawawi Imron, 1999: 3):

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Sebagaimana bagi banyak orang, bagi Zawawi ibu adalah segalanya. Yang menarik dari sajak di atas adalah bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, Zawawi menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura terhadap lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama 6 bulan pertahun, sehingga mereka menyadari pula bahaya kekeringan. Para nelayan menyadari tentang kekayaan laut, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan laut itu. Dan, mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti ini bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa demikianlah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.

Madura terasa kental mewarnai puisi-puisi Zawawi terutama yang terkumpul dalam Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Tembang Dusun Siwalan (?) —yang kemudian diterbitkan kembali bersama sejumlah puisi lain dalam Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Semua judul antologi tersebut menyiratkan warna lokal Madura. Lebih dari itu, judul antologi puisi terakhir sengaja diambil dari lirik nyanyian tradisional Madura, yang menyiratkan pengakuan penyair bahwa dia secara sadar memang menimba dari sumber-sumber Madura untuk puisi-puisinya dalam buku ini.

Zawawi bahkan bukan saja mengakui Madura sebagai sumber inspirasi puisi-puisinya, melainkan juga “mengankat” atau mengklaim dirinya sebagai laut dan darah Madura itu sendiri. Dia memberi judul kumpulan puisinya Madura, Akulah Lautmu, lalu menulis sebuah sajak berjudul “Madura, Akulah Darahmu”. Klaim yang sepintas terkesan ambisius ini seakan menegaskan bahwa Zawawi adalah duta Madura dalam puisi dan sastra Indonesia modern. Sejauh ini, klaim tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat dialah penyair (Madura) yang paling rajin menggali kekayaan alam Madura —sekali lagi: kekayaan di mata seorang penyair— untuk keperluan saja-sajaknya. Dan melalui dialah Madura hadir secara lebih kaya dan elegan dalam khazanah puisi Indonesia.

Tetapi, kemungkinan itu bukan tanpa konsekuensi, yang tampaknya tidak disadari oleh Zawawi sendiri. Konsekuensi itu adalah bahwa —setidaknya dalam kesan pribadi saya— cinta dan penghormatan Zawawi kepada Madura terasa lebih besar daripada cinta dan penghormatannya kepada sang ibu. Benar bahwa ibu adalah segalanya, namun bagi Zawawi Madura lebih dari segalanya. Hal ini terutama terlihat dari cara Zawawi memposisikan diri (baca: aku-lirik) di hadapan ibu dan Madura, dan cara Zawawi memposisikan ibu dan Madura itu sendiri di hadapan dirinya (baca: aku-lirik). Agar lebih jelas, saya kutip puisi “Madura, Akulah Darahmu” seutuhnya (D. Zawawi Imron, 1996: 98-99):

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

Dalam “Ibu”, aku-lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (… aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu). Aku-lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa … hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku-lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya … mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku-lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibarat samudera, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan —lokan-lokan, mutiara, kembang laut— adalah bagi aku-lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.

Bandingkan dengan cara Zawawi (basa: aku-lirik) memposisikan diri di hadapan Madura dan sebaliknya dalam “Madura, Akulah Darahmu”. Di situ, aku-lirik jelas mengambil posisi sebagai anak sulung yang sekaligus anak bungsumu (Madura), bukan sekedar anak dari seorang ibu. Aku-lirik menegaskan, biar berguling di atas duri hati tak kan luka/ meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akn layu —satu penegasan bahwa aku-lirik akan memberikan seluruh pengorbanan dan cintanya kepada Madura. Bahkan, aku [adalah] sapi kerapan/ yang lahir dari senyum dan airmatamu. Itu sebabnya cinta dan penghormatan aku-lirik kepada Madura bersifat tegas dan aktif: bila musim labuh hujan tak turun/ kubasuhi kau dengan denyutku/ bila dadamu kerontang/ kubajak kau dengan logamku. Tidak mengherankan kalau puisi itu diakhiri dengan sumpah aku-lirik: madura, akulah darahmu.

Sementara itu, Madura diposisikan sebagai semesta yang teramat luas, lebih luas daripada sekedar gua pertepaan atau samudera: pulau itu menanggung biru langit moyangku, menanggung karat/ emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua. Aku-lirik bahkan berseru, madura, engkaulah tangisku. Sedari awal telah dikemukakan imaji-imaji yang bersifat aktif: di atasmu, bongkohan batu yang biru/ tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam puisi “Ibu” aku-lirik memposisikan diri sebagai seorang anak yang cinta dan penuh hormat kepada sang ibu, tapi cinta dan hormat itu bersifat pasif belaka. Ibu pun diposisikan sebagai gua pertapaan, pahlawan, dan bidadari yang berselendang bianglala. Sementara dalam “Madura, Akulah Darahmu”, aku-lirik bukan saja memposisikan diri sebagai seorang anak, melainkan anak sulung sekaligus anak bungsu. Lebih dari itu, seluruh cinta, penghormatan, dan kesediaan aku-lirik berkorban demi Madura bersifat aktif dan tegas. Berbeda juga dengan ibu, Madura diposisikan sebagai tangis sekaligus semesta yang teramat luas, bahkan tak terhingga, menanggung pula beban yang teramat berat: biru langit, emas semesta, sekarat tujuh benua.

Kesimpulan ini mungkin berkaitan dengan pekembangan daya ungkap kepenyairan Zawawi, karena puisi “Ibu” ditulis pada tahun 1966, sedangkan “Madura, Akulah Darahmu” ditulis pada tahun 1980. Tapi di tahun 1980 juga, Zawawi menulis sajak “Kepada Ibu” (D. Zawawi Imron, 1985: 82), yang pada hemat saya justru tidak lebih “matang” dibandingkan “Ibu”, tidak pula mengungkapkan cinta dan penghormatan secara lebih mendalam kepada Ibu.3 Maka melihat sejumlah sajaknya tentang ibu dan Madura, saya cenderung mengatakan bahwa keterlibatan Zawawi dengan kekayaan alam Madura —yang dilakukan secara intens hampir sepanjang kariernya sebagai penyair— membangun tumpukan tak-sadar tertentu tentang Madura, yang tersublimasi dalam sajak. Dengan kata lain, cinta dan penghormatannya terhadap Madura yang amat besar, melebihi cinta dan penghormatannya kepada ibu, merupakan ungkapan tak-sadar dari kekagumannya terhadap kekayaan alam Madura itu sendiri.

IV

Dengan uraian di atas, saya tida bermaksud mengatakan bahwa pesan atau amanat menjadi amat penting dalam sajak-sajak Zawawi. Dia bagaimanapun penyair liris. Dan sebagai penyair liris, Zawawi tentu hanya ingin menyatakan perasaan dan pikirannya yang sebermula adalah sesuatu yang tidak jelas benar, bahkan bagi Zawawi sendiri. Dalam puisi liris, kita seringkali hanya berhadapaan dengan citraan-citraan, bayang-bayang, gambar imajinatif, yang tidak jelas acuan maknanya, tapi suasana tertentu bisa kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran pada kita setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan namun amat kita rasakan. Bukankah kita seringkali mengalami perasaan yang tak bisa dikatakan? Misalnya, puisi Zawawi yang berjudul “Dengan Engkau” berikut ini (D. Zawawi Imron, 1985: 29):

kusambut anginmu setelah berhasil melacak jiwaku yang penasaran di
terjal bukit-bukit batu
sementara mawar mengeringkan embun, matahari yang bengis tak kuasa
menyadap cintamu
hanya aku yang bisu, tegak tapi agak ragu pada harum jejakmu.
dan kalau langit bermendung di ujung kemarau, tangis pun adalah lagu
keimanan
senyummu membias di linang hatiku.

Terhadap puisi-puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan pertanyaan (Soebagio Sastrowardoyo 1982: 218):

…apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang angan-angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surreaslisme, seperti mimpi yang tidak mampu memberi makna?

Subagio cenderung pada kemungkinan kedua. Katanya, “… kita lihat kini bahwa khusus di dalam kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang banyak sajak yang nampaknya gagal mengemukakan maknanya karena penyairnya terlalu larut dalam arus perbauran bayang angan-angannya sendiri” (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 221). Sayangnya dia membandingkan puisi liris dengan mimpi, tidak dengan seni lukis surealis atau musik simfoni, yang dia sarankan sebelumnya. Kalau dengan itu puisi liris dia bandingkan, kesimpulannya mungkin sekali akan lain. Bukankah pada lukisan surealis dan orkes simfoni kita juga tak bisa sampai pada amanat, tapi toh kita menangkap perasaan tertentu yang bukan main nikmatnya?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip dua puisi Zawawi yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan kecermatan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan perasaan dengan alam, dan khususnya kecermatan dalam mengontrol dan memilih kata-kata. Dengan kecermatan itulah puisi senantiasa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi dengan demikian tampaknya bukan terutama menyampaikan makna, pesan, atau amanat —semacam kedalaman filsafat atau pemikiran diskursif. Kalau lukisan dan musik tidak bertugas menyampaikan pesan, kenapa puisi harus memikul tugas itu? Bukankah puisi juga karya seni, sebagaimana lukisan dan musik? Maka, marilah kita nikmati dua puisi D. Zawawi Imron berikut tanpa bersusah payah mencari-cari maknanya:


UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara berburung di ujung malam.
Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku?
kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas bukit.
bertengger pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah
kertas tua itu menghampar dan aku berdiri di atasnya, bintang-bintang
yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.

Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut
untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu
berhembus kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana
sejukmu sedang kaubagi.

(D. Zawawi Imron, 1985: 84)


SUNGAI KECIL

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah negeri
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani mudah
melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar para perampok
yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku dan
kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang jelita
kutembangkan buat kasihku.

(D. Zawawi Imron, 1999: 71).***
-------------------------------------------------
1. Sayangnya, ada prolem etimologis di sini, atau tepatnya problem pengindonesian. Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah utara dan selatan, yang dalam bahasa Madura disebut Tangbatang Dhaja (= Batangbatang Utara) dan Tangbatang Lao’ (= Batangbatang Selatan). Nama dua wilayah itu diindonesiakan bukan mengikuti terjemahannya dalam bahasa Indonesia, melainkan berdasarkan kedekatan ujarnya antara bahasa Madua dan bahasa Indonesia. Demikianlah dhaja menjadi daya (maka Tangbatang Dhaja menjadi Batangbatang Daya) dan lao’ menjadi laut (maka Tangbatang Lao’ menjadi Batangbatang Laut). Pengindonesian ini kadangkala dirasakan menggelikan bagi orang Madua sendiri. Mereka akan menyebut Batangbatang Daya atau Batangbatang Laut (dalam bahasa Indonesia) sambil tertawa, dengan sedikit rasa malu atau dengan nada merendahkan bahkan mengejek. Namun demikian, dalam administrasi pemerintahan desa, Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut tampaknya merupakan nama resmi dua wilayah desa tersebut dalam bahasa Indonesia. Ini terbukti dengan tertulisnya dua nama itu (Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut) pada papan nama desa di jalan raya Batangbatang. Dan lagi, sebagaimana di derah-daerah lain, di Madura bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan hingga ke desa-desa.

2. Pada tahun 1987 Nenekmoyangku Air Mata mendapat hadiah Yayasan Buku Utama; pada tahun 1990, Nenekmoyangku Air Mata dan Celurit Emas terpilih sebagai buku pumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini: Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang mengilhami film arahan sutradara Garin Nugroho, berjudul Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Film ini mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pada Festival Film Nantes, Prancis (November 1995).

3. Sajak “Kepada Ibu” itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

sepantun senyum melambaikan tangis sekerat jiwa
dan jerit seluruh mega
kucari pergantungan ke tiang-tiang
dan ranting-ranting di luar jendela
namun tak bisa
bahkan pada secanting tuak tak kutemukan
damai yang dijanjikan pantai kesayangan
bulan termangu di luar pintu
jalanan ramah jauh di dalam hati
di sana langkahku menyiris debu
alankah tak habis-habisnya rindu
pada kata-kata yang mengeram dalam darahku.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati