Sabtu, 20 Desember 2008

PERINTIS SASTRA INDONESIA MODERN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sistem penerbitan yang awal dalam kesusastraan Indonesia modern memperlihatkan betapa pengaruh kekuasaan pemerintah Belanda begitu dominan dalam menentukan arah perjalanan kesusastraan bangsa ini. Jika dikatakan, sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa.

Akibatnya memang dahsyat. Riwayat sastra Indonesia modern seolah-olah berpangkal pada Balai Pustaka. Balai Pustaka itu pula yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia. Bahasa yang dipelihara Balai Pustaka, juga dianggap sebagai bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Ia menjadi ikon kebudayaan elite. Mencitrakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia. Mereka yang berkarya di luar itu, masuk kategori bacaan liar, roman picisan, bahasa pasar, tak berbudaya, marjinal!

Perhatikan pernyataan A. Teeuw, berikut ini: “Balai Pustaka tidak saja mendorong para pengarang Indonesia supaya menciptakan roman dengan memberikan kepada mereka fasilitas penerbitan yang dalam keadaan waktu itu tidak mungkin diberikan oleh penerbit swasta … akan tetapi biro itu juga menjamin kepada mereka sidang pembaca yang lebih luas … Timbulnya roman Indonesia modern dan juga kepopulerannya, dapat dimungkinkan terutama oleh wujudnya Balai Pustaka….”

Ke manakah para pengarang yang menerbitkan bukunya di luar Balai Pustaka? Ke mana pula pengarang peranakan Tionghoa yang berkarya jauh sebelum Balai Pustaka berdiri? Benarkah karya-karyanya tidak sepopuler terbitan Balai Pustaka dan sidang pembacanya terbatas pada kelompok masyarakat Tionghoa saja? Untuk menempatkan posisi sastrawan peranakan Tionghoa dalam sejarah sastra Indonesia, perlu kita menelusuri duduk perkaranya ke belakang, ke awal mula terjadinya perubahan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat perkenalannya dengan percetakan dan penerbitan yang lalu melahirkan suratkabar dan media massa lainnya.
***

Sistem penerbitan di Indonesia ditandai dengan datangnya mesin cetak yang dibawa dari Belanda oleh para misionaris gereja tahun 1624. Tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin itu, menyebabkan tak ada kegiatan apa pun berkenaan dengan percetakan. Pada tahun 1659, Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tijtboek, semacam almanak. Setelah itu, kembali kegiatan percetakan menghadapi tidur panjang. Menurut catatan J.A. van der Chijs (1875), produk pertama percetakan terjadi ketika disepakati perjanjian damai antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, 15 Maret 1668 yang kemudian menghasilkan naskah Perjanjian Bongaya. Sejak itulah VOC (Verenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost—Indische Compagnie) mulai memperkenalkan hasil-hasil cetakannya berupa kontrak dan dokumen perjanjian dagang.

Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar mencetak dokumen-dokumen resmi, meski pernah pula ada usaha untuk mencetak kamus Latin—Belanda—Melayu sebagaimana yang dilakukan mantan pendeta Andreas Lambertus Loderus (1699). Menyadari makin banyaknya dokumen yang harus dicetak, pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin cetak dari Belanda tahun 1718. Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi, sedangkan cetakan lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap penting, dan maklumat atau pengumuman pemerintah. Percetakan swasta juga mulai melakukan hal yang sama. Bahkan dalam berita berkala itu, disertakan jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar harga barang. Iklan pada akhirnya menjadi bagian penting dari cetakan berkala itu. Cetakan berkala itulah yang kelak menjadi cikal-bakal lahirnya suratkabar.

Percetakan swasta mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant). Awal tahun 1800-an, beberapa suratkabar berbahasa Belanda umumnya terbit dalam usia yang pendek. Problem utamanya tidak lain menyangkut biaya dan minimnya jumlah pelanggan. Dari situ, mulai dipikirkan sasaran pembaca potensial, yaitu masyarakat non-Belanda yang bisa membaca. Bahasa Jawa kemudian menjadi pilihan. Lahirlah Bromartani, suratkabar mingguan berbahasa Jawa pertama yang terbit 25 Januari 1855. Pada saat yang sama terbit pula suratkabar Poespitamantjawarna, juga berbahasa Jawa.

Kedua suratkabar itu pada awalnya terbit dan beredar di lingkungan keraton Surakarta dan kemudian Yogyakarta. Salah satu tujuannya adalah menyediakan bacaan berbahasa Jawa untuk mereka yang pernah belajar bahasa Jawa di Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa, 1833—1843). Belakangan, penyebarannya sampai juga ke Jawa Timur. Penerbit E. Fuhri di Surabaya kemudian coba menerbitkan suratkabar dalam bahasa Melayu mengingat masyarakat yang bisa membaca dalam bahasa Melayu jauh lebih luas dibandingkan bahasa Jawa. Tebitlah di Surabaya Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, 5 Januari 1856. Itulah suratkabar pertama dalam bahasa Melayu.

Pada dasawarsa itu, beberapa suratkabar berbahasa Melayu bermunculan. Sebutlah beberapa di antaranya, bulanan Bintang Oetara (Rotterdam, 5 Februari 1856), Soerat Chabar Betawi (Batavia, 3 April 1858), mingguan Selompret Melayoe (Semarang, 3 Februari 1860), suratkabar Bientang Timoor (Surabaya, 10 Mei 1862), dan mingguan, Biang-Lala (Batavia, 11 September 1867).

Apa maknanya penerbitan surat-suratkabar itu dalam konteks penerbitan buku-buku sastra? Bagaimana peranan yang dimainkan golongan peranakan Tionghoa dalam menyikapi perubahan yang terjadi pada zamannya? Bagaimana pula hubungannya dengan pemunculan sastrawan peranakan Tionghoa yang sesungguhnya merupakan perintis perjalanan kesusastraan Indonesia modern. Ada beberapa faktor yang mendukung munculnya golongan peranakan Tionghoa dalam kehidupan kemasyarakatan di Hindia Belanda pada masa itu.

Pertama, terbitnya sejumlah berita berkala, suratkabar, dan mingguan berbahasa Melayu yang memuat iklan, jelas sangat penting bagi golongan peranakan Tionghoa yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang. Mereka sangat berkepentingan mencermati daftar harga komoditas, barang-barang lelang, jadwal kedatangan dan pemberangkatan, dan berita-berita lain yang berhubungan dengan mutasi dan pengangkatan pejabat pemerintah, dalam kaitannya untuk memperlancar usaha dagang mereka.

Kedua, untuk dapat mengikuti dan membaca suratkabar atau berita berkala dalam bahasa Melayu itu, tentu saja mereka dituntut untuk bisa membaca (dalam bahasa Melayu). Pada mulanya, tidak sedikit di antara para pedagang Tionghoa ini yang membayar seseorang untuk membacakan berita-berita suratkabar itu. Dari sana, timbul kesadaran, bahwa anak-anak mereka harus bisa berbahasa Melayu agar mereka tidak perlu lagi menyewa orang untuk membacakan berita-berita itu. Maka, ketika sekolah-sekolah belum leluasa dapat dimasuki oleh anak-anak keluarga golongan peranakan Tionghoa ini, di antara mereka –terutama keluarga kaya—kemudian mengundang seseorang untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak mereka (semacam les privat).

Mengenai hal tersebut, J.E. Albrecht (1881) sebagaimana yang dikutip Claudine Salmon (1985) mengungkapkan bahwa bahasa Cina, selain tidak begitu dikuasai dengan baik oleh keluarga peranakan Tionghoa di Jawa, juga tidak banyak manfaatnya dalam hubungan sosial mereka. Oleh karena itu, banyak di antara keluarga peranakan Tionghoa ini yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Eropa atau pribumi atau mengundang seorang guru. “… Anak-anak lainnya diajar di rumah oleh orang Eropa atau Cina, agar dapat menulis bahasa Melayu dalam huruf Latin dan kemudian menggunakan bahasa ini dalam surat-menyurat.”

Ketiga, dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan Tionghoa ini juga memberi peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan peranakan Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Kees Groeneboer (1995) menyebutkan bahwa antara tahun 1823—1900 jumlah peranakan Tionghoa yang bersekolah, baik yang bersekolah di sekolah Raja (Eropa), sekolah Cina, dan sekolah pribumi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak pribumi.

Kondisi itu tentu saja berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi pada masa-masa berikutnya. Tambahan lagi, adanya perubahan kebijakan kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda, dalam kenyataannya lebih banyak menguntungkan golongan peranakan (Indo—Belanda, Indo Eropa dan Tionghoa) dibandingkan golongan pribumi. Dengan demikian, posisi pribumi pada masa itu tetap sebagai golongan yang peranan sosialnya berada di bawah golongan peranakan. Di sinilah golongan peranakan Tionghoa lebih siap memasuki terjadinya perubahan sosial dibandingkan pribumi.

Keempat, derasnya usaha untuk mengganti huruf Arab—Melayu dengan huruf Latin dalam bahasa Melayu, memungkinkan penyebaran bahasa Melayu lebih luas dapat diterima. Pertimbangannya, bahwa pemakaian huruf Pegon (Arab—Melayu) dalam bahasa Melayu di sekolah-sekolah menyulitkan orang untuk mempelajarinya. Padahal, bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, untuk memudahkan orang belajar bahasa Melayu, salah satu langkah yang penting dilakukan adalah mengganti huruf Pegon itu dengan huruf Latin.

Kelima, penguasaan bahasa Melayu bagi golongan peranakan Tionghoa ini juga secara tidak langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika bermunculan penerbitan suratkabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Melayu, golongan peranakan Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha mempermahir penguasaan bahasa Melayu mereka. Di samping itu, kehausan mereka akan kisah-kisah dari tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli Cina. Salah satu karya terjemahan yang terkenal, Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok), telah mendorong bermunculannya cerita terjemahan. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. Dengan demikian, kelompok pembaca golongan peranakan Tionghoa ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pembaca pribumi, bahkan juga Belanda.

Kelima faktor inilah yang mendorong berlahirannya surat-surat kabar, majalah dan penerbit yang dikelola golongan peranakan Tionghoa. Dari sana pula embrio bermunculannya para pengarang Tionghoa. Catatan Claudine Salmon menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan karya penulis peranakan Tionghoa antara tahun 1870—1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005 judul. Meski jumlah itu tak memperhitungkan cetak ulang, secara kuantitas terbitan Balai Pustaka tetap kalah jauh, seperti yang dicatat A. Teeuw, berjumlah 400-an karya (1917—1967).

Ketika Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) berdiri (1908) sampai berganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917, naskah yang masuk 598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu. Sampai tahun 1928, Balai Pustaka menerbitkan tidak lebih dari 20-an novel, sementara penerbit-penerbit milik peranakan Tionghoa, antara tahun 1903—1928, menerbitkan hampir seratusan novel asli karya 12 pengarang peranakan Tionghoa. Beberapa di antaranya mengalami cetak ulang. Pertanyaannya kini: di kemanakankah dana ratusan golden untuk penerbitan buku oleh Balai Pustaka, jika Balai Pustaka hanya menerbitkan beberapa novel saja. Jelas pula di sini, bahwa sasaran pembaca penerbit swasta adalah masyarakat umum, sedangkan Blai Pustaka adalah kelompok elitis yang jumlahnya terbatas pada golongan bangsawan yang diizinkan bersekolah.

Bahwa peranan penerbit swasta menjangkau wilayah yang jauh lebih luas dengan jumlah pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari persebaran agen dan distributor penerbit-penerbit itu, tetapi juga dari sejumlah karya yang mengalami cetak ulang. Di sinilah muncul kesadaran pemerintah kolonial akan bahaya pengaruh bahan bacaan. Bukankah bacaan-bacaan itu dapat mencerdaskan seseorang dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sekolah (pendidikan). Jika penduduk pribumi leluasa bersekolah dan kemudian pandai membaca, bukankah itu bahaya bagi pemerintah kolonial lantaran kebohongannya selama itu akan terbongkar.

Sangat wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, mengatakan bahwa buku-buku terbitan di luar Balai Pustaka sebagai “Bacaan Liar” yang dibawa oleh “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Jadi, bagaimana mungkin kita menafikan keberadaan sastrawan peranakan Tionghoa dalam sastra Indonesia jika kenyataannya mereka justru yang mendahului sastrawan Balai Pustaka. Bahkan, salah satu alasan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit swasta itu.

Demikianlah, Belanda lewat politik kolonialnya dengan berbagai cara berusaha membonsai pribumi agar tetap berada di bawah hegemoni mereka. Balai Pustaka sebagai bagian politik kolonial, tentu saja harus dicitrakan sebagai lembaga pencerahan. Maka, peranan pihak lain yang sesungguhnya mendorong berlahirannya penerbitan dan kehidupan pers –yang dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan bagi pribumi— harus ditenggelamkan! Oleh karena itu –meski begitu terlambat, kinilah saatnya kita mengembalikan sejarah sastra Indonesia ke jalan yang benar, tanpa manipulasi, tanpa penggelapan, tanpa penyesatan!
***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati