Minggu, 21 Desember 2008

2008

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Memasuki 80 tahun Soempah Pemoeda, Pak Amat ingin menyepi. Ia mencoba merenungi makna Indonesia. Untuk itu ia sudah merencanakan tidak akan bicara, tidak tidur dan tidak makan dan minum, pendeknya melakukan tapa selama satu hari.

Yang pertama protes adalah Bu Amat.

“Kalau Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, itu karena ia ingin mendapatkan panah Pasupati, untuk membunuh Niwatakawaca. Bapak bertapa untuk mendapatkan apa?”

“Ya, menghayati kembali apa itu Indonesia.”
“Untuk apa?”

“Ya dong! Karena sekarang kita sudah mengalami erosi kebangsaan. Kita perlu mengingat cita-cita para pejuang kita yang ingin membangun satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia.”

“Hanya itu?”

Amat berpikir.

“Juga untuk melihat apa sebenarnya yang menjadi kesalahan …….. .”

Bu Amat tak sabar.

“Ah kalau cuma maunya itu, tidak usah susah-susah bertapa, lebih baik Bapak antar aku ke pesta perkawinan, ada tiga sekaligus hari ini. Nanti jawaban satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa itu aku akan jelaskan di jalan, sebab aku masih ingat, itu kan pelajaran sejarah biasa di kelas 6 SD.”

Amat tak bisa membantah, akhirnya ia mengomel pada Ami.

“Lihat itu ibumu tambah tua tambah egois. Begitulah manusia, sama saja dengan kendaraan. Makin lama, meskipun dipelihara, tetap saja makin tua makin merongrong.”
“Iiih kebangetan, masak Bapak menyamakan Ibu dengan kendaraan.”
“Lho ini kenyataan. Ya bukan hanya Ibu kamu, kita semua manusia begitu, Bapak juga.”
“Bapak terlalu sinis!”

“Habis, masak nengok orang kawin itu lebih penting dari menyimak rasa kebangsaan. Kita kan sedang mengalami erosi dan abrasi nasionalisme. Kalau semua orang seperti ibumu itu, nasionalisme kita akan pudar dan kita akan menjadi bangsa yang tidak punya karakter.

Tanpa kepribadian. Dan tanpa kepribadian kita akan selalu terombang-ambing dan akhirnya akan mengalami disintegrasi, perpecahan. Ya nggak? Kamu harus bisa berpikir rasional dan obyektif, Ami. Kamu sendiri sering bilang, perempuan-perempuan zaman sekarang tidak hanya emosional dan impulsif. Benar tidak?”

“Kalau itu memang, tapi …….”
“Tidak ada tetapi, kehilangan rasa kebangsaan itu sangat berbahaya ! Ya tidak?!”
“Ya.”
“Kita sekarang sudah kehilangan patriotisme Ami!?
“Ah masak! Itu kan kata Bapak!”

“Yakin. Lihat saja ketika hak cipta batik, tempe, keroncong, Rasa Sayange, reog Ponorogo dan sebagainya diambil orang, pejabat-pekabat kita tidak peduli, seakan-akan itu bukan urusan mereka. Nanti kepala kita diambil mereka juga akan menyalahkan yang punya kepala teledor, kurang waspada. Baru kalau kepalenya sendiri digondol, langsung mencak-mencak mengerahkan massa!”

“Itu pejabatnya saja yang geblek, bukan semua kita!’

“Ah sama juga, pejabat itu kan cerminan watak rakyatnya dan rakyat itu imbas dari perilaku petingginya. Coba kritik Ibumu, supaya bangkit sedikit rasa nasionalismenya!”

“Maksud Bapak, supaya Bapak tidak usah mengantarkan Ibu ke orang kawin?”

Amat nyengir.

“Ya itu juga! Kan Bapak sudah lama merencanakan untuk bertapa dalam menyambut tahun 2008!”

“Bertapa? Kok seperti Arjuna dalam wayang Niwatakawaca!”
“Lho memang, untuk mendapatkan pencerahan batin!”
“Pencerahan batin atau kenikmatan batin waktu digoda?”
“Maksudmu?”

“Kata Ibu, Arjuna waktu bertapa di Gunung Indrakila itu digoda oleh 7 bidadari dengan tanpa selembar busana menutup tubuhnya. Bapak kali mau menikmati itu?”
“Ah dasar, kamu sudah dilobi oleh ibu kamu!”

Ami tertawa. Begitulah kemudian Amat terpaksa membatalkan tapa untuk mengantar istrinya ke perhelatan kawin. Tapi ternyata bukan tiga, ada empat acara pernikahan. Tempatnya berjauhan. Dari pagi hingga malam , seperti kambing congek Amat salam-salaman. Pulang ke rumah, badannya rasa hancur digiling. Perutnya gembung karena kebanyakan makan, tetapi kakinya hampir copot.

Sampai di rumah, baru hendak melepas baju batik, tiba-tiba datang tamu. Terpaksa Amat berbasa-basi melayani, karena istrinya pusing akinat telat minum kopi. Sampai jam 10 malam tamu itu asyik menceritakan tetek-bengek keluarganya. Dalam hati Amat mengumpat-umpat karena semua itu tidak ada hubungan dengan dirinya. Ia dikunjungi untuk jadi pendengar. Itu bukan silaturahmi lagi, tetapi siksaan.

Begitu tamu pulang, Amat mematikan lampu dan mengunci pintu. Tapi ketika merebahkan badannya di kursi, terdengar pertengkaran keras suami-istri di tetangga.

“Buka pintu! Buka pintu! Kalau tidak aku pecahin kaca!”

Amat kesal. Pertengkaran itu sudah terlalu sering terjadi. Masalahnya sama, kata-katanya juga sama. Orang bilang si Suami sedang datang puber ketiga, jadi lebih sering ngelayap. Sementara istrinya yang menjadi tiang rumah tangga dengan menerima cucian, mulai kesal. Sore hari dia tidak urung mengunci rumah, karena kesal melihat ulah suaminya..

Tiba-tiba terdengar suara kaca jendela pecah dan batu menghajar daun pintu. Bu Amat tersentak bangun, langsung minta Amat keluar, untuk melerai. Mula-mula Amat tidak mau, tapi ketika terdengar suara perkelahian, apalagi pintu rumah diketok tetangga, Amat mau tak kembali mengenakan sandalnya, lalu keluar.

Amat memang dikenal sebagai tukang damai. Kalau ada masalah-masalah yang menyangkut lingkungan pemukiman, Amat selalu dianggap sebagai kunci. Karena Amat satu-satunya bekas pejuang yang masih hidup di lingkungan itu. Walau pun Amat sangat kesal dengan kedudukannya yang sama sekali tanpa imbalan itu, ia terpaksa mnjalankannya dengan hati berat.

Biasanya kalau Amat datang, cepat atau lambat segalanya bisa teratasi. Tetapi kali ini hampir saja terjadi perkelahian sengit. Ternyata di dalam rumah ada seorang lelaki menginap yang mengaku saudara perempuan itu. Hampir saja suami yang sedang puber ketiga itu kalap. Ia sudah menghunus parang.

Untung Amat tidak terlambat. Setelah mengusir lelaki tak dukenal itu, sang suami terus kalap hendak memotong tangan istrinya karena cemburu. Amat dengan sabar melerai. Ia dengarkan keluhan keduanya. Ia seret supaya kedunya menumpahkan unek-unek. Tiga jam semuanya baru terkuras. Masing-masing sesudah melampiaskan emosi, gembos dengan sendirinya, kemudian perdamaian dimulai. Amat baru bisa pulang setelah yakin tidak bakal terjadi apa-apa.

Sudah lewat tengah malam, ketika Amat masuk ke dalam rumah. Ia ingin sekali disambut oleh istrinya sebagai pahlawan. Tetapi ternyata Bu Amat sudah tidur. Ami juga sudah pulas. Tinggal Amat sendirian.

Enersi Amat yang terkuras karena menyelesaikan pertengkaran tetangga membangkitkan rasa kosong. Walau pun di pesta kawin ia sudah makan banyak, sekarang perutnya keroncongan. Tetapi sial, begitu membuka tutup nasi di meja makan, Amat kecewa lagi. Tidak ada apa-apa di situ. Air matang pun habis.

Amat menganggap dirinya sudah diabaikan. Ia marah. Rasanya ia sudah melakukan berbagai kebaikan untuk rumah. Ia manjakan istri dan anaknya. Ia tidak pernah marah. Ia selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kekurangan dan kesalahannya sendiri, sehingga ia tidak pernah menyalahkan keadaan. Tidak pernah menuding orang lain. Ia lebih banyak menyesali kekurangannya sendiri. Tetapi ternyata balasannya tak ada.

Amat duduk terhenyak.

“Tidak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku ternyata sendirian,”keluh Amat.

Amat berusaha memejamkan matanya sambil menselonjorkan kaki ke atas kursi. Tapi tak bisa. Segala macam hal-hal yang jelek teringat. Semua kegagalan-kegagalannya di masa lalu kembali mengejek-ejek. Ia semakin percaya dirinya orang yang sial.

Tiba-tiba mendesak rasa haru. Ia menjadi seorang anak kecil kembali. Seorang anak yang selalu mengurus diri sendiri. Tidak seperti anak-anak lain yang dimanjakan oleh orang tuanya. Bahkan ketika mulai punya pacar, semua bekas pacarnya sibuk mengurus kepentingannya sendiri dan akhirnya kabur. Amat sekan-akan memang sudah ditakdirkan hanya jadi bulaan-bulanan.

Kasihan pada dirinya sendiri, Amat menangis. Air mata mengucur deras di pipinya yang sudah mulai keriput. Tangis yang puluhan tahun tertunda dari masa lalu yang tak akan kembali. Tangis yang kadang-kadang baru dilepaskannya kalau ia yakin benar-benar sedang sendirian. Tanpa seorang penonton, air mata itu benar-benar menjadi tampungan kepedihan.

Setelah menangis dalam, Amat merasa lebih lega. Kemudian datang malu, sebagaimana biasanya. Setua sekarang usianya, ia masih saja cengeng. Lalu dihapusnya matanya sampai benar-benar kering. Seluruh kesedihan itu digasaknya lagi masuk ke dalam kantung simpanan, untuk dikeluarkan lagi nanti, kalau ada kesempatan lain yang benar-benar pas.

Amat bangkit dari kursi, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Lampu kamar belum dimatikan. Nampak istrinya tergoleh tergolek di tempat tidur, seperti seonggok kayu yang tumbang. Ia memandangi istrinya lama. Nafas perempuan itu dalam dan lelap. Kelihatannya sangat nikmat. Ia tidur mati, terhanyut begitu jauh. Sama sekali tidak peduli suaminya yang sedang lapar, kesal, sunyi dan barusan tersedu-sedu mewek.

Tiba-tiba kembali Amat merasa tersinggung. Talk ada sama sekali orang yang memperhatikan perasaannya. Lalu dengan kecewa ia menutupkan kembali pintu kamar, keluar ke teras.

Udara sejuk tanda subuh akan datang menyentuh tubuhnya. Sekeliling sepi sekali. Hanya kesunyian yang masih terjaga. Sepi itu seakan-akan menegur dan menemaninya. Lalu Amat tersenyum.

“Ya hanya kamu temanku, sepi. Kamu telah mengembara melewati tahun demi tahun. Usiamu bertambah, pengalamanmu semakin banyak. Tetapi setiap kali tahun baru, kau tidak pernah tidak lupa datang dan menegurku. Setidak-tidaknya sapamu menyebabkan aku masih punya teman. Biarlah tak ada yang mencintaiku, biarlah anak dan istriku lebih mencintai dirinya, asal masih ada kamu yang menyapa, aku sudah merasa cukup lega, ” bisik Amat dalam hati.

Malam bagai mendengar. Ia melenguh dan mengusap kepala Amat. Lembaran tahun baru muncul bagai sepasang tangan yang membelai. Amat merasa dinina-bobokkan. Baru beberapa menit duduk, ia langsung pulas dan terseret ke dalam mimpi yang tak bertepi.

Pagi-pagi Bu Amat dan Ami menemukan Amat masih tertancap dalam dalam mimpinya di teras rumah.

“Kasihan Bapak, seharian dari pagi sampai tengah malam kemaren terpaksa bertapa, menahan perasannya, “kata Ami.

“Ya, Ibu juga tak sampai hati melihat Bapakmu kelimpungan sendiri semalam,” jawab Bu Amat, ” tapi apa boleh buat, bapakmu kan memang maunya bertapa, jadi waktu semalam ia masuk kamar, Ibu terus saja pura-pura tidur.”

Amat membuka mata.

“Apa?”
“Ah nggak, Bapak kok tidur di luar. Tidak dingin?”

Amat menggeliat, merentang-rentangkan tubuhnya yang terasa kaku.

“Aku bertapa.”
“O ya? Dapat panah Pasopatinya?”

Amat menggeleng.

“Aku tidak lulus. Waktu bidadari-bidadari itu menggoda dengan tidak memakai selembar pakaian pun di tubuhnya perasaanku aku terbawa.”

“Kenapa!”

Amat tertawa.

“Sebab aku bukan Arjuna. Aku tidak mencari panah Pasopati. Aku manusia biasa saja yang lebih penting mengantar istri ke empat upacara perkawinan dalam satu hari, mendengarkan ocehan tamu bawel selama 3 jam dan menjadi hakim yang mendamaikan tetangga yang berkelahi karena cemburu buta.”

Bu Amat nyengir karena merasa tersindir.

“Aku untung kalau begitu.”
“Untung?”
“Ya, karena Bapak bukan Arjuna. Arjuna kan doyan kawin.”

“Ya syukurlah kalau Ibu merasa beruntung. Ibu memang beruntung. Kalau tidak, kamu tidak akan bisa tidur selelap itu semalam.”

“Ya?”

“Lama aku perhatikan kamu tidur. Orang yang tidak bahagia tidurnya pasti tidak karuan. Kamu nampak lelap sekali. Jadi karena takut mengganggu, aku tidur di luar.”

“O jadi begitu?”celetuk Ami nimbrung sambil mendekat.

“Ya. Banyak orang berbahagia tidak menyadari dia itu tidak bahagia. Itu yang menyebabkan kita tidak mensyukuri keadaan. Itu sebabnya kita sudah kehilangan rasa kebangsaan, bukan karena kita tidak mendapatkan apa-apa dalam kemerdekaan, tetapi karena kita tidak tahu, tidak mampu menikmati apa yang sudah diberikan oleh kemerdekaan itu.

Itu yang sudah menyebabkan kita mengalami erosi dan abrasi kebangsaan sekarang. Kita tidak mampu menikmati hasil usaha kita sendiri, kita sibuk menjumlahkan kekurangan dan keluhan, akibatnya kita jadi tidak peka, buta dan merindukan yang lain, padahal semuanya itu sudah kita miliki!”

Bu Amat tak menjawab. Ia hanya main kedip-kedipan mata dengan Ami. Amat lalu masuk ke dalam rumah. Ia kelihatan puas karena sudah melampiaskan unek-uneknya. Tetapi begitu sampai di dalam, ia terkejut. Rumah nampaj berdandan. Meja makan memakai taplak baru, di atasnya ada vas dan bunga soka yang dipetik dari halaman belakang. Kopi panas, pisang goreng dan hidangan makan pagi yang mengepulkan bau sedap. Juga ada buah-buahan.

“Mau ada tamu siapa lagi?”tanya Amat ketus.

Bu Amat yang mengikuti suaminya menggeleng.

“Tidak ada.”
“Itu untuk siapa?”

Ami menjawab.

“Untuk Bapak kan?!”
“Aku?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Karena Bapak kemaren sudah bertapa.”
“Apa?”
“Karena Bapak kemaren sudah bertapa.”

Amat ketawa malu.

“Ah sudahlah, itu tidak penting lagi. Untuk apa bertapa, kalau jawaban permasalahan kebangsaan bisa kita dapatkan dengan cara lain. Bertapa itu kan dalih lelaki yang tidak mau mengantarkan istrinya pergi ke kawinan. Untung saja Ibu memaksa aku kemaren, kalau tidak aku sudah jadi orang yang paling egois di dunia.”

Amat hendak terus ke kamar mandi. Tapi kepulan asap kopi itu terlalu menggoda. Akhirnya ia menghampiri meja, menarik kursi lalu duduk. Bu Amat dan Ami nimbrung.

“Minum saja dulu, Pak.”
“Tapi aku belum mandi.”

“Bapak lupa, bangun tidur, mulut kita banyak mengandung ensym yang sangat diperlukan tubuh untuk kekebaklan, justru bangun-tidur minum itu sehat.”

“Ya, aku ingat.”

Amat lalu mengangkat gelas kopi dan menegaknya. Matanya terpejam karena nikmat.

“Cukup gulanya, Pak?”

Amat mengangguk dan mengecapkan bibirnya tanda nikmat. Kemudian ia meraih pisang goreng.

“Bapak mau makan sekalian?”kata Bu Amat sambil menyiapkan piring.
“Boleh.”

Lalu mereka bersama-sama mulai makan. Sayup-sayup terdengar dari rumah tetangga yang semalam bertengkar, suara radio membawakan lagu yang lagi ngetop “Kamu ketahuan, pacaran lagi……. .”

Amat bersenandung mengikuti lagu. Bu Amat dan Ami tersenyum saling melirik.

“Hari ini kamu bukannya ada janji mau camping dengan kawan-kawan kamu Ami?”

Ami menggeleng.

“Sudah dibatalkan.”
“Kenapa?”
“Ya dibatalkan saja.”

Amat menggeleng tak mengerti. Tiba-tiba ia melihat pada istrinya.

“Lho bukannya, kita harus pergi mengunjungi keponakanmu yang tunangan itu?”

Bu Amat menggeleng.

“Kan sudah kemaren.”

Amat terkejut.

“Bukannya hari ini?”
“Kalau sudah kemaren, hari ini tidak usah.”

Amat mengernyitkan dahinya.

“Tapi kenapa?”
“Ya nggak apa-apa.”

Tiba-tiba Amat terpagut. Lintasan pikiran itu mengagetkannya..

“Astaga,”kata Amat seperti disambar petir, “kalian sengaja melakukan itu, supaya kita bisa kumpul makan dan merayakan tahun baru sama-sama hari ini?”

Baik Bu Amat maupun Ami tidak menanggapi.

“Ya? Kalian sengaja menumpuk acara kemaren supaya bisa berkumpul hari ini?”
“Kalau toh ya, apa salahnya?” kata Bu Amat seakanp-akan itu sesuatu yang ringan dan sepele.

Tetapi Amat jadi begitu terpukul.

“Ya Tuhan! Ada dua orang perempuan yang sudah bertahun-tahun serumah denganku. Tetapi aku tidak pernah benar-benar mengerti, apa yang mereka lakukan,”bisik Amat.

Amat menatap anak istrinya dengan takjub.

“Kenapa aku tidak tahu semua itu? Kenapa kalian tidak suka menceritakan bahwa kalian melakukan semua itu untuk kita, untuk aku? Untuk membahagiakan lelaki tua yang bulikan dan egois ini? Kenapa aku tidak pernah memikirkan itu?”

BuAmat dan Ami diam-diam saja sekan-akan tidak terjadi apa-apa.

Amat terpesona. Ia menjadi begitu malu karena baru ngeh, betapa cantiknya hari itu. Entah berapa banyak sudah hari-hari indah yang berlalu begitu saja yang tidak diketahuinya. Betapa tidak mampunya ia menikmati kerunia yang sampai ke tangannya. Seakan-akan ia adalah miniatur dari bangsa ini, yang bebal, buta, tidak mampu menilai hasil-hasil yang tercapai, sebagaimana tadi diucapkannya dengan pedih pada istrinya.

Dengan menyesal Amat lalu memandangi istri dan anaknya dengan cara yang sangat berbeda. Menatapnya dengan perasan orang yang sangat bersalah. Ia merasa sekarang air matanya semalam benar-benar sebuah kekonyolan.

“Terimakasih,”kata Amat kemudian dengan suara lirih, “terimakasih, kalian sudah menolongku kemaren bertapa.”

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati