Jumat, 28 November 2008

KASUS POLITIK DALAM SEJARAH KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai –bahkan menentukan– perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.

Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***

Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka –terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo– dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”

Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti meng-ungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.

Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.

Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.

Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali ‘revisi’ yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.

Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.

Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.

Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.

Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***

Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.

Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman ‘kekacauan’ dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.

Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik.
Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***

Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.
Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.

Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.

Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.

Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.

Surabaya Post, Minggu, 24 Oktober 1993

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati