Bagja Hidayat
http://www.ruangbaca.com/
Penjualannya cukup tinggi, meski masih kalah dibanding terjemahan novel Barat.
Abad 20 adalah sebuah masa yang rusuh dengan ide-ide. Rusuh ide yang melahirkan rusuh massal, juga ketakutan yang akut—a continuous frenzy— jika meminjam istilah George Orwell. Kolonialisme modern mencapai puncaknya yang paling nyata pada abad itu. Negara-negara jajahan di belahan Timur bereaksi aktif terhadap datangnya kultur yang merangsek ke dalam ingatan setiap orang.
India, misalnya, menangguk ‘untung’ dari merasuknya semangat koloni ke dalam hidup mereka. Para penulis mutakhir bertutur dengan ringan dalam bahasa Inggris, sebuah media yang memungkinkan setiap karya berhadapan langsung dengan karya-karya kanon Eropa dan Amerika. Di Amerika Selatan kita mengenal el boom sastra pada sekitar dasawarsa 1960.
India, juga Cina dan Jepang, adalah sebuah wilayah yang unik dalam percaturan sastra dunia. Para penulis di sini memanfaatkan riwayat panjang kebudayaan mereka. Tiga negara itu kini menjelma sebagai wakil Asia Timur, dalam pelbagai segi. Apa sebetulnya sastra Asia Timur?
Tak mudah mengungkai definisinya. Lembar ini—lebih luas edisi ini—hanya akan menyorot novel-novel yang pernah ditulis para pengarang ketiga negara itu yang sudah diindonesiakan. Kemunculan mereka telah membuka mata kita bahwa sastra kanon Eropa dan Amerika bukan kiblat jauh satu-satunya.
Para pengarang itu telah menyajikan —seraya bimbang dalam berpijak di bumi sendiri dan memandang dunia luar, hal yang menjadi faktor unik—kekayaan khazanah budayanya, sajian yang tak ada dalam sastra wilayah lain. Mereka telah menjadi juru bicara kebudayaannya sendiri. Ciri yang paling nyata dari pengarang Asia mutakhir adalah mengemukanya usaha menghidupkan metafora yang lebih intim dengan memberinya hidup lewat bahasa.
Realisme diusung lalu dihadirkan bukan sematamata reportase. Arundhati Roy, misalnya, menyegarkan bukan karena menghadirkan kisah si kembar Estha dan Rachel dalam The God of Small Things dengan cara yang unik dan kontroversi tentang identitas India, tapi juga ada terasa pergulatan yang intens dalam memperlakukan bahasa.
Ia menghidupkan benda-benda yang remeh sehingga lanskap hadir lebih visual tapi mustahil difilmkan. Jhumpa Lahiri, Bharati Mukherjee, Amitav Gosh memotret India dari tanah seberang. Mereka menghadirkan benua ketiga yang sering rusuh karena persoalan agama dan ras.
Soal umum dalam diri manusia ini memang tema yang seksi. Juga sikap main-main terhadap bentuk seni novel. Dalam Gunung Jiwa, misalnya, Gao Xingjian seperti tengah mengejek bentuk novel yang sudah dirumuskan dengan ajeg oleh para pendahulunya. Sebuah sikap yang juga dipakai Milan Kundera dalam menghasilkan novel yang lebih radikal, yakni anti-novel.
Novel yang mengantarkan Gao meraih nobel itu adalah “sebuah fiksi gabungan catatan perjalanan, celoteh moralitas, perasaan, coretan, diskusi tanpa teori, cuplikan folklor, omong kosong legenda bohong…”
Pendeknya, novel, bagi Gao, adalah sebentuk perayaan kekacauan, centang perenang yang tak saja tergambar pada tokoh-tokohnya. Bentuk yang amat bertolak belakang dengan, antara lain, novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Gunung Jiwa semacam oleholeh Gao ketika buron selama 10 bulan menyusuri Sungai Yangtze karena dituduh kontra-revolusi.
Hasilnya memang kacau. Ada banyak tokoh dan ragam peristiwa di sana dalam bentuknya yang paling musykil: kisah manusia renik pelahap dahak yang dituturkan perempuan tua ompong. Dari Jepang muncul Ring karya Koji Suzuki dan Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Kemunculan mereka tentu saja sebuah petanda gairah baru dalam sastra Jepang.
Sebelumnya, karya- karya puncak Jepang mewakili zaman Taisyo dengan lanskap yang tradisional, meski cara bertuturnya sudah mendobrak pakem lama. Sebut antara lain novel-novel Kawabata, Akutagawa, Mishima atau Soseki. Tapi yang tradisonal juga tetap eksotik dan asyik. Kisah-kisah samurai, biksu-biksu, dan kuil-kuil yang mistis adalah sumur-sumur cerita yang tak habis-habis ditulis di zaman ini.
Takashi Matsuoka menulis kisah samurai terakhir dengan manis dalam Kastil Awan Burung Gereja. Jepang memang sering mengagetkan orang seberang: mereka yang menyebut dirinya Barat. Ada yang berkelakar Jepang mengedutkan dunia setiap 25 tahun sekali. Karena itu tradisi-tradisi Jepang terus dikuntit dan ditulis.
Semua novel yang telah disebut itu kini bisa dibaca dalam terjemahan Indonesia. Tampaknya ada gairah lama yang tumbuh kembali dalam khazanah sastra terjemahan kita. Setelah bosan dengan kanon sastra Barat, kini giliran novel Timur yang membanjiri rak-rak toko buku. Pada sekitar 1980, Ajip Rosidi telah dengan tekun menerjemahkan novel-novel Jepang dari bahasa aslinya.
Penerbit-penerbit yang menerjemahkan novel Asia Timur mengaku penjualan novel-novel ini cukup memuaskan meski tak bagus-bagus amat. Anastasia Mustika dari Gramedia menyebut angka penjualan rata-rata novel Asia Timur hanya 5.000 eksemplar. “Tertinggi buku Totto-chan,” kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”
Tapi angka 5.000 bagi pasar buku Indonesia sudah terbilang bagus. Penyunting Penerbit Qanita, Berliani Mantili Nugrahani, mengatakan rata-rata angka penjualan buku berkisar 3.000-4.000 eksemplar. “Tiga-ribu saja sudah tergolong tinggi,” katanya. Penjualan tertinggi Qanita masih ditempati novel 24 Wajah Billy. Tapi mencengangkan juga jika Kastil Awan Burung Gereja karya Matsuoka terjual 10 ribu eksemplar dalam tiga kali cetak (Maret, April, Agustus 2005).
Respon yang baik dari pembaca ini mendorong para penerbit menyiapkan terjemahan novel-novel Asia berikutnya. Di Gramedia, kata Anas, novel-novel Cina, Jepang, dan India kini menunggu diterbitkan. Selain respon, penerbit menginginkan pembaca tak hanya mengenal novel Barat. “Tema novel Asia lebih mengena dan tidak asing bagi orang Indonesia,” kata Anas.
Maraknya drama Asia di televisi turut memudahkan orang mengenal cerita novel kawasan ini. Qanita dan Gramedia mengail pembeli terjemahan novel Asia karena ada “kecenderungan orang sekarang berminat mengenal budaya oriental”—ini memang kemajuan Indonesia pascareformasi. Penerbit Obor bahkan sudah punya program Seri Sastra Dunia Ketiga.
Manajer Umum Obor Kartini Nurdin mengakui penjualan terjemahan novel Asia memang tergolong tinggi. Novel Arundhati Roy dan Adeline Yen Mah menempati urutan tertinggi novel terjemahan Obor. “Novel Asia memang menjanjikan,” katanya, “paling tidak naik cetak lebih dari sekali.”
Sementara Penerbit Jalasutra lebih didorong keinginan mengukuhkan keseriusan menggarap terjemahan novel Asia. “Kami ingin menguatkan brand dan image Jalasutra bagi pembaca,” kata Anwar Holid, penyunting fiksi. Penerbit Jogja ini juga sedang menyiapkan terjemahan novel-novel Cina.
Semangat “demokratisasi” bacaan, tentu saja. Apalagi ini agaknya ceruk baru tren penerbitan, setelah “sastra jerawat” mengharu biru hingga ditiru habis-habisan oleh para penulis belia lokal beberapa tahun terakhir. “Penerbit buku itu memang mengikuti tren, tapi idealisme (mendidik masyarakat) lebih di depan,” kata Kartini.
Kanon sastra dunia konon juga sudah berhenti. Kini tak ada lagi “pusat”. Sastra pinggiran lebih segar dan menjanjikan. Menurut Budi Darma [baca rubrik Percakapan edisi ini], sastra masa depan adalah sastra yang mengusung tema multikultularisme. India dan Cina sudah mempraktekkannya, meskipun semangat poskolonial ternyata tak menular dan digarap oleh para penulis Indonesia.
Sayangnya, terjemahan yang marak itu tak diimbangi dengan kualitas. Masih banyak yang mengeluh buruknya terjemahan novel asing. Judul saja kadang tak diterjemahkan. Berliani beralasan, pemakaian judul asli ini semacam strategi promosi. Di Qanita, judul dari pengarang yang sudah dikenal, menarik, dan mudah diingat akan dipertahankan.
Menurut Berliani, mengubah judul atau mencantumkan padanan Indonesianya dikhawatirkan justru membuat novel itu tak dikenal calon pembeli. Novel Ring, misalnya, tetap memakai judul bahasa Inggris karena pernah difilmkan. “Kalau diubah, orang tak akan lagi ingat filmnya,” katanya. Alasan yang bisa diterima.
Itu berbeda dengan pilihan yang dibuat Ajip Rosidi. Dua dasawarsa lalu, ketika menejermahkan novel Kawabata Yasunari, Yukiguni, Ajip perlu menulis kata pengantar untuk menjelaskan judul terjemahan yang dipilihnya. Oleh Edward Seidensticker, Yukiguni diterjemahkan menjadi Snow Country. Anas Ma’ruf mengindonesikannya menjadi Negeri Salju.
Ajip, yang pernah mengajar di Universitas Bahasa Asing Osaka, menerangkan bahwa kata dasar “kuni” dalam judul itu memang sepadan dengan “country”, tapi ini bukan sebuah wilayah administratif pemerintahan seperti dalam kata “negeri”. Ia pun memilih padanan Yukiguni dengan Daerah Salju. Pertimbangan Ajip tentu lain dengan pertimbangan Berliani.
Kendati Negeri Salju jauh lebih puitis—seperti novelnya sendiri yang penuh renungan—ketimbang Daerah Salju, Ajip memilih yang kedua oleh pertimbangan setia pada teks asli dengan memberdayakan kosakata Indonesia yang ada. Berliani lebih memilih alasan bisnis dan praktis, yakni buku cepat sampai ke tangan pembaca. Judul asli, kata dia, juga sudah dikenal dalam “komunitas buku”.
Ketika judul asli dipertahankan orang tak lagi merasa asing. Bagaimana dengan pembaca awam? Menurut dia, pembaca awam akan membeli buku setelah orang di “komunitas buku” meributkannya: mengulas di media, di blog, atau ribut-ribut di mailinglist. Laris-tidaknya sebuah buku baru dilihat pada bulan kedua setelah naik cetak.
Respon pembaca awam baru terlihat pada bulan kedua ini. “Tapi daya serap pasar ini sebuah misteri,” katanya. Artinya, terjualnya sebuah judul buku tak bisa ditentukan waktunya. Novel-novel Asia mutakhir sebagian besar diterjemahkan dari bahasa Inggris. Itu karena teks aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.
Penulis India, Cina dan Jepang sudah banyak yang menulis di tanah asing, karena imigrasi atau kelahiran. Tapi ada juga karena alasan penguasaan bahasa asli para penyunting di penerbit. Jalasutra menerjemahkan Gunung Jiwa justru dari edisi Prancis. Kepustakaan Populer Gramedia tak banyak memiliki penerjemah bahasa asli.
Menurut penyunting KPG, Candra Gautama, hanya penerjemah Jepang dan Rusia yang sudah siap dan bagus. Karena itu KPG baru menerbitkan Norwegian Wood yang sudah terjual 8.000 eksemplar. “Untuk Asia kami akan fokus ke sastra Jepang dulu, selain nanti ke Filipina,” katanya. Novel negara Asia lainnya belum disentuh KPG karena terbatasnya pengetahuan peta novel di negara asalnya.
Sastra India dan Cina, kata Candra, belum dijajaki seberapa tinggi responnya. “Kami lebih mempertimbangkan isi novel ketimbang tren,” katanya. Norwegian dipilih karena menggambarkan dengan telak Jepang modern yang sedang berubah ciri khas negeri pinggiran yang kini merangkak tampil ke muka sebuah ladang tema warisan dari sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar