Kamis, 09 Oktober 2008

GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I - CXI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=209


Dia menumpahkan sabda kelanggenggan gelombang,
luapan kabut menuruni semenanjung langit pulau sebrang
dan daya rindu tersirap cakrawala (XIII: I).

Ketika elang mengapung, kau tarik kendali sukmanya,
angin-ombak tiada berhenti menelusupi pori-pori pasirmu,
itu bayang dirinya telah sampai di gerbang penantian (XIII: II).

Melepas pelukan purba, jejakkan kaki di bebatuan karang,
lantas terbang bersayap pengetahuan melewati kenangan (XIII: III).

Janji rindu semesta bersaksi melalui geraian rambutmu, kau
semakin temukan ketentraman, di kedalaman tak terukur (XIII: IV).

Saat singgahsana nalarmu porak-poranda oleh tiupan taupan,
debu mengiris mata, atas tumpah darah di sudut gelap tercela (XIII: V).

Kiranya hujan gerimis bertambah menggenangi lamunan hati
oleh mendung berdesak merata ke tengah malam (XIII: VI).

Usap kulit lembutnya, lalu goyanglah nyala lilin hatimu,
ia mempunyai kasih, tidak mematikan cahayanya (XIII: VII).

Siapa bergayuh terus melenggak ke panggung, getaran rumput tertunduk,
tataplah langit, yang terus memberikan butiran (XIII: VIII).

Di belakang laut berlarian buih ke pantai, wajah gerimis menderas doa,
tebarkan kembang mengumpulkan hasrat suci kemenangan terjaga (XIII: IX).

Kesadaran sedingin kapas putih mensalju, terapung membeku berpulau
sebagai dataran kabut percintaan (XIII: X).

Keluarlah dari cengkraman mata-mata, dirimu ringan
serupa kebijakan bebiji, meninggikan tubuh berdahan (XIII: XI).

Renungan angin di pepucuk petilasan,
menyeret kantuk tenang menelusup ke dasar kesejatian (XIII: XII).

Pencapaian burung pelintas di gelap wengi memberi pekikan
melengking tanpa perlihatkan bayangan
dan kerling bola matanya, bertemu kehendak mengepak (XIII: XIII).

Sunyi tertunduk tegar, menanti hujan mengembalikan ingatan
kepada bentangan samudra, layarmu ke pulau nan ghaib (XIII: XIV).

Setiap melihat kembang ingin memetiknya, namun kau jauh,
diabadikan lewat kata-kata, agar keharuman lestari selamanya (XIII: XV).

Angin dan air berkasih sayang, maka adillah di selatmu
jikalau berharap selamat sampai perkampungan (XIII: XVI).

Khusyuk dengarkanlah deburan ombak di dinding kapal,
biar kegelisahan tak sampai membuatnya karam (XIII: XVII).

Arah tubuh gelombang memberi nafas pekabutan
dan awan menghujan bersayap kehidupan (XIII: XVIII).

Ia lesatkan gairah waktu ke pantaimu
merindu di tengah-tengah keindahan (XIII: XIX).

Langit berdentam, ombak biru mengajari jiwamu (XIII: XX).

Sekian masa bergolak, lalu gedoran ombak merangsek maju
kepada pergumulan setubuh menciumi bibir merekah (XIII: XXI).

Gemuruh kalimah menghadirkan udara cadas menyatukan tekad,
selat manunggalkan dayadinaya, ditakdirkan berpasangan dirinya
menuju pelaminan mengusung kebijakan langitan (XIII: XXII).

Yang lepas kembali suci mendekati keajaiban,
ombak perasaan pengetahuan pertama, meninggikan ruh sempurna akal
seumpama lekukan sampur menghanyutkan jiwa-jiwa masa (XIII: XXIII).

Ia memuntahkan deburan jantung ombak menghantam,
pasir pesisir telah hatam, dielus mesra anak-anak menyongsong mentari,
atas selongsong manggar sayang, terjatuh pada gelombang (XIII: XXIV).

Kasihnya cahaya pagi mendamaikan ikan di kandungan samudra
yang terlahir kehendak kemanusiaan (XIII: XXV).

Bangkitkan fajarmu pada lintasan camar
yang digubah para pecinta gelombang (XIII: XXVI).

Kedipan gemintang arah pelaut memperjuangkan nafas-nafasnya,
pelayarannya dikala kau lelap dalam buaian kasih mesra (XIII: XXVII).

Kesadaran mengapungkan cinta mengikuti segala kekuasaan bayu
tanpa watas kehadiranmu, seperti kaum pencari sejati (XIII: XXVIII).

Bergulungan debaran hawa kemarau, pada lidah ombak sejilatan garam,
berduyun robohkan dengus bertengger, mensucikan ikan berpasir (XIII: XXIX).

Ombak berjunjung membelai tanjung karang, menyelinap kilatan pedang
setajam menghunus hasrat di teluk serengkuh (XIII: XXX).

Berjubah bayangan gerilya terjaga pesakitan
tapi jangan tertunduk di lereng kebun anggur (XIII: XXXI).

Ia berseru; tangkaplah gelora, rasakan dentingan bunyi nurani bergoyangan
dan menarilah, kau kan terangkat ke pucuk-pucuk keutamaan (XIII: XXXII).

Beranjak maju menjawab kekosongan pilu mengisi ruang ngilu,
inilah kabar datangnya kemerdekaan jiwa-jiwa tertindas (XIII: XXXIII).

Siapa mengarahkan busur panah tepat di jantungnya, menjilati darah segar
tandas tidak bersisa? Yang salah arah, tinggal tulang-belulang saja (XIII: XXXIV).

Kerahkan terpendam, menggubah laut berawan mendesak malam,
laluilah bersungguh angin, ketika api menghadang matamu (XIII: XXXV).

Jangan manjakan sebab lecutan pecut memecah pendengaran,
akan berlari tunggang-langgang selagi langit masih memar (XIII: XXXVI).

Semerbak bunga liar mengacaukan imaji pejalan kaki
semurni kejernihan air pegunungan membasuh tubuhmu,
laksana lintang mempercayai cahayanya (XIII: XXXVII).

Butiran pasir-pesisir pertanda belaian lembut lautan
tetapi kenapa kalian tampak pucat murung? (XIII: XXXVIII).

Ia bawakan tidak lewat telinga semata, mendekapmu sanggup menyimak
kelembutan, lelaguan di balik pebukitan, kaulah saksi hati pantai (XIII: XXXIX).

Perlambang mendaratkan deretan kalimah, esok bergerak
dari energi tersumbat atas bongkahan timbunan uap (XIII: XL).

Meluncurlah di waktu barisan kalam serta nama-nama
oleh hamparan molek semesta jiwa para kembara (XIII: XLI).

Pandang dan ciumi sungguh dada segar penuh nilai
lantas tiada perlu meragukan kembali (XIII: XLII).

Jika berpaling janganlah jauh, cukup senyum kan tahu
getar rambatan pribadimu mengalirkan serajutan benang mungil,
menyetujui mengolah ladang bertangan kelembutan (XIII: XLIII).

Suguhkan kembang api menghibur di malam-malam membujang,
keriangan bintang-gemintang berkedip menarik bertemu pandangan,
seteguh tubuh diguncang jiwa, tumpah air gelas di kemeja (XIII: XLIV).

Kau basah penuh percaya, mencumbui wengi sampai fajar mendatang,
bunga-bunga pupus di tangan musim berganti kebaharuan, tampak riuh-buih
berhimpit, terhempas memuntahkan kesegaran (XIII: XLV).

Berharap kalian lebih menanti datangnya masa tua,
terkurung ruang-waktu dalam tempaan usia (XIII: XLVI).

Batas rindu tepinya berlalu, bebatuan menjepit tiada bertalu (XIII: XLVII).

Ialah berlari membelakangi meninggalkan mereka,
menuju keyakinan asing nan sunyi senyap (XIII: XLVIII)

; melepaskan kebisingan tidak kenal ragu dinikmati,
sedang mereka menganggap mengada semata (XIII: XLIX).

Ia mengundang kemari demi kumpulkan garam di dada meriap ombak,
senyum lekukan pantai, tercurah melewati kerongkongan cakrawala (XIII: L).

Bawalah kendi-kendi kosongmu, ia isi dengan embun surgawi
lewat jari-jemari memunguti kekudusan (XIII: LI).

Arak-arakan anak sungai sederas asal muasal masa menyamudra
setajam debu ke sorot mata berkecipak mengiris, terputus dedahan
meramai daun-daun berserak digugurkan bayu pantai (XIII: LII).

Prahara ditangkal oleh lajuan merestui kisah malam
berhias lelampu di tengah alun-alun keheningan (XIII: LIII).

Rawatlah unggun agar seluruh kampung bermata penjaga
yang nanar atas asap mengepul di tempat muasal berita (XIII: LIV).

Kau melewati tapakan pulang, catatan silam tak sekadar kenangan,
membersihkan dahi berdebu, doa-doa merambati pendakian sampai (XIII: LV).

Sambut kesadaran hati mensucikan kemerdekaan cinta memberi jalan
pada keremangan fajar akan terbit (XIII: LVI).

Air laut berangin kencang, tertangkap tatanan malam di alunan gelombang,
menelan mentari seperti mencuri harta warisan (XIII: LVII).

Yang tercuri memercikkan api semangatmu, setiap kobarannya nyala abadi,
memaku kaki-kaki para penjegal yang terlena (XIII: LVIII).

Jiwa tenang akan ditambahkan lebih dari yang tercuri,
kemuliaannya memantulkan cahaya kedamaian hati (XIII: LIX).

Para pencuri diringkus prahara, ditelan banjir tiada faedah,
dan tercekam saling berurai, mengeluarkan pengertian (XIII: LX).

Bagi mengikuti terkena celaka, hari-hari naas menguntitnya, yang mencuri
ketenanganmu lebih terampas waktunya, yang terahasia di lebam jiwa (XIII: LXI).

Pemilik luhur leluhur, mengabdikan anak-anaknya mencari hikmah rasa,
menyempurnakan hasana cahaya mentari, menyinari bulan setia (XIII: LXII).

Yang terjaga tabah, diberi kecukupan kemurahan hati (XIII: LXIII).

Malam-malam celaka perampok, mata terkuras atas pemilik sah,
was-was pewaris musnah, selepas gelisah menggantung (XIII: LXIV).

Kesadaran jarum jam terjatuh di lantai bekukan laku,
inilah semesta bathin di alam penyadaran (XIII: LXV).

Ia bersanggup sebelum kata cukup terpahat, langkah menyinggahi kalbu
insan direstui sunyi dengungan hati, berisi bayu merebahkan diri (XIII: LXVI).

Jemari melukis mata embun pada rerumputan memberat,
dibelainya sungai lekuk lembah hijau musim sebrang (XIII: LXVII).

Penantian cahaya dipantulkan lempengan kaca,
bola-bola mata membisu saling menerima (XIII: LXVIII).

Wahai burung malam, ikutilah mengedari bumi memaknai biji, penjaga
memetik getar ombak, lembut menelusup menembusi lelap pagi (XIII: LXIX).

Kepada sentuhan halus, ketenangan membaringkan kekasih,
dan kendorkan tali-temali, guna langkah tidak kesemutan (XIII: LXX).

Menuruni kebijakan lajuan kapal, ke tiap pulau disinggahi mencari pebekalan
pengusir lelah membosan bermalas melaut, seriak ombak purbasangka (XIII: LXXI).

Kesadaran tertunduk malu keangkuhan pemuda, terkekang
hasrat membeletat, berhamburan cahaya berkilat-kilat (XIII: LXXII).

Anak gadis cemas beranjak dewasa, seperti kekupu di kuncup bebunga,
pesona bulu mata lentik memuara, harum tak sebatas samudra (XIII: LXXIII).

Ia mendaki lamunan akan tarian hangat kenalan, makin terang putaran
bumi mencerna warna, dan kalian mulai terjatuh sebab cinta (XIII: LXXIV).

Sungguh air liur membasahi lidah keluh ke ujung-ujung leluasa, pada
malam batang-batang kayu, mewujud goyangan dedaunan padu (XIII: LXXV)

; embun ketenangan jiwa
ini penggalian masa tidak berhenti memetik hikmah (XIII: LXXVI).

Menggebu di ruang kosong, sadar hari-hari tertambal keringat petani
membajak sawah sambil memandang temanten jingga senjakala (XIII: LXXVII).

Air sungai mengalir menuntun reranting yang patah, nuraninya berenang
menggeraikan denyutan kalbu bening, dan jikalau kepakan merawat sayap burung,
hasratnya memenuhi kebiruan langit bertangan gelisa pemahat (XIII: LXXVIII).

Meniup seruling menuturkan tembang malam, terik mentari di waktunya,
penerimaan yang lalu, tinggal merindu kedamaian (XIII: LXXIX).

Keindahan ragu yang sungguh jauh tanpa bekal, kosong di tempat penuh
lalu langit berseri, sedang bocah rajin melangkahkan kaki kembali (XIII: LXXX).

Bayu memasuki pintu, ia duduk menyendiri, datang pekikan semangat,
kicauan burung-burung bersahabat di belantara jiwamu
melihat dahan tersentuh kebimbangan mutlak (XIII: LXXXI).

Yang lunglai ditikam belati kepastian, membeku darah-waktu di tungku,
bersuling kehampaan persekutuan dicari, selepas menjelma bayu (XIII: LXXXII).

Sendu sepasang mata kembara, bertunggangan turangga sembrani,
derap langkah kaki dan sayapnya kencang melesat ke wana perburuan mentari
serupa busur panah ke tanah terjatuh atas restu takdir lelah (XIII: LXXXIII).

Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran, setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII: LXXXIV).

Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
terpotong tanggul kaki-kaki mungilmu (XIII: LXXXV).

Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan,
terlempar arus kesadaran yang berasal hempasan (XIII: LXXXVI).

Asap tebal berkawin malam, membangunkan udara menjilat tajam,
pijakan dulu terlupa, menjelma pesakitan meraja (XIII: LXXXVII)

; cakar siksaan di segenap relung jiwa, bayangan remang dibalik cahaya,
menembusi gelap menemukan bimbang (XIII: LXXXVIII).

Bias sinarmu di kertas dan pena penentu bertahta,
tinta kehormatan tiada berdosa menjumpai makna (XIII: LXXXIX).

Terjerembab pekat di ketiak senyap, hantu gentayangan menyapa
atas ratapan mataair di rundung setiai janji setiap berbicara (XIII: XC).

Rerumputan kering terambili burung-burung mengikat reranting,
bersiulan bayu menyeret awan isyarat mencipta sarang segera pulang (XIII: XCI)

; gemintang hadir menghiasi tajamnya ilalang, sekuntum kecupan pada
ubun-ubun dingin ditempa hujan deras bersusulan (XIII: XCII).

Terbangnya burung melipat waktu merakit sarang teduh,
sunyi rindu di segenap kalbu mengunjungi kecantikan danau (XIII: XCIII)

; sebening cermin tergoda kehangatan air, sedang udara unsur nyawamu
lekat daya kehendak, melebur ruang-waktu pada sekuntum teratai (XIII: XCIV).

Ada nyala lilin di atas batu di bawah malam,
setiap perciknya mencipta gigitan api (XIII: XCV)

; terimalah saat jatuh cinta, bahasa tubuh tersampaikan gerak,
menari-nari selembut padi bersinambung pagi, dan angin layang-layang
pada nalar benang, mengapungkan tulang kayu kulit kertas (XIII: XCVI).

Di ruang persidangan waktu, awal persetubuhan melewati tabuhan hening
bertalu-talu rupa senar gitar diganti benang pancing melukai jemari (XIII: XCVII)

; bertambah kuat di perbincangan serius, angin merambati kulit bebulu,
ketakutan tersembuhkan harapan, lantas hantu berlalu (XIII: XCVIII).

Dendam lebih menggali kedalaman sumber minyak
dan tambang emas peperangan atas balas budi (XIII: XCIX)

; diamnya menemani jemari melukis samudra bersayap ombak,
bersimpan itu degup jantungmu kepada genggaman dada-dada ikan,
candatawa datang-pergi berpintu melanjut diayun jalan pilu (XIII: C).

Kesaksian doa gelombang bersahut-sahutan merawat pantai,
sedang asap cendana menembusi lelapisan awan-gemawan (XIII: CI).

Menghentakan alunan telaga membuyarkan tanda di rautmu,
embun tergolek terminum sungguh, berkesudahan pagi hari (XIII: CII).

Hembusan bayu menerbangkan jerami beruraian keringat petani,
menumbuk pepadi di lumbung ruyong kemungkinan kembali (XIII: CIII).

Sebelum sadar buaian perang takkan berakhir, sejarum niat diperjuangkan,
menambal kain baju atas sobekan pedang, dan sodokan jaman tajam (XIII: CIV).

Marilah mengikuti tari-tarian hempasan gelombang samudra menggaram
menghilangkan bau bangkaimu, sedari berhadapan ombak ke pedalaman (XIII: CV)

; di antara persembahan ada kegusaran, hari-hari tertempuh
di masa nalarmu setelah lelap terbit, tiada gelisah bersarang (XIII: CVI).

Zaman dilampaui keikhlasan, tanpa tedeng aling memaknai kekolotan
dan sampailah menyelami kata-kata, hawamu memasuki diri gelombang (XIII: CVII).

Kau arungi awang-awang kelelawar terbang malam, tarikan kecemasan atas
refleksi sukma ketuaan, terwakili keengganan bayi menangis (XIII: CVIII).

Kalian kelabakan mencari lobang ke luar pintu-jendela, pekat wengi
tiada pembuka, panas penasaran dibangunkan jiwa-jiwa hempasan (XIII: CIX).

Lalu siapa melempar bayanganmu di tembok terawat cahaya? (XIII: CX).

Kepada hamparan rumput, ia merasakan hening bersalam angin, tersendak
sebelum usai tinta keroncongan, lebih dekat tulang, dari lahir-kematian (XIII: CXI).
----

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim, yang ingin jadi penyair sungguhan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati