Nurel Javissyarqi*
http://www.sastra-indonesia.com/
Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi
Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh serta keliaran imaji menerka kejadian yang lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Segala persoalan terfokus di satu titik perasaan, dan kejadian obyektif sebagai bahan pengulangan demi meyakinkan observasi dalam mencapai tangga lebih tinggi, yakni lompatan menuju dunia ide.
Waktu-waktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata, atau menggebunya aktifitas yang terselesaikan lewat tidur. Waktu-waktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana, berupa rindu kenangan silam.
Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan subyektif, tetapi kepaduan penyelidikan diri, kesadaran menerima situasi sebagai bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.
Ketakutan bertindak berjalan kaki melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas, sebab hasil pengembaraan belumlah sampai terjual jikalau durung diperdagangkan sejenis pencerahan.
Kita tidak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah tanda-tanda rasa menandaskan perbedaan, jika dimasukkan sebagai jenjang keterjagaan, merawat kesadaran demi selamat denyut gairah waktu digaris bawahi.
Itu momentum ketepatan rasa yang menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan, walau persoalan mutu sebuah pengakhiran yang patut diterima, sebagai lantasan demi rangkaian selanjutnya.
Wujud yang dimaknai berasal dari kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu pada denyutan gelombang di pantai. Suatu rana yang dirawat halus, menciptakan bunga-bunga menawan, menggiurkan anak-anak nelayan dengan mata pandang pengetahuan.
Kita kembara, tidak habis selesai terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas-batas titian harus diperjalankan untuk mencapai wewarna ganjil tempaan. Tidakkah sesuatu yang miris di hati, juga pernah bersarang dari realitas sosial?
Kalau menilik pada kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tidak seberapa kalimat di buku-buku tiada lain jalan-jalan biasa, pengulangan yang hanya memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dalam dada, tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain, dari waktu-waktu yang digaris bawahi.
Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri, dari beberapa kebersiapan naluri menarik segala pengembaraan empirisme yang didealektik bersama nalar-nalar yang telah ada. Membaca satu-satuan masa, guna mencapai perimbangan antara materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.
NatURalis ELementer
Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak-bahak, agar segala racun keegoisan menguap, melewati jalan pencernaan jiwa dalam menggagas persoalan ini ke muka. Dengan teknik keberlawanan, berusaha mengikis kebahagaian temuan yang kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai dari mentahnya perolehan atas masa-masa.
Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang, atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nantinya bagus dipersoalkan.
Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan-tahap tertentu sebagaimana suatu kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, wal hasil menjadi bahan tertawaan. Tetapi seberapa lama gegaris tawa menuju keseriusan. Detik-detik kepada persamaan itu, mutu gagasan tidak menjadi guyonan, tetapi menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasakan keseriusan.
Lembaran-lembaran terbangun kali ini, mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika kepada naturalis elementer. Memang benar, suatu konsep takkan komplit kalau tidak direalisasikan dengan kerja, maka berangkatlah dengan kaki-kaki kesadaran nyawa.
Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna, bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat, menjelma terkuat yang menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tidak pernah sampai kecuali pada titik kulminasi, drajad penyeimbang atas kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.
Pelajaran terus meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, wacana timur barat menjadi zaitun naturalis berkembang, berbunga di taman peradaban, mengambil saripati bedah pihak pun pendapat, atas dialektika positif yang berangkat dari kenegatifan naluri bodoh diawalnya.
Kita ambil unsur-unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati yang tidak membangun rasio pun perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran dari beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukannya melewati ruang-waktu sama yang tidak patut digaris bawahi.
Sebab suatu proses, bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan, atau pun persamaan gandanya tetap mempunyai sifat berbeda-beda. Ini patut diselidiki lebih jauh ke dalam, bahan-bahan yang sudah ada kita jadikan penyeimbang, meski membangun kekuatan di garis tengah itu amat miris dan menakutkan.
Batas Genius dan Goblok
“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya”(One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez). Kabut mitos itu jawaban tidak mematikan, berada di ruangan tinggi yang diselimuti lamur pegunungan, yang diterangi cahaya imaji menjadikan pelangi pengertian bagi memperhatikan.
Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang semacam uap terbang menggapai kemungkinan realitas, diterima sebagai kepastian, meski dalam kurungan definisi dari kelompok masyarakat, namun terus bebas mengevolusi diri, mengupas keberadaannya sampai pada kenyataan sungguh tidak terbantah.
Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tidak mau menyebut suatu tanda untuk dijadikan nama. Mitos berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tidak langsung mempercayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan amat tajam, perasaan sungguh peka oleh bisikan kalbu dikekolah psikis, jiwa kuat lagi tangguh menghadapi terpaan gunjingan.
Penolakan dengan menuntut alasan semula, keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan kudu ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya, sebab pola-pola yang berada di sekelilingnya mengharuskan satuan sikap berupa konstriktif.
Olehnya, mitos itu musuh dari penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak pipi, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksud semacam post-modern lain, membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis berkeadilan, sebuah sinaran imbang yang sanggup mengelupas bedak perayu dengan akalan.
Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera, yang tampak kesamarataan sakit, pengkotak wilayah demi kemajuan, yang katanya membawa adil merata, namun yang terjadi, penindasan terus saling bertabrak jungkir balik moralitas. Sebab saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.
Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, sanggup membebaskan persoalan. Tetapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan berupa pengelabuhan undang-undang, sejenis menampakkan selera humor, padahal tidak sedang dalam keadaan senang.
Tidakkah ketika bungkus bermain, sugesti berperan aktif, padahal kenyataannya demi merayu para pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan, sebab para pesaksi itu, dari lahir otaknya tidak pernah digerakkan untuk bekerja. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan seenak udelnya; “Apakah kalian bangga, menjajah masyarakat belia?”
Tetap saja kalian mengekspoitasi anak, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan yang berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude; “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.” Saya jadi teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksaan menancapkan tanda, tanda itu diusung ke mana saja, hingga semua orang dilewati mempercayainya.
Di kedalaman hati saudara, saya ingin bertanya; “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan? dalam kenyataan fikiran?“ Di sini saya tak ingin jawaban secara langsung yang bertubi-tubi atau pun mengendap. Saya ingin pertanyaan itu kau simpan, demi menemukan kepastian. Perubahan yang teralami, akan menuntun pada yang jawaban sebenarnya.
Akan sampai pada puncak keseriusanmu, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi mencari kepastian diri. Inilah watak seorang genius, para pemitos yang tak sengaja menciptakan, tapi atas pantulan pesona dirinya. Kenyataannya paling esensial ialah perubahan, mengedepankan perasaan naluri menjelajahi fikirannya secara sehat, lagi jernih tanpa polusi.
Saat-saat kau menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari tangan mulai kelelahan menulis persoalan, saat itulah memahami batas nalar serta pekabutan mitologi. Rasa kelelahan, bosan, suntuk dan segala macam itu, struktur dari rumah atas bangunan rasio. Dan saya menghindari persoalan itu dengan berbagai pola, cara kerja berfariasi untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejalah tubuh psikis menggerogoti hati, meski sehalus perembesan air.
Ada memang saatnya istirahat atas lelah, namun tidak harus demikian di dalam menyikapi lingkungan kejiwaan. Sering kali orang takut akan hal kematian, di kala itulah sebenarnya takut akan hidup, atau hakekat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan itu serupa malaikat yang mengundat-undat pencabutan nyawa. Tatkala itu, kau tengah di puncak kenyataan, antara hayal dan logika merupakan melodi terkuat dalam menempuh tangga kesejatian. Kepastian terhadapi, daerah yang tidak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan akan hidup dan penghidupan.
Atau kalian orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, yang masih bimbang meneruskan dan tergiur pulang, lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut, tidak mau membentur-lawan perasaan, yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan yang mencekit tenggorokan, tidak memiliki keyakinan akan datangnya setetes air hujan. Sebab itukah kalian menganggapnya tidak logis (?).
Meski seringkali orang-orang genius itu melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tetapi tidak memandangnya sebagai keajaiban mistis. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak sanggup melogikakan secara berani dan seksama. Apakah takut dibilang tidak konsisten atas gagasan semula, dari daya fikir kelewat matematis?
Saya sebagian orang-orang bodoh yang menerangkan kepadamu. Apakah itu kepintaranmu, dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab kau telah dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tetapi tak berada di dalam persoalannya. Kau sejenis orang menghitung hujan, namun tak mau kehujanan. Sedangkan aku bersama yang lain kehujanan, menghitung kalian yang kedinginan, berselimutkan ketakutan di rumah-rumah keangkuhan.
Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau adalah dungu, yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini, saya memasuki urusanmu atas balasanmu yang terlalu jauh, telah lama mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang-orang baik berangkat dari kedunguan, orang-orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah kalimat yang kuberikan kepadamu, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku, yang kau anggap tidak memiliki keyakinan atas ilmu pengetahuan.
Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada di dalam satu sisi. Kami berada di tengah-tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat, perasaan timur. Saya yang kau anggap tidak memiliki pendirian, padahal terus teguh di tengah-tengah kalian. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu di tengah-tengah, sedangkan kau sejatinya berada di timur?.” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat atas jarak kepintaranmu, begitu pun orang timur melihatku, menganggap saya kanginan atau kebarat-baratan.”
Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, tetapi hatiku di tengah-tengah kalian yang selalu berseteru. Saya harum kembangkan ini agar kalian berdamai, meski kata kalian tidak mungkin. Itulah yang kalian lakukan selama ini, membuang kemungkian di sekitarnya demi keuntungan diri atas menggencet pihak lain, sehingga hatimu tidak berada di tengah-tengah sebagai nilai-nilai kemanusiaan nan damai.
Untuk sampai di batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dan dayadinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu sampai menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, kalian bertambah pula kekuatan?
---
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar