Sabtu, 22 November 2008

Satu Malam yang Tersisa

Diani Savitri Yahyono
http://www.lampungpost.com/

SIANG itu pekarangan seperti terpanggang. Tiap pucuk daun merunduk layu. Seembusan pun angin tidak berlalu.

Iswari duduk bertekuk kaki di bawah pohon beringin muda di sisi rumah. Kedua tungkai tersembunyi di hamparan rok terusan berhias bunga merah muda. Naung daun yang rimbun di dahan yang tambun menyungkupi diri lesunya dengan sedikit kesejukan.

Kota kecil ini begitu panas terasa di saat kemarau. Terutama sejak hutan damar dan jati yang mengelilinginya dibuka untuk kehadiran pabrik-pabrik gula. Tak pelak, peluh menitik sedari tadi tidak henti, merambat lambat pada leher jenjang Iswari. Ia tidak peduli. Ia hanya seka peluh sesekali dengan kacu bahan mori warna kuning pasi.

Hati dan pikirannya terpusat pada surat yang digenggam lembut kedua tangannya. Temannya bersepeda hampir satu jam perjalanan dari kota lain untuk mengantarkannya.

Aku tahu ini tidak lagi pantas, mengingat kondisimu, kata teman itu, seorang kawan organisasi pergerakan pemudi yang dulu diikutinya, memberi pendahuluan. Tapi aku tidak berhak memutus tali hubungan kalian. Kau harus putuskan akan kau buka atau tidak amplop surat itu, demikian si kawan melanjutkan.

Pada detik itu juga, Iswari tahu ia harus buka. Dan isinya seperti menunggu jawab segera.

Adik terkasih, salam di awal menggetarkan jiwa. Kakak sedang di kotamu.

Ah, Kakak Syahrial.

Laki-laki dari tanah seberang yang hijrah ke Pulau Jawa saat banyak kaum muda tergerak untuk menyusun kekuatan melawan pendudukan. Di tahun-tahun akhir pendudukan Belanda, beberapa gerakan nasional menjadi sigap galang kerja sama, demi mengamati adanya ancaman terletusnya perang negara-negara Pasifik. Pemerintah pendudukan menjadi semakin curiga. Tindakan kian keras kemudian dikenakan pada pemuda pergerakan.

Gerakan politik yang sesungguhnya kian mengakar, lalu mengendur. Meski, tak hilang akal kekuatan pemuda seperti mencari bentuknya sendiri, berubah ujud dengan menggeliatnya perjuangan ekonomi. Beberapa wadah dan tokoh pergerakan mengerahkan upaya demi menguatkan ekonomi rakyat. Seperti juga halnya dengan Kakak. Kakak terlibat dalam gerakan pendayaan karet di Leuwiliang, suatu tanah sejuk di Bogor.

Aku merindukanmu, tulis lelaki itu lagi seperti pilu. Desir angin di antara tegak karet melukai hatiku seperti sembilu.

Dan hatiku, bisik hati Iswari sendu. Pandangnya kabur terbayang air mata saat mengangkat pandang dari tulisan yang bergurat kokoh dan tajam milik Kakak, ke bangunan semen dan batu di hadapannya. Nanap ia mengawasi kekokohannya.

Rumah itu ibarat segala hal tentang Mas Satriyo.

Tegak tidak tergoyahkan, seperti kehidupan yang diciptakan Satriyo. Bentuk dan tiap sudutnya terasa formal, sekaligus banal. Seperti sikap Satriyo terhadap hampir setiap orang yang dikenalnya. Termasuk Iswari.

Rumah itu diperoleh karena jabatan Satriyo sebagai asisten wedana. Halamannya luas, saat sore diisi oleh mobil pribadi yang bawa kembali pemiliknya dari kantor wedana.

Dan betapa ia membenci semua kemapanan itu!

Di mata bening Iswari, sepertinya rumah Satriyo dan segala isinya berbanding terbalik dengan sekitar mereka. Di kota mereka, kalau tidak di setiap penjuru bangsa, sepertinya seluruh warga sudah makan nasi campur jagung. Itu pun cuma dua, kalau tidak satu, kali sehari. Begitu banyak rakyat sudah berbaju karung goni, yang seperti mencakari kulit. Pada saat yang sama, semua pemilikan yang bisa dianggap berlebih, diserahkan pada penguasa saat ini, "saudara tua" bangsanya.

Tapi, suami hasil perjodohan orang tuanya yang baru menikahinya, Raden Mas Satriyo, adalah pejabat pemerintahan pendudukan yang terpercaya seperti ayahnya. Nyatanya, Mas Satriyo-nya tetap dapat jaminan atas kehidupan yang lebih baik dari saudara sebangsanya.

Karenanya, Iswari tidak mampu juga mencintainya. Terutama siang itu.

Iswari berdiri. Tangannya mengepal, surat di genggaman penguat hati. Dirinya sudah bulat niat.

Akan ditinggalkannya rumah kokoh ini. Biarlah Satriyo menikmati kemapanan ini sendiri. Iswari bertekad akan hadapi lagi segala ketidakpastian zaman ini. Sendiri. Kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin kembali terjun ke gerakan pemuda dan pemudi. Dan bila langkah nanti menyatukannya lagi dengan Kak Syahrial, maka berarti jelas dengan siapa ia sebenarnya berjodoh.

Belum jauh Iswari melangkah dari tudung teduh beringin muda, sesuatu menghentikan langkahnya. Gemuruh suara dari arah jalan mencekat hatinya.

Kepul debu dahului hampiri jalan di luar pagar batu rumah. Lalu menerobos pekarangan. Sebuah mobil jip bak terbuka dan tiga sepeda motor dengan zijspan muncul dari pudar debu. Keempat kendaraan menyodok begitu dekat ke beranda depan rumah. Derum mesin seperti seketika mati.

Beberapa serdadu Jepang lompat berbarengan dari mobil jip dan sepeda motor. Sebagian dari mereka berteriak-teriak dalam bahasa mereka ke arah Iswari. Kesemuanya berjalan cepat seperti ingin menyerbu Iswari, bergerak dalam kelompok. Begitu dekat dengannya, kerumunan tentara membuka. Salah satunya berteriak dan mendorong ke muka satu sosok yang tadinya tak tampak tertutupi kerumunan. Sosok itu rubuh terduduk sujud. Mas Satriyo.

Baju seragam kantor wedananya camping, beberapa tempat ternoda merah darah. Rambutnya masai, dicemari debu dan pasir. Pandangnya menunduk, seperti mengutuki kedua tangannya yang terikat di depan.

Iswari berlari menghampiri. Surat di tangannya melayang pergi, seperti tidak lagi memiliki arti. Kedua tangan Iswari terentang, hendak merangkul Satriyo. Hatinya berang melihat penghinaan pada lelaki sebangsanya. Lebih dari sakit hati karena lelaki itu adalah suaminya yang terkena siksa.

Langkahnya dihentikan oleh tajam bayonet yang mengarah padanya.

Dan setiap detik waktu lalu seperti berjalan dengan begitu lambat. Iswari merasa waktu tidak akan pernah beranjak lagi.

Lima tentara Jepang mengelilingi Satriyo setengah lingkaran. Setiap mereka meneriakkan kata bernada amarah. Baru terhenti saat satu orang yang tampak lebih tua dari semuanya maju ke depan. Satu tentara lain menarik satu orang lagi yang tersembunyi di belakang kerumunan tentara. Seorang pribumi yang tampak gemetaran.

Tentara tua berkata lantang, sebentar-sebentar berhenti. Pribumi yang gemetaran menerjemahkan di setiap jeda yang disengaja si tentara tua.

Satriyo dituduh sebagai mata-mata Sekutu. Sebagai pengkhianat tentara kerajaan Jepang. Terbongkar, betapa selama ini Satriyo telah menyembunyikan belasan romusa dan tidak menyerahkannya pada pihak yang berwenang.

Suara tentara tua kian lantang. Seperti sengaja, demi melihat puluhan warga yang mengerumun di luar pagar, turut menyaksikan. Pria yang menerjemahkan seperti tidak sanggup mengeraskan suaranya. Matanya turut berkaca-kaca saat berkata, bahwa mereka akan datang lagi, besok. Bahwa Satriyo akan dieksekusi mati, besok pagi, di halaman ini, bila tidak juga mengatakan di mana para romusa tersebut. Bahwa rumah ini akan dijaga semalaman, memastikan Satriyo tidak melarikan diri, sementara dipaksa berpikir untuk membuka pengkhianatannya esok pagi.

Tentara tua meneriakkan sesuatu. Tidak diterjemahkan. Tapi Iswari segera mengerti artinya.

Itu adalah perintah penyiksaan. Bersamaan sekaligus bergantian mereka melakukannya. Menampar wajah Satriyo. Menjambak rambutnya, membuatnya berdiri, agar mudah memukuli dada dan perutnya. Tinggi tegap tubuh Satriyo membuat para serdadu kerepotan menyunggi berdiri. Kepalan tinju dan tendangan sepatu berseteru di tubuhnya yang kian lemah.

Iswari sudah dari tadi terduduk lemas pada tanah berdebu. Matanya jadi muara tangis tanpa suara. Tubuhnya bisa rasakan tiap dera siksa.

Suaminya!

Betapa mulia, ternyata!

Berabad waktu terasa hingga rombongan tentara itu akhirnya tidak lagi memaksa Satriyo berdiri. Berlompatan mereka menaiki jip dan sepeda motor, pribumi penerjemah seperti dihela oleh salah satunya untuk mengikuti naik jip. Warga bertebaran menghindar, lintang pukang ke tempat mereka semula, dihardik para serdadu dalam laju kendara mereka.

Iswari merangkak mendekati tubuh seperti mati Satriyo. Berlinang tangis, didekapnya Satriyo. Tidak hirau akan uluran tangan pembantu-pembantu yang baru berani keluar dari rumah mereka. Kacu mori kuning pasi kini kemerahan dibuat menyeka lelehan darah di sudut bibir Satriyo. Dipeluknya Satriyo begitu erat seperti yang tidak pernah dilakukan Iswari seumur hidup pernikahan muda mereka.

Hanya pada saat itu Satriyo membuka matanya. Di tengah pedih perih wajahnya, tersungging senyum Satriyo penuh cinta. Seperti ingin menenangkan, menguatkan hati Iswari. Seperti yang tidak pernah dilakukan Satriyo seumur hidup pernikahan muda mereka.

Dan mereka tahu, satu malam itu mereka akan hidup seperti selamanya. Menemukan cinta yang belum pernah ada dan mensyukuri adanya mereka di sisi yang lainnya.

Meski keesokan paginya salah satu dari mereka bisa saja tidak lagi bernyawa.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati