Sabtu, 28 Februari 2009

Dari Diskusi dan Pentas Sastra Indonesia-Malaysia Shafirasalja DKR

Kontra Mitos dalam Minda Melayu

Purnimasari
http://www.riaupos.com/

Dalam beberapa cerita jenaka Melayu masa silam, orang banyak dikejutkan dengan mitos yang ditabrakkan. Tapi justru mitos kontra mitos inilah yang kemudian menjadi keunikannya. Namun medan magnet spiritual tetaplah ‘petir’ yang menjadi kekuatan sastra Melayu.

Peserta dialog dan pentas sastra Indonesia-Malaysia yang membahas peran kesenian, terutama sastra dalam membangun peradaban Melayu dari masa ke masa, yang ditaja Dewan Kesenian Riau banyak didominasi para seniman dan cikgu. Ini terbukti dengan hadirnya ratusan orang guru yang mengikuti dialog yang dibahas oleh UU Hamidy, Shamsudin Othman, SM Zakir dan Ahmad Razali di aula Dewan Kesenian Riau, Sabtu (21/2).

Bahasa, Tamadun Bangsa

Menurut Shamsudin Othman, penyair, pelukis muda Malaysia, runtuhnya tamadun suatu bangsa bukan karena peperangan maupun penjajahan tapi lebih oleh ketidakyakinan penganut tamadun atau peradaban itu pada jati diri maupun kesucian bahasanya. Dalam konteks Melayu serumpun, tentunya Bahasa Melayu adalah lambang sastra, seni dan pengucapan agung yang jadi ikon tamadun itu sendiri.

Apa yang berlaku di negara-negara dunia ketiga seperti Malaysia mi-salnya, lanjut Shamsudin, para pemimpinnya sedang berusaha mengubur bahasa mayoritas pribumi karena pesimis bisa bersaing dalam arus globalisasi. ‘’Karena itu, mengambil langkah jalan ke belakang ini akhirnya mengacu doktrin jahiliyah dan primitif. Zaman penjajahan sudah lama berlalu tapi seakan ada dikotomi baru yang dilihat sedang meresap dalam pemikiran penguasa. Resapan inilah yang akhirnya jika tidak diatasi akan membawa kehancuran tamadun suatu bangsa,” ujar Shamsudin dalam acara yang dipandu Samson Rambah Pasir, sastrawan Batam yang membacakan cerminnya berjudul Pejabat Gulai Terung.

Dikatakannya, tamadun bangsa ialah soal marwah dan kesucian. Karenanya, asas terpenting adalah bahasa bangsa itu sendiri. Dalam konteks ini, Bahasa Melayu adalah wahana mahapenting dalam menentukan kehebatan bangsa Melayu. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Rusia, Prancis dan Cina misalnya, senantiasa berusaha menyemaikukuhkan bahasa mereka hingga ke akar umbi supaya tiap lapisan masyarakat bangga dan cinta akan bahasa sendiri. Akhirnya, dari semangat yang luar biasa itu, kini mereka menguasai dunia.

‘’Sebuah tamadun pada hakikatnya terlalu muluk untuk diungkap dan didengar. Tapi bagaimana dengan agenda meneruskan kehidupan yang terpaksa bersaing dalam globalisasi dan kematangan fikir? Apa kita sudah siap jadi manusia cemerlang dengan karya-karya agung sehebat Hamzah Fansuri, Hamka dan lain-lainnya jika manusia yang lahir pada zaman itu hidup dalam anarkis dan bobrok?” ungkapnya.

Ia menilai hal itu juga berlaku pada sastra Malaysia saat ini. Tiga puluh tahun silam, A Samad Said menulis novel Salina (1967) dan Shahnon Ahmad menulis Ranjau Sepanjang Jalan (1970) yang memaparkan petani gigih yang tabah merempuh zaman-zaman hitam kolonial. ‘’Kenapa pada abad ke-21 ini, hal-hal kemiskinan, kelaparan, penindasan dan kezaliman masih subur dalam karya-karya sastrawan kita? Itu bermakna, usia negara yang beranjak tua tak dapat memisahkan sejarah yang berulang. Yang membedakan cuma angka dan manusianya,” tuturnya.

Dalam perkiraan yang tak berbelah bagi, lanjut Shamsudin, tamadun yang ingin dicapai itu ialah tamadun insaniah yang tinggi. ‘’Kita ingin melihat orang Melayu membelah cakrawala dengan keimanan yang teguh. Kita ingin melihat Melayu yang dapat menulis puisi-puisi indah seperti Iqbal maupun Amir Hamzah. Kita ingin melihat Melayu yang dapat membina dengan cinta keimanan bukan nafsu serakah dan rasa yang memabukkan. Juga, kita ingin melihat orang Melayu yang punya jihad seperti Syaidina Umar maupun Salehuddin al-Ayubi,” tuturnya.

Tiga Gelombang Besar Pengarang Riau

Sementara itu, menurut UU Hamidy, pengarang di Riau dapat dilihat dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama sejak pertengahan abad ke 19 sampai 1930-an, meliputi Raja Ali Haji, para pengarang Rusydiah Klab antara lain Raja Ali Kelana, Abu Muhammad Adnan, Raja Hitam Khalid dan Raja Aisyah Sulaiman berlanjut dengan Tuan Guru Abdurrahman Siddik sampai Soeman Hs.

Gelombang kedua sejak tahun 1950-an sampai tahun 1970-an meliputi para pengarang antara lain: Yong Dolah, Idrus Tintin, Tenas Effendy, Hasan Junus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Sudarno Mahyudin, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Wunulde Syafinal dan Rida K Liamsi. Sedangkan gelombang ketiga bisa dikesan sejak tahun 1980-an sampai tahun 2000-an sekarang, di antaranya Taufik Ikram Jamil, Dasri, Eddy Ahmad RM, Kazzaini Ks, Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Samson Rambah Pasir, Mosthamir Talib, Abdul Kadir Ibrahim, Abel Tasman, Tien Marni, Musa Ismail, Marhalim Zaini, M. Badri, Hary B Kori’un dan banyak lagi.

Dikatakan UU, ciri-ciri pengarang gelombang pertama adalah: pengarang memakai Bahasa Melayu dan tulisan Arab-Melayu, pengarang menulis berbagai jenis tulisan (tidak hanya sastra), pengarang yang baik dari kalangan ulama, karangan sastra meliputi hikayat, syair, pantun, gurindam dan cerpen dan didukung oleh Kutub Khanah Marhum Ahmadi (perpustakaan) Mathaba’atul Risuwiyah dan Al Ahmadiah Press (percetakan, penerbit) Majalah Al Imam dan Peringatan serta ruang muzakarah (perbincangan) Masjid Pulau Penyengat untuk kajian Islam.

Sedangkan ciri pengarang gelombang kedua: memakai Bahasa Indonesia dan tulisan Latin, pengarang relatif hanya mengarang bidang sastra, pengarang dari kalangan terpelajar (relatif tak ada kalangan ulama), karangan bidang sastra meliputi novel, cerpen dan puisi ditambah sedikit kritik sastra dan didukung oleh Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Riau, Penerbit Bumi Pustaka dan Harian Haluan terbitan Padang.

Pengarang gelombang ketiga memiliki ciri: memakai Bahasa Indonesia ditambah dengan dialek Melayu tempatan, pengarang relatif berkarya dalam bidang sastra saja ditambah sedikit ilmu sosial, pengarang dari kalangan terpe-lajar/mahasiswa dan relatif hampir tak ada ulama, karangan bidang sastra meliputi cerpen dan puisi cukup banyak sedangkan novel hanya sedikit dan mulai muncul ulasan (kritik) sastra dan didukung oleh Surat Kabar Riau Pos serta media lainnya di Riau, Majalah Sagang dan Yayasan Sagang yang memberi penghargaan tiap tahun, Dewan Kesenian Riau serta beberapa penerbitan seperti Unri Press dan UIR Press.

Medan Magnet Spiritual

UU menilai, membaca karangan para pengarang Melayu abad ke 19 yang cemerlang lagi piawai ini, kita dapat memperoleh berbagai keterangan, data, gagasan, serta ide maupun pemikiran untuk menulis. Tapi tidak hanya itu. Karangan mereka ternyata memberikan pesan-pesan kebenaran, sehingga makin jauh dibaca, kita akan makin ditarik oleh medan magnet spiritual.

‘’Syair Perahu Hamzah Fansuri yang salah satunya berbunyi, ‘’ibarat perahu, tamsil tubuhmu” terbukti tak pernah luntur oleh zaman. Bahkan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji masih relevan dipakai untuk mengkritik tabiat penguasa zaman sekarang, contohnya yang gemar berhutang. Padahal, di masa dahulu, tidak ada raja-raja Melayu yang membuat hutang,” ujar pria penulis tidak kurang dari dari 50 judul buku ini.

Kondisi ini, lanjut UU, berbeda dengan karya-karya sastra/tulisan-tulisan kebudayaan yang hanya sebagai mode, cuma memikat sesaat. Pengarang gelombang pertama adalah kejayaan pemakaian gurindam, syair, pantun, hikayat, sekaligus masa kejayaan penggunaan tulisan Arab Melayu. Ketika Bahasa Indonesia mulai masuk, perlahan-lahan terjadi penurunan kualitas karena ungkapan-ungkapan terbaik tetap ada dalam Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia mengakibatkan pengarang kehilangan nuansa-nuansa yang halus. Dan pada gelombang kedua sastra Melayu, tidak muncul lagi ulama yang menjadi penulis. Akibatnya, mulailah medan magnet spiritual meredup.

‘’Mengapa? Karena yang semula sastra mengambil nafas dari Islam yang menjadi kekuatan ruh dan diperkuat dengan ulama yang menjadi penulis sudah tak ada lagi. Jadinya, karya-karya yang lahir lebih bersifat mendunia, walaupun belum dapat dikatakan mengarah pada sekulerisme. Sementara di zaman dulu, Raja Ali Haji tidak hanya menulis Gurindam Dua Belas, tapi juga sejarah, hukum nikah, tata bahasa, kamus, dan lain sebagainya,” ungkap UU.

Pada gelombang ketiga, demikian UU, dipakailah dialek Melayu tempatan untuk memberi warna lokal Melayu. Tetapi tetap belum mampu mengembalikan kekuatan medan magnet spiritual itu. Penulisan novel juga semakin sedikit padahal ia termasuk sekelas hikayat. Karena itu, ketika ditampilkan karya pengarang abad ke 19 dan pengarang yang piawai yang mengandung medan magnet spiritual itu, medan pembaca yang punya sentuhan keruhanian justru tersentak. Karena rupanya sastra Melayu zaman silam bisa memberi pencerahan pada akal budi. Sementara, sastra Melayu yang hadir sekarang didominasi oleh suasana hiburan, paling-paling hanya ditambah sedikit protes sosial.

‘’Jika tradisi cendekiawan Melayu yang mengarang dengan muatan medan magnet spiritual ini terpelihara, insya Allah dunia Melayu akan mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang egois, hedonis, sekuler, materialistik, bahkan munafik. Berpijak pada budaya materialistik munafik hanya bagaikan berdiri di atas lumpur. Semakin banyak bergerak, semakin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan. Sementara budaya Melayu dengan medan magnet spiritual bagaikan meluncur di atas lumpur dengan papan tonkahan,” tutur UU.

Mitos Kontra Mitos

Menurut UU, dalam gambaran perkembangan karya sastra, cerita jenaka mempunyai perkembangan yang menarik. Setelah cerita jenaka Melayu yang lama seperti Pak Belalang dan Pak Pandir jauh surut, muncul kumpulan cerita jenaka Soeman Hs dalam tahun 1930-an, Kawan Bergelut. Tidak lama kemudian 1950-an sampai 1960-an muncul cerita jenaka Yong Dolah di Bengkalis dalam bentuk lisan, yang enak didengar di kedai kopi. Sementara itu pertunjukan randai di Rantau Kuantan (Kuantan Singingi) menyegarkan pertunjukannya dengan menampilkan joget (tarian) serta cerita yang mengandung unsur humor tentang kehidupan puak Melayu di perkampungannya. Selepas itu grup lawak budak Melayu Fakhri dan Udin dengan nama Smekot (semeter kotor) membuat cerita jenaka Melayu makin berkibar. Tidak lama kemudian cerita jenaka Melayu mendapat penyegaran dengan munculnya rangkaian cerita Wak Atan, sebagai trademark cerita jenaka Mosthamir Thalib.

‘’Salah satu hal yang paling menarik adalah dihadirkannya mitos kontra mitos dalam banyak cerita jenaka. Tapi bagai-manapun juga, dalam kontra mitos tetap ada ”kilat-kilat” medan magnet spiritual. Meski ”petir”-nya tetap ada dalam medan manget spiritual yang ditarah sangat bagus oleh para pengarang abad ke-19 dan pengarang Melayu yang piawai. Jadi pencerahan akal budi masih ada terpantik dalam cerita jenaka,” urainya.

UU mencontohkan, dalam cerita Pak Belalang misalnya, kita dapat menemukan tokoh Pak Belalang yang hanya orang biasa, lemah tak berdaya. Dalam kontra mitos ia dihadapkan dengan Raja sebagai pihak yang kuat yang bisa berhadapan dengan apapun. Maka ketika Raja meminta Pak Belalang menerka apa isi dalam genggaman tangannya, itu sebenarnya tak lain hanyalah sekadar tipu muslihat. Sebab sebenarnya, apapun juga jawaban Pak Belalang, ia tetap akan dibunuh.

Dalam cerita Selimut Bertuah karya Soeman Hs dalam bukunya Kawan Bergelut, mitos kontra mitos ini pun dapat ditemui. Untuk memikat hati istrinya yang seorang janda, sang suami pun membelikan selimut untuk anak tirinya (mitos). Si istri pun merasa sangat bahagia karena ia merasa sang suami telah sayang benar pada anak tirinya tersebut. Dalam kontra mitosnya, Soeman Hs mengarang bahwa ternyata selimut yang dibelikan itu sudah cacat karena ada lubang bekas api rokok. Mitos kontra mitos ini pun dengan rancaknya dibalikkan kembali. Dengan selimut yang berlubang itulah suatu hari kemudian, si anak memergoki ayah tirinya mengambil makanan di siang hari sewaktu bulan puasa.

Dalam cerita jenaka Yong Dolah, mitos kontra mitos pun ditemui. Dalam salah satu ceritanya, Yong pergi berlayar ke Vancouver. Ketika tengah melaut, ia melihat sebuah kotak. Setelah diperintah nakhoda untuk mengambilnya, kotak itu ternyata berisi banyak sepatu, tapi hanya untuk kaki kiri semuanya. Karena dianggap tak berguna (mitos), nakhoda pun menyuruh Yong untuk membuang saja kotak itu. Ternyata keesokan harinya, Yong menemukan kembali sebuah kotak di laut. Dan setelah dibuka, isinya ternyata juga puluhan sepatu, tapi hanya untuk kaki kanan semuanya (kontra mitos).

‘’Namun, pencerahan akal budi dan nikmat keruhanian itu baru dapat ditangguk jika pembaca/pendengarnya mampu merenungkan kembali makna yang terkandung di balik cerita jenaka itu. Jika tidak, maka cerita jenaka tak lebih dari sekadar hiburan semata,” kata UU.***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati