Rabu, 14 Januari 2009

NATURALIS ELEMENTER

Nurel Javissyarqi*
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi

Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh serta keliaran imaji menerka kejadian yang lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Segala persoalan terfokus di satu titik perasaan, dan kejadian obyektif sebagai bahan pengulangan demi meyakinkan observasi dalam mencapai tangga lebih tinggi, yakni lompatan menuju dunia ide.

Waktu-waktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata, atau menggebunya aktifitas yang terselesaikan lewat tidur. Waktu-waktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana, berupa rindu kenangan silam.

Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan subyektif, tetapi kepaduan penyelidikan diri, kesadaran menerima situasi sebagai bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.

Ketakutan bertindak berjalan kaki melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas, sebab hasil pengembaraan belumlah sampai terjual jikalau durung diperdagangkan sejenis pencerahan.

Kita tidak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah tanda-tanda rasa menandaskan perbedaan, jika dimasukkan sebagai jenjang keterjagaan, merawat kesadaran demi selamat denyut gairah waktu digaris bawahi.

Itu momentum ketepatan rasa yang menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan, walau persoalan mutu sebuah pengakhiran yang patut diterima, sebagai lantasan demi rangkaian selanjutnya.

Wujud yang dimaknai berasal dari kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu pada denyutan gelombang di pantai. Suatu rana yang dirawat halus, menciptakan bunga-bunga menawan, menggiurkan anak-anak nelayan dengan mata pandang pengetahuan.

Kita kembara, tidak habis selesai terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas-batas titian harus diperjalankan untuk mencapai wewarna ganjil tempaan. Tidakkah sesuatu yang miris di hati, juga pernah bersarang dari realitas sosial?

Kalau menilik pada kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tidak seberapa kalimat di buku-buku tiada lain jalan-jalan biasa, pengulangan yang hanya memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dalam dada, tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain, dari waktu-waktu yang digaris bawahi.

Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri, dari beberapa kebersiapan naluri menarik segala pengembaraan empirisme yang didealektik bersama nalar-nalar yang telah ada. Membaca satu-satuan masa, guna mencapai perimbangan antara materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.

NatURalis ELementer

Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak-bahak, agar segala racun keegoisan menguap, melewati jalan pencernaan jiwa dalam menggagas persoalan ini ke muka. Dengan teknik keberlawanan, berusaha mengikis kebahagaian temuan yang kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai dari mentahnya perolehan atas masa-masa.

Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang, atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nantinya bagus dipersoalkan.

Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan-tahap tertentu sebagaimana suatu kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, wal hasil menjadi bahan tertawaan. Tetapi seberapa lama gegaris tawa menuju keseriusan. Detik-detik kepada persamaan itu, mutu gagasan tidak menjadi guyonan, tetapi menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasakan keseriusan.

Lembaran-lembaran terbangun kali ini, mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika kepada naturalis elementer. Memang benar, suatu konsep takkan komplit kalau tidak direalisasikan dengan kerja, maka berangkatlah dengan kaki-kaki kesadaran nyawa.

Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna, bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat, menjelma terkuat yang menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tidak pernah sampai kecuali pada titik kulminasi, drajad penyeimbang atas kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.

Pelajaran terus meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, wacana timur barat menjadi zaitun naturalis berkembang, berbunga di taman peradaban, mengambil saripati bedah pihak pun pendapat, atas dialektika positif yang berangkat dari kenegatifan naluri bodoh diawalnya.

Kita ambil unsur-unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati yang tidak membangun rasio pun perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran dari beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukannya melewati ruang-waktu sama yang tidak patut digaris bawahi.

Sebab suatu proses, bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan, atau pun persamaan gandanya tetap mempunyai sifat berbeda-beda. Ini patut diselidiki lebih jauh ke dalam, bahan-bahan yang sudah ada kita jadikan penyeimbang, meski membangun kekuatan di garis tengah itu amat miris dan menakutkan.

Batas Genius dan Goblok

“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya”(One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez). Kabut mitos itu jawaban tidak mematikan, berada di ruangan tinggi yang diselimuti lamur pegunungan, yang diterangi cahaya imaji menjadikan pelangi pengertian bagi memperhatikan.

Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang semacam uap terbang menggapai kemungkinan realitas, diterima sebagai kepastian, meski dalam kurungan definisi dari kelompok masyarakat, namun terus bebas mengevolusi diri, mengupas keberadaannya sampai pada kenyataan sungguh tidak terbantah.

Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tidak mau menyebut suatu tanda untuk dijadikan nama. Mitos berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tidak langsung mempercayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan amat tajam, perasaan sungguh peka oleh bisikan kalbu dikekolah psikis, jiwa kuat lagi tangguh menghadapi terpaan gunjingan.

Penolakan dengan menuntut alasan semula, keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan kudu ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya, sebab pola-pola yang berada di sekelilingnya mengharuskan satuan sikap berupa konstriktif.

Olehnya, mitos itu musuh dari penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak pipi, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksud semacam post-modern lain, membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis berkeadilan, sebuah sinaran imbang yang sanggup mengelupas bedak perayu dengan akalan.

Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera, yang tampak kesamarataan sakit, pengkotak wilayah demi kemajuan, yang katanya membawa adil merata, namun yang terjadi, penindasan terus saling bertabrak jungkir balik moralitas. Sebab saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.

Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, sanggup membebaskan persoalan. Tetapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan berupa pengelabuhan undang-undang, sejenis menampakkan selera humor, padahal tidak sedang dalam keadaan senang.

Tidakkah ketika bungkus bermain, sugesti berperan aktif, padahal kenyataannya demi merayu para pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan, sebab para pesaksi itu, dari lahir otaknya tidak pernah digerakkan untuk bekerja. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan seenak udelnya; “Apakah kalian bangga, menjajah masyarakat belia?”

Tetap saja kalian mengekspoitasi anak, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan yang berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude; “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.” Saya jadi teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksaan menancapkan tanda, tanda itu diusung ke mana saja, hingga semua orang dilewati mempercayainya.

Di kedalaman hati saudara, saya ingin bertanya; “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan? dalam kenyataan fikiran?“ Di sini saya tak ingin jawaban secara langsung yang bertubi-tubi atau pun mengendap. Saya ingin pertanyaan itu kau simpan, demi menemukan kepastian. Perubahan yang teralami, akan menuntun pada yang jawaban sebenarnya.

Akan sampai pada puncak keseriusanmu, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi mencari kepastian diri. Inilah watak seorang genius, para pemitos yang tak sengaja menciptakan, tapi atas pantulan pesona dirinya. Kenyataannya paling esensial ialah perubahan, mengedepankan perasaan naluri menjelajahi fikirannya secara sehat, lagi jernih tanpa polusi.

Saat-saat kau menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari tangan mulai kelelahan menulis persoalan, saat itulah memahami batas nalar serta pekabutan mitologi. Rasa kelelahan, bosan, suntuk dan segala macam itu, struktur dari rumah atas bangunan rasio. Dan saya menghindari persoalan itu dengan berbagai pola, cara kerja berfariasi untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejalah tubuh psikis menggerogoti hati, meski sehalus perembesan air.

Ada memang saatnya istirahat atas lelah, namun tidak harus demikian di dalam menyikapi lingkungan kejiwaan. Sering kali orang takut akan hal kematian, di kala itulah sebenarnya takut akan hidup, atau hakekat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan itu serupa malaikat yang mengundat-undat pencabutan nyawa. Tatkala itu, kau tengah di puncak kenyataan, antara hayal dan logika merupakan melodi terkuat dalam menempuh tangga kesejatian. Kepastian terhadapi, daerah yang tidak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan akan hidup dan penghidupan.

Atau kalian orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, yang masih bimbang meneruskan dan tergiur pulang, lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut, tidak mau membentur-lawan perasaan, yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan yang mencekit tenggorokan, tidak memiliki keyakinan akan datangnya setetes air hujan. Sebab itukah kalian menganggapnya tidak logis (?).

Meski seringkali orang-orang genius itu melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tetapi tidak memandangnya sebagai keajaiban mistis. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak sanggup melogikakan secara berani dan seksama. Apakah takut dibilang tidak konsisten atas gagasan semula, dari daya fikir kelewat matematis?

Saya sebagian orang-orang bodoh yang menerangkan kepadamu. Apakah itu kepintaranmu, dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab kau telah dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tetapi tak berada di dalam persoalannya. Kau sejenis orang menghitung hujan, namun tak mau kehujanan. Sedangkan aku bersama yang lain kehujanan, menghitung kalian yang kedinginan, berselimutkan ketakutan di rumah-rumah keangkuhan.

Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau adalah dungu, yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini, saya memasuki urusanmu atas balasanmu yang terlalu jauh, telah lama mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang-orang baik berangkat dari kedunguan, orang-orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah kalimat yang kuberikan kepadamu, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku, yang kau anggap tidak memiliki keyakinan atas ilmu pengetahuan.

Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada di dalam satu sisi. Kami berada di tengah-tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat, perasaan timur. Saya yang kau anggap tidak memiliki pendirian, padahal terus teguh di tengah-tengah kalian. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu di tengah-tengah, sedangkan kau sejatinya berada di timur?.” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat atas jarak kepintaranmu, begitu pun orang timur melihatku, menganggap saya kanginan atau kebarat-baratan.”

Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, tetapi hatiku di tengah-tengah kalian yang selalu berseteru. Saya harum kembangkan ini agar kalian berdamai, meski kata kalian tidak mungkin. Itulah yang kalian lakukan selama ini, membuang kemungkian di sekitarnya demi keuntungan diri atas menggencet pihak lain, sehingga hatimu tidak berada di tengah-tengah sebagai nilai-nilai kemanusiaan nan damai.

Untuk sampai di batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dan dayadinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu sampai menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, kalian bertambah pula kekuatan?

---
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati