Jumat, 13 Februari 2009

Subversivitas Sastra Indonesia Modern

Misbahus Surur*
http://www.jawapos.com/

Betapa kelam yang mengendap dalam labirin peristiwa, kerap melahirkan momentum yang senantiasa ingin dikenang oleh generasi masa kini. Kendati, untuk sungguh-sungguh mencecap pesan sebuah zaman atas sajian ciptaannya, tidaklah mudah. Paling tidak, kita harus rela menghanyutkan diri pada dalamnya senarai ragam peristiwa yang diguratkan oleh sebuah takdir.Tentu juga atas segala hal yang menggumpal dalam pernik tragedi. Membaca dan menapaktilasi sejarah sastra Indonesia di awal pertumbuhannya (dengan embel-embel modern) adalah membaui haru-biru aroma itu. Mereka (para seniman-sastrawan tempo dulu), bagi kita setidaknya, bukan menggores percik hampa atau sebatas merajut frase luka. Tapi juga menelorkan sebuah formula.

Dus, saatnya kita mengurai fragmen-fragmen yang terendap dalam periskop sejarah, meskipun melalui kolofon momen historis. Tentu bukan saja berniat menyaring debu timpangnya, melainkan juga untuk mengelaborasi zaman; menyembulkan seribu kejernihan yang menyembunyi. Bertolak dari keadaan itu, menurut Gandhi misalnya, berkaca pada pengalaman India yang koloni Inggris, pada awalnya melalui teks kaum kolonialis mengontrol bangsa, lalu menghegemoni negara. Namun melalui teks pula masyarakat negeri ini berekspresi dan menemukan ruang reaksi yang paling tajam. Mereka menelanjangi selubung kepentingan kapitalisme beserta ideologinya dengan senjata teks, meskipun persenjataan fisik (alutsista) juga punya peran penting.

Dalam perjalanannya yang cukup panjang, sastra Indonesia telah menampilkan ihwalnya masing-masing. Beragam misi diemban kumpulan manusia penatah kata itu. Ada yang murni menghamba kebenaran, namun tak sedikit pula (?) yang hanya mengabdi ketentraman pseudo. Dalam sejarahnya, kita lalu mengenal tradisi sastra Balai Pustaka (BP), yang bahkan tradisi ini dijadikan pijakan lahirnya sastra Indonesia modern. Meskipun di masa yang bersamaan, hidup pula beratus tradisi yang entah itu dengan sebutan apa. Mungkin karena seringnya absen diperbincangkan dalam konstelasi sejarah sastra, yang membuatnya lenyap --dan masalah sebutan, kala itu memang tak terlalu dipentingsoalkan. Tradisi ini banyak digeluti para seniman-sastrawan, terutama penulis partikelir di Nusantara. Mereka inilah yang pada zaman kolonial sering kena cemooh rezim penguasa dengan buah karya ''bacaan liar'' dan stigma sastra genre ''roman picisan''. Para sastrawan dan peneliti sekarang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai tradisi sastra non-Balai Pustaka (non-BP).

Bila kita mengenal akrab novel-novel yang kala itu menjadi ikon penerbit BP, semisal Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya HAMKA, Tak Putus Dirundung Malang (1929) dan Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Nur Sutan Iskandar dan masih banyak lagi, seharusnya kita juga perlu mengakrabi berbagai wajah novel sezamannya. Karena sebelum tradisi BP digulirkan, tradisi di luar itu juga berkembang.

Sejarah telah mencatat --kendati pasang surut-- munculnya ratusan penulis dan penerbit partikelir (mungkin juga ribuan) dari kalangan pribumi. Karya-karya mereka masih menggunakan bahasa Melayu rendahan/pasaran. Dan inilah satu pembeda yang mencolok dari verbalisasi sastra ala BP (novel-novel tradisi BP menggunakan bahasa Melayu tinggi/standar). Tulisan mereka hadir seakan menelusup dan mengurai sendiri apa yang disembunyikan rezim yang menunggang sejarah (borok kolonialis). Tak ayal, kala itu, tiap papan yang tergores oleh karya mereka, kerap menebarkan ritme resistensi. Mungkin nama negatif yang lekat selama ini, karena watak subversifnya. Pengarangnya kebanyakan orang-orang kiri, karena gerak yang dengan terang-terangan mengikhtiarkan perlawanan atas hegemoni pusat (kuasa kolonial). Hingga pemerintah Belanda mengecapnya sebagai ''bacaan liar''. Riwayat pengarangnya seperti H. Moekti dengan Hikajat Siti Mariah (1910); Tirto Adhi Soerjo dengan Boesono (1910) dan Nyai Permana (1912); Mas Marco Kartodikromo dengan Studen Hidjo (1918), Sjair Rempah-rempah (1919), Mata Gelap (1919) dan Rasa Merdika (1924); Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1920) dan ratusan riwayat pengarang yang lain.

Membiaknya bacaan liar ini disikapi pemerintah kolonial dengan phobia yang sedemikian rupa. Serasa kekuatan subversif inlander (dalam karya sastra) mampu mengguncang keangkuhan penghuni negeri rendah itu. Kolonialis masih menyimpan kepercayaan tinggi akan kedahsyatan ekses kata-kata yang (mungkin) tertuang, terselip atau sengaja dijepitkan penulis yang rata-rata kiri itu. Pendek kata, kekuatan artikulasi sekelompok inteligen (baca: intelektual) itu diyakini Belanda sebagai anasir perlawanan. Karena itulah, dengan semena-mena dan tindakan represif, kolonialis berusaha menyumbat suplai bacaan untuk rakyat; dengan membredel, menyegel puluhan mungkin juga ratusan penerbit swasta, bahkan memenjarakan si pengarang. Akan tetapi, sebagai inteligen, yang telah sengaja berniat menggariskan diri pada fungsinya: penyuara nurani rakyat, para pengarang itu tak pernah gentar melawan. Dan nasionalismelah, sejatinya umpan pembiakan ''roman picisan'' di era kolonial itu. Rasa nasionalisme bumi putra yang tinggi menjadi sebab (men)dasar meletupnya produksi sastra ini.

Meskipun dikecam sebagai bacaan liar, kata subversif tentu tak selamanya bernada melawan secara negatif. Bahkan kalau ditelisik ke masa lalu, gerakan subversif sastra justru bermuatan sebaliknya (wujud riil heroisme yang tinggi). Maka, tak aneh bila karya sastra yang dilahirkan pengarang-pengarang pribumi itu dulunya merupakan karya sastra yang paling diburu masyarakat. Baik penikmat sastra murni maupun bukan.

Tradisi BP yang nota bene sebagai penerbit tunggal (baca: resmi) bagi pemerintah jajahan, tidak banyak diminati. Karena tradisi sastra BP diopinikan sebagai anak kandung kolonialis. Dengan begitu, tentu dianggap berafiliasi ke pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun di lain tempat, tradisi sastra di luar itu --sastra oposan, roman picisan (non-BP)-- dianggap pemerintah sebagai anak jadah yang kelahirannya sangat tidak diharapkan. Dan, termasuk dalam tradisi ini adalah karya sastra yang produsennya orang-orang peranakan Eropa/indo (keturunan dari hasil perkawinan pribumi dan Eropa), dan peranakan Tionghoa.

Tradisi sastra peranakan Eropa yang pengarangnya menaruh hati pada penderitaan inlander itu semisal Max Havelaar oleh Multatuli --nama samaran Eduard Douwess Dekker, yang jamak kita ketahui punya kecenderungan menentang praktik kolonialis dan superioritas warga Eropa di tanah Hindia. Iwan Simatupang pada satu kesempatan pernah menyebut mereka ini sebagai ''Paradoks dari Kolonialisme''. Karena sang kolonial sendirilah yang pada hakikatnya menanamkan benih-benih pembangkangan terhadap kolonialisme. Contoh lain adalah Rubber (1931) karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs. Novel ini cukup banyak peminatnya dari kalangan pribumi. Bahkan oleh pemerintah Hindia, pengarangnya dianggap pengkhianat, seperti halnya Max Havelaar yang reaksioner. Sampai-sampai M.H. Szekely-Lulofs dijuluki ''Multatuli Perempuan''. Kemudian, Drama Di Boven Digoel karya Hoay (peranakan Tionghoa), di mana Rieger (1989) menganggapnya sebagai karya monumental yang hanya dapat disejajarkan dengan roman-roman ''Pulau Buru''-nya Pramoedya Ananta Toer.

Lantas apakah benar seperti yang diyakini para pengamat sastra saat ini, terutama para pemerhati sastra poskolonial, bahwa pendirian sebuah kantor dan penerbitan kala itu yang bernama Kantoor Voor de Volkslectuur/Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang merupakan pergantian dari Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), hanya sebuah usaha tandingan mematikan kreativitas bumi putra dengan karya picisannya yang reaksioner? Juga hanya sebatas jalan melapangkan politik etis (balas budi) picik Belanda; dalam hal ini misi edukasi yang merupakan salah satu peranti bagi pembenahan tragedi kemanusiaan Cultuur Stelsel (tanam paksa).

Apalagi, juga tercium desas-desus, berdirinya BP pada mulanya sengaja diniatkan untuk menyumbat aliran bacaan liar yang kian deras, yang membuat gerah pemerintahan Belanda. Indikasi dari adanya dugaan tersebut, bisa dilihat dari karya-karya terbitan BP pra-kemerdekaan yang menokohkan bangsa penjajah sebagai protagonis; begitu pula mengelu-elukan tokoh-tokoh inlander yang mendukung bangsa penjajah. Aura ini bisa kita rasakan pada novel Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan semacamnya. Kendati karya-karya BP tidak jamak berwatak demikian. Dalam artian, tidak semua karya BP mendukung status quo penjajah. Sebaliknya, karya-karya yang diterbitkan para penerbit partikelir (swasta) menampilkan sosok bumi putra sebagai tokoh-tokoh antagonis yang terstigma jahat, licik, penjilat, dan picik.

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam suatu pernyataanya --setelah sekian tahun bekerja di kantor yang nota bene milik pemerintah kolonial itu-- mengamini hal ini. Sebelum kemerdekaan, ketika BP masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, novel-novel yang diterbitkan BP jarang, bahkan tidak banyak, yang mengulas tentang politik. Kalau ada masalah politik, itu hanya diceritakan dalam dua novel saja, yaitu Cinta Tanah Air-nya Nur Sutan Iskandar (1944) dan Palawija-nya Karim Halim (1944).

Akan tetapi analisis kontemporer menyebutkan, novel-novel yang seakan memprotagoniskan penjajah itu ternyata juga berwatak subversif. Cuma sayang, kata-kata subversif yang tersirat dalam novel tak terbaca masyarakat, atau tak terendus. Berbeda dengan tradisi sastra non-BP yang kontras menghadapi tirani. Dengan pencipta yang rata-rata golongan kiri, dengan bahasa yang berapi-api (tersurat); menghasut untuk memberontak dan reaksioner. Novel-novel seperti ini bukan pula novel yang diklaim masuk jajaran anakronis (menyalahi zaman). Mungkin karena mewarisi karakter yang sebenarnya dari jati diri bangsa saat itu (rindu kebebasan dan lelah dieksploitasi). Sastra non-BP tak jarang juga lebih bisa menampilkan hal-hal yang menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tema-tema yang diangkat pun dapat mewakili realitas yang ada (mengambil peristiwa-peristiwa nyata yang populer), meskipun kurang mempertimbangkan dampak moral maupun politisnya. Toh, kendati tetap disebut bacaan liar atau roman picisan (panglipur wuyung), nyatanya sastra non-BP dalam masyarakat pribumi kala itu, tetap lebih dominan dibanding sastra tradisi BP. Pertanyaannya, jika permulaan sastra Indonesia modern misalnya, dipatok dari tradisi BP atau angkatan Pujangga Baru, cukup mewakilikah karya-karya mereka terhadap penderitaan rakyat di masa penjajahan itu?

Walhasil, dengan menengok dan menimbang kembali sejarah sastra Indonesia, adalah sebuah usaha mendefinisikan ulang secara riil kesusastraan dan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Kapan sastra Indonesia modern ada dan mengada, semua berawal dari membaca dan menyingkap sisi lain dari sastra Indonesia itu sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah perjuangan untuk menempatkan kembali bahasa nasional sebagai wahana menyatukan ke-bhinekaan Nusantara. Dengan begitu, kita diharapkan mampu memperjuangkan kembali cita-cita negara Indonesia; tumbuhnya kesadaran historis dan tetap bersikap kritis terhadap kemungkinan adanya rekonstruksi historisitas yang bisa jadi hanya fiktif. (*)

*)Pembaca sastra, mahasiswa S-2 UIN Malang.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati