Misbahus Surur*
http://www.jawapos.com/
Betapa kelam yang mengendap dalam labirin peristiwa, kerap melahirkan momentum yang senantiasa ingin dikenang oleh generasi masa kini. Kendati, untuk sungguh-sungguh mencecap pesan sebuah zaman atas sajian ciptaannya, tidaklah mudah. Paling tidak, kita harus rela menghanyutkan diri pada dalamnya senarai ragam peristiwa yang diguratkan oleh sebuah takdir.Tentu juga atas segala hal yang menggumpal dalam pernik tragedi. Membaca dan menapaktilasi sejarah sastra Indonesia di awal pertumbuhannya (dengan embel-embel modern) adalah membaui haru-biru aroma itu. Mereka (para seniman-sastrawan tempo dulu), bagi kita setidaknya, bukan menggores percik hampa atau sebatas merajut frase luka. Tapi juga menelorkan sebuah formula.
Dus, saatnya kita mengurai fragmen-fragmen yang terendap dalam periskop sejarah, meskipun melalui kolofon momen historis. Tentu bukan saja berniat menyaring debu timpangnya, melainkan juga untuk mengelaborasi zaman; menyembulkan seribu kejernihan yang menyembunyi. Bertolak dari keadaan itu, menurut Gandhi misalnya, berkaca pada pengalaman India yang koloni Inggris, pada awalnya melalui teks kaum kolonialis mengontrol bangsa, lalu menghegemoni negara. Namun melalui teks pula masyarakat negeri ini berekspresi dan menemukan ruang reaksi yang paling tajam. Mereka menelanjangi selubung kepentingan kapitalisme beserta ideologinya dengan senjata teks, meskipun persenjataan fisik (alutsista) juga punya peran penting.
Dalam perjalanannya yang cukup panjang, sastra Indonesia telah menampilkan ihwalnya masing-masing. Beragam misi diemban kumpulan manusia penatah kata itu. Ada yang murni menghamba kebenaran, namun tak sedikit pula (?) yang hanya mengabdi ketentraman pseudo. Dalam sejarahnya, kita lalu mengenal tradisi sastra Balai Pustaka (BP), yang bahkan tradisi ini dijadikan pijakan lahirnya sastra Indonesia modern. Meskipun di masa yang bersamaan, hidup pula beratus tradisi yang entah itu dengan sebutan apa. Mungkin karena seringnya absen diperbincangkan dalam konstelasi sejarah sastra, yang membuatnya lenyap --dan masalah sebutan, kala itu memang tak terlalu dipentingsoalkan. Tradisi ini banyak digeluti para seniman-sastrawan, terutama penulis partikelir di Nusantara. Mereka inilah yang pada zaman kolonial sering kena cemooh rezim penguasa dengan buah karya ''bacaan liar'' dan stigma sastra genre ''roman picisan''. Para sastrawan dan peneliti sekarang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai tradisi sastra non-Balai Pustaka (non-BP).
Bila kita mengenal akrab novel-novel yang kala itu menjadi ikon penerbit BP, semisal Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya HAMKA, Tak Putus Dirundung Malang (1929) dan Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Nur Sutan Iskandar dan masih banyak lagi, seharusnya kita juga perlu mengakrabi berbagai wajah novel sezamannya. Karena sebelum tradisi BP digulirkan, tradisi di luar itu juga berkembang.
Sejarah telah mencatat --kendati pasang surut-- munculnya ratusan penulis dan penerbit partikelir (mungkin juga ribuan) dari kalangan pribumi. Karya-karya mereka masih menggunakan bahasa Melayu rendahan/pasaran. Dan inilah satu pembeda yang mencolok dari verbalisasi sastra ala BP (novel-novel tradisi BP menggunakan bahasa Melayu tinggi/standar). Tulisan mereka hadir seakan menelusup dan mengurai sendiri apa yang disembunyikan rezim yang menunggang sejarah (borok kolonialis). Tak ayal, kala itu, tiap papan yang tergores oleh karya mereka, kerap menebarkan ritme resistensi. Mungkin nama negatif yang lekat selama ini, karena watak subversifnya. Pengarangnya kebanyakan orang-orang kiri, karena gerak yang dengan terang-terangan mengikhtiarkan perlawanan atas hegemoni pusat (kuasa kolonial). Hingga pemerintah Belanda mengecapnya sebagai ''bacaan liar''. Riwayat pengarangnya seperti H. Moekti dengan Hikajat Siti Mariah (1910); Tirto Adhi Soerjo dengan Boesono (1910) dan Nyai Permana (1912); Mas Marco Kartodikromo dengan Studen Hidjo (1918), Sjair Rempah-rempah (1919), Mata Gelap (1919) dan Rasa Merdika (1924); Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1920) dan ratusan riwayat pengarang yang lain.
Membiaknya bacaan liar ini disikapi pemerintah kolonial dengan phobia yang sedemikian rupa. Serasa kekuatan subversif inlander (dalam karya sastra) mampu mengguncang keangkuhan penghuni negeri rendah itu. Kolonialis masih menyimpan kepercayaan tinggi akan kedahsyatan ekses kata-kata yang (mungkin) tertuang, terselip atau sengaja dijepitkan penulis yang rata-rata kiri itu. Pendek kata, kekuatan artikulasi sekelompok inteligen (baca: intelektual) itu diyakini Belanda sebagai anasir perlawanan. Karena itulah, dengan semena-mena dan tindakan represif, kolonialis berusaha menyumbat suplai bacaan untuk rakyat; dengan membredel, menyegel puluhan mungkin juga ratusan penerbit swasta, bahkan memenjarakan si pengarang. Akan tetapi, sebagai inteligen, yang telah sengaja berniat menggariskan diri pada fungsinya: penyuara nurani rakyat, para pengarang itu tak pernah gentar melawan. Dan nasionalismelah, sejatinya umpan pembiakan ''roman picisan'' di era kolonial itu. Rasa nasionalisme bumi putra yang tinggi menjadi sebab (men)dasar meletupnya produksi sastra ini.
Meskipun dikecam sebagai bacaan liar, kata subversif tentu tak selamanya bernada melawan secara negatif. Bahkan kalau ditelisik ke masa lalu, gerakan subversif sastra justru bermuatan sebaliknya (wujud riil heroisme yang tinggi). Maka, tak aneh bila karya sastra yang dilahirkan pengarang-pengarang pribumi itu dulunya merupakan karya sastra yang paling diburu masyarakat. Baik penikmat sastra murni maupun bukan.
Tradisi BP yang nota bene sebagai penerbit tunggal (baca: resmi) bagi pemerintah jajahan, tidak banyak diminati. Karena tradisi sastra BP diopinikan sebagai anak kandung kolonialis. Dengan begitu, tentu dianggap berafiliasi ke pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun di lain tempat, tradisi sastra di luar itu --sastra oposan, roman picisan (non-BP)-- dianggap pemerintah sebagai anak jadah yang kelahirannya sangat tidak diharapkan. Dan, termasuk dalam tradisi ini adalah karya sastra yang produsennya orang-orang peranakan Eropa/indo (keturunan dari hasil perkawinan pribumi dan Eropa), dan peranakan Tionghoa.
Tradisi sastra peranakan Eropa yang pengarangnya menaruh hati pada penderitaan inlander itu semisal Max Havelaar oleh Multatuli --nama samaran Eduard Douwess Dekker, yang jamak kita ketahui punya kecenderungan menentang praktik kolonialis dan superioritas warga Eropa di tanah Hindia. Iwan Simatupang pada satu kesempatan pernah menyebut mereka ini sebagai ''Paradoks dari Kolonialisme''. Karena sang kolonial sendirilah yang pada hakikatnya menanamkan benih-benih pembangkangan terhadap kolonialisme. Contoh lain adalah Rubber (1931) karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs. Novel ini cukup banyak peminatnya dari kalangan pribumi. Bahkan oleh pemerintah Hindia, pengarangnya dianggap pengkhianat, seperti halnya Max Havelaar yang reaksioner. Sampai-sampai M.H. Szekely-Lulofs dijuluki ''Multatuli Perempuan''. Kemudian, Drama Di Boven Digoel karya Hoay (peranakan Tionghoa), di mana Rieger (1989) menganggapnya sebagai karya monumental yang hanya dapat disejajarkan dengan roman-roman ''Pulau Buru''-nya Pramoedya Ananta Toer.
Lantas apakah benar seperti yang diyakini para pengamat sastra saat ini, terutama para pemerhati sastra poskolonial, bahwa pendirian sebuah kantor dan penerbitan kala itu yang bernama Kantoor Voor de Volkslectuur/Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang merupakan pergantian dari Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), hanya sebuah usaha tandingan mematikan kreativitas bumi putra dengan karya picisannya yang reaksioner? Juga hanya sebatas jalan melapangkan politik etis (balas budi) picik Belanda; dalam hal ini misi edukasi yang merupakan salah satu peranti bagi pembenahan tragedi kemanusiaan Cultuur Stelsel (tanam paksa).
Apalagi, juga tercium desas-desus, berdirinya BP pada mulanya sengaja diniatkan untuk menyumbat aliran bacaan liar yang kian deras, yang membuat gerah pemerintahan Belanda. Indikasi dari adanya dugaan tersebut, bisa dilihat dari karya-karya terbitan BP pra-kemerdekaan yang menokohkan bangsa penjajah sebagai protagonis; begitu pula mengelu-elukan tokoh-tokoh inlander yang mendukung bangsa penjajah. Aura ini bisa kita rasakan pada novel Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan semacamnya. Kendati karya-karya BP tidak jamak berwatak demikian. Dalam artian, tidak semua karya BP mendukung status quo penjajah. Sebaliknya, karya-karya yang diterbitkan para penerbit partikelir (swasta) menampilkan sosok bumi putra sebagai tokoh-tokoh antagonis yang terstigma jahat, licik, penjilat, dan picik.
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam suatu pernyataanya --setelah sekian tahun bekerja di kantor yang nota bene milik pemerintah kolonial itu-- mengamini hal ini. Sebelum kemerdekaan, ketika BP masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, novel-novel yang diterbitkan BP jarang, bahkan tidak banyak, yang mengulas tentang politik. Kalau ada masalah politik, itu hanya diceritakan dalam dua novel saja, yaitu Cinta Tanah Air-nya Nur Sutan Iskandar (1944) dan Palawija-nya Karim Halim (1944).
Akan tetapi analisis kontemporer menyebutkan, novel-novel yang seakan memprotagoniskan penjajah itu ternyata juga berwatak subversif. Cuma sayang, kata-kata subversif yang tersirat dalam novel tak terbaca masyarakat, atau tak terendus. Berbeda dengan tradisi sastra non-BP yang kontras menghadapi tirani. Dengan pencipta yang rata-rata golongan kiri, dengan bahasa yang berapi-api (tersurat); menghasut untuk memberontak dan reaksioner. Novel-novel seperti ini bukan pula novel yang diklaim masuk jajaran anakronis (menyalahi zaman). Mungkin karena mewarisi karakter yang sebenarnya dari jati diri bangsa saat itu (rindu kebebasan dan lelah dieksploitasi). Sastra non-BP tak jarang juga lebih bisa menampilkan hal-hal yang menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tema-tema yang diangkat pun dapat mewakili realitas yang ada (mengambil peristiwa-peristiwa nyata yang populer), meskipun kurang mempertimbangkan dampak moral maupun politisnya. Toh, kendati tetap disebut bacaan liar atau roman picisan (panglipur wuyung), nyatanya sastra non-BP dalam masyarakat pribumi kala itu, tetap lebih dominan dibanding sastra tradisi BP. Pertanyaannya, jika permulaan sastra Indonesia modern misalnya, dipatok dari tradisi BP atau angkatan Pujangga Baru, cukup mewakilikah karya-karya mereka terhadap penderitaan rakyat di masa penjajahan itu?
Walhasil, dengan menengok dan menimbang kembali sejarah sastra Indonesia, adalah sebuah usaha mendefinisikan ulang secara riil kesusastraan dan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Kapan sastra Indonesia modern ada dan mengada, semua berawal dari membaca dan menyingkap sisi lain dari sastra Indonesia itu sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah perjuangan untuk menempatkan kembali bahasa nasional sebagai wahana menyatukan ke-bhinekaan Nusantara. Dengan begitu, kita diharapkan mampu memperjuangkan kembali cita-cita negara Indonesia; tumbuhnya kesadaran historis dan tetap bersikap kritis terhadap kemungkinan adanya rekonstruksi historisitas yang bisa jadi hanya fiktif. (*)
*)Pembaca sastra, mahasiswa S-2 UIN Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar