Senin, 08 Desember 2008

MEMAHAMI KEBUDAYAAN ETNIS MELALUI KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia yang mengaku: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah sesungguhnya identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –diwakili Jong Islamieten—tiba-tiba seperti melekat masuk ke dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis yang mendiami kawasan Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.

Demikianlah, boleh dikatakan, selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, mulai dipersatukan melalui klaim para pemuda itu atas kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja –seperti telah disebutkan— klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis, dan tidak dalam hubungan kultural. Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara ini. Secara sosiologis, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya, untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.

Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia lama) dan modern (kebudayaan Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…”

Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak, memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, bagi Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!

Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik.

Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.

Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).

Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan tampaknya sama sekali tidak bermaksud hendak mempertimbangkan kebudayaan etnik atau kebudayaan daerah yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang dikutip beberapa penggalan berikut ini.

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. …
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia.
Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada
melap-lap hasil kebudayaan lama …. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia
yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri….

Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan Barat.

Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,” mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.

Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.

Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.

Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
***

Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.

Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sosok seorang sastrawan mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau setidak-tidaknya, diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah kultur etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah kenyataan. Kenyataan itu tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.

Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan daerah). Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”

Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.

Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi makin menyebar ke dalam diri para sastrawan yang berlatar etnis lain di luar Minangkabau, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan tersebut terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut –meski tidak lebih semarak dibandingkan dasawarsa itu—sampai kini. Timbul pertanyaan: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung oleh para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?

Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar). Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.

Masalah lainnya adalah kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai-bagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya yang lain; juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, sebagaimana terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia boleh jadi malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti diperlihatkan Aceh dan Papua. Oleh karena itu, pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
***

Kesusastraan, meski bermain dalam tataran imajinasi, sesungguhnya merefleksikan ruh kultural sebuah komunitas. Ia merupakan refleksi evaluatif atas kehidupan yang melingkari diri seorang sastrawan. Ia hadir dan dilahirkan dari sebuah proses panjang berbagai macam kegelisahan yang terus-menerus menggerayangi sikap, pemikiran, ideologi, kepercayaan, dan kepedulian sastrawan atas nasib orang per orang dalam konteks hubungan sosial yang terikat pada kebudayaan masyarakat bersangkutan.

Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Oleh karena itu, kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa bangsa ini menuju pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut ini, tidaklah berlebihan jika gagasan ini dicobakan.

Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini –seperti telah disinggung—sastrawan Indonesia dalam kenyataannya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya sendiri. Suara Sutan Takdir Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh sastrawan lainnya pada masa itu. Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak juga tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.

Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini.

Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang belum disebut yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya, karya-karya mereka sangat pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan serba sedikit mengenai berbagai kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini. Di luar karya-karya itu, tentu saja perlu diperhitungkan pula karya-karya yang tidak mengangkat kultur etnik. Dengan cara demikian, pemahaman kita mengenai kesusastraan Indonesia, tidak hanya yang bersangkut paut dengan persoalan etnik, tetapi juga persoalan lain di luar itu.

Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik. Dengan demikian, pemahaman terhadap kesusastraan Indonesia tidaklah dapat direduksi sebatas pada karya-karya yang diterbitkan di Jakarta. Dalam hal ini, sudah saatnya pula pemikiran mengenai hubungan pusat—daerah yang menempatkan Jakarta sebagai pusatnya, tidak dihembuskan lagi mengingat kenyataannya memang tidak demikian.

Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.

Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia.
***

Mungkinkah melalui khazanah kesusastraan Indonesia kita dapat memahami kebudayaan Indonesia? Meskipun kesusastraan –mestinya—lahir tanpa komitmen yang khas terhadap kebudayaan etnik, kebudayaan nasional, atau kebudayaan dunia, melainkan semata-mata terhadap manusia dan kemanusiaan, kesadaraan –atau ketidaksadarannya—terhadap kebudayaan yang telah membentuknya, tetap akan muncul begitu saja lantaran ia telah menjadi bagian dari dirinya. Maka, melalui karya sastra yang mengangkat kultur etnik, kita akan beroleh semacam potret sosial tentang pemaknaan dan penerjemahan sebuah kebudayaan etnik yang bersangkutan. Di sana kita akan berjumpa dengan pola hubungan kekerabatan, tingkah laku, kepercayaan, dan segala sesuatu yang hidup dan menjadi tradisi kebudayaan masyarakat tersebut.

Karya sastra sebagai produk budaya, tentu saja dapat dijadikan semacam jembatan untuk sampai pada pemahaman –atau setidak-tidaknya—sikap terbuka melakukan apresiasi terhadap berbagai kultur etnik yang ada di Nusantara. Keterbukaan menerima dan mencoba melakukan apresiasi terhadap kultur mana pun, kiranya dapat dijadikan semacam modal dasar untuk secara perlahan-lahan mengikis sikap pengagungan terhadap kebudayaan etnis sendiri yang dipegang secara berlebihan dan meninggalkan sikap menganggap rendah kebudayaan lain. Dengan demikian, kesadaran terhadap kebudayaan sendiri tidak dalam kerangka menutup diri, menolak, dan menafikan kebudayaan lain, tetapi justru dalam hubungannya membuka ruang yang seluas-luasnya untuk saling menerima, melengkapi, sekaligus memperkaya lewat unsur lain yang dianggap penting.

Dengan dasar pemikiran itu, kiranya perlu dipertimbangkan semacam pendidikan atau pelajaran mengenai berbagai kebudayaan etnis dengan memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia sebagai jembatannya. Dengan cara itu pula, suku-sukubangsa di Nusantara ini dibawa pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka relatif memahami identitas kebudayaan etniknya ketika mereka dihadapkan pada kebudayaan etnis lain, meskipun mungkin hanya menyangkut salah satu aspek saja. Hanya dengan sikap inklusif dan memberi tekanan pada kesetaraan dalam memandang kebudayaan lain, niscaya sikap snobis terhadap kebudayaan sendiri, lambat atau cepat akan tergusur dengan sendirinya. Semoga!

Mkl/prakongres/msm/21/4/2003

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati