Minggu, 05 April 2009

Berbagi Ceruk Pasar Novel Asia

Bagja Hidayat
http://www.ruangbaca.com/

Penjualannya cukup tinggi, meski masih kalah dibanding terjemahan novel Barat.
Abad 20 adalah sebuah masa yang rusuh dengan ide-ide. Rusuh ide yang melahirkan rusuh massal, juga ketakutan yang akut—a continuous frenzy— jika meminjam istilah George Orwell. Kolonialisme modern mencapai puncaknya yang paling nyata pada abad itu. Negara-negara jajahan di belahan Timur bereaksi aktif terhadap datangnya kultur yang merangsek ke dalam ingatan setiap orang.

India, misalnya, menangguk ‘untung’ dari merasuknya semangat koloni ke dalam hidup mereka. Para penulis mutakhir bertutur dengan ringan dalam bahasa Inggris, sebuah media yang memungkinkan setiap karya berhadapan langsung dengan karya-karya kanon Eropa dan Amerika. Di Amerika Selatan kita mengenal el boom sastra pada sekitar dasawarsa 1960.

India, juga Cina dan Jepang, adalah sebuah wilayah yang unik dalam percaturan sastra dunia. Para penulis di sini memanfaatkan riwayat panjang kebudayaan mereka. Tiga negara itu kini menjelma sebagai wakil Asia Timur, dalam pelbagai segi. Apa sebetulnya sastra Asia Timur?

Tak mudah mengungkai definisinya. Lembar ini—lebih luas edisi ini—hanya akan menyorot novel-novel yang pernah ditulis para pengarang ketiga negara itu yang sudah diindonesiakan. Kemunculan mereka telah membuka mata kita bahwa sastra kanon Eropa dan Amerika bukan kiblat jauh satu-satunya.

Para pengarang itu telah menyajikan —seraya bimbang dalam berpijak di bumi sendiri dan memandang dunia luar, hal yang menjadi faktor unik—kekayaan khazanah budayanya, sajian yang tak ada dalam sastra wilayah lain. Mereka telah menjadi juru bicara kebudayaannya sendiri. Ciri yang paling nyata dari pengarang Asia mutakhir adalah mengemukanya usaha menghidupkan metafora yang lebih intim dengan memberinya hidup lewat bahasa.

Realisme diusung lalu dihadirkan bukan sematamata reportase. Arundhati Roy, misalnya, menyegarkan bukan karena menghadirkan kisah si kembar Estha dan Rachel dalam The God of Small Things dengan cara yang unik dan kontroversi tentang identitas India, tapi juga ada terasa pergulatan yang intens dalam memperlakukan bahasa.

Ia menghidupkan benda-benda yang remeh sehingga lanskap hadir lebih visual tapi mustahil difilmkan. Jhumpa Lahiri, Bharati Mukherjee, Amitav Gosh memotret India dari tanah seberang. Mereka menghadirkan benua ketiga yang sering rusuh karena persoalan agama dan ras.

Soal umum dalam diri manusia ini memang tema yang seksi. Juga sikap main-main terhadap bentuk seni novel. Dalam Gunung Jiwa, misalnya, Gao Xingjian seperti tengah mengejek bentuk novel yang sudah dirumuskan dengan ajeg oleh para pendahulunya. Sebuah sikap yang juga dipakai Milan Kundera dalam menghasilkan novel yang lebih radikal, yakni anti-novel.

Novel yang mengantarkan Gao meraih nobel itu adalah “sebuah fiksi gabungan catatan perjalanan, celoteh moralitas, perasaan, coretan, diskusi tanpa teori, cuplikan folklor, omong kosong legenda bohong…”

Pendeknya, novel, bagi Gao, adalah sebentuk perayaan kekacauan, centang perenang yang tak saja tergambar pada tokoh-tokohnya. Bentuk yang amat bertolak belakang dengan, antara lain, novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Gunung Jiwa semacam oleholeh Gao ketika buron selama 10 bulan menyusuri Sungai Yangtze karena dituduh kontra-revolusi.

Hasilnya memang kacau. Ada banyak tokoh dan ragam peristiwa di sana dalam bentuknya yang paling musykil: kisah manusia renik pelahap dahak yang dituturkan perempuan tua ompong. Dari Jepang muncul Ring karya Koji Suzuki dan Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Kemunculan mereka tentu saja sebuah petanda gairah baru dalam sastra Jepang.

Sebelumnya, karya- karya puncak Jepang mewakili zaman Taisyo dengan lanskap yang tradisional, meski cara bertuturnya sudah mendobrak pakem lama. Sebut antara lain novel-novel Kawabata, Akutagawa, Mishima atau Soseki. Tapi yang tradisonal juga tetap eksotik dan asyik. Kisah-kisah samurai, biksu-biksu, dan kuil-kuil yang mistis adalah sumur-sumur cerita yang tak habis-habis ditulis di zaman ini.

Takashi Matsuoka menulis kisah samurai terakhir dengan manis dalam Kastil Awan Burung Gereja. Jepang memang sering mengagetkan orang seberang: mereka yang menyebut dirinya Barat. Ada yang berkelakar Jepang mengedutkan dunia setiap 25 tahun sekali. Karena itu tradisi-tradisi Jepang terus dikuntit dan ditulis.

Semua novel yang telah disebut itu kini bisa dibaca dalam terjemahan Indonesia. Tampaknya ada gairah lama yang tumbuh kembali dalam khazanah sastra terjemahan kita. Setelah bosan dengan kanon sastra Barat, kini giliran novel Timur yang membanjiri rak-rak toko buku. Pada sekitar 1980, Ajip Rosidi telah dengan tekun menerjemahkan novel-novel Jepang dari bahasa aslinya.

Penerbit-penerbit yang menerjemahkan novel Asia Timur mengaku penjualan novel-novel ini cukup memuaskan meski tak bagus-bagus amat. Anastasia Mustika dari Gramedia menyebut angka penjualan rata-rata novel Asia Timur hanya 5.000 eksemplar. “Tertinggi buku Totto-chan,” kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”

Tapi angka 5.000 bagi pasar buku Indonesia sudah terbilang bagus. Penyunting Penerbit Qanita, Berliani Mantili Nugrahani, mengatakan rata-rata angka penjualan buku berkisar 3.000-4.000 eksemplar. “Tiga-ribu saja sudah tergolong tinggi,” katanya. Penjualan tertinggi Qanita masih ditempati novel 24 Wajah Billy. Tapi mencengangkan juga jika Kastil Awan Burung Gereja karya Matsuoka terjual 10 ribu eksemplar dalam tiga kali cetak (Maret, April, Agustus 2005).

Respon yang baik dari pembaca ini mendorong para penerbit menyiapkan terjemahan novel-novel Asia berikutnya. Di Gramedia, kata Anas, novel-novel Cina, Jepang, dan India kini menunggu diterbitkan. Selain respon, penerbit menginginkan pembaca tak hanya mengenal novel Barat. “Tema novel Asia lebih mengena dan tidak asing bagi orang Indonesia,” kata Anas.

Maraknya drama Asia di televisi turut memudahkan orang mengenal cerita novel kawasan ini. Qanita dan Gramedia mengail pembeli terjemahan novel Asia karena ada “kecenderungan orang sekarang berminat mengenal budaya oriental”—ini memang kemajuan Indonesia pascareformasi. Penerbit Obor bahkan sudah punya program Seri Sastra Dunia Ketiga.

Manajer Umum Obor Kartini Nurdin mengakui penjualan terjemahan novel Asia memang tergolong tinggi. Novel Arundhati Roy dan Adeline Yen Mah menempati urutan tertinggi novel terjemahan Obor. “Novel Asia memang menjanjikan,” katanya, “paling tidak naik cetak lebih dari sekali.”

Sementara Penerbit Jalasutra lebih didorong keinginan mengukuhkan keseriusan menggarap terjemahan novel Asia. “Kami ingin menguatkan brand dan image Jalasutra bagi pembaca,” kata Anwar Holid, penyunting fiksi. Penerbit Jogja ini juga sedang menyiapkan terjemahan novel-novel Cina.

Semangat “demokratisasi” bacaan, tentu saja. Apalagi ini agaknya ceruk baru tren penerbitan, setelah “sastra jerawat” mengharu biru hingga ditiru habis-habisan oleh para penulis belia lokal beberapa tahun terakhir. “Penerbit buku itu memang mengikuti tren, tapi idealisme (mendidik masyarakat) lebih di depan,” kata Kartini.

Kanon sastra dunia konon juga sudah berhenti. Kini tak ada lagi “pusat”. Sastra pinggiran lebih segar dan menjanjikan. Menurut Budi Darma [baca rubrik Percakapan edisi ini], sastra masa depan adalah sastra yang mengusung tema multikultularisme. India dan Cina sudah mempraktekkannya, meskipun semangat poskolonial ternyata tak menular dan digarap oleh para penulis Indonesia.

Sayangnya, terjemahan yang marak itu tak diimbangi dengan kualitas. Masih banyak yang mengeluh buruknya terjemahan novel asing. Judul saja kadang tak diterjemahkan. Berliani beralasan, pemakaian judul asli ini semacam strategi promosi. Di Qanita, judul dari pengarang yang sudah dikenal, menarik, dan mudah diingat akan dipertahankan.

Menurut Berliani, mengubah judul atau mencantumkan padanan Indonesianya dikhawatirkan justru membuat novel itu tak dikenal calon pembeli. Novel Ring, misalnya, tetap memakai judul bahasa Inggris karena pernah difilmkan. “Kalau diubah, orang tak akan lagi ingat filmnya,” katanya. Alasan yang bisa diterima.

Itu berbeda dengan pilihan yang dibuat Ajip Rosidi. Dua dasawarsa lalu, ketika menejermahkan novel Kawabata Yasunari, Yukiguni, Ajip perlu menulis kata pengantar untuk menjelaskan judul terjemahan yang dipilihnya. Oleh Edward Seidensticker, Yukiguni diterjemahkan menjadi Snow Country. Anas Ma’ruf mengindonesikannya menjadi Negeri Salju.

Ajip, yang pernah mengajar di Universitas Bahasa Asing Osaka, menerangkan bahwa kata dasar “kuni” dalam judul itu memang sepadan dengan “country”, tapi ini bukan sebuah wilayah administratif pemerintahan seperti dalam kata “negeri”. Ia pun memilih padanan Yukiguni dengan Daerah Salju. Pertimbangan Ajip tentu lain dengan pertimbangan Berliani.

Kendati Negeri Salju jauh lebih puitis—seperti novelnya sendiri yang penuh renungan—ketimbang Daerah Salju, Ajip memilih yang kedua oleh pertimbangan setia pada teks asli dengan memberdayakan kosakata Indonesia yang ada. Berliani lebih memilih alasan bisnis dan praktis, yakni buku cepat sampai ke tangan pembaca. Judul asli, kata dia, juga sudah dikenal dalam “komunitas buku”.

Ketika judul asli dipertahankan orang tak lagi merasa asing. Bagaimana dengan pembaca awam? Menurut dia, pembaca awam akan membeli buku setelah orang di “komunitas buku” meributkannya: mengulas di media, di blog, atau ribut-ribut di mailinglist. Laris-tidaknya sebuah buku baru dilihat pada bulan kedua setelah naik cetak.

Respon pembaca awam baru terlihat pada bulan kedua ini. “Tapi daya serap pasar ini sebuah misteri,” katanya. Artinya, terjualnya sebuah judul buku tak bisa ditentukan waktunya. Novel-novel Asia mutakhir sebagian besar diterjemahkan dari bahasa Inggris. Itu karena teks aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.

Penulis India, Cina dan Jepang sudah banyak yang menulis di tanah asing, karena imigrasi atau kelahiran. Tapi ada juga karena alasan penguasaan bahasa asli para penyunting di penerbit. Jalasutra menerjemahkan Gunung Jiwa justru dari edisi Prancis. Kepustakaan Populer Gramedia tak banyak memiliki penerjemah bahasa asli.

Menurut penyunting KPG, Candra Gautama, hanya penerjemah Jepang dan Rusia yang sudah siap dan bagus. Karena itu KPG baru menerbitkan Norwegian Wood yang sudah terjual 8.000 eksemplar. “Untuk Asia kami akan fokus ke sastra Jepang dulu, selain nanti ke Filipina,” katanya. Novel negara Asia lainnya belum disentuh KPG karena terbatasnya pengetahuan peta novel di negara asalnya.

Sastra India dan Cina, kata Candra, belum dijajaki seberapa tinggi responnya. “Kami lebih mempertimbangkan isi novel ketimbang tren,” katanya. Norwegian dipilih karena menggambarkan dengan telak Jepang modern yang sedang berubah ciri khas negeri pinggiran yang kini merangkak tampil ke muka sebuah ladang tema warisan dari sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati