Rabu, 17 Desember 2008

Menulis Lakon

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

I. KIAT PENULISAN LAKON

Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.

Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.

Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.

Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.

Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.

Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.

Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.

Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.

Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.

Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya.

Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat.

Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.

Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar biasa.

Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.

Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.

Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau muncrat.

Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.

Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.

Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.

Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.

Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan pengalaman spiritual.

Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.



II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:

Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.

Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.

Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.

Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di Jakarta.

Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali kepada kata-kata.

Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.

Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.

Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.

Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI)

Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri. Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja dua hal tercapai.

Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.

Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.

Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.

Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.

Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.

Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.

Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.

Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau penontonnya.

Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.

Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati