Diani Savitri Yahyono
http://www.lampungpost.com/
SIANG itu pekarangan seperti terpanggang. Tiap pucuk daun merunduk layu. Seembusan pun angin tidak berlalu.
Iswari duduk bertekuk kaki di bawah pohon beringin muda di sisi rumah. Kedua tungkai tersembunyi di hamparan rok terusan berhias bunga merah muda. Naung daun yang rimbun di dahan yang tambun menyungkupi diri lesunya dengan sedikit kesejukan.
Kota kecil ini begitu panas terasa di saat kemarau. Terutama sejak hutan damar dan jati yang mengelilinginya dibuka untuk kehadiran pabrik-pabrik gula. Tak pelak, peluh menitik sedari tadi tidak henti, merambat lambat pada leher jenjang Iswari. Ia tidak peduli. Ia hanya seka peluh sesekali dengan kacu bahan mori warna kuning pasi.
Hati dan pikirannya terpusat pada surat yang digenggam lembut kedua tangannya. Temannya bersepeda hampir satu jam perjalanan dari kota lain untuk mengantarkannya.
Aku tahu ini tidak lagi pantas, mengingat kondisimu, kata teman itu, seorang kawan organisasi pergerakan pemudi yang dulu diikutinya, memberi pendahuluan. Tapi aku tidak berhak memutus tali hubungan kalian. Kau harus putuskan akan kau buka atau tidak amplop surat itu, demikian si kawan melanjutkan.
Pada detik itu juga, Iswari tahu ia harus buka. Dan isinya seperti menunggu jawab segera.
Adik terkasih, salam di awal menggetarkan jiwa. Kakak sedang di kotamu.
Ah, Kakak Syahrial.
Laki-laki dari tanah seberang yang hijrah ke Pulau Jawa saat banyak kaum muda tergerak untuk menyusun kekuatan melawan pendudukan. Di tahun-tahun akhir pendudukan Belanda, beberapa gerakan nasional menjadi sigap galang kerja sama, demi mengamati adanya ancaman terletusnya perang negara-negara Pasifik. Pemerintah pendudukan menjadi semakin curiga. Tindakan kian keras kemudian dikenakan pada pemuda pergerakan.
Gerakan politik yang sesungguhnya kian mengakar, lalu mengendur. Meski, tak hilang akal kekuatan pemuda seperti mencari bentuknya sendiri, berubah ujud dengan menggeliatnya perjuangan ekonomi. Beberapa wadah dan tokoh pergerakan mengerahkan upaya demi menguatkan ekonomi rakyat. Seperti juga halnya dengan Kakak. Kakak terlibat dalam gerakan pendayaan karet di Leuwiliang, suatu tanah sejuk di Bogor.
Aku merindukanmu, tulis lelaki itu lagi seperti pilu. Desir angin di antara tegak karet melukai hatiku seperti sembilu.
Dan hatiku, bisik hati Iswari sendu. Pandangnya kabur terbayang air mata saat mengangkat pandang dari tulisan yang bergurat kokoh dan tajam milik Kakak, ke bangunan semen dan batu di hadapannya. Nanap ia mengawasi kekokohannya.
Rumah itu ibarat segala hal tentang Mas Satriyo.
Tegak tidak tergoyahkan, seperti kehidupan yang diciptakan Satriyo. Bentuk dan tiap sudutnya terasa formal, sekaligus banal. Seperti sikap Satriyo terhadap hampir setiap orang yang dikenalnya. Termasuk Iswari.
Rumah itu diperoleh karena jabatan Satriyo sebagai asisten wedana. Halamannya luas, saat sore diisi oleh mobil pribadi yang bawa kembali pemiliknya dari kantor wedana.
Dan betapa ia membenci semua kemapanan itu!
Di mata bening Iswari, sepertinya rumah Satriyo dan segala isinya berbanding terbalik dengan sekitar mereka. Di kota mereka, kalau tidak di setiap penjuru bangsa, sepertinya seluruh warga sudah makan nasi campur jagung. Itu pun cuma dua, kalau tidak satu, kali sehari. Begitu banyak rakyat sudah berbaju karung goni, yang seperti mencakari kulit. Pada saat yang sama, semua pemilikan yang bisa dianggap berlebih, diserahkan pada penguasa saat ini, "saudara tua" bangsanya.
Tapi, suami hasil perjodohan orang tuanya yang baru menikahinya, Raden Mas Satriyo, adalah pejabat pemerintahan pendudukan yang terpercaya seperti ayahnya. Nyatanya, Mas Satriyo-nya tetap dapat jaminan atas kehidupan yang lebih baik dari saudara sebangsanya.
Karenanya, Iswari tidak mampu juga mencintainya. Terutama siang itu.
Iswari berdiri. Tangannya mengepal, surat di genggaman penguat hati. Dirinya sudah bulat niat.
Akan ditinggalkannya rumah kokoh ini. Biarlah Satriyo menikmati kemapanan ini sendiri. Iswari bertekad akan hadapi lagi segala ketidakpastian zaman ini. Sendiri. Kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin kembali terjun ke gerakan pemuda dan pemudi. Dan bila langkah nanti menyatukannya lagi dengan Kak Syahrial, maka berarti jelas dengan siapa ia sebenarnya berjodoh.
Belum jauh Iswari melangkah dari tudung teduh beringin muda, sesuatu menghentikan langkahnya. Gemuruh suara dari arah jalan mencekat hatinya.
Kepul debu dahului hampiri jalan di luar pagar batu rumah. Lalu menerobos pekarangan. Sebuah mobil jip bak terbuka dan tiga sepeda motor dengan zijspan muncul dari pudar debu. Keempat kendaraan menyodok begitu dekat ke beranda depan rumah. Derum mesin seperti seketika mati.
Beberapa serdadu Jepang lompat berbarengan dari mobil jip dan sepeda motor. Sebagian dari mereka berteriak-teriak dalam bahasa mereka ke arah Iswari. Kesemuanya berjalan cepat seperti ingin menyerbu Iswari, bergerak dalam kelompok. Begitu dekat dengannya, kerumunan tentara membuka. Salah satunya berteriak dan mendorong ke muka satu sosok yang tadinya tak tampak tertutupi kerumunan. Sosok itu rubuh terduduk sujud. Mas Satriyo.
Baju seragam kantor wedananya camping, beberapa tempat ternoda merah darah. Rambutnya masai, dicemari debu dan pasir. Pandangnya menunduk, seperti mengutuki kedua tangannya yang terikat di depan.
Iswari berlari menghampiri. Surat di tangannya melayang pergi, seperti tidak lagi memiliki arti. Kedua tangan Iswari terentang, hendak merangkul Satriyo. Hatinya berang melihat penghinaan pada lelaki sebangsanya. Lebih dari sakit hati karena lelaki itu adalah suaminya yang terkena siksa.
Langkahnya dihentikan oleh tajam bayonet yang mengarah padanya.
Dan setiap detik waktu lalu seperti berjalan dengan begitu lambat. Iswari merasa waktu tidak akan pernah beranjak lagi.
Lima tentara Jepang mengelilingi Satriyo setengah lingkaran. Setiap mereka meneriakkan kata bernada amarah. Baru terhenti saat satu orang yang tampak lebih tua dari semuanya maju ke depan. Satu tentara lain menarik satu orang lagi yang tersembunyi di belakang kerumunan tentara. Seorang pribumi yang tampak gemetaran.
Tentara tua berkata lantang, sebentar-sebentar berhenti. Pribumi yang gemetaran menerjemahkan di setiap jeda yang disengaja si tentara tua.
Satriyo dituduh sebagai mata-mata Sekutu. Sebagai pengkhianat tentara kerajaan Jepang. Terbongkar, betapa selama ini Satriyo telah menyembunyikan belasan romusa dan tidak menyerahkannya pada pihak yang berwenang.
Suara tentara tua kian lantang. Seperti sengaja, demi melihat puluhan warga yang mengerumun di luar pagar, turut menyaksikan. Pria yang menerjemahkan seperti tidak sanggup mengeraskan suaranya. Matanya turut berkaca-kaca saat berkata, bahwa mereka akan datang lagi, besok. Bahwa Satriyo akan dieksekusi mati, besok pagi, di halaman ini, bila tidak juga mengatakan di mana para romusa tersebut. Bahwa rumah ini akan dijaga semalaman, memastikan Satriyo tidak melarikan diri, sementara dipaksa berpikir untuk membuka pengkhianatannya esok pagi.
Tentara tua meneriakkan sesuatu. Tidak diterjemahkan. Tapi Iswari segera mengerti artinya.
Itu adalah perintah penyiksaan. Bersamaan sekaligus bergantian mereka melakukannya. Menampar wajah Satriyo. Menjambak rambutnya, membuatnya berdiri, agar mudah memukuli dada dan perutnya. Tinggi tegap tubuh Satriyo membuat para serdadu kerepotan menyunggi berdiri. Kepalan tinju dan tendangan sepatu berseteru di tubuhnya yang kian lemah.
Iswari sudah dari tadi terduduk lemas pada tanah berdebu. Matanya jadi muara tangis tanpa suara. Tubuhnya bisa rasakan tiap dera siksa.
Suaminya!
Betapa mulia, ternyata!
Berabad waktu terasa hingga rombongan tentara itu akhirnya tidak lagi memaksa Satriyo berdiri. Berlompatan mereka menaiki jip dan sepeda motor, pribumi penerjemah seperti dihela oleh salah satunya untuk mengikuti naik jip. Warga bertebaran menghindar, lintang pukang ke tempat mereka semula, dihardik para serdadu dalam laju kendara mereka.
Iswari merangkak mendekati tubuh seperti mati Satriyo. Berlinang tangis, didekapnya Satriyo. Tidak hirau akan uluran tangan pembantu-pembantu yang baru berani keluar dari rumah mereka. Kacu mori kuning pasi kini kemerahan dibuat menyeka lelehan darah di sudut bibir Satriyo. Dipeluknya Satriyo begitu erat seperti yang tidak pernah dilakukan Iswari seumur hidup pernikahan muda mereka.
Hanya pada saat itu Satriyo membuka matanya. Di tengah pedih perih wajahnya, tersungging senyum Satriyo penuh cinta. Seperti ingin menenangkan, menguatkan hati Iswari. Seperti yang tidak pernah dilakukan Satriyo seumur hidup pernikahan muda mereka.
Dan mereka tahu, satu malam itu mereka akan hidup seperti selamanya. Menemukan cinta yang belum pernah ada dan mensyukuri adanya mereka di sisi yang lainnya.
Meski keesokan paginya salah satu dari mereka bisa saja tidak lagi bernyawa.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar