Jumat, 16 Januari 2009

Senyum Soeharto dan Politik Kesenian

Binhad Nurrohmat*
http://www.jawapos.com/

Presiden Soeharto berkata dalam otobiografinya, ''Di depan para seniman dan seniwati itu saya tegaskan, ketahanan sosial budaya tak kalah pentingnya dengan ketahanan militer dan ketahanan ekonomi dalam memperkuat ketahanan nasional'' (Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989).

Perkataan Soeharto yang membungahkan itu merupakan ''petunjuk'' bahwa andil kaum seniman bisa sederajat dengan kiprah kaum tentara dan pedagang. Lain kata, kesenian itu berguna atau sekurangnya tak mubazir bagi ''ketahanan nasional'' --bila mengandung pesan atau menyuarakan kritik yang ''membangun''.

Kekuasaan Soeharto gemar ''pembangunan-isme'' dengan gaya ''keras'' dan yang di kemudian hari mewariskan luka kultural dan sekaligus juga merangsang pergulatan kreativitas kesenian kita.

Pada awal masa Soeharto berkuasa, ada semarak eksperimentasi dan inovasi yang melahirkan keemasan kesenian kita yang pamornya tak pudar hingga kini. Di masa ini terjadi ''bulan madu'' kesenian dan kekuasaan, meski pendek saja masanya tapi monumental.

Ketika Soeharto kian berkuasa, merebak hegemoni ''kesenian a-politis'', yaitu kesenian yang bisu pada kenyataan kemasyarakatan dan terselenggara pencekalan terhadap kesenian/seniman yang dianggap mengusik stabilitas sosial-politik. Tudingan subversif kerap ditimpakan kekuasaan pada kesenian/seniman yang (dianggap) menyuarakan kezaliman negara.

Di masa kekuasaan jenderal yang punya senyuman khas itu, menjulang kesenian yang kukuh spirit artistiknya dan yang militan komitmen sosialnya --yang menyembulkan tak sedikit prestasi, heboh, legenda, dan mitos dalam kesenian kita.

Realitas kesenian kita kurang-lebih tiga dasawarsa di masa Soeharto itu merupakan contoh yang kontekstual tentang hubungan kemerdekaan kreativitas dan kekangan kekuasaan, yaitu upaya negara yang hendak menaklukkan kesenian atas nama politik serta politik kesenian kaum seniman untuk menghadapi dan menyikapinya.

Pengekangan dan Pembangkangan

Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Sastra Horison merupakan situs dan kiblat kesenian kita yang masyhur di masa Soeharto. Keduanya didirikan oleh pemerintah dan atas prakarsa kaum seniman yang pro-Soeharto atau anti-Soekarno. Maka, wajarlah TIM dan Horison tak bebas dari kehendak kekuasaan di masa itu. TIM dan Horison merupakan kaki-tangan kekuasan atau bukan, bisa terjawab dan dimengerti dari kebijakan yang dibikin dan diamalkannya.

Melalui TIM dan Horison, politik kesenian kekuasaan bisa bekerja secara laten ataupun vulgar untuk menaklukkan kesenian atau setidaknya mengarahkan kesenian sesuai hasrat kekuasaan. Keadiluhungan kesenian di masa itu ''ditentukan'' di dua tempat itu, dan banyak kaum seniman mengamini.

TIM dan Horison adalah sumber legitimasi tertinggi kesenian dan kesenimanan di masa Soeharto. Setelah bersentuhan dengan keduanya, seniman seakan berhak mendongak kepala. Siapa gerangan seniman terpandang kita yang awal kemunculannya di masa Soeharto yang tanpa sentuhan TIM atau Horison?

Di masa Soeharto, politik kekuasaan cenderung ''sepandangan'' dengan politik kesenian yang dijalankan kaum seniman, karena murni sikap seniman sendiri atau lantaran tekanan kekuasaan, dan hal yang terakhir ini memarakkan ''ketundukan kolektif'' dan sedikit saja pembangkangan.

Kemerdekaan kreativitas --dalam pengertian ideologi dan sumber penciptaan yang merdeka-- jadi urusan rumit di masa Soeharto. Pilihan tema dan estetika kesenian dibatasi ''rambu-rambu'' kekuasaan di masa itu. Ada kesenian yang tampak tunduk, ''kucing-kucingan'', atau nekat melawan rambu-rambu itu dengan motif kemerdekaan kreativitas ataupun pembangkangan.

Karya sastra, teater, lukis, musik, film, dan tari yang muncul di masa Soeharto pernah ''berkasus'' dengan kekuasaan, meski dipertunjukkan di TIM secara resmi. Tentu, kesenian yang ''berkasus'' amat sedikit ketimbang yang ''aman''.

Kesenian kita di masa Soeharto bisa dipandang tak remeh oleh kekuasaan, bahkan dianggap gawat, sehingga pengekangan kesenian terjadi (dan amat ketat), meski tak jarang pengekangan itu semata menggambarkan nafsu kekuasaan untuk mengontrol kesenian secara berlebihan melalui perizinan, sensor, dan pencekalan. Akibatnya, kekuasaan Soeharto menjadi legenda tentang paranoia kekuasaan terhadap kesenian di negeri ini.

Gairah Reformasi dan Seksualitas

Kekuasaan Soeharto resmi berakhir pada 1998 dan dia meninggal sepuluh tahun kemudian, tapi gaya kekuasaan dan birokrasi kekuasaan Soeharto belum sirna sepenuhnya, atau setidaknya jejak atau pengaruhnya masih tampak, meski penentangan terhadapnya kian merebak.

Kesenian kita pasca-Soeharto tak lagi menjadikan TIM dan Horison sebagai satu-satunya kiblat, tapi masih mewarisi ''pola'' umum kesenian yang berkembang di masa Soeharto.

Memang, kesenian tak bertugas sebagai pengobral solusi agung dan ampuh terhadap masalah kemasyarakatan. Namun, keterpencilan kesenian dari masalah kemasyarakatan seolah ''dibakukan'' di masa Soeharto dan mengakar dalam kesenian kita hingga kini.

Runtuhnya kekuasaan Soeharto bukan tak berpengaruh terhadap politik kesenian kita. Runtuhnya Soeharto dan munculnya gairah Reformasi memang belum menimbulkan ''pelampiasan'' yang berarti dalam hal kemerdekaan kreativitas yang ingin menjalankan komitmen sosial sebagaimana yang dulu (di masa Soeharto) ditekan habis-habisan. Namun, bukan berarti kesenian kita kini tak menyembulkan ''kecenderungan baru'' komitmen sosial yang berharga.

Sesungguhnya, perbedaan kesenian kita di masa Soeharto dan kini terletak pada bahan penciptaan dan sumber risikonya.

Simbol kemerdekaan kreativitas kesenian kini tak lagi ditandai oleh kekritisan atau perlawanan terhadap kekangan kekuasaan yang memberangus komitmen sosial, yaitu membongkar aib kekuasaan berupa ketakadilan dan penindasan oleh negara. Simbol kemerdekaan kreativitas kesenian kita kini berupa jamahan, potret, atau kritik terbuka terhadap kemunafikan moral, yaitu tabu sosial yang dikukuhi masyarakat, misalnya perkara seksualitas.

Simbol kemerdekaan kreativitas di masa Reformasi itu sangatlah mendasar dan relevan, karena pengekangan kekuasaan Soeharto memiskinkan kehidupan sosial-politik dan juga membangkrutkan nilai kultural seksualitas. Di sinilah letak salah satu dasar yang membuat kehadiran seksualitas bermakna secara artistik dan sosial.

Sesungguhnya, seksualitas dalam kesenian kita kini merupakan simbol kemerdekaan kreativitas dan bentuk politik kesenian yang tak terpencil dari masalah dan gairah kehidupan di sekelilingnya --meski akibatnya ada yang tersenyum dan yang berang! (*)

*) penyair, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati