Sabtu, 20 Desember 2008

Kebaya Pengantin

Ida Ahdiah
http://www.jawapos.com/

Ibu minta saya membeli bahan kebaya sutra, warna hijau labu siam, di Toko Delhi, langganan nenek. Bahannya polos, tidak boleh ada sulaman sedikit pun. Tanpa ditanya, ibu bercerita jika sudah menyiapkan sulaman yang akan dibuat penyulam langganannya. Di bagian depan kebaya, ia ingin memberi sulaman bunga kenanga kuning muda. Di sepanjang ujung kebaya dan seputar pergelangan tangan akan disulam daun kenanga hijau tua.

''Minta pada Tuan Rahul kualitas kainnya nomor satu dengan harga langganan,'' pesan ibu.

Toko tekstil itu milik keturunan India. Tokonya yang kecil dipenuhi gulungan-gulungan kain yang ditata menurut kualitas dan harga. Alat ukurnya menggunakan kayu yang sudah tua, kehitam-hitaman. Selalu ada dupa yang mengepul di dekat meja kasir. Terakhir kali saya ke toko itu bersama nenek semasa ia masih ada.

Seumur hidup, setiap hari nenek mengenakan kebaya. Koleksinya selemari. Bahannya dari katun yang sederhana, beludru, brokat, paris, dan sutra. Setelah menikah, seumur hidupnya, setiap hari ibu juga mengenakan kebaya. Ibu tak keberatan mengenakan kebaya warisan nenek, yang masih bagus karena terpelihara dan dipakai sesekali saja.

Ibu juga seorang penjahit kebaya di kota kabupaten. Pelanggannya istri-istri pejabat kebupaten, anggota DPR, kepala polisi, pemilik hotel, pegawai Pertamina, dan para calon pengantin. Namun, sepanjang karirnya, ibu tak pernah meminta saya secara khusus membeli kain di Toko Delhi.

''Kebaya untuk siapa, Bu?'' tanya saya di telepon.
''Untuk pengantin.''
''Mengapa bukan warna putih?''
''Siapa yang mengharuskan kebaya pengantin putih...''
''Tidak pesan kainnya sekalian.''
''Kain sidamuktinya sudah ada.''
''Selendangnya?''
''Aduh, hampir lupa. Tolong belikan juga kain menerawang warna hijau tua. Nanti tinggal diberi sulaman bunga kenanga...''

Semua pesanan ibu itu saya antar pada satu Minggu yang panas. Ibu menyambut saya dengan gembira. Segera ia membuka belanjaan dan mengaku senang, barang yang saya beli sesuai dengan pesanannya. Berulang-ulang ibu memuji kehalusan sutra Tuan Rahul.

''Saroh akan menikah ya, Bu?'' tanya saya.

Saroh menemani ibu sehari-hari. Dia sudah kami anggap keluarga sendiri. Ibu sekolahkan dia dari SD hingga lulus sekolah menjahit. Kini Saroh menjadi asisten ibu.

Ibu menggeleng.

''Ada yang pesan kebaya pengantin khusus warna hijau?''

Lama ibu terdiam hingga akhirnya saya terhenyak mendengar ibu berkata, ''Ibu yang akan menikah...''

''Ibu bercanda, kan?''

Namun, saya melihat mata ibu berbinar-binar. Wajah almarhum bapak melintas. Saya gemetar.

Sepeninggal bapak, saya tak pernah mendengar ibu menjalin hubungan dengan lelaki. Waktunya habis untuk mencari uang, untuk sekolah saya dan Ade, adik saya. Kesibukan tak mengurangi kesegaran dan kesehatannya. Di usianya yang 56 tahun, ibu masih tampak ayu dan berwibawa dibalut kain kebaya.

Beberapa kali saya mencandai ibu untuk menikah lagi. Tapi, ibu selalu menjawab, ''Tidak pernah terpikir. Entah kalau nanti...''

Saya diam-diam bahagia mendengar jawabannya. Kini, tiba-tiba tanpa meminta persetujuan dua putrinya, ibu akan menikah. Siapa gerangan lelaki istimewa itu?

''Ibu mengenalnya sejak kamu dan Ade belum lahir,'' sambung ibu menambah keterkejutan saya.
''Namanya Udin. Dia seorang bupati. Istrinya meninggal tiga tahun lalu,'' ucap ibu lirih.

Nama itu pernah saya dengar dari Bi Uti, adik ibu! Tentu Udin putra tukang becak yang ibu maksud.
***

Bapak adalah guru SMP. Ia meninggal saat saya kelas 3 SMP dan Ade kelas 1 SMP. Pensiunan bapak tak seberapa. Syukur, sejak menikah, ibu menerima jahitan khusus kebaya. Saat itu, hanya ada satu penjahit kebaya di kota, yaitu Encik, istri juragan becak Berdikari. Orang harus menjahitkan jauh-jauh hari sebelum hari H karena panjang antreannya. Salah satu pelanggan Encik adalah nenek. Kebaya pengantin ibu juga buatan Encik.

Ibu belajar menjahit kebaya kepada Encik. Awalnya, keinginan ibu belajar menjahit ditentang keluarga. Sebab, menurut rencana, selulus SMA, ibu akan dinikahkan dengan bapak, putra teman kakek, keturunan keluarga wedana. Ibu berjanji mau menikah setelah belajar menjahit kebaya. Alasannya agar bisa menjahitkan kebaya nenek.

Bi Uti kesal karena harus menunda pernikahannya. Ia tak boleh, dianggap tabu, mendahului ibu menikah. ''Sejak dulu, ibumu itu memang suka cari perkara,'' kata Bi Uti suatu saat.

Alasan ibu belajar menjahit, kata Bi Uti, agar bisa bertemu Udin. Pemuda sekelas yang sigap, anak tukang becak. Udin adalah pacar ibu. Selulus SMA, Udin mengambil kursus montir. Sore ia bekerja di bengkel becak Berdikari. Malam hari kadang mengayuh becak menggantikan ayahnya. Cita-cita Udin bukan jadi tukang becak. Cita-citanya sekolah lagi, jadi pegawai negeri, agar bisa menikahi ibu.

''Udin diajari berselera oleh ibumu,'' cerita Bi Uti, kali lain, sambil terkekeh-kekeh.
''Maksud Bibi?''
''Diajari menyukai bunga.''
''Bunga apa?''
''Bunga kenanga. Dulu di desa banyak sekali pohon kenanga. Kami suka memetik bunganya. Kami selipkan di baju atau buku untuk pengharum. Udin pernah memberi ibumu satu baskom kenanga.''
''Romantis.''
''Nekat, Udin itu,'' Bi Uti tertawa. ''Dia datang ke rumah, melamar ibumu. Keruan saja ditolak mentah-mentah.''
''Ibu bagaimana?''
''Kakek melarang ibumu belajar menjahit lagi. Tiga bulan kemudian, ibumu dinikahkan.''
''Dengan bapak?''

Bi Uti mengangguk dan berkata, ''Ibumu menghilang di malam pertama. Esoknya baru ketahuan kalau dia tidur di kolong ranjang pengantin, ha ha ha...''

Saya pikir itu hanya cerita rekaan Bi Uti belaka. Saya pun tak pernah menanyakan perihal Udin kepada ibu. Apalagi, setahu saya, ibu selalu bertutur dan bersikap baik pada bapak yang pendiam.

Pagi ibu menyiapkan teh manis dan nasi goreng. Jika bapak pulang mengajar, ibu menghentikan pekerjaannya menjahit, menyiapkan bapak makan siang dan menemaninya. Pernah saya melihat ibu menyiangi duri ikan emas untuk bapak. Ibu juga menemani bapak duduk memeriksa hasil pekerjaan murid-muridnya sambil mendengarkan radio BBC London. Sementara ibu menyelesaikan kebaya yang perlu dijahit tangan.

Rutinitas itu tak berubah, kendati sebagai penjahit ibu makin sibuk. Encik melimpahkan sebagian pelanggannya ke ibu hingga ibu mampu menggaji dua orang penjahit. Kesibukannya menjadi-jadi waktu Encik pindah ke Singkawang, menemani orang tuanya yang sudah sepuh.

Sebelum bapak meninggal, sudah berdiri bangunan baru di samping rumah utama. Bangunan itu digunakan untuk kegiatan jahit-menjahit. Bapak mengantar ibu membeli mesin jahit baru dan mesin obras.

Tak pernah bapak berkata kasar. Tak pernah ibu mengeluh. Ketika bapak meninggal, ibu menanam bunga kamboja di samping makamnya. Ibu wanti-wanti kepada saya, paling tidak, berziarah setahun sekali ke makam bapak.

''Bapak itu orangnya sabar, saleh, dan tidak banyak menuntut,'' kata ibu sambil menyeka air mata, sepulang dari pemakaman.

Lalu, saya dan Ade menikah, berkeluarga, tinggal berjauhan. Saya tak perlu khawatir karena ibu tak pernah sendirian. Sepanjang siang ibu ditemani empat orang penjahit. Malam ibu ditemani Saroh.

Mungkinkah selama ini ibu kesepian? Mungkinkah diam-diam ibu masih memendam cinta pertamanya? Mungkinkah... bermacam dugaan membuat saya sakit kepala.
***

Seminggu menjelang pernikahan ibu, Bi Uti datang ke rumah saya.
''Kamu harus gagalkan pernikahan ibumu,'' katanya tiba-tiba.

Saya terkejut mendengarnya. Menuruti kata hati, saya pun ingin pernikahan ibu tidak terjadi. Tapi, saya tak mau menjadi egois dengan menentangnya. Ibu telah memberi saya kebebasan dalam menentukan cita-cita dan menentukan calon suami.

Saya tatap adik ibu yang tampak lebih tua dari usianya ini. Ia mengenakan kebaya dan kain yang warnanya pudar. Wajahnya tak dipoles make-up sedikit pun. Padahal, dulu bibi selalu tampil wah dengan make-up lengkap. Perhiasan emasnya memenuhi pergelangan, leher, jari, dan telinganya. Tapi, itu tak ada lagi sejak usaha suaminya, Mang Latif, pedagang beras, bangkrut. Tiga tahun lalu, Mang Latif pamit bekerja ke Korea. Sejak setahun lalu, tidak ada lagi kabar beritanya.

Atas bantuan ibu, Bi Uti berjualan makanan di SD dekat rumah. Putranya yang terakhir masih kuliah, membutuhkan biaya banyak. Ibu turun tangan membiayai. Kepada saya, Bi Uti pernah mengatakan menyesal tak menyelesaikan SMA karena ingin cepat menikah dengan bandar beras yang kaya raya. ''Tidak seperti ibumu yang punya keahlian, bisa bantu-bantu mencari uang,'' katanya.

Setelah lama terdiam, menganggap usul Bi Uti mengada-ada, saya angkat bicara. ''Ibu dan Pak Bupati saling mencintai. Bi Uti sendiri yang cerita kalau kisah cinta mereka begitu dalam.''

''Ibumu mencintai bapakmu dengan tulus,'' sela Bi Uti.
''Tapi, ibu masih suka bunga kenanga,'' kata saya emosi.
''Sebelum kenal Udin, ibumu sudah menyukai kenanga. Jangan menduga yang tidak-tidak pada ibumu.''

Saya menghela napas. ''Bupati itu cinta pertama ibu. Cinta yang tak lekang oleh waktu,'' ungkap saya.

''Kebetulan mereka bertemu lagi. Kebetulan keduanya sendirian,'' sambung saya.
''Saya tak ingin mengecewakan ibu. Saya ingin ibu bahagia di masa tuanya. Saya dan Ade berusaha ikhlas...''

Bi Uti menyodorkan koran ke saya. ''Sudahlah, baca ini! Kau akan bersyukur bisa menggagalkan pernikahan ibumu.''

Berita di koran itu membuat saya terkejut campur gembira. Tapi, saya tak ingin terlampau bersemangat. Bisa saja ibu tak memercayai berita itu. Ibu mungkin ikhlas menerima apa pun yang dialami calon suaminya. Bukankah cinta kadang membutatulikan? Membayangkan itu, saya menggigil. Saya harus menyampaikan berita ini pada ibu. Keputusan selanjutnya terserah ibu.

''Ayo, kita harus menyampaikannya pada ibumu.'' Bi Uti menarik lengan saya.

Saya menerima ajakan Bi Uti. Saya tabahkan hati seandainya ibu tetap menikah dengan Udin. Menahan malu. Jadi omongan orang!

Ibu sedang duduk di kursi goyang ketika saya dan Bi Uti tiba. Ia tengah merapikan jahitan kebaya sutra warna hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.

Ketika melihat kami tiba, ibu berkata, ''Kebaya ini harus selesai besok. Kalian lihat, bagus sekali, ya.'' Ibu membentangkan kebaya itu.

Saya membayangkan ibu mengenakan kebaya itu. Lalu, bupati duduk di sampingnya, bukan bapak. Lengan Bi Uti mendorong bahu saya, meminta saya segera mengatakannya pada ibu.

''Seorang calon pengantin melihat kebaya ini. Ia menyukainya.''

Saya hendak menyodorkan koran ketika mendengar ibu bicara, ''Ibu bilang padanya, kebaya ini memang cocok untuknya. Ibu baru selesai mengecilkannya. Dia akan mengambilnya besok pagi. Dia mau membelinya dengan harga yang pantas.'' Ibu menatap saya dan Bi Uti dengan mata nanar dan senyum getir.

Saya tidak tahan lagi. Saya buang koran yang dari tadi saya pegang. Saya berlari memeluk ibu.

Ibu mengusap-usap rambut saya. ''Ibu sudah tahu. Udin tertangkap tangan menerima uang miliaran dari pengusaha yang ingin meratakan tanah, tempat ayahmu dikubur. Di tanah itu akan dibangun hotel. Nak, Ibu tak akan menikah dengannya...''

Bi Uti menghela napas lega, tersenyum tipis.

Kemudian, ibu berdiri mematut-matut kebaya itu ke tubuhnya. Membawa kebaya ke atas meja dan melipatnya pelan-pelan dengan kepala menunduk. Saya melihat air mata ibu menimpa kebaya pengantin hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.

Biarlah hanya ibu yang tahu untuk bapak atau Udin-kah air mata itu. ***


Cote Vertu - VP Mas, 2007-2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati