Jumat, 20 Maret 2009

Apresiasi Semarak, Kritik Sastra Senyap

Darma Putra
http://www.balipost.com/

KEHIDUPAN sastra nasional dan daerah di Bali terus berlanjut sejak dulu. Banyak karya diciptakan, dibaca, dipentaskan dalam bentuk seni pertunjukan seperti sendratari dan wayang, atau ditransformasi dalam bentuk seni rupa atau seni ukir di tembok-tembok. Ada juga novel disajikan lewat film atau sinetron.

Apresiasi sastra berlangsung di masyarakat ketika ada kegiatan ritual, atau di radio dan televisi lewat kidung interaktif, dagang gantal, atau gita shanti. Fakta-fakta ini mengindikasikan kreativitas dan apresiasi seni sastra di Bali berjalan semarak, tetapi ada satu hal yang kurang yaitu absennya kegiatan kritik sastra. Isi dan pesan karya banyak disimak tetapi tidak pernah dikritik sebagai karya sastra. Tulisan kritik sastra jarang dibuat.

Yang dimaksud dengan apresiasi adalah pembacaan atau penikmatan sastra. Pembicaraan isi secara verbal juga termasuk di dalam apresiasi. Sedangkan kritik sastra meliputi kajian atau ulasan secara menyeluruh atas sebuah/sejumlah karya. Tulisan tentang sejarah sastra dan kajian atas fenomena sastra juga termasuk di dalamnya.

Sangat Dinamis

Sesudah kemerdekaan, perkembangan sastra Indonesia sangat dinamis seperti bisa diikuti lewat puisi dan cerpen yang dimuat di majalah Bhakti dan Damai serta Mingguan Harapan. Penulis Windhya Wirawan, Putu Shanti, dan Made Kirtya, dan Tjok Rai Sudharta banyak berkarya tahun 1950-an. Tahun 1960-an, geliat itu kian ramai akibat serunya perseteruan antara seniman yang pro-partai politik PNI dan PKI, atau antara LKN dan Lekra, sayap kanan dan sayap kiri. Koran Suara Indonesia, Suluh Indonesia, atau Suluh Marhaen (nama lama Bali Post) banyak memuat puisi dan cerpen.

Zaman Orde Baru kehidupan sastra berjalan terus, ditandai dengan publikasi karya di surat kabar dan majalah, apresiasi sastra, lomba baca puisi, pentas drama, dan sebagainya. Ada juga teks yang diangkat menjadi sinetron seperti “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” karya Nyoman Rastha Sindhu. Cerpen ini keluar sebagai cerpen terbaik Horison tahun 1969, menorehkan sebuah prestasi nasional penulis Bali.

Media massa memainkan peran sangat besar karena membuka diri untuk mempublikasikan puisi, cerpen, novel atau naskah drama. Sastrawan Bali seperti Oka Rusmini dan Aryantha Soethama berjaya di tingkat nasional. Antologi cerpen Aryantha Soethama berjudul “Mandi Api” berhasil menyabet gelar prestisius Khatulistiwa Literary Award tahun 2006. Sementara itu, sejumlah penyair Bali diundang ke forum baca puisi internasional sampai ke Den Haag, Jerman, atau Paris seperti Warih Wisatsana, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie.

Namun, di tengah dinamika kehidupan sastra Indonesia di Bali, yang sangat terasa kurang adalah kegiatan kritik sastra. Apresiasi berjalan baik tetapi kritik sastra hanya satu-dua bahkan nyaris kosong melompong. Kecuali sedikit ulasan berupa resensi buku di koran, kritik sejati sungguh sepi.

Kalau mencari siapakah kritikus sastra Indonesia di Bali, kita mungkin hanya menemukan satu-dua nama seperti almarhum I Made Sukada (dosen Fakultas Sastra Unud) dan I Nyoman Tusthi Eddy (seorang guru SMA di Karangasem). Mereka menulis ulasan sastra di koran, menulis makalah dan menerbitkan buku, itu pun tidak banyak, tidak berpengaruh.

Tanpa kritik sastra memang bisa maju, tetapi dengan kritik kontribusi sastra untuk kehidupan kebudayaan dan pengetahuan humaniora bisa kian lengkap. Sastra tanpa kritik seperti api unggun tanpa angin, tak membara dan tak memberi hangat optimal.

Sastra Bali

Kehidupan sastra Bali tradisional dan sastra Bali modern juga menghadapi kenyataan langkanya kritik sastra. Ulusan sastra umumnya ditulis untuk skripsi atau thesis atau desertasi, di luar itu nyaris tidak ada. Karya sastra tradisional seperti kakawin, kidung, gaguritan banyak dibaca dalam mabebasan, gita shanti, kidung interaktif, di pura, di banjar, di radio, di televisi, tetapi itu semua sebatas apresiasi sastra, yakni mengungkap atau menikmati nilai yang terkandung dalam teks.

Menjamurnya sekaa shanti di seluruh pelosok kota dan desa di Bali membuat apresiasi sastra ttradisional semarak sekali. Di Bali dewasa ini ada sekitar 1430 desa pakraman, jika diasumsikan tiap desa ada 10 banjar dan setiap banjar ada satu sekaa shanti, maka ada seka shanti di sekitar 14.300. Atau, kalau sekaa shanti di kantor swasta, kantor pemerintah, bank, sekolah, kampus, hotel, dihitung, maka jumlah sekaa shanti di Bali bisa mencapai 15.000. Sekaa ini merupakan pilar apresiasi sastra Bali.

Namun, studi atau kajian atau ulasan tentang sastra Bali tradisional sepi sekali. Analisis karya dalam bentuk tulisan kritik atau esai bisa dikatakan kosong. Sastra Bali modern pertama muncul tahun 1910-an berupa cerita pendek yang ditulis Made Pasek (seorang guru dari Singaraja) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak sekali terbit karya sastra Bali modern, tetapi ulasan terhadap karya yang muncul nyaris tidak ada.

Dalam sejarahnya yang relatif panjang, dunia sastra Bali modern baru memiliki dua-tiga buku tentang objek ini antara lain karya “Mengenal Sastra Bali Modern” (1991) karya Tusthi Eddy dan “Tonggak Baru Sastra Bali Modern” (2000) karya Darma Putra. Namun, masih banyak mutiara terpendam dalam sastra Bali modern yang belum tergali, yang perlu ditambang, atau didulang untuk mendapatkan emas-emas nasihat.

Kalau apresiasi sastra diumpamakan kepompong dan kritik sastra ibarat kupu-kupu, maka dalam kehidupan sastra kepompong jarang sekali yang berubah menjadi kupu-kupu. Apresiasi riuh rendah tetapi kritik sastra sepi-jampi.

Mengapa Senyap?

Mengapa kritik sastra tidak sesemarak penciptaan dan apresiasi sastra? Sunyi senyapnya kritik sastra di Bali atau di Indonesia secara umum karena kehidupan sosial budaya kita berdasarkan sistem budaya Timur yang mengutamakan harmoni dan kerukunan. Tradisi ini kurang kondusif dalam menumbuhkan sikap kritis. Menilai orang lain, apalagi mencela atau mengkritik, adalah hal yang dihindari karena bisa mengganggu kerukunan. Kritik diberikan konotasi negatif.

Dalam budaya Bali terkenal ungkapan “eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin” (jangan menganggap diri bisa, biar orang menilai), sepintas terasa mendorong sikap menilai, tetapi sebetulnya jelas bermakna menyuruh kita diam, tidak banyak bicara, apalagi mengkritik. Ada karya yang merangsang sikap kritis, yaitu Gaguritan Bungkling, yang berisi pikiran kritis terhadap adat dan sistem nilai Bali, tetapi karya seperti ini sedikit sekali jumlahnya alias perkecualian.

Perubahan sosial politik Indonesia dewasa ini yang ditandai dengan kebebasan berekspresi seharusnya mulai menumbuhkan tradisi kritik sastra atau seni yang kuat. Hal ini belum menampakkan hasil menggembirakan buktinya aktivitas kritik sastra masih nyanyi sunyi. Masalahnya mungkin, seperti pernah disampaikan Budi Darma, karena masyarakat kita kurang berfikir analitik, artikulatif, kurang argumentatif, dan kurang formulatif. Kerja kritik sangat membutuhkan sikap analitik, argumentatif, artikulatif dan formulatif.

Bakat menjadi kritikus bisa diasah dengan mulai rajin membaca karya sastra, mengumpulkan dan mengolah informasi, memulai dengan memetakan persoalan dan memformulasikan pemikiran atas materi yang ada atau karya yang dibaca. Kerja kritik memerlukan teori, itu sudah jelas. Namun, perspektif keliru tentang teori banyak membuat orang enggan menulis kritik sastra, padahal teori tidak mesti berupa sesuatu yang canggih, kompleks, abstrak, asing seperti yang umumnya datang dari dunia pemikiran Barat.

Pemakaian teori dalam analisis seni bisa dimulai dengan pendekatan sederhana tetapi ampuh, seperti komparatif, misalnya dengan mengungkapkan persamaan dan perbedaan beberapa teks atau aspek dari beberapa teks yang potensial untuk itu. Patut juga dibiasakan memformulasikan pikiran dengan pola analisis induktif (khusus ke umum) atau deduktif (umum ke khusus). Tantangan kehidupan sastra di Bali adalah mengubah tradisi apresiasi yang kuat menjadi tradisi kritik produktif sehingga kehidupan sastra tidak saja semarak tetapi kian bernilai-guna untuk dunia seni itu sendiri dan ilmu pengetahuan humaniora lainnya.

Kalau penulis diumpamakan api unggun, kritikus adalah angin, yang berhembus setia bukan untuk membunuh api unggun tetapi membuat unggun tetap membara, tetap memberikan semangat kreativitas. Era baru pascareformasi ini, di mana kebebasan berekspresi hampir-hampir tanpa batas, tidak ditekan seperti era Orde Baru, semestinya memberikan iklim baru tumbuhnya sikap kritis dan juga kritik sastra. Semoga!

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati