Ida Ahdiah
http://www.jawapos.com/
Ibu minta saya membeli bahan kebaya sutra, warna hijau labu siam, di Toko Delhi, langganan nenek. Bahannya polos, tidak boleh ada sulaman sedikit pun. Tanpa ditanya, ibu bercerita jika sudah menyiapkan sulaman yang akan dibuat penyulam langganannya. Di bagian depan kebaya, ia ingin memberi sulaman bunga kenanga kuning muda. Di sepanjang ujung kebaya dan seputar pergelangan tangan akan disulam daun kenanga hijau tua.
''Minta pada Tuan Rahul kualitas kainnya nomor satu dengan harga langganan,'' pesan ibu.
Toko tekstil itu milik keturunan India. Tokonya yang kecil dipenuhi gulungan-gulungan kain yang ditata menurut kualitas dan harga. Alat ukurnya menggunakan kayu yang sudah tua, kehitam-hitaman. Selalu ada dupa yang mengepul di dekat meja kasir. Terakhir kali saya ke toko itu bersama nenek semasa ia masih ada.
Seumur hidup, setiap hari nenek mengenakan kebaya. Koleksinya selemari. Bahannya dari katun yang sederhana, beludru, brokat, paris, dan sutra. Setelah menikah, seumur hidupnya, setiap hari ibu juga mengenakan kebaya. Ibu tak keberatan mengenakan kebaya warisan nenek, yang masih bagus karena terpelihara dan dipakai sesekali saja.
Ibu juga seorang penjahit kebaya di kota kabupaten. Pelanggannya istri-istri pejabat kebupaten, anggota DPR, kepala polisi, pemilik hotel, pegawai Pertamina, dan para calon pengantin. Namun, sepanjang karirnya, ibu tak pernah meminta saya secara khusus membeli kain di Toko Delhi.
''Kebaya untuk siapa, Bu?'' tanya saya di telepon.
''Untuk pengantin.''
''Mengapa bukan warna putih?''
''Siapa yang mengharuskan kebaya pengantin putih...''
''Tidak pesan kainnya sekalian.''
''Kain sidamuktinya sudah ada.''
''Selendangnya?''
''Aduh, hampir lupa. Tolong belikan juga kain menerawang warna hijau tua. Nanti tinggal diberi sulaman bunga kenanga...''
Semua pesanan ibu itu saya antar pada satu Minggu yang panas. Ibu menyambut saya dengan gembira. Segera ia membuka belanjaan dan mengaku senang, barang yang saya beli sesuai dengan pesanannya. Berulang-ulang ibu memuji kehalusan sutra Tuan Rahul.
''Saroh akan menikah ya, Bu?'' tanya saya.
Saroh menemani ibu sehari-hari. Dia sudah kami anggap keluarga sendiri. Ibu sekolahkan dia dari SD hingga lulus sekolah menjahit. Kini Saroh menjadi asisten ibu.
Ibu menggeleng.
''Ada yang pesan kebaya pengantin khusus warna hijau?''
Lama ibu terdiam hingga akhirnya saya terhenyak mendengar ibu berkata, ''Ibu yang akan menikah...''
''Ibu bercanda, kan?''
Namun, saya melihat mata ibu berbinar-binar. Wajah almarhum bapak melintas. Saya gemetar.
Sepeninggal bapak, saya tak pernah mendengar ibu menjalin hubungan dengan lelaki. Waktunya habis untuk mencari uang, untuk sekolah saya dan Ade, adik saya. Kesibukan tak mengurangi kesegaran dan kesehatannya. Di usianya yang 56 tahun, ibu masih tampak ayu dan berwibawa dibalut kain kebaya.
Beberapa kali saya mencandai ibu untuk menikah lagi. Tapi, ibu selalu menjawab, ''Tidak pernah terpikir. Entah kalau nanti...''
Saya diam-diam bahagia mendengar jawabannya. Kini, tiba-tiba tanpa meminta persetujuan dua putrinya, ibu akan menikah. Siapa gerangan lelaki istimewa itu?
''Ibu mengenalnya sejak kamu dan Ade belum lahir,'' sambung ibu menambah keterkejutan saya.
''Namanya Udin. Dia seorang bupati. Istrinya meninggal tiga tahun lalu,'' ucap ibu lirih.
Nama itu pernah saya dengar dari Bi Uti, adik ibu! Tentu Udin putra tukang becak yang ibu maksud.
***
Bapak adalah guru SMP. Ia meninggal saat saya kelas 3 SMP dan Ade kelas 1 SMP. Pensiunan bapak tak seberapa. Syukur, sejak menikah, ibu menerima jahitan khusus kebaya. Saat itu, hanya ada satu penjahit kebaya di kota, yaitu Encik, istri juragan becak Berdikari. Orang harus menjahitkan jauh-jauh hari sebelum hari H karena panjang antreannya. Salah satu pelanggan Encik adalah nenek. Kebaya pengantin ibu juga buatan Encik.
Ibu belajar menjahit kebaya kepada Encik. Awalnya, keinginan ibu belajar menjahit ditentang keluarga. Sebab, menurut rencana, selulus SMA, ibu akan dinikahkan dengan bapak, putra teman kakek, keturunan keluarga wedana. Ibu berjanji mau menikah setelah belajar menjahit kebaya. Alasannya agar bisa menjahitkan kebaya nenek.
Bi Uti kesal karena harus menunda pernikahannya. Ia tak boleh, dianggap tabu, mendahului ibu menikah. ''Sejak dulu, ibumu itu memang suka cari perkara,'' kata Bi Uti suatu saat.
Alasan ibu belajar menjahit, kata Bi Uti, agar bisa bertemu Udin. Pemuda sekelas yang sigap, anak tukang becak. Udin adalah pacar ibu. Selulus SMA, Udin mengambil kursus montir. Sore ia bekerja di bengkel becak Berdikari. Malam hari kadang mengayuh becak menggantikan ayahnya. Cita-cita Udin bukan jadi tukang becak. Cita-citanya sekolah lagi, jadi pegawai negeri, agar bisa menikahi ibu.
''Udin diajari berselera oleh ibumu,'' cerita Bi Uti, kali lain, sambil terkekeh-kekeh.
''Maksud Bibi?''
''Diajari menyukai bunga.''
''Bunga apa?''
''Bunga kenanga. Dulu di desa banyak sekali pohon kenanga. Kami suka memetik bunganya. Kami selipkan di baju atau buku untuk pengharum. Udin pernah memberi ibumu satu baskom kenanga.''
''Romantis.''
''Nekat, Udin itu,'' Bi Uti tertawa. ''Dia datang ke rumah, melamar ibumu. Keruan saja ditolak mentah-mentah.''
''Ibu bagaimana?''
''Kakek melarang ibumu belajar menjahit lagi. Tiga bulan kemudian, ibumu dinikahkan.''
''Dengan bapak?''
Bi Uti mengangguk dan berkata, ''Ibumu menghilang di malam pertama. Esoknya baru ketahuan kalau dia tidur di kolong ranjang pengantin, ha ha ha...''
Saya pikir itu hanya cerita rekaan Bi Uti belaka. Saya pun tak pernah menanyakan perihal Udin kepada ibu. Apalagi, setahu saya, ibu selalu bertutur dan bersikap baik pada bapak yang pendiam.
Pagi ibu menyiapkan teh manis dan nasi goreng. Jika bapak pulang mengajar, ibu menghentikan pekerjaannya menjahit, menyiapkan bapak makan siang dan menemaninya. Pernah saya melihat ibu menyiangi duri ikan emas untuk bapak. Ibu juga menemani bapak duduk memeriksa hasil pekerjaan murid-muridnya sambil mendengarkan radio BBC London. Sementara ibu menyelesaikan kebaya yang perlu dijahit tangan.
Rutinitas itu tak berubah, kendati sebagai penjahit ibu makin sibuk. Encik melimpahkan sebagian pelanggannya ke ibu hingga ibu mampu menggaji dua orang penjahit. Kesibukannya menjadi-jadi waktu Encik pindah ke Singkawang, menemani orang tuanya yang sudah sepuh.
Sebelum bapak meninggal, sudah berdiri bangunan baru di samping rumah utama. Bangunan itu digunakan untuk kegiatan jahit-menjahit. Bapak mengantar ibu membeli mesin jahit baru dan mesin obras.
Tak pernah bapak berkata kasar. Tak pernah ibu mengeluh. Ketika bapak meninggal, ibu menanam bunga kamboja di samping makamnya. Ibu wanti-wanti kepada saya, paling tidak, berziarah setahun sekali ke makam bapak.
''Bapak itu orangnya sabar, saleh, dan tidak banyak menuntut,'' kata ibu sambil menyeka air mata, sepulang dari pemakaman.
Lalu, saya dan Ade menikah, berkeluarga, tinggal berjauhan. Saya tak perlu khawatir karena ibu tak pernah sendirian. Sepanjang siang ibu ditemani empat orang penjahit. Malam ibu ditemani Saroh.
Mungkinkah selama ini ibu kesepian? Mungkinkah diam-diam ibu masih memendam cinta pertamanya? Mungkinkah... bermacam dugaan membuat saya sakit kepala.
***
Seminggu menjelang pernikahan ibu, Bi Uti datang ke rumah saya.
''Kamu harus gagalkan pernikahan ibumu,'' katanya tiba-tiba.
Saya terkejut mendengarnya. Menuruti kata hati, saya pun ingin pernikahan ibu tidak terjadi. Tapi, saya tak mau menjadi egois dengan menentangnya. Ibu telah memberi saya kebebasan dalam menentukan cita-cita dan menentukan calon suami.
Saya tatap adik ibu yang tampak lebih tua dari usianya ini. Ia mengenakan kebaya dan kain yang warnanya pudar. Wajahnya tak dipoles make-up sedikit pun. Padahal, dulu bibi selalu tampil wah dengan make-up lengkap. Perhiasan emasnya memenuhi pergelangan, leher, jari, dan telinganya. Tapi, itu tak ada lagi sejak usaha suaminya, Mang Latif, pedagang beras, bangkrut. Tiga tahun lalu, Mang Latif pamit bekerja ke Korea. Sejak setahun lalu, tidak ada lagi kabar beritanya.
Atas bantuan ibu, Bi Uti berjualan makanan di SD dekat rumah. Putranya yang terakhir masih kuliah, membutuhkan biaya banyak. Ibu turun tangan membiayai. Kepada saya, Bi Uti pernah mengatakan menyesal tak menyelesaikan SMA karena ingin cepat menikah dengan bandar beras yang kaya raya. ''Tidak seperti ibumu yang punya keahlian, bisa bantu-bantu mencari uang,'' katanya.
Setelah lama terdiam, menganggap usul Bi Uti mengada-ada, saya angkat bicara. ''Ibu dan Pak Bupati saling mencintai. Bi Uti sendiri yang cerita kalau kisah cinta mereka begitu dalam.''
''Ibumu mencintai bapakmu dengan tulus,'' sela Bi Uti.
''Tapi, ibu masih suka bunga kenanga,'' kata saya emosi.
''Sebelum kenal Udin, ibumu sudah menyukai kenanga. Jangan menduga yang tidak-tidak pada ibumu.''
Saya menghela napas. ''Bupati itu cinta pertama ibu. Cinta yang tak lekang oleh waktu,'' ungkap saya.
''Kebetulan mereka bertemu lagi. Kebetulan keduanya sendirian,'' sambung saya.
''Saya tak ingin mengecewakan ibu. Saya ingin ibu bahagia di masa tuanya. Saya dan Ade berusaha ikhlas...''
Bi Uti menyodorkan koran ke saya. ''Sudahlah, baca ini! Kau akan bersyukur bisa menggagalkan pernikahan ibumu.''
Berita di koran itu membuat saya terkejut campur gembira. Tapi, saya tak ingin terlampau bersemangat. Bisa saja ibu tak memercayai berita itu. Ibu mungkin ikhlas menerima apa pun yang dialami calon suaminya. Bukankah cinta kadang membutatulikan? Membayangkan itu, saya menggigil. Saya harus menyampaikan berita ini pada ibu. Keputusan selanjutnya terserah ibu.
''Ayo, kita harus menyampaikannya pada ibumu.'' Bi Uti menarik lengan saya.
Saya menerima ajakan Bi Uti. Saya tabahkan hati seandainya ibu tetap menikah dengan Udin. Menahan malu. Jadi omongan orang!
Ibu sedang duduk di kursi goyang ketika saya dan Bi Uti tiba. Ia tengah merapikan jahitan kebaya sutra warna hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.
Ketika melihat kami tiba, ibu berkata, ''Kebaya ini harus selesai besok. Kalian lihat, bagus sekali, ya.'' Ibu membentangkan kebaya itu.
Saya membayangkan ibu mengenakan kebaya itu. Lalu, bupati duduk di sampingnya, bukan bapak. Lengan Bi Uti mendorong bahu saya, meminta saya segera mengatakannya pada ibu.
''Seorang calon pengantin melihat kebaya ini. Ia menyukainya.''
Saya hendak menyodorkan koran ketika mendengar ibu bicara, ''Ibu bilang padanya, kebaya ini memang cocok untuknya. Ibu baru selesai mengecilkannya. Dia akan mengambilnya besok pagi. Dia mau membelinya dengan harga yang pantas.'' Ibu menatap saya dan Bi Uti dengan mata nanar dan senyum getir.
Saya tidak tahan lagi. Saya buang koran yang dari tadi saya pegang. Saya berlari memeluk ibu.
Ibu mengusap-usap rambut saya. ''Ibu sudah tahu. Udin tertangkap tangan menerima uang miliaran dari pengusaha yang ingin meratakan tanah, tempat ayahmu dikubur. Di tanah itu akan dibangun hotel. Nak, Ibu tak akan menikah dengannya...''
Bi Uti menghela napas lega, tersenyum tipis.
Kemudian, ibu berdiri mematut-matut kebaya itu ke tubuhnya. Membawa kebaya ke atas meja dan melipatnya pelan-pelan dengan kepala menunduk. Saya melihat air mata ibu menimpa kebaya pengantin hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.
Biarlah hanya ibu yang tahu untuk bapak atau Udin-kah air mata itu. ***
Cote Vertu - VP Mas, 2007-2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 20 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar