Asarpin
http://www.lampungpost.com/
MATAHARI di Teluk Semangka hampir tenggelam dibalut awan hitam. Senja masih memancarkan separuh cahayanya di ufuk langit. Bukit Barisan Selatan segera tertutup kabut. Awan hitam bermandikan cahaya keputih-putihan muncul dari lereng Gunung Tanggamus.
Sore itu saya duduk di bawah pohon dadap yang sedang berbunga kemerah-merahan di dekat Bandar Negeri Semuong. Dulu tempat ini dikenal dengan nama Bandar Brunai, pelabuhan kapal mengangkut rempah-rempah yang hampir sama ramainya dengan Teluk Bayur. Para pedagang dari Brunai dan Bengkulu sering singgah ke pelabuhan ini melewati hulu Teluk Semangka melintasi pesisir Krui.
Udara di sekitar bekas bandar perdagangan rempah-rempah ini begitu dingin dan bersih. Daun-daun pohon dadap tampak lebih hijau, bunga-bunga yang memerah menyebarkan harum wewangian. Memerah seperti gerbera. Putik-putik buah yang merayap di atas pohon dadap sebentar lagi akan menjelma biji-biji lada berwarna hijau, cokelat dan kemerah-merahan. Sudah saatnya bagi tunas-tunas muda yang kuat di matahari yang menyengat untuk menemani panen lada tahun ini. Sebab, sudah tiga tahun terakhir panen lada tidak bagus.
Saya mencari tempat berdiri, mengenakan ikat kepala dan kemeja hitam mirip pakaian pendekar terkenal Teluk Semangka. Raden Patih namanya. Ketika sedang melihat-lihat biji-biji lada jatuh ke tanah, sejenak aku tertegun melihat Astikar merangkak di atas tangga memanjat pohon dadap yang tengah berbuah lebat di atas dadap berduri dengan ranting bercecabang.
Di tempat ini kali pertama saya menyaksikan teman saya yang satu ini mengajarkan cara memetik biji lada yang kecil dan bulat, yang kusaksikan dengan mataku sendiri di huma dan pematang sawah dekat Bandar Negeri Semuong ini. Saya terpacak di sebuah batang pohon, terkagum-kagum dan nyaris tak percaya melihat tangkai buah yang bergantungan di pohon dan berjejer di ranting berduri. Kampung sahabatku ini ternyata kampung makmur. Apa saja tumbuh, bertunas dan bercecabang dengan warna daun yang kehijau-hijauan saat terguyur hujan.
Sungguh pun begitu, Astikar bukan seperti kebanyakan orang kaya yang pernah kulihat. Saya tahu betapa sulitnya mencari uang bagi petani penggarap seperti kebanyakan orang di sini. Tetapi, dengan datangnya hujan, mereka merasa seperti sedang menanti tanaman lada berbuah lebat. Rasa takjub melihat biji-biji yang bergantungan, bergelayut, berjuntai-juntai yang memberikan efek keindahan pada pohon dadap tempat wayit lada menambatkan hidupnya ini.
Saat Astikar menunjuk ke arah sebatang dadap, saya nyaris tak percaya bila semua ini buah dari karya para petani Teluk Semangka. Seharusnya saya akan ikut merasakan pedasnya biji lada yang telah terlepas dari kulitnya. Lada sulah, kata orang di sini. Lada kering yang sudah siap jadi bumbu penyedap masakan.
Seumur hidup saya tak pernah melihat jenis tanaman seperti ini, apalagi menyaksikan biji-biji kemerah-merahan yang seperti ingin berkenalan. Sebuah tatapan yang pedas, seperti halnya rasa biji ini. Angin semilir melambai-lambaikan biji-bijinya. Satu per satu saya tatap biji-biji itu yang mulai jatuh ke tanah. Saat itu Astikar menyuruhku ngelahang di bawah pohon dadap. Saya tak mengerti maksudnya, tetapi ketika ia menjelaskan aku segera menghampiri sebatang pohon dadap yang di atasnya biji-biji lada begitu lebat.
Astikar memberiku sebuah loki ukuran kecil yang katanya biasa digunakan anak-anak kecil untuk ngelahang biji lada yang jatuh. Lalu ia menyuruhku memungut satu per satu biji lada yang terjatuh ke tanah tertutup daun-daun kering. Lalu biji lada itu saya masukkan ke loki dan mulai terkumpul banyak. Hasil yang kuperoleh lantas kupendam beberapa hari lamanya di gubuknya. Ketika itu Astikar kembali menyuruhku untuk mencicipi biji lada berwarna merah kehitam-hitaman, dan ternyata bibirku terasa pedas, menyeringai seketika, seperti merasakan bara sedang menempel di bibir.
Masih saya ingat ketika Astikar bercerita dengan bahasa Lampung pesisiran yang sedikit-sedikit saya menangkap artinya, tentang Hikayat Lada Sulah. Tanaman malang, yang dengan cepat ditinggalkan penggarapnya karena jatuhnya harga di Bandar Brunai.
***
Saya memang kagum padamu, sahabat. Sebab kau telah berjasa menanam dan merawat ratusan pohon lada yang berjejer dekat Bandar Negeri Semuong itu. Betapa jerih payahmu kini telah menghasilkan buah dan kau tinggal menikmati hasilnya. Kau telah berjanji untuk mengajakku berjalan-jalan ke bekas Bandar Burnai, di pesisir Teluk Semangka, di antara kicau burung bakik yang mengempas kesadaran imaji diam.
Setiap senja setelah liburan sekolah kau ajak aku pergi bermain ke dekat puing-puing Dermaga Bandar Burnai itu, melihat-lihat lanskap yang jauh sambil membayangkan suasana bandar perdagangan rempah-rempah ini dulunya. Setelah itu, kau akan melanjutkan persiran ke kebun yang indah dengan rumput liar menjalar begitu lembut. Di sana-sini di atas rerumputan muncul bunga warna-warni yang cantik bagaikan bintang-gemintang. Di kebun-kebun ini tumbuh pepohonan yang rindang dengan warna daun yang mulai menguning yang kelak menjadi putik-putik yang berwarna hijau ungu. Dan kelabu kebiru-biruan pada musim gugur akan melahirkan buah.
Kulihat burung-burung bertengger di pohon-pohon dan bernyanyi begitu merdu. Betapa indah negeri ini dulunya, pikirku sambil menatap ke burung-burung yang terus bercanda di ranting-ranting pohon. Saat itu telunjukmu mengarah ke pohon rindang yang sebelumnya tak pernah kulihat. Kau menjelaskan ini yang namanya pohon cengkeh, pohon yang dulu seperti mendatangkan surga di bumi bagi penduduk Teluk Semangka.
Tak sekejap pun mata ini ingin lepas dari biji cengkeh yang menempel di balik daun pohon yang rindang itu. Aku baru tahu bahwa di Bandar Negeri Semuong ini terdapat banyak pohon cengkih. Pohon kehidupan, kata para nelayan payang alias nelayan jaring tarik di Teluk Semangka.
Bekas Bandar Burnai ini banyak melahirkan legenda tentang rempah-rempah yang menjanjikan kehidupan generasi turun-temurun. Sedang di dekat hilir Teluk Semangka, banyak legenda yang mengisahkan tentang manusia yang menyaru jadi buaya. Rasa-rasanya tak ingin pergi dari tempat ini, apalagi ketika melihat anak-anak kecil mengembala kerbau sambil bernyanyi. Aduhai, ini benar-benar surga dunia.
Saya menyandarkan tubuh pada sebatang pohon cengkeh, yang di bawahnya begitu bersih tanpa ditumbuhi satu rumput pun. Ketika itu Astikar bilang, mari aku ajari kau cara memetik biji cengkih dari tangkainya, kau akan mendengarkan bunyi-bunyi pelan yang merdu, katanya. Amboi indahnya susana di sini. Masih terus kuingat sahabat, ketika kita menggotong tangga bambu dan berhenti karena kelelahan. Lalu kita menyandarkan tangga itu di pohon cengkeh yang bergoyang seperti ketakutan. Asoi, katamu mengajarkan aku bahasa ibumu.
Makin lama saya mulai mengerti bahasa negeri ini. Mengerti cara memetik biji cengkih dan melepaskan dari tangkainya dengan desah suara begitu indah. Astikar telah banyak mengajarkan cara memisahkan tangkai dan bijinya dan aku begitu takjub meski semua itu seperti mimpi atau hanya mimpi untuk kemudian tak ada apa-apa yang mesti dikenangkan. Kau begitu sabar, sahabat, menjelaskan makna perpisahan tangkai dari bijinya. Ahai, setangkai dua tangkai dan sebiji dua biji, katamu mengajari aku kata-kata merdu. Setangkai dan sebiji yang saya saksikan berjejer di balik daun semampai itu. Oh, sahabat, betapa mulia tutur kata bahasa ibumu.
Kau memanggilku dengan penuh simpatik. Lalu mengajak persiran ke kebun cengkih. Lalu kita ngelahang bersama-sama di bawah pohon yang rindang. Tak ada yang perlu kau ajari lagi cara ngelahang cengkih di balik daun-daun kering ini, karena saya telah kau ajari ngelahang biji lada.
Seketika saya tersentak mendengar alunan merdu bersahut-sahutan di tengah huma yang sepi. Sebentar tertegun, memperhatikan dengan penuh suara lantunan datang terbawa angin. Seperti suara anak kecil sedang berpantun bersahut-sahutan. Saya merasakan tubuh seperti sedang memperbesar rasa kemenangan. Lantunan suara naik-turun itu, tangga nadanya yang belepotan tapi cekatan, mengingatkan kembali pada anak-anak gembala di kebun lada.
Saya tak dapat menyembunyikan rasa takzim. Syair pantun dengan nada yang tak beraturan, sama dengan sifat Astikar yang tak bisa diam, yang tak dapat ia sembunyikan. Semangatnya menyala, tapi seketika berubah menjadi keengganan yang menggelisahkan. Semua itu karena bayangan masa depan harga lada dan cengkeh belum pasti.
Kebun cengkih dan lada itu seakan terlepas dari sumbernya. Saya tidak mungkin memercayai desas-desus orang hutan yang tega melepaskan batang lada itu dari pohon dadap tempatnya merayap. Bukan orang hutan yang menyebabkan sesuatu telah terjadi pada tanaman lada di kebun itu. Tanpanya keberadaan pohon dadap itu, tidak mungkin batang lada bisa terus tumbuh.
Saya membayangkan arti persahabatan saya dengan Astikar seperti tanaman lada yang merambat ke pohon dengan berbagai cecabangnya yang berduri; persahabatan yang sama dengan merambat naik ke puncak untuk menggapai dunia atas. Begitulah tanaman lada menjaga hidupnya dengan cara menumbuhkan dirinya terus-menerus. Sebuah hubungan harmonis antara tanaman dan pohon yang kelak akan memberikan banyak hal yang bisa simpan dalam laci kenangan. Tapi siapakah yang membuat aturan yang telah memonopoli pertumbuhan tanaman ini hingga menyebabkan semuanya meranggas?
Orang-orang hutan kembali muncul dalam pikiran. Bukan mereka yang merasa terpuaskan ketika berhasil menurunkan tanaman lada dari tempatnya menjalar. Masih ada sedikit yang mereka sisakan pada bagian atas dadap yang menggantung hampir mati, sedangkan bagian bawah--dekat akarnya--tidak terawat dan dipenuhi rumput liar.
Ribuan tanaman lada itu tak bisa berbuat apa-apa ketika telah dilepaskan dari pohon dadap tempatnya tumbuh. Baru kini saya sadari bahwa tangan-tangan tersembunyi bisa melahirkan tindakan kekerasan dengan cara menghabisi semua lada sampai ke akar-akarnya. Tangan-tangan tersembunyi apalah artinya, tapi nyatanya telah merenggut tanaman ini dengan paksa, dan sesudah itu, pertumbuhananya segera berakhir.
Sejak mendengar legenda Tangan Tersembunyi itu, penghasilan rempah-rempah di kampung ini mulai berkurang. Bandar Brunai tidak begitu ramai lagi. Saya berpikir-pikir, apa salah tanaman kehidupan ini, tanaman yang ingin hidup abadi dengan cara merambat naik ke puncak pohon dadap untuk menjauh dari tangan-tangan kekerasan.
Tapi, saya cuma bisa berpangku tangan dan tak dapat berbuat apa-apa. Tidak mempunyai daya imajinasi yang tembus pandang, tidak memiliki kepekaan pada perubahan iklim, dan buku-buku pelajaran di sekolah mulai saya jauhi. Buku-buku peraturan antimonopoli mulai saya jauhkan dari memori. Jika saja saya kehilangan diri sendiri, segala yang dipunya Astikar juga akan hilang. Ingat, sahabat, dulu kau yang mengajari rahasia kehidupan tanaman. Kau dulu yang berkata; jika kau kehilangan arah, sahabat, jangan cari di sini penyebabnya. Saya bersumpah, kadang-kadang ingin rasanya saya menyaru jadi mandor pelabuhan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Terlalu banyak yang saya kerjakan, hingga membuat diri sendiri tak memiliki perspektif yang utuh. Saya membutuhkan satu pekerjaan, satu keinginan, satu harapan, yang bergandengan tangan dengan keadilan. Sering saya merasa iri, orang-orang lain saya saksikan berhari-hari dikelilingi kekayaan.
Saya tidak pernah tahu masihkah tanaman lada tumbuh di sepanjang hiliran Teluk Semangka dekat Bandar Negeri Semuong itu. Biji-biji lada yang bulat bergantungan dibalik tangkai dan di bawah daunnya, saat ketika saya masih sering persiran ke Bandar Brunai. Apakah semua hanya tinggal hikayat, atau entah apa, saya mulai tak mengerti. Astikar tak di sini, entah ke mana.
Sejak itu saya tak pernah berjumpa di antara puing-puing bandar perdagangan rempah-rempah di teluk ini. Saya tidak menggerutu, puncak semua ini hanya bayangan. Berapa banyak kejadian sejak aturan monopoli diterbitkan di negeri ini, yang hanya berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan bekas kecuali kematian bagi tanaman. Orang macam apakah yang seluruh perintahnya hanya tertuju untuk memusnahkan, memonopoli aturan untuk anak cucu sendiri, menyiram ribuan tanaman dengan zat yang membara, yang seluruh perbuatannya bertahun-tahun menumpuk kekayaan, seakan ingin meletakkan satu kursi lagi di atas meja dalam mencari kedudukan yang lebih tinggi?
Bukan karena para penggawa negeri ini tak punya kesibukan lain; bukan itu sebabnya, malah pekerjaan makin menumpuk. Justru karena gesek-gesekan soal harga lada di dunia yang melambnung, anak-anak kecil tidak bisa lagi ngelahang, buruh harian pemetik lada telah menghambat mereka dari pekerjaan yang menjanjikan tanpa pemerasan keringat.
Orang dungu yang pura-pura menyadari, mungkin saja, sebab apa yang penting bukanlah menimbun kekayaan, mendominasi posisi, dan dalam kenyataan, keluarga para penggawa yang menduduki tempat pertama jarang memegang peran utama. Bagaimana raja-raja Lampung dikuasai patihnya, menteri dikuasai suruhannya. Kepala Pekon dikuasai wakilnya, seorang wakil dikuasai sekretarisnya. Siapa sebenarnya yang nomor satu, menurut Astikar yang nomor satu adalah dirinya, yang dapat mengungguli yang lain dan cukup punya prinsip hidup.
Kalaupun hutan sudah berubah jadi hamparan huma, penuh dengan buah yang lebat, itu karena Astikar ingin menyelamatkan manusia dari kelaparan. Tugas yang belum bisa dilakukan orang lain. Astikar memang punya bakat untuk mengerti siapa dan apa tugas petani penggarap tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini.
----------------
* Petikan dari cerita yang lebih panjang
Kosakata Lampung:
Lada sulah = biji lada yang kulitnya telah dilepaskan dan dikeringkan, yang sudah siap didiling sebagai bumbu masak. Hikayat Lada Sulah adalah salah satu legenda lisan masyarakat Teluk Semangka, khususnya kesaibataninan Gajah Minga Padang Ratu.
Ngelahang = memungut biji lada atau cengkih yang jatuh ke tanah. Kebiasaan ini banyak dilakukan anak-anak kecil saat musim lada dan cengkih pada tahun 1970-an di wilayah Teluk Semangka untuk kemudian hasilnya dijual ke penampungan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar