Jumat, 21 November 2008

Jalan Indah Mencari Tuhan

Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/

Memaparkan pemandangan fisikal, mengurai pemaknaan hal-hal yang tidak kasat mata.

Keintiman manusia dengan Tuhan seringkali tercipta dalam balutan sunyi. Oleh para pujangga, suasana tersebut kerap diabadikan dalam puisi. Pada masa Pujangga Baru, Amir Hamzah mencoba mengartikulasikan sunyi menjadi bunyi dalam puisi Padamu Jua.

Pada era 1960-an, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat kumpulan puisinya yang berjudul Dukamu Abadi. Dalam puisinya Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba berbincang mengenai religiusitas lewat larik-larik sunyi.

Tradisi tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh penyair asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Sajak-sajak lelaki kelahiran 28 Febuari 1960 ini seolah ingin mengabarkan jika puisi masih sanggup mencatat sunyi. "Acep menyempurnakan kembali sajak-sajak Amir Hamzah, sehingga membaca puisi Acep seperti membaca Amir Hamzah masa kini," kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Senin (15/9).

Penyair yang mulai dikenal pada era 80-an ini sedari kecil memang telah mengakrabi displin ilmu agama. Tak heran mengingat ayahnya, KH.M.Ilyas Ruhiat adalah seorang tokoh Nahdatul Ulama sekaligus pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. "Suasana kontemplasi di pesantren memungkinkan seorang santri menjadi seorang seniman," kata Acep suatu ketika.

Penyair dan kritikus sastra Arief B Prasetyo mengatakan, kemunculan Acep memberikan warna tersendiri bagi dunia kepenyairan tanah air. Menurut Arief, kepiawaian lulusan Fakultas Seni Rupa Desain ITB itu mengemas tema religius dengan bahasa erotis melahirkan sesuatu hal yang unik.

Hal senada dituturkan penyair asal Bali Tan Lioe Ie. Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini, Acep merupakan penyair yang selalu gelisah mencari sesuatu yang 'maha', lalu proses pencarian tersebut ia tuangkan dalam larik-larik puisi.

Tan Lioe Ie mengatakan, dalam proses penciptaan Acep tidak memotret secara fisik. Ia telah melampaui apa yang tampak oleh mata. "Sajak-sajak Acep didominasi tema-tema religius, tetapi jika tidak cermat membacanya maka yang ditangkap hanya kesan erotis," kata Tan Lioe Ie.

Menurut Afrizal, ketika sajak Acep pembaca bisa merasakan humor ala kyai atau informalisme linier kyai di balik formalisme agama. "Ada forklore untuk membuat kenakalan, di mana Acep menghadirkannya dengan sangat personal dan verbal," ujar penulis kumpulan puisi, Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini. Simak saja puisi berikut :

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

Radhar Panca Dahana menilai Acep sebagai penyair yang sukses mengangkat dunia yang selama ini teralienasi ke dalam infrastruktur. Hal itu tidak dilakukan Acep melalui hasil pengamatan orang lain, melainkan berdasar pada proses penyelaman secara pribadi. "Tidak semua penyair memiliki kemampuan itu," kata Radhar.

Menurut Radhar, Acep dengan sadar memindahkan domisili kreatifnya dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta ke daerah pinggir. "Ia mengangkat ruh pinggiran ke atas permukaan dengan bingkai mainstream," ujar pria yang memulai karier kepenyairannya sejak usia 10 tahun ini.

Ia mengatakan, puisi Acep telah berhasil mempersatukan tema-tema pinggiran dengan tema-tema besar seperti nasionalisme atau korupsi. Perkawinan antara dua tema yang saling bertolak belakang tersebut melahirkan sebuah kegetiran dalam bentuk komedi atau parodi. "Komedi dalam puisi Acep mewakili keadaan masyarakat kecil. Hal serupa dapat dirasakan dalam novel Ahmad Tohari," kata Radhar.

Radhar menambahkan, kematangan serta pengalaman Acep membuatnya dengan mudah menciptakan diksi-diksi yang mengejutkan. "Acep memasukkan nilai baru berupa imajinasi-imajinasi alternatif," ujar Radhar.

Pencapaian artistik
Tan Lioe Ie memandang Acep sebagai seorang penyair yang matang menggunakan bahasa dan kata. Menurut dia, Acep tidak terjebak pada penggunaan kata-kata yang bombastis, bahkan lebih sering memakai bahasa sederhana yang biasa digunakan sehari-hari. Namun demikian paduan kata yang dirangkai Acep mampu membangun sebuah chemistry yang indah. "Imajinasi yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan sempurna oleh pembaca," ujar Tan Lioe Ie.

Setali tiga uang dengan Tan Lioe Ie, Arief juga menilai, Acep sebagai penyair yang memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam bermain kata, sehingga ketika menulis puisi ia tinggal melakukan eksplorasi tema. "Ia punya jurus silat yang lengkap, sehingga saat mau bertarung tinggal pilih mau memakai yang mana," kata pria yang saat ini menetap di pulau dewata.

Lebih lanjut Arief menuturkan, kemampuan teknis tersebut didapatkan Acep melalui proses penggalian yang dilakukan secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang. "Sehingga kata-kata sederhana, di tangan Acep berubah menjadi berkilauan," ujar Arief.

Sementara itu, Afrizal berpendapat beda dengan kedua rekannya. Menurut penyair berkepala plontos ini, puisi Acep dibangun oleh deret kalimat, sehingga dalam hal ini pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak penting.

Pria berdarah Minang ini, mengkotakkan Acep sebagai penyair yang bermain dengan imajinasi, sehingga baginya ledakan yang diciptakan dalam dunia bayang-bayang jauh lebih penting. "Puisi Acep hampir tidak ada urusan dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman tema, tujuan utamanya adalah membuat pukauan," kata Afrizal.

Jika dilihat dari sudut pencapaian artistik, Acep memang tidak melahirkan sebuah tradisi baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karya yang ia buat cenderung melanjutkan tradisi lirisisme yang dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Amir Hamzah, Sapardi Joko Damono serta Goenawan Mohamad. "Acep meneruskan romantisisme Amir Hamzah. Bedanya ia menyisipkan kenakalan-kenakalan dalam sajaknya," ujar Afrizal.

Pendapat tersebur diamini oleh Radhar. Menurutnya, pencapaian artistik bukan semata-mata melahirkan sebuah keunikan bahasa, melainkan harus dibarengi dengan doktrin pandangan hidup yang kuat. "Di Indonesia hanya karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang memiliki pandangan hidup yang kuat mewakili zamannya. Sutardji menyumbangkan keunikan bahasa tetapi pandangan hidup yang diusung belum begitu kuat," kata Radhar.

Dulu dan sekarang
Afrizal mengatakan, keistimewaan lain dari sajak-sajak Acep dibanding dengan penyair seangkatannya adalah kekayaan visual yang terlihat jelas. Sebagai seorang pelukis, ia sadar betul terhadap komposisi warna, ruang serta cahaya. "Acep menggarap puisi dalam berbagai sudut, itu yang membuat puisinya tampak lebih kaya," kata Afrizal yang kerap memasukkan keriuhan urban dalam karyanya.

Ia menangkap perbedaan pada sajak-sajak Acep ketika awal mulai berkarya hingga sekarang. Menurut Afrizal, di era 1980-an puisi yang diciptakan Acep tampak kaku. Hal itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Tamparlah Mukaku (1981) yang terlihat begitu formal meski telah menggunakan bahasa sarkasme. "Sekarang Acep tampak lebih rileks dalam berkarya, ia seperti sudah menemukan rumahnya sendiri," ujar Afrizal.

Di masa-masa awal kepenyairannya Acep hampir tidak pernah bercerita tentang patriotisme atau teknologi tinggi. Ia lebih suka bertutur mengenai cinta kepada Tuhan, meski ada satu dua sajak kepada perempuan. Nama Anne Rufaidah dan Ine Ratu Sabharini masuk dalam memori panjangnya. Ia (dalam puisinya) adalah seorang lelaki yang jatuh-bangun dan berulangkali mengembara untuk mendapatkan katarsis.

Sepulang dari Italia, tempatnya menempuh pendidikan beasiswa untuk seni lukis, Acep membawa oleh-oleh sejumlah puisi yang megah dan dibukukan dalam antologi Di Atas Umbria. Antologi tersebut memiliki warna yang sedikit berbeda dengan langgam pada karyanya yang lain. "Kumpulan puisi tersebut bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian Acep," kata Tan Lioe Ie.

Perbedaan lain yang tampak dalam puisi-puisi Acep sekarang adalah kecenderungan prosais serta bertutur dengan runut. Namun demikian bukan berarti ia kehilangan daya pikat saat menulis sajak ringkas.

Sementara itu bagi Radhar, jika pada awal kemunculannya sajak Acep cenderung rumit, kompleks, dan gelap, maka sajak yang dibuat Acep pada periode 2000-an lebih sederhana dan jernih. "Dengan bahasa yang cair Acep berambisi untuk mengkomunikasikan karya-karyanya dengan publik, langkah serupa juga dilakukan banyak penyair senior seperti Sutardji dan Afrizal," kata Radhar.

Sebagai contoh coba tengok puisi Kematian Kecil yang dibuat tahun 1992: Tapi jika kecerdasan ibarat senja/Maka pengetahuan adalah cakrawala yang diwarnai/Semburat darahmu. Bandingkan dengan bait kelima sajak "Semenanjung" yang dibuat pada tahun 2003 saat ia membayangkan gadis keturunan Tionghoa: Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu. (2003)

Radhar mengatakan, layaknya sastrawan pada umumnya Acep juga melakukan pencarian terhadap bentuk-bentuk bahasa. Tetapi seperti para penulis lainnya, Acep juga mengalami benturan antara bahasa dengan produk kebudayaan baru. "Banyak istilah-istilah yang belum diadopsi dengan baik bahasa puitik, seperti misalnya browsing, gadget atau selular. Bahasa yang mengalami ketertindihan puitik tersebut dilawan mati-matian oleh Acep," kata Radhar.

Ia memaparkan, kepekaan terhadap perubahan zaman wajib hukumnya bagi para penulis. Menurut Radhar, jika penulis masih mempertahankan gaya ortodok dengan bahasa yang agung ala 60-an, maka kemungkinan karyanya tidak akan diminati pembaca. "Kewajiban bagi pengarang untuk melihat reaksi zaman, kalau tidak ia akan menjadi arca yang dipajang di museum, secara teologis mati, secara kreatif jadi mayat. Acep termasuk penyair yang terus mengaktifkan diri," ujar Radhar.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati