Ragdi F Daye
http://www.riaupos.com/
Pencari daun enau itu terkejut ketika melihat seorang laki-laki duduk melamun di atas batu karang yang berlumut. Laki-laki itu memakai celana jins biru pudar dan kaos abu-abu. Punggungnya sedikit membungkuk digayuti ransel hitam. Pencari daun enau itu sudah bertahun-tahun menjelajahi rimba Bukik Kapocong untuk mencari pucuk enau, daun pandan berduri, atau buah-buah damar. Dia sering bertemu dengan pemburu babi, pemikat burung, atau para pecinta alam. Namun, belakangan dia lebih sering sendirian di tengah hutan.
Diturunkannya ikatan daun enau dari bahunya. “Sendiri saja?”
Laki-laki itu sama terkejutnya. Dia mengangguk pendek.
“Mau berburu?”
Dia masih muda. Tatapan matanya begitu murung di bawah rambutnya yang menjuntai di kening. Dia mengangguk dingin seperti menginginkan percakapan itu lekas tuntas. Pencari daun enau kembali mengamati. Memperhatikan ransel hitamnya yang terlalu bersih untuk dibawa ke hutan. Arloji di tangan. Juga pakaiannya. Dia ingin bersikap acuh karena maksudnya datang ke hutan itu cuma untuk mencari pucuk daun enau yang nantinya akan dia jemur di rumah lantas dijual ke pasar. Dia tak perlu mengurus orang asing yang sama sekali tak bersangkut paut dengannya. Pencari daun enau itu menyandang ikatan daun enau ke bahunya yang bungkuk. “Berhati-hatilah. Harimau memang tidak akan datang mengganggu, tetapi banyak ular berbisa dan pacet yang bisa menguras habis darahmu.”
Mata mereka bertemu. Sepasang mata muda yang luka dan sepasang mata tua yang letih.
Pencari daun enau itu merasa hatinya direjam kesedihan yang ganjil. Dia menemukan keputusasaan yang siap membunuh. Serta merta pikirannya membayangkan laki-laki muda itu berdiri di tubir jurang, lalu melemparkan diri ke runcing karang.
“Hati-hatilah!” Dia melanjutkan langkah ke bawah.
***
“Aku hanya ingin sendiri dan mati.” Ucap laki-laki muda itu setelah sosok si pencari daun enau hilang di balik semak. “Aku malah bersyukur bila ada harimau datang dan menerkamku. Mencabik-cabik tubuhku. Mengoyak-ngoyak badanku. Menghabisi sekerat hatiku!” Dia menatap nanar rerimbunan pohon-pohon yang tingginya puluhan meter.
Dari arah barat matahari memancarkan sinar kuning pucat.
Laki-laki itu sudah meninggalkan rumah sejak kemarin. Mulanya dia hanya ingin melarikan diri dari suasana rumah, dari urusan menyebar undangan, dari mimpi buruk, dari sumpah dan kejaran rasa bersalah, dari segala kecamuk di pikirannya. Dia mengunjungi teman-temannya, meminta waktu mereka untuk mendengarkan dia bicara. Tetapi tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa kondisinya begitu buruk. Dia pun memutuskan pergi ke pinggir kota di pagi hari dengan angkutan umum, kemudian berjalan kaki ke pebukitan yang sering dia pandangi dari balkon.
Dia merasa sakit dan sangat tidak siap. Dia yakin, bila dia melanjutkan apa yang sudah dirancang untuknya, dia hanya akan menjadi pengkhianat. Dia tak akan pernah mencintai siapa pun. Dadanya sudah nyaris kosong. Hatinya cuma tinggal robekan-robekan yang tidak utuh.
Dia telah berjalan, dan terlalu jauh untuk kembali. Dia juga tak yakin semuanya akan seperti sedia kala bila dia kembali. Di pinggang bukit dia berdiri. Jauh di bawah kakinya samar-samar tampak kota dan laut, dan awan-awan, dan langit yang keruh. Angin menampar-nampar mukanya. Dihirupnya dengan risau. Dia telah mencucukkan sebilah pisau ke dada ibunya yang dulu semasa kecil pernah dia teguk sari kehidupan dari kedua susunya.
Semuanya telah berbeda. Dia bukan lagi seorang bocah manis yang selalu tertawa dengan hidung dan mata mengernyit.
Ayo, melompatlah!
Ayo, akhirilah!
Hatinya terasa diremas oleh gelap malam yang turun bersama dingin kabut. Haruskah dia melompat jatuh dan mati, atau berlari turun dan pulang? Dia sama sekali bukan seorang petualang, malah hanya seorang manusia rapuh yang cengeng.
Dikeluarkannya HP dari saku, mencoba terangi sekeliling tempat itu. Dia tak membawa korek api, lilin, apalagi senter. Kegundahan telah membuatnya benar-benar tolol. Tak ada sinyal. Dibukanya folder foto dan video. Disaksikannya gambar-gambar itu sehingga berbagai kenangan dan rasa menggenangi hatinya.
Ruang tamu. Komplek pemakaman. Jembatan penyeberangan. Dia sedang sendiri berlatar pantai. Ibu berkerudung hitam. Kartun. Kartun horor. Merpati-merpati di taman. Lantai kamar. Bibirnya. Sepasang tangan. Reuni hari raya. Dia sedang tidur bergelung. Mukanya dicoret-coret habis main kartu. Tubuhnya. Anjing tetangga yang galak. Dia sedang berteriak. Aaakhh...
Bahkan dia tak menyimpan gambar orang itu agak sepotong.
Lalu untuk siapa semuanya?
Demi menunda kematian ibunya?
Padahal dialah yang hidup.
Dialah yang akan menjalani.
Dia yang akan bahagia.
Atau sakit.
Dia diam. Kelengangan yang menggairahkan mengepungnya.
“Gus...!”
Telinganya mendengar suara yang halus.
“Gustav...!”
Dia menoleh ke sekeliling. Siapa yang telah memanggilnya? Apakah ada yang merasa kehilangan lalu mencarinya?
“Gustav!”
Dia terkejut.
Beberapa saat hanya menatap terpana.
Sosok itu melambai dan merentangkan tangan.
Dia berdiri girang. Mencampakkan ransel ke tanah. Berlari. Menghambur. Mendekap...
***
Burung-burung murai masih berkicau riang ketika pencari daun enau itu sampai di Bukik Kapocong. Dia sudah berusaha datang sepagi mungkin, tetapi tetap terlambat karena istrinya yang nyinyir minta dipetikkan buah kelapa untuk membuat gulai. Dia melangkah di jalan setapak yang penuh rumput liar dan ilalang. Pohon-pohon tinggi membuat hutan menjadi teduh. Akar-akar membelintang, kadang digelungi ular. Anggrek merpati berbunga butih menjuntai dari dahan-dahan kayu lapuk.
Dia tak menemukan si laki-laki muda di batu karang berlumut. Pencari daun enau menengadah ke langit. Dua ekor elang kurik berkulik-kulik. “Anak itu sedang gelap mata. Seharusnya tak kubiarkan dia sendirian.” Matanya melihat ransel hitam yang kemarin tersandang di punggung si pemuda tergeletak di bawah batu. Ditegakkannya badan. Di mana gerangan orang itu? Pencari daun enau menjengukkan kepala ke tubir tebing.
“Apakah...?”
Cepat-cepat dia menuruni tebing yang cukup curam. Dia berpegang pada akar-akar yang berjuntaian. Sandal jepitnya putus. Dia tinggalkan saja. Kakinya menginjak suatu benda yang bukan bagian dari hutan. Diambilnya. Sebuah HP yang telah pecah. Jantungnya berdegup. Dia bersiluncur.
Sosok itu dia temukan tergolek dengan kepala menyandar ke batu. Seperti sedang bermimpi dalam rengkuhan seseorang. Darah mengering dari kepalanya yang retak. Dua ekor pacet menempel di kaki dan tangannya. “Hei..! Hei!” Pencari daun enau meraba urat lehernya. Dingin mati. Dia terhenyak. Jurang itu terasa senyap.
***
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Dia terkejut ketika seorang penyabit rumput telah berdiri di sampingnya dengan sebuah karung kumal yang gendut. Sebenarnya dia tak ingin bicara dengan siapa pun, tetapi bersikap diam akan membuat orang kian penasaran. “Tidak ada,” sahutnya acuh.
Penyabit rumput yang sudah agak tua itu memberinya tatapan penuh selidik. “Apa kau mau memancing?”
“Ya!”
“Hati-hatilah kalau memancing di Lubuk Karaku. Tempat itu agak jahat.” Laki-laki tua itu menyandang karung rumputnya dan berlalu.
Setelah tinggal sendiri, dia melanjutkan lamunannya. Diambilnya sepotong ranting, digurat-guratnya tanah liat merah.
“Apa aku salah karena mengawininya?!”
Sampai malam dia masih tercenung.
Itu dulu, sekitar duapuluh tahun lalu. Setelah sang istri yang masih punya ikatan darah dengannya, melahirkan anak kedua mereka yang juga lumpuh.
***
Setelah menjemput cangkul, sabun mandi, dan tiga helai kain kafan yang dibelinya dengan uang dari dompet si pemuda, dengan susah payah, si pencari daun enau membopong mayat si lelaki muda ke sungai kecil di dasar jurang. Ransel dan HP pemuda itu dibawanya juga. Di tanah datar tak jauh dari air terjun digalinya sebuah lubang. Batu-batu kecil mempersulitnya, tetapi dia terus bekerja keras membuat sebuah liang yang cukup pantas untuk jadi makam.
Kemudian dilepasnya pakaian mayat itu. Sebatang tubuh muda yang tinggal beku. Ada sebuah tato berbentuk ujung pedang menyungkupi pusarnya. Pencari daun enau memandikan dengan hati-hati. Membersihkan luka-lukanya. Menyiramkan air sabun dengan usapan kasih sayang yang pedih seperti tiap kali memandikan kedua orang anaknya yang pernah ingin dibunuhnya. Lalu jenazah itu disucikannya, dibungkusnya dengan kain kafan murah, diikatnya dengan akar kalimpanan, dishalatkannya.
Pakaian pemuda itu dimasukkannya ke dalam ransel beserta arloji, kalung, sebuah cincin perak, dompet, dan HP yang rusak. Ketika memasukkan jenazah ke dalam liang, entah kenapa ada air mata yang meluncur ke pipinya. Disekanya dengan punggung tangan.
“Kau ingin lari, seperti aku dulu. Maka, tenanglah di sini. Selama hidup aku akan menjagamu.”
Diletakkannya ransel di samping jenazah, juga sepasang sepatu bewarna coklat. Ditimbunnya pelan-pelan. Setelah selesai, ditanamnya sebatang kayu lansano di atas kepala pemuda itu yang kini ditutupi tanah.***
Ilalangsenja|Padang, 2007.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 31 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar