Kontra Mitos dalam Minda Melayu
Purnimasari
http://www.riaupos.com/
Dalam beberapa cerita jenaka Melayu masa silam, orang banyak dikejutkan dengan mitos yang ditabrakkan. Tapi justru mitos kontra mitos inilah yang kemudian menjadi keunikannya. Namun medan magnet spiritual tetaplah ‘petir’ yang menjadi kekuatan sastra Melayu.
Peserta dialog dan pentas sastra Indonesia-Malaysia yang membahas peran kesenian, terutama sastra dalam membangun peradaban Melayu dari masa ke masa, yang ditaja Dewan Kesenian Riau banyak didominasi para seniman dan cikgu. Ini terbukti dengan hadirnya ratusan orang guru yang mengikuti dialog yang dibahas oleh UU Hamidy, Shamsudin Othman, SM Zakir dan Ahmad Razali di aula Dewan Kesenian Riau, Sabtu (21/2).
Bahasa, Tamadun Bangsa
Menurut Shamsudin Othman, penyair, pelukis muda Malaysia, runtuhnya tamadun suatu bangsa bukan karena peperangan maupun penjajahan tapi lebih oleh ketidakyakinan penganut tamadun atau peradaban itu pada jati diri maupun kesucian bahasanya. Dalam konteks Melayu serumpun, tentunya Bahasa Melayu adalah lambang sastra, seni dan pengucapan agung yang jadi ikon tamadun itu sendiri.
Apa yang berlaku di negara-negara dunia ketiga seperti Malaysia mi-salnya, lanjut Shamsudin, para pemimpinnya sedang berusaha mengubur bahasa mayoritas pribumi karena pesimis bisa bersaing dalam arus globalisasi. ‘’Karena itu, mengambil langkah jalan ke belakang ini akhirnya mengacu doktrin jahiliyah dan primitif. Zaman penjajahan sudah lama berlalu tapi seakan ada dikotomi baru yang dilihat sedang meresap dalam pemikiran penguasa. Resapan inilah yang akhirnya jika tidak diatasi akan membawa kehancuran tamadun suatu bangsa,” ujar Shamsudin dalam acara yang dipandu Samson Rambah Pasir, sastrawan Batam yang membacakan cerminnya berjudul Pejabat Gulai Terung.
Dikatakannya, tamadun bangsa ialah soal marwah dan kesucian. Karenanya, asas terpenting adalah bahasa bangsa itu sendiri. Dalam konteks ini, Bahasa Melayu adalah wahana mahapenting dalam menentukan kehebatan bangsa Melayu. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Rusia, Prancis dan Cina misalnya, senantiasa berusaha menyemaikukuhkan bahasa mereka hingga ke akar umbi supaya tiap lapisan masyarakat bangga dan cinta akan bahasa sendiri. Akhirnya, dari semangat yang luar biasa itu, kini mereka menguasai dunia.
‘’Sebuah tamadun pada hakikatnya terlalu muluk untuk diungkap dan didengar. Tapi bagaimana dengan agenda meneruskan kehidupan yang terpaksa bersaing dalam globalisasi dan kematangan fikir? Apa kita sudah siap jadi manusia cemerlang dengan karya-karya agung sehebat Hamzah Fansuri, Hamka dan lain-lainnya jika manusia yang lahir pada zaman itu hidup dalam anarkis dan bobrok?” ungkapnya.
Ia menilai hal itu juga berlaku pada sastra Malaysia saat ini. Tiga puluh tahun silam, A Samad Said menulis novel Salina (1967) dan Shahnon Ahmad menulis Ranjau Sepanjang Jalan (1970) yang memaparkan petani gigih yang tabah merempuh zaman-zaman hitam kolonial. ‘’Kenapa pada abad ke-21 ini, hal-hal kemiskinan, kelaparan, penindasan dan kezaliman masih subur dalam karya-karya sastrawan kita? Itu bermakna, usia negara yang beranjak tua tak dapat memisahkan sejarah yang berulang. Yang membedakan cuma angka dan manusianya,” tuturnya.
Dalam perkiraan yang tak berbelah bagi, lanjut Shamsudin, tamadun yang ingin dicapai itu ialah tamadun insaniah yang tinggi. ‘’Kita ingin melihat orang Melayu membelah cakrawala dengan keimanan yang teguh. Kita ingin melihat Melayu yang dapat menulis puisi-puisi indah seperti Iqbal maupun Amir Hamzah. Kita ingin melihat Melayu yang dapat membina dengan cinta keimanan bukan nafsu serakah dan rasa yang memabukkan. Juga, kita ingin melihat orang Melayu yang punya jihad seperti Syaidina Umar maupun Salehuddin al-Ayubi,” tuturnya.
Tiga Gelombang Besar Pengarang Riau
Sementara itu, menurut UU Hamidy, pengarang di Riau dapat dilihat dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama sejak pertengahan abad ke 19 sampai 1930-an, meliputi Raja Ali Haji, para pengarang Rusydiah Klab antara lain Raja Ali Kelana, Abu Muhammad Adnan, Raja Hitam Khalid dan Raja Aisyah Sulaiman berlanjut dengan Tuan Guru Abdurrahman Siddik sampai Soeman Hs.
Gelombang kedua sejak tahun 1950-an sampai tahun 1970-an meliputi para pengarang antara lain: Yong Dolah, Idrus Tintin, Tenas Effendy, Hasan Junus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Sudarno Mahyudin, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Wunulde Syafinal dan Rida K Liamsi. Sedangkan gelombang ketiga bisa dikesan sejak tahun 1980-an sampai tahun 2000-an sekarang, di antaranya Taufik Ikram Jamil, Dasri, Eddy Ahmad RM, Kazzaini Ks, Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Samson Rambah Pasir, Mosthamir Talib, Abdul Kadir Ibrahim, Abel Tasman, Tien Marni, Musa Ismail, Marhalim Zaini, M. Badri, Hary B Kori’un dan banyak lagi.
Dikatakan UU, ciri-ciri pengarang gelombang pertama adalah: pengarang memakai Bahasa Melayu dan tulisan Arab-Melayu, pengarang menulis berbagai jenis tulisan (tidak hanya sastra), pengarang yang baik dari kalangan ulama, karangan sastra meliputi hikayat, syair, pantun, gurindam dan cerpen dan didukung oleh Kutub Khanah Marhum Ahmadi (perpustakaan) Mathaba’atul Risuwiyah dan Al Ahmadiah Press (percetakan, penerbit) Majalah Al Imam dan Peringatan serta ruang muzakarah (perbincangan) Masjid Pulau Penyengat untuk kajian Islam.
Sedangkan ciri pengarang gelombang kedua: memakai Bahasa Indonesia dan tulisan Latin, pengarang relatif hanya mengarang bidang sastra, pengarang dari kalangan terpelajar (relatif tak ada kalangan ulama), karangan bidang sastra meliputi novel, cerpen dan puisi ditambah sedikit kritik sastra dan didukung oleh Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Riau, Penerbit Bumi Pustaka dan Harian Haluan terbitan Padang.
Pengarang gelombang ketiga memiliki ciri: memakai Bahasa Indonesia ditambah dengan dialek Melayu tempatan, pengarang relatif berkarya dalam bidang sastra saja ditambah sedikit ilmu sosial, pengarang dari kalangan terpe-lajar/mahasiswa dan relatif hampir tak ada ulama, karangan bidang sastra meliputi cerpen dan puisi cukup banyak sedangkan novel hanya sedikit dan mulai muncul ulasan (kritik) sastra dan didukung oleh Surat Kabar Riau Pos serta media lainnya di Riau, Majalah Sagang dan Yayasan Sagang yang memberi penghargaan tiap tahun, Dewan Kesenian Riau serta beberapa penerbitan seperti Unri Press dan UIR Press.
Medan Magnet Spiritual
UU menilai, membaca karangan para pengarang Melayu abad ke 19 yang cemerlang lagi piawai ini, kita dapat memperoleh berbagai keterangan, data, gagasan, serta ide maupun pemikiran untuk menulis. Tapi tidak hanya itu. Karangan mereka ternyata memberikan pesan-pesan kebenaran, sehingga makin jauh dibaca, kita akan makin ditarik oleh medan magnet spiritual.
‘’Syair Perahu Hamzah Fansuri yang salah satunya berbunyi, ‘’ibarat perahu, tamsil tubuhmu” terbukti tak pernah luntur oleh zaman. Bahkan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji masih relevan dipakai untuk mengkritik tabiat penguasa zaman sekarang, contohnya yang gemar berhutang. Padahal, di masa dahulu, tidak ada raja-raja Melayu yang membuat hutang,” ujar pria penulis tidak kurang dari dari 50 judul buku ini.
Kondisi ini, lanjut UU, berbeda dengan karya-karya sastra/tulisan-tulisan kebudayaan yang hanya sebagai mode, cuma memikat sesaat. Pengarang gelombang pertama adalah kejayaan pemakaian gurindam, syair, pantun, hikayat, sekaligus masa kejayaan penggunaan tulisan Arab Melayu. Ketika Bahasa Indonesia mulai masuk, perlahan-lahan terjadi penurunan kualitas karena ungkapan-ungkapan terbaik tetap ada dalam Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia mengakibatkan pengarang kehilangan nuansa-nuansa yang halus. Dan pada gelombang kedua sastra Melayu, tidak muncul lagi ulama yang menjadi penulis. Akibatnya, mulailah medan magnet spiritual meredup.
‘’Mengapa? Karena yang semula sastra mengambil nafas dari Islam yang menjadi kekuatan ruh dan diperkuat dengan ulama yang menjadi penulis sudah tak ada lagi. Jadinya, karya-karya yang lahir lebih bersifat mendunia, walaupun belum dapat dikatakan mengarah pada sekulerisme. Sementara di zaman dulu, Raja Ali Haji tidak hanya menulis Gurindam Dua Belas, tapi juga sejarah, hukum nikah, tata bahasa, kamus, dan lain sebagainya,” ungkap UU.
Pada gelombang ketiga, demikian UU, dipakailah dialek Melayu tempatan untuk memberi warna lokal Melayu. Tetapi tetap belum mampu mengembalikan kekuatan medan magnet spiritual itu. Penulisan novel juga semakin sedikit padahal ia termasuk sekelas hikayat. Karena itu, ketika ditampilkan karya pengarang abad ke 19 dan pengarang yang piawai yang mengandung medan magnet spiritual itu, medan pembaca yang punya sentuhan keruhanian justru tersentak. Karena rupanya sastra Melayu zaman silam bisa memberi pencerahan pada akal budi. Sementara, sastra Melayu yang hadir sekarang didominasi oleh suasana hiburan, paling-paling hanya ditambah sedikit protes sosial.
‘’Jika tradisi cendekiawan Melayu yang mengarang dengan muatan medan magnet spiritual ini terpelihara, insya Allah dunia Melayu akan mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang egois, hedonis, sekuler, materialistik, bahkan munafik. Berpijak pada budaya materialistik munafik hanya bagaikan berdiri di atas lumpur. Semakin banyak bergerak, semakin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan. Sementara budaya Melayu dengan medan magnet spiritual bagaikan meluncur di atas lumpur dengan papan tonkahan,” tutur UU.
Mitos Kontra Mitos
Menurut UU, dalam gambaran perkembangan karya sastra, cerita jenaka mempunyai perkembangan yang menarik. Setelah cerita jenaka Melayu yang lama seperti Pak Belalang dan Pak Pandir jauh surut, muncul kumpulan cerita jenaka Soeman Hs dalam tahun 1930-an, Kawan Bergelut. Tidak lama kemudian 1950-an sampai 1960-an muncul cerita jenaka Yong Dolah di Bengkalis dalam bentuk lisan, yang enak didengar di kedai kopi. Sementara itu pertunjukan randai di Rantau Kuantan (Kuantan Singingi) menyegarkan pertunjukannya dengan menampilkan joget (tarian) serta cerita yang mengandung unsur humor tentang kehidupan puak Melayu di perkampungannya. Selepas itu grup lawak budak Melayu Fakhri dan Udin dengan nama Smekot (semeter kotor) membuat cerita jenaka Melayu makin berkibar. Tidak lama kemudian cerita jenaka Melayu mendapat penyegaran dengan munculnya rangkaian cerita Wak Atan, sebagai trademark cerita jenaka Mosthamir Thalib.
‘’Salah satu hal yang paling menarik adalah dihadirkannya mitos kontra mitos dalam banyak cerita jenaka. Tapi bagai-manapun juga, dalam kontra mitos tetap ada ”kilat-kilat” medan magnet spiritual. Meski ”petir”-nya tetap ada dalam medan manget spiritual yang ditarah sangat bagus oleh para pengarang abad ke-19 dan pengarang Melayu yang piawai. Jadi pencerahan akal budi masih ada terpantik dalam cerita jenaka,” urainya.
UU mencontohkan, dalam cerita Pak Belalang misalnya, kita dapat menemukan tokoh Pak Belalang yang hanya orang biasa, lemah tak berdaya. Dalam kontra mitos ia dihadapkan dengan Raja sebagai pihak yang kuat yang bisa berhadapan dengan apapun. Maka ketika Raja meminta Pak Belalang menerka apa isi dalam genggaman tangannya, itu sebenarnya tak lain hanyalah sekadar tipu muslihat. Sebab sebenarnya, apapun juga jawaban Pak Belalang, ia tetap akan dibunuh.
Dalam cerita Selimut Bertuah karya Soeman Hs dalam bukunya Kawan Bergelut, mitos kontra mitos ini pun dapat ditemui. Untuk memikat hati istrinya yang seorang janda, sang suami pun membelikan selimut untuk anak tirinya (mitos). Si istri pun merasa sangat bahagia karena ia merasa sang suami telah sayang benar pada anak tirinya tersebut. Dalam kontra mitosnya, Soeman Hs mengarang bahwa ternyata selimut yang dibelikan itu sudah cacat karena ada lubang bekas api rokok. Mitos kontra mitos ini pun dengan rancaknya dibalikkan kembali. Dengan selimut yang berlubang itulah suatu hari kemudian, si anak memergoki ayah tirinya mengambil makanan di siang hari sewaktu bulan puasa.
Dalam cerita jenaka Yong Dolah, mitos kontra mitos pun ditemui. Dalam salah satu ceritanya, Yong pergi berlayar ke Vancouver. Ketika tengah melaut, ia melihat sebuah kotak. Setelah diperintah nakhoda untuk mengambilnya, kotak itu ternyata berisi banyak sepatu, tapi hanya untuk kaki kiri semuanya. Karena dianggap tak berguna (mitos), nakhoda pun menyuruh Yong untuk membuang saja kotak itu. Ternyata keesokan harinya, Yong menemukan kembali sebuah kotak di laut. Dan setelah dibuka, isinya ternyata juga puluhan sepatu, tapi hanya untuk kaki kanan semuanya (kontra mitos).
‘’Namun, pencerahan akal budi dan nikmat keruhanian itu baru dapat ditangguk jika pembaca/pendengarnya mampu merenungkan kembali makna yang terkandung di balik cerita jenaka itu. Jika tidak, maka cerita jenaka tak lebih dari sekadar hiburan semata,” kata UU.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar