Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sistem penerbitan yang awal dalam kesusastraan Indonesia modern memperlihatkan betapa pengaruh kekuasaan pemerintah Belanda begitu dominan dalam menentukan arah perjalanan kesusastraan bangsa ini. Jika dikatakan, sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa.
Akibatnya memang dahsyat. Riwayat sastra Indonesia modern seolah-olah berpangkal pada Balai Pustaka. Balai Pustaka itu pula yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia. Bahasa yang dipelihara Balai Pustaka, juga dianggap sebagai bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Ia menjadi ikon kebudayaan elite. Mencitrakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia. Mereka yang berkarya di luar itu, masuk kategori bacaan liar, roman picisan, bahasa pasar, tak berbudaya, marjinal!
Perhatikan pernyataan A. Teeuw, berikut ini: “Balai Pustaka tidak saja mendorong para pengarang Indonesia supaya menciptakan roman dengan memberikan kepada mereka fasilitas penerbitan yang dalam keadaan waktu itu tidak mungkin diberikan oleh penerbit swasta … akan tetapi biro itu juga menjamin kepada mereka sidang pembaca yang lebih luas … Timbulnya roman Indonesia modern dan juga kepopulerannya, dapat dimungkinkan terutama oleh wujudnya Balai Pustaka….”
Ke manakah para pengarang yang menerbitkan bukunya di luar Balai Pustaka? Ke mana pula pengarang peranakan Tionghoa yang berkarya jauh sebelum Balai Pustaka berdiri? Benarkah karya-karyanya tidak sepopuler terbitan Balai Pustaka dan sidang pembacanya terbatas pada kelompok masyarakat Tionghoa saja? Untuk menempatkan posisi sastrawan peranakan Tionghoa dalam sejarah sastra Indonesia, perlu kita menelusuri duduk perkaranya ke belakang, ke awal mula terjadinya perubahan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat perkenalannya dengan percetakan dan penerbitan yang lalu melahirkan suratkabar dan media massa lainnya.
***
Sistem penerbitan di Indonesia ditandai dengan datangnya mesin cetak yang dibawa dari Belanda oleh para misionaris gereja tahun 1624. Tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin itu, menyebabkan tak ada kegiatan apa pun berkenaan dengan percetakan. Pada tahun 1659, Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tijtboek, semacam almanak. Setelah itu, kembali kegiatan percetakan menghadapi tidur panjang. Menurut catatan J.A. van der Chijs (1875), produk pertama percetakan terjadi ketika disepakati perjanjian damai antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, 15 Maret 1668 yang kemudian menghasilkan naskah Perjanjian Bongaya. Sejak itulah VOC (Verenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost—Indische Compagnie) mulai memperkenalkan hasil-hasil cetakannya berupa kontrak dan dokumen perjanjian dagang.
Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar mencetak dokumen-dokumen resmi, meski pernah pula ada usaha untuk mencetak kamus Latin—Belanda—Melayu sebagaimana yang dilakukan mantan pendeta Andreas Lambertus Loderus (1699). Menyadari makin banyaknya dokumen yang harus dicetak, pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin cetak dari Belanda tahun 1718. Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi, sedangkan cetakan lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap penting, dan maklumat atau pengumuman pemerintah. Percetakan swasta juga mulai melakukan hal yang sama. Bahkan dalam berita berkala itu, disertakan jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar harga barang. Iklan pada akhirnya menjadi bagian penting dari cetakan berkala itu. Cetakan berkala itulah yang kelak menjadi cikal-bakal lahirnya suratkabar.
Percetakan swasta mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant). Awal tahun 1800-an, beberapa suratkabar berbahasa Belanda umumnya terbit dalam usia yang pendek. Problem utamanya tidak lain menyangkut biaya dan minimnya jumlah pelanggan. Dari situ, mulai dipikirkan sasaran pembaca potensial, yaitu masyarakat non-Belanda yang bisa membaca. Bahasa Jawa kemudian menjadi pilihan. Lahirlah Bromartani, suratkabar mingguan berbahasa Jawa pertama yang terbit 25 Januari 1855. Pada saat yang sama terbit pula suratkabar Poespitamantjawarna, juga berbahasa Jawa.
Kedua suratkabar itu pada awalnya terbit dan beredar di lingkungan keraton Surakarta dan kemudian Yogyakarta. Salah satu tujuannya adalah menyediakan bacaan berbahasa Jawa untuk mereka yang pernah belajar bahasa Jawa di Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa, 1833—1843). Belakangan, penyebarannya sampai juga ke Jawa Timur. Penerbit E. Fuhri di Surabaya kemudian coba menerbitkan suratkabar dalam bahasa Melayu mengingat masyarakat yang bisa membaca dalam bahasa Melayu jauh lebih luas dibandingkan bahasa Jawa. Tebitlah di Surabaya Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, 5 Januari 1856. Itulah suratkabar pertama dalam bahasa Melayu.
Pada dasawarsa itu, beberapa suratkabar berbahasa Melayu bermunculan. Sebutlah beberapa di antaranya, bulanan Bintang Oetara (Rotterdam, 5 Februari 1856), Soerat Chabar Betawi (Batavia, 3 April 1858), mingguan Selompret Melayoe (Semarang, 3 Februari 1860), suratkabar Bientang Timoor (Surabaya, 10 Mei 1862), dan mingguan, Biang-Lala (Batavia, 11 September 1867).
Apa maknanya penerbitan surat-suratkabar itu dalam konteks penerbitan buku-buku sastra? Bagaimana peranan yang dimainkan golongan peranakan Tionghoa dalam menyikapi perubahan yang terjadi pada zamannya? Bagaimana pula hubungannya dengan pemunculan sastrawan peranakan Tionghoa yang sesungguhnya merupakan perintis perjalanan kesusastraan Indonesia modern. Ada beberapa faktor yang mendukung munculnya golongan peranakan Tionghoa dalam kehidupan kemasyarakatan di Hindia Belanda pada masa itu.
Pertama, terbitnya sejumlah berita berkala, suratkabar, dan mingguan berbahasa Melayu yang memuat iklan, jelas sangat penting bagi golongan peranakan Tionghoa yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang. Mereka sangat berkepentingan mencermati daftar harga komoditas, barang-barang lelang, jadwal kedatangan dan pemberangkatan, dan berita-berita lain yang berhubungan dengan mutasi dan pengangkatan pejabat pemerintah, dalam kaitannya untuk memperlancar usaha dagang mereka.
Kedua, untuk dapat mengikuti dan membaca suratkabar atau berita berkala dalam bahasa Melayu itu, tentu saja mereka dituntut untuk bisa membaca (dalam bahasa Melayu). Pada mulanya, tidak sedikit di antara para pedagang Tionghoa ini yang membayar seseorang untuk membacakan berita-berita suratkabar itu. Dari sana, timbul kesadaran, bahwa anak-anak mereka harus bisa berbahasa Melayu agar mereka tidak perlu lagi menyewa orang untuk membacakan berita-berita itu. Maka, ketika sekolah-sekolah belum leluasa dapat dimasuki oleh anak-anak keluarga golongan peranakan Tionghoa ini, di antara mereka –terutama keluarga kaya—kemudian mengundang seseorang untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak mereka (semacam les privat).
Mengenai hal tersebut, J.E. Albrecht (1881) sebagaimana yang dikutip Claudine Salmon (1985) mengungkapkan bahwa bahasa Cina, selain tidak begitu dikuasai dengan baik oleh keluarga peranakan Tionghoa di Jawa, juga tidak banyak manfaatnya dalam hubungan sosial mereka. Oleh karena itu, banyak di antara keluarga peranakan Tionghoa ini yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Eropa atau pribumi atau mengundang seorang guru. “… Anak-anak lainnya diajar di rumah oleh orang Eropa atau Cina, agar dapat menulis bahasa Melayu dalam huruf Latin dan kemudian menggunakan bahasa ini dalam surat-menyurat.”
Ketiga, dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan Tionghoa ini juga memberi peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan peranakan Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Kees Groeneboer (1995) menyebutkan bahwa antara tahun 1823—1900 jumlah peranakan Tionghoa yang bersekolah, baik yang bersekolah di sekolah Raja (Eropa), sekolah Cina, dan sekolah pribumi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak pribumi.
Kondisi itu tentu saja berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi pada masa-masa berikutnya. Tambahan lagi, adanya perubahan kebijakan kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda, dalam kenyataannya lebih banyak menguntungkan golongan peranakan (Indo—Belanda, Indo Eropa dan Tionghoa) dibandingkan golongan pribumi. Dengan demikian, posisi pribumi pada masa itu tetap sebagai golongan yang peranan sosialnya berada di bawah golongan peranakan. Di sinilah golongan peranakan Tionghoa lebih siap memasuki terjadinya perubahan sosial dibandingkan pribumi.
Keempat, derasnya usaha untuk mengganti huruf Arab—Melayu dengan huruf Latin dalam bahasa Melayu, memungkinkan penyebaran bahasa Melayu lebih luas dapat diterima. Pertimbangannya, bahwa pemakaian huruf Pegon (Arab—Melayu) dalam bahasa Melayu di sekolah-sekolah menyulitkan orang untuk mempelajarinya. Padahal, bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, untuk memudahkan orang belajar bahasa Melayu, salah satu langkah yang penting dilakukan adalah mengganti huruf Pegon itu dengan huruf Latin.
Kelima, penguasaan bahasa Melayu bagi golongan peranakan Tionghoa ini juga secara tidak langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika bermunculan penerbitan suratkabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Melayu, golongan peranakan Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha mempermahir penguasaan bahasa Melayu mereka. Di samping itu, kehausan mereka akan kisah-kisah dari tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli Cina. Salah satu karya terjemahan yang terkenal, Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok), telah mendorong bermunculannya cerita terjemahan. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. Dengan demikian, kelompok pembaca golongan peranakan Tionghoa ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pembaca pribumi, bahkan juga Belanda.
Kelima faktor inilah yang mendorong berlahirannya surat-surat kabar, majalah dan penerbit yang dikelola golongan peranakan Tionghoa. Dari sana pula embrio bermunculannya para pengarang Tionghoa. Catatan Claudine Salmon menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan karya penulis peranakan Tionghoa antara tahun 1870—1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005 judul. Meski jumlah itu tak memperhitungkan cetak ulang, secara kuantitas terbitan Balai Pustaka tetap kalah jauh, seperti yang dicatat A. Teeuw, berjumlah 400-an karya (1917—1967).
Ketika Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) berdiri (1908) sampai berganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917, naskah yang masuk 598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu. Sampai tahun 1928, Balai Pustaka menerbitkan tidak lebih dari 20-an novel, sementara penerbit-penerbit milik peranakan Tionghoa, antara tahun 1903—1928, menerbitkan hampir seratusan novel asli karya 12 pengarang peranakan Tionghoa. Beberapa di antaranya mengalami cetak ulang. Pertanyaannya kini: di kemanakankah dana ratusan golden untuk penerbitan buku oleh Balai Pustaka, jika Balai Pustaka hanya menerbitkan beberapa novel saja. Jelas pula di sini, bahwa sasaran pembaca penerbit swasta adalah masyarakat umum, sedangkan Blai Pustaka adalah kelompok elitis yang jumlahnya terbatas pada golongan bangsawan yang diizinkan bersekolah.
Bahwa peranan penerbit swasta menjangkau wilayah yang jauh lebih luas dengan jumlah pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari persebaran agen dan distributor penerbit-penerbit itu, tetapi juga dari sejumlah karya yang mengalami cetak ulang. Di sinilah muncul kesadaran pemerintah kolonial akan bahaya pengaruh bahan bacaan. Bukankah bacaan-bacaan itu dapat mencerdaskan seseorang dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sekolah (pendidikan). Jika penduduk pribumi leluasa bersekolah dan kemudian pandai membaca, bukankah itu bahaya bagi pemerintah kolonial lantaran kebohongannya selama itu akan terbongkar.
Sangat wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, mengatakan bahwa buku-buku terbitan di luar Balai Pustaka sebagai “Bacaan Liar” yang dibawa oleh “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Jadi, bagaimana mungkin kita menafikan keberadaan sastrawan peranakan Tionghoa dalam sastra Indonesia jika kenyataannya mereka justru yang mendahului sastrawan Balai Pustaka. Bahkan, salah satu alasan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit swasta itu.
Demikianlah, Belanda lewat politik kolonialnya dengan berbagai cara berusaha membonsai pribumi agar tetap berada di bawah hegemoni mereka. Balai Pustaka sebagai bagian politik kolonial, tentu saja harus dicitrakan sebagai lembaga pencerahan. Maka, peranan pihak lain yang sesungguhnya mendorong berlahirannya penerbitan dan kehidupan pers –yang dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan bagi pribumi— harus ditenggelamkan! Oleh karena itu –meski begitu terlambat, kinilah saatnya kita mengembalikan sejarah sastra Indonesia ke jalan yang benar, tanpa manipulasi, tanpa penggelapan, tanpa penyesatan!
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar