Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=209
Dia menumpahkan sabda kelanggenggan gelombang,
luapan kabut menuruni semenanjung langit pulau sebrang
dan daya rindu tersirap cakrawala (XIII: I).
Ketika elang mengapung, kau tarik kendali sukmanya,
angin-ombak tiada berhenti menelusupi pori-pori pasirmu,
itu bayang dirinya telah sampai di gerbang penantian (XIII: II).
Melepas pelukan purba, jejakkan kaki di bebatuan karang,
lantas terbang bersayap pengetahuan melewati kenangan (XIII: III).
Janji rindu semesta bersaksi melalui geraian rambutmu, kau
semakin temukan ketentraman, di kedalaman tak terukur (XIII: IV).
Saat singgahsana nalarmu porak-poranda oleh tiupan taupan,
debu mengiris mata, atas tumpah darah di sudut gelap tercela (XIII: V).
Kiranya hujan gerimis bertambah menggenangi lamunan hati
oleh mendung berdesak merata ke tengah malam (XIII: VI).
Usap kulit lembutnya, lalu goyanglah nyala lilin hatimu,
ia mempunyai kasih, tidak mematikan cahayanya (XIII: VII).
Siapa bergayuh terus melenggak ke panggung, getaran rumput tertunduk,
tataplah langit, yang terus memberikan butiran (XIII: VIII).
Di belakang laut berlarian buih ke pantai, wajah gerimis menderas doa,
tebarkan kembang mengumpulkan hasrat suci kemenangan terjaga (XIII: IX).
Kesadaran sedingin kapas putih mensalju, terapung membeku berpulau
sebagai dataran kabut percintaan (XIII: X).
Keluarlah dari cengkraman mata-mata, dirimu ringan
serupa kebijakan bebiji, meninggikan tubuh berdahan (XIII: XI).
Renungan angin di pepucuk petilasan,
menyeret kantuk tenang menelusup ke dasar kesejatian (XIII: XII).
Pencapaian burung pelintas di gelap wengi memberi pekikan
melengking tanpa perlihatkan bayangan
dan kerling bola matanya, bertemu kehendak mengepak (XIII: XIII).
Sunyi tertunduk tegar, menanti hujan mengembalikan ingatan
kepada bentangan samudra, layarmu ke pulau nan ghaib (XIII: XIV).
Setiap melihat kembang ingin memetiknya, namun kau jauh,
diabadikan lewat kata-kata, agar keharuman lestari selamanya (XIII: XV).
Angin dan air berkasih sayang, maka adillah di selatmu
jikalau berharap selamat sampai perkampungan (XIII: XVI).
Khusyuk dengarkanlah deburan ombak di dinding kapal,
biar kegelisahan tak sampai membuatnya karam (XIII: XVII).
Arah tubuh gelombang memberi nafas pekabutan
dan awan menghujan bersayap kehidupan (XIII: XVIII).
Ia lesatkan gairah waktu ke pantaimu
merindu di tengah-tengah keindahan (XIII: XIX).
Langit berdentam, ombak biru mengajari jiwamu (XIII: XX).
Sekian masa bergolak, lalu gedoran ombak merangsek maju
kepada pergumulan setubuh menciumi bibir merekah (XIII: XXI).
Gemuruh kalimah menghadirkan udara cadas menyatukan tekad,
selat manunggalkan dayadinaya, ditakdirkan berpasangan dirinya
menuju pelaminan mengusung kebijakan langitan (XIII: XXII).
Yang lepas kembali suci mendekati keajaiban,
ombak perasaan pengetahuan pertama, meninggikan ruh sempurna akal
seumpama lekukan sampur menghanyutkan jiwa-jiwa masa (XIII: XXIII).
Ia memuntahkan deburan jantung ombak menghantam,
pasir pesisir telah hatam, dielus mesra anak-anak menyongsong mentari,
atas selongsong manggar sayang, terjatuh pada gelombang (XIII: XXIV).
Kasihnya cahaya pagi mendamaikan ikan di kandungan samudra
yang terlahir kehendak kemanusiaan (XIII: XXV).
Bangkitkan fajarmu pada lintasan camar
yang digubah para pecinta gelombang (XIII: XXVI).
Kedipan gemintang arah pelaut memperjuangkan nafas-nafasnya,
pelayarannya dikala kau lelap dalam buaian kasih mesra (XIII: XXVII).
Kesadaran mengapungkan cinta mengikuti segala kekuasaan bayu
tanpa watas kehadiranmu, seperti kaum pencari sejati (XIII: XXVIII).
Bergulungan debaran hawa kemarau, pada lidah ombak sejilatan garam,
berduyun robohkan dengus bertengger, mensucikan ikan berpasir (XIII: XXIX).
Ombak berjunjung membelai tanjung karang, menyelinap kilatan pedang
setajam menghunus hasrat di teluk serengkuh (XIII: XXX).
Berjubah bayangan gerilya terjaga pesakitan
tapi jangan tertunduk di lereng kebun anggur (XIII: XXXI).
Ia berseru; tangkaplah gelora, rasakan dentingan bunyi nurani bergoyangan
dan menarilah, kau kan terangkat ke pucuk-pucuk keutamaan (XIII: XXXII).
Beranjak maju menjawab kekosongan pilu mengisi ruang ngilu,
inilah kabar datangnya kemerdekaan jiwa-jiwa tertindas (XIII: XXXIII).
Siapa mengarahkan busur panah tepat di jantungnya, menjilati darah segar
tandas tidak bersisa? Yang salah arah, tinggal tulang-belulang saja (XIII: XXXIV).
Kerahkan terpendam, menggubah laut berawan mendesak malam,
laluilah bersungguh angin, ketika api menghadang matamu (XIII: XXXV).
Jangan manjakan sebab lecutan pecut memecah pendengaran,
akan berlari tunggang-langgang selagi langit masih memar (XIII: XXXVI).
Semerbak bunga liar mengacaukan imaji pejalan kaki
semurni kejernihan air pegunungan membasuh tubuhmu,
laksana lintang mempercayai cahayanya (XIII: XXXVII).
Butiran pasir-pesisir pertanda belaian lembut lautan
tetapi kenapa kalian tampak pucat murung? (XIII: XXXVIII).
Ia bawakan tidak lewat telinga semata, mendekapmu sanggup menyimak
kelembutan, lelaguan di balik pebukitan, kaulah saksi hati pantai (XIII: XXXIX).
Perlambang mendaratkan deretan kalimah, esok bergerak
dari energi tersumbat atas bongkahan timbunan uap (XIII: XL).
Meluncurlah di waktu barisan kalam serta nama-nama
oleh hamparan molek semesta jiwa para kembara (XIII: XLI).
Pandang dan ciumi sungguh dada segar penuh nilai
lantas tiada perlu meragukan kembali (XIII: XLII).
Jika berpaling janganlah jauh, cukup senyum kan tahu
getar rambatan pribadimu mengalirkan serajutan benang mungil,
menyetujui mengolah ladang bertangan kelembutan (XIII: XLIII).
Suguhkan kembang api menghibur di malam-malam membujang,
keriangan bintang-gemintang berkedip menarik bertemu pandangan,
seteguh tubuh diguncang jiwa, tumpah air gelas di kemeja (XIII: XLIV).
Kau basah penuh percaya, mencumbui wengi sampai fajar mendatang,
bunga-bunga pupus di tangan musim berganti kebaharuan, tampak riuh-buih
berhimpit, terhempas memuntahkan kesegaran (XIII: XLV).
Berharap kalian lebih menanti datangnya masa tua,
terkurung ruang-waktu dalam tempaan usia (XIII: XLVI).
Batas rindu tepinya berlalu, bebatuan menjepit tiada bertalu (XIII: XLVII).
Ialah berlari membelakangi meninggalkan mereka,
menuju keyakinan asing nan sunyi senyap (XIII: XLVIII)
; melepaskan kebisingan tidak kenal ragu dinikmati,
sedang mereka menganggap mengada semata (XIII: XLIX).
Ia mengundang kemari demi kumpulkan garam di dada meriap ombak,
senyum lekukan pantai, tercurah melewati kerongkongan cakrawala (XIII: L).
Bawalah kendi-kendi kosongmu, ia isi dengan embun surgawi
lewat jari-jemari memunguti kekudusan (XIII: LI).
Arak-arakan anak sungai sederas asal muasal masa menyamudra
setajam debu ke sorot mata berkecipak mengiris, terputus dedahan
meramai daun-daun berserak digugurkan bayu pantai (XIII: LII).
Prahara ditangkal oleh lajuan merestui kisah malam
berhias lelampu di tengah alun-alun keheningan (XIII: LIII).
Rawatlah unggun agar seluruh kampung bermata penjaga
yang nanar atas asap mengepul di tempat muasal berita (XIII: LIV).
Kau melewati tapakan pulang, catatan silam tak sekadar kenangan,
membersihkan dahi berdebu, doa-doa merambati pendakian sampai (XIII: LV).
Sambut kesadaran hati mensucikan kemerdekaan cinta memberi jalan
pada keremangan fajar akan terbit (XIII: LVI).
Air laut berangin kencang, tertangkap tatanan malam di alunan gelombang,
menelan mentari seperti mencuri harta warisan (XIII: LVII).
Yang tercuri memercikkan api semangatmu, setiap kobarannya nyala abadi,
memaku kaki-kaki para penjegal yang terlena (XIII: LVIII).
Jiwa tenang akan ditambahkan lebih dari yang tercuri,
kemuliaannya memantulkan cahaya kedamaian hati (XIII: LIX).
Para pencuri diringkus prahara, ditelan banjir tiada faedah,
dan tercekam saling berurai, mengeluarkan pengertian (XIII: LX).
Bagi mengikuti terkena celaka, hari-hari naas menguntitnya, yang mencuri
ketenanganmu lebih terampas waktunya, yang terahasia di lebam jiwa (XIII: LXI).
Pemilik luhur leluhur, mengabdikan anak-anaknya mencari hikmah rasa,
menyempurnakan hasana cahaya mentari, menyinari bulan setia (XIII: LXII).
Yang terjaga tabah, diberi kecukupan kemurahan hati (XIII: LXIII).
Malam-malam celaka perampok, mata terkuras atas pemilik sah,
was-was pewaris musnah, selepas gelisah menggantung (XIII: LXIV).
Kesadaran jarum jam terjatuh di lantai bekukan laku,
inilah semesta bathin di alam penyadaran (XIII: LXV).
Ia bersanggup sebelum kata cukup terpahat, langkah menyinggahi kalbu
insan direstui sunyi dengungan hati, berisi bayu merebahkan diri (XIII: LXVI).
Jemari melukis mata embun pada rerumputan memberat,
dibelainya sungai lekuk lembah hijau musim sebrang (XIII: LXVII).
Penantian cahaya dipantulkan lempengan kaca,
bola-bola mata membisu saling menerima (XIII: LXVIII).
Wahai burung malam, ikutilah mengedari bumi memaknai biji, penjaga
memetik getar ombak, lembut menelusup menembusi lelap pagi (XIII: LXIX).
Kepada sentuhan halus, ketenangan membaringkan kekasih,
dan kendorkan tali-temali, guna langkah tidak kesemutan (XIII: LXX).
Menuruni kebijakan lajuan kapal, ke tiap pulau disinggahi mencari pebekalan
pengusir lelah membosan bermalas melaut, seriak ombak purbasangka (XIII: LXXI).
Kesadaran tertunduk malu keangkuhan pemuda, terkekang
hasrat membeletat, berhamburan cahaya berkilat-kilat (XIII: LXXII).
Anak gadis cemas beranjak dewasa, seperti kekupu di kuncup bebunga,
pesona bulu mata lentik memuara, harum tak sebatas samudra (XIII: LXXIII).
Ia mendaki lamunan akan tarian hangat kenalan, makin terang putaran
bumi mencerna warna, dan kalian mulai terjatuh sebab cinta (XIII: LXXIV).
Sungguh air liur membasahi lidah keluh ke ujung-ujung leluasa, pada
malam batang-batang kayu, mewujud goyangan dedaunan padu (XIII: LXXV)
; embun ketenangan jiwa
ini penggalian masa tidak berhenti memetik hikmah (XIII: LXXVI).
Menggebu di ruang kosong, sadar hari-hari tertambal keringat petani
membajak sawah sambil memandang temanten jingga senjakala (XIII: LXXVII).
Air sungai mengalir menuntun reranting yang patah, nuraninya berenang
menggeraikan denyutan kalbu bening, dan jikalau kepakan merawat sayap burung,
hasratnya memenuhi kebiruan langit bertangan gelisa pemahat (XIII: LXXVIII).
Meniup seruling menuturkan tembang malam, terik mentari di waktunya,
penerimaan yang lalu, tinggal merindu kedamaian (XIII: LXXIX).
Keindahan ragu yang sungguh jauh tanpa bekal, kosong di tempat penuh
lalu langit berseri, sedang bocah rajin melangkahkan kaki kembali (XIII: LXXX).
Bayu memasuki pintu, ia duduk menyendiri, datang pekikan semangat,
kicauan burung-burung bersahabat di belantara jiwamu
melihat dahan tersentuh kebimbangan mutlak (XIII: LXXXI).
Yang lunglai ditikam belati kepastian, membeku darah-waktu di tungku,
bersuling kehampaan persekutuan dicari, selepas menjelma bayu (XIII: LXXXII).
Sendu sepasang mata kembara, bertunggangan turangga sembrani,
derap langkah kaki dan sayapnya kencang melesat ke wana perburuan mentari
serupa busur panah ke tanah terjatuh atas restu takdir lelah (XIII: LXXXIII).
Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran, setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII: LXXXIV).
Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
terpotong tanggul kaki-kaki mungilmu (XIII: LXXXV).
Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan,
terlempar arus kesadaran yang berasal hempasan (XIII: LXXXVI).
Asap tebal berkawin malam, membangunkan udara menjilat tajam,
pijakan dulu terlupa, menjelma pesakitan meraja (XIII: LXXXVII)
; cakar siksaan di segenap relung jiwa, bayangan remang dibalik cahaya,
menembusi gelap menemukan bimbang (XIII: LXXXVIII).
Bias sinarmu di kertas dan pena penentu bertahta,
tinta kehormatan tiada berdosa menjumpai makna (XIII: LXXXIX).
Terjerembab pekat di ketiak senyap, hantu gentayangan menyapa
atas ratapan mataair di rundung setiai janji setiap berbicara (XIII: XC).
Rerumputan kering terambili burung-burung mengikat reranting,
bersiulan bayu menyeret awan isyarat mencipta sarang segera pulang (XIII: XCI)
; gemintang hadir menghiasi tajamnya ilalang, sekuntum kecupan pada
ubun-ubun dingin ditempa hujan deras bersusulan (XIII: XCII).
Terbangnya burung melipat waktu merakit sarang teduh,
sunyi rindu di segenap kalbu mengunjungi kecantikan danau (XIII: XCIII)
; sebening cermin tergoda kehangatan air, sedang udara unsur nyawamu
lekat daya kehendak, melebur ruang-waktu pada sekuntum teratai (XIII: XCIV).
Ada nyala lilin di atas batu di bawah malam,
setiap perciknya mencipta gigitan api (XIII: XCV)
; terimalah saat jatuh cinta, bahasa tubuh tersampaikan gerak,
menari-nari selembut padi bersinambung pagi, dan angin layang-layang
pada nalar benang, mengapungkan tulang kayu kulit kertas (XIII: XCVI).
Di ruang persidangan waktu, awal persetubuhan melewati tabuhan hening
bertalu-talu rupa senar gitar diganti benang pancing melukai jemari (XIII: XCVII)
; bertambah kuat di perbincangan serius, angin merambati kulit bebulu,
ketakutan tersembuhkan harapan, lantas hantu berlalu (XIII: XCVIII).
Dendam lebih menggali kedalaman sumber minyak
dan tambang emas peperangan atas balas budi (XIII: XCIX)
; diamnya menemani jemari melukis samudra bersayap ombak,
bersimpan itu degup jantungmu kepada genggaman dada-dada ikan,
candatawa datang-pergi berpintu melanjut diayun jalan pilu (XIII: C).
Kesaksian doa gelombang bersahut-sahutan merawat pantai,
sedang asap cendana menembusi lelapisan awan-gemawan (XIII: CI).
Menghentakan alunan telaga membuyarkan tanda di rautmu,
embun tergolek terminum sungguh, berkesudahan pagi hari (XIII: CII).
Hembusan bayu menerbangkan jerami beruraian keringat petani,
menumbuk pepadi di lumbung ruyong kemungkinan kembali (XIII: CIII).
Sebelum sadar buaian perang takkan berakhir, sejarum niat diperjuangkan,
menambal kain baju atas sobekan pedang, dan sodokan jaman tajam (XIII: CIV).
Marilah mengikuti tari-tarian hempasan gelombang samudra menggaram
menghilangkan bau bangkaimu, sedari berhadapan ombak ke pedalaman (XIII: CV)
; di antara persembahan ada kegusaran, hari-hari tertempuh
di masa nalarmu setelah lelap terbit, tiada gelisah bersarang (XIII: CVI).
Zaman dilampaui keikhlasan, tanpa tedeng aling memaknai kekolotan
dan sampailah menyelami kata-kata, hawamu memasuki diri gelombang (XIII: CVII).
Kau arungi awang-awang kelelawar terbang malam, tarikan kecemasan atas
refleksi sukma ketuaan, terwakili keengganan bayi menangis (XIII: CVIII).
Kalian kelabakan mencari lobang ke luar pintu-jendela, pekat wengi
tiada pembuka, panas penasaran dibangunkan jiwa-jiwa hempasan (XIII: CIX).
Lalu siapa melempar bayanganmu di tembok terawat cahaya? (XIII: CX).
Kepada hamparan rumput, ia merasakan hening bersalam angin, tersendak
sebelum usai tinta keroncongan, lebih dekat tulang, dari lahir-kematian (XIII: CXI).
----
*) Pengelana dari Lamongan, JaTim, yang ingin jadi penyair sungguhan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar