Minggu, 05 April 2009

Pramoedya Ananta Toer: Dulu, Saya Tak Pernah Menyangka akan Menjadi Tua

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Kabar tentang terpilihnya Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time ternyata ditanggapi dengan sangat biasa oleh yang bersangkutan. Menurutnya, pemilihan semacam itu adalah hak dari publik. ”Saya memang sudah sering ditulis dan diwawancara oleh Time. Untuk kabar ini, saya belum membacanya, baru dengar dari wartawan,” ujarnya.

Namun, sesungguhnya ada kabar lain yang menggembirakan hatinya. Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal. Pada sampul novel yang judulnya menjadi Soliloquio Mudo, dikutip juga tentang pernyataan majalah Time beberapa waktu lalu, bahwa Pramoedya adalah salah satu penulis kuat untuk calon pemenang Nobel. ”Sejak 1981, saya telah menjadi kandidat Nobel,” katanya.

Matahari belum menunjukkan kegarangannya saat SH menemui seorang sastrawan besar yang karyanya terkenal ke seantero dunia, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya yang cukup luas. Kata orang, sastrawan memang kerap memilih kediaman yang terpencil. Lihat saja Rendra, Hamsad Rangkuti, atau Gerson Poyk yang tinggal di Depok. Mungkin Pram bisa masuk kategori itu. Namun, sekalipun terpencil di daerah Bojong Gede, rumahnya tetap terbuka. Cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke setiap kisi pintu dan jendela.

Tiba di kediamannnya—setelah terlebih dahulu menetapkan janji untuk bertemu—kami melihat sebuah kendaraan dengan tanda CD (Corps Diplomatic) terparkir di halaman rumah. Pram sedang menerima tamu dari Kedutaan Portugal. Untungnya, dalam percakapan keduanya yang serius itu, ibu Maemunah—istri Pram—melihat kedatangan kami dan mempersilakan duduk. Senyum yang ramah bercampur keakraban menyambut kehadiran kami disambung dengan sajian teh.

Baru setelah tamu dari Kedutaan Portugal pamit, Pram kemudian muncul. ”Tunggu ya,” katanya, dengan wajah dan senyum yang tak berubah. Hangat. Kami pun menunggu di teras rumahnya. Pram masuk sebentar, kembali dengan sebungkus rokoknya.

”Dari media mana tadi? Sinar Harapan?” kata lelaki kelahiran 6 Februari 1925. Kami lalu mengatakan niat untuk mewawancarainya sehubungan dengan berita tentang Pramoedya Ananta Toer yang terpilih sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.

”Saya tidak tahu itu, saya justru baru dengar dari wartawan,” katanya. Namun, Pram mengatakan telah beberapa kali diwawancara oleh Time. Nyatanya, tak hanya penghargaan dari majalah itu, anugerah Magsaysay pun sudah pernah diraihnya. Bahkan pada novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugal, Soliloquio Mudo tertera keterangan di sampulnya: O Principal candidato asiatico ao premio Nobel (Time)—bahwa Pram adalah calon kuat peraih Nobel.

Tentang Nobel, Pram mengatakan telah mendengar beberapa kali tentang pencalonannya. Soal kontroversi di negaranya sendiri, menurutnya Amerika kadang bisa lebih demokratis dalam melihat profil seorang pemikir. ”Gao Xingjian, pemenang Nobel dari Cina yang lari ke Amerika atau siapa itu yang dari Italia (komedian Dario Fo-red), itu kan juga kontroversial. Waktu mereka menang, banyak orang yang marah,” ujar mantan karyawan Kantor Berita Domei di masa penjajahan Jepang.

Seberapa kuat karya sastra bisa mempengaruhi masyarakat global? ”Ya persisnya saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah karya saya yang telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia. Artinya, apa yang ada di karya saya itu masuk ke dalam alam pikiran pembaca. Tentang apakah alam pikiran bisa menggerakkan perbuatan atau tidak, itu soal lain,” ujarnya.

Nyatanya, bagi Pram, Indonesia memang suatu saat harus mampu menampilkan penulis Indonesia yang mampu memperoleh Nobel. ”Kalau Indonesia tidak bisa meraih Nobel karena mungkin Akademi Swedia tidak punya ahli bahasa Indonesia sehingga semuanya harus melalui terjemahan,” ujar Pram, setengah bercanda.

Detail

Hidup Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru.

Begitu pun dengan nasib karyanya. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan pemerintahan Indonesia sendiri. ”Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina,” katanya. Bahkan saat mendengar tentang karyanya yang pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, wajah Pram makin terlihat mendung. ”Nggak ngerti saya, kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai tanda terima segala macem. Itu ‘kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Naskah-naskah, dokumentasi, dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya, berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak ngerti kok bisa berbuat begitu,” ujarnya. Suaranya tertahan, ada tangisan yang berusaha dia sembunyikan di balik wajah tuanya.

Menurut Pram, setiap sastrawan, harus siap menanggung segala konsekuensi atas karya-karyanya. ”Penulis harus berani. Dia harus mau mempertanggungjawabkan karyanya,” ujar Pram. Perkara keberanian juga membuat dia tetap konsisten untuk berkarya, bahkan ketika ia dipenjara sekalipun. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Waktu itu, Amerikalah yang memaksa rezim agar Pram dikirimi mesin tik—walau kiriman mesin tik itu nyatanya tidak pernah sampai—sehingga kawan-kawan sesama napi pun terpaksa membikinkan mesin tik bekas buat Pram.

Lantas, apakah pengarang yang cukup dikenal di dunia ini juga menyukai karya sastrawan lain? Dengan rendah hati, dia katakan kalau dia pun menyukai beberapa karya dari luar, termasuk Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. ”Saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan, sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya ‘kan seperti nonton film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar,” ujarnya. Namun, Pram tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, ”Tidak manusiawi,” kata pengagum peraih Nobel, Gunter Grass.

Selain membuat novel, ternyata Pram pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Pram berpendapat penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Hanya, dia sadari kondisi saat ini membuat penulis dan pemikir muda harus menghadapi sesuatu yang sangat berat, keberanian menempuh risiko seorang diri. Di negara dunia ketiga di mana kondisi rakyat memprihatinkan, para penulis sesungguhnya memikul tanggung jawab yang lebih berat. Cuma, banyak generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. ”Cuma, itu urusan kalian lho. Sudah bukan urusan saya lagi,” kata Pram, dengan nada yang kocak.

Tegar

Kini, Pram mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu dia bisa lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. ”Rupanya suhu badan saya dipatahkan oleh suhu alam,” katanya, dengan gaya bahasa khas Pram.

Dia bahkan sudah tidak membuat karya lagi kini. Bagaimana kalau ada ide yang mendesak, tidak berupa Kali Lusi di Blora, tapi tentang rel di Stasiun Bojong Gede? Menjawab itu, Pram hanya tersenyum tipis, sedikit menggiris. ”Lha, konsentrasinya udah bubar nggak keruan. Itulah, dulu saya tidak pernah menyangka akan menjadi tua.

Perasaan kuat badan saya, nggak tahunya sama saja dengan yang lain, kemerosotan otak,” kata lelaki asal Blora yang berasal dari daerah bagian kelompok masyarakat Samin. ”Masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis itu menginspirasi Gandhi lewat Swadeshi dan Satyagraha lho,” ujarnya.

Kini, dia ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, berternak dan berkebun. Dia memang sudah lama tidak ke Blora. ”Nanti dari Eropa, mungkin saya ke sana. Betulin rumah,” katanya. Mulai bulan Mei, dia akan melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Negara yang akan ditujunya pertama adalah Swiss, lalu menyeberang ke Italia untuk menerima penghargaan Laureate Novelist dari Universitas Bologna, Italia Utara.

Dia juga berencana akan ke Spanyol (dalam bahasa Catalon) dan ke Yunani untuk meluncurkan Gadis Pantai. ”Juga undangan ke Prancis yang saya tidak tahu acaranya,” ujar lelaki ini sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam. Tampaknya, novelis Anak Segala Bangsa ini telah menjadi anak segala bangsa dalam arti sesungguhnya. Berkelana, mengarungi beberapa negara dan bangsa …

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati