Rabu, 16 September 2009

Menegasi Indentitas Sastra Indonesia*

Damhuri Muhammad**
http://www.infoanda.com/

Corak historiografi kesusastraan Indonesia modern yang masih berpijak dan bertolak dari ‘asal muasal’ dan pendekatan teleologis, memang sudah amat melelahkan dan terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran. Sebagian pemerhati sastra mulai pesimis, kehilangan gairah, bahkan apriori.

Nirwanto Dewanto, dalam esainya (Kompas, 4/3/2000) mempertanyakan, masih perlukah sejarah sastra? Ini mencerminkan ketidakpercayaannya pada konstruk sejarah yang ditegak-berdirikan tanpa ‘kesadaran sejarah’ itu sendiri. Sejarah sastra yang ‘penuh lupa’ atau sengaja lupa berkepanjangan.

Andai seorang novelis atau penyair mengetahui sejak kapan sejarah sastra bangsanya bermula, dan bagaimana munculnya angkatan-angkatan dalam sastra, akankah ia tertolong untuk menghasilkan karya bermutu? Tidak!. Tak ada keterkaitan antara sejarah sastra dengan pergulatan sastrawan meraih kompetensi literer.

Bagi Nirwan, kita tak perlu sibuk berselisih paham untuk mempertahankan pendapat bahwa sastra Indonesia bermula sejak zaman Balai Pustaka, atau jauh sebelumnya. Tak perlu bersitegang urat leher memperdebatkan angkatan-angkatan dalam sejarah sastra. Masa depan sastra Indonesia tidak bergantung pada penulisan sejarah yang bercorak tautologis itu.

Namun, tidak segampang itu penyelesaiannya bagi Maman S Mahayana. Melalui buku terbarunya, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta, Bening Publishing, 2005), penggiat dan pemerhati sastra ini justru hendak bersitegas bahwa wajah sejarah sastra yang ‘buruk rupa’, bopeng, dan bolong-bolong itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tapi mesti ditambal, diluruskan, dan (bila perlu) ditulis-ulang.

Betapa tidak? Selain problem pemutakhiran data, buku-buku sejarah sastra yang terlanjur dikunyah dan dimamahbiak oleh para siswa di sekolah menengah, juga tidak luput dari keterceceran data. Banyak data yang mestinya dicatat, raib begitu saja. Tak sedikit nama yang telah berjasa dalam perjalanan sejarah kesusasteraan Indonesia terabaikan, dan terlupakan.

Tak dapat disangkal, buku-buku HB Jassin telah memberikan kontribusi amat besar. Banyak nama dan karya telah dicatat dan diangkatnya, berlimpah arsip yang didokumentasikannya, hingga nama Jassin pun kukuh sebagai dokumentator sastra dan tokoh penting dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Problemnya, kharisma sang ‘paus’ sastra itu, diterima para peneliti lain, tanpa pandangan kritis. Hal ini yang terjadi pada buku karya Zuber Usman, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, A Teeuw dan Jacob Sumardjo.

Kekeliruan mencolok adalah adanya lompatan dari periode Pujangga Baru ke periode pasca-kemerdekaan. Sementara, sastra Indonesia zaman Jepang hanya disinggung sepintas lalu. Itupun, hanya mengacu pada gagasan Jassin. Karya-karya yang dibicarakan pada masa itu hampir selalu jatuh pada dua novel terbitan Balai Pustaka, Palawija (Karim Halim) dan Cinta Tanah Air (Nur Sutan Iskandar). Dalam hal ini, para peneliti sastra merujuk pada dua buku karya HB Jassin: Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang (1954) dan Gema Tanah Air (1959).

Tapi, yang dilakukan Jassin dalam kedua buku itu, (dalam batas-batas tertentu) tidak berdasar. Mestinya karya-karya yang termuat dalam Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang adalah karya-karya yang muncul dalam rentang waktu 1942-1945. Tapi, karya-karya yang muncul selepas merdeka juga tercatat dalam buku itu, sedangkan karya-karya yang seharusnya masuk zaman Jepang justru tercatat dalam Gema Tanah Air.

Akibatnya, orang akan menyangka Chairil Anwar dan Idrus termasuk sastrawan zaman Jepang, sedangkan Darmawidjaja justru ditempatkan pada masa sesudahnya. Dalam kedua buku itu, tidak ditemukan nama-nama seperti Muhammad Dimyati, Yousouf Sou’yb dan Merayu Sukma. Lebih parah, dalam buku Jacob Sumardjo, Zuber Usman bahkan A Teeuw (yang mengacu pada Jassin), nama-nama itu tetap tenggelam tanpa alasan. Padahal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, karya-karya mereka tidak kalah penting dari yang lain. “Inilah blunder para peneliti yang hanya bersandar pada satu sumber,” kata Maman S Mahayana.

Selain ‘berikhtiar’ mengurai-jelaskan keterceceran data dalam sejarah sastra Indonesia, buku itu juga hendak mendudukkan sebuah konsepsi sastra yang bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Maman seperti hendak menyuarakan ‘kegelisahan akademik’ yang dialaminya selama malang melintang di jagad sastra. Kegelisahannya melihat geliat perjalanan sastra Indonesia yang belum menemukan identitas. Ibarat pohon yang berdiri-tegak, bersitumbuh tanpa akar.

Apakah benar sastra Indonesia itu ada? Kalau ada, dari manakah ia berasal? Di manakah akar identitas sastra Indonesia itu dapat dilacak? Inilah pertanyaan-pertanyaan hipotetik yang belum terjawab dalam penulisan sejarah sastra Indonesia dewasa ini.

Menurut Maman, kita tak perlu ‘malu-malu’ mengakui bahwa ‘darah daging’ kesusastraan Indonesia adalah ’sastra etnik’ yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional yang diangkat dari bahasa Melayu). Pencapaian jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan, tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit (Azab dan Sengsara, 1920 dan Siti Nurbaya, 1922), masalah kawin paksa seolah-olah menjadi tema sentral. Lalu, ke manakah ‘etos merantau’ yang menjadi salah satu ciri kultur Minangkabau? Periksalah, novel-novel Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya nyaris tak pernah lepas dari semangat berkelana, ideologi perantauan. Tapi, etos ini seolah-olah sengaja dikesampingkan.

Begitu pun ketika ST Alisjahbana menyatakan, kebudayaan tradisional (kultur etnik) harus mati semati-matinya, dalam kenyataan hanya sekedar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya justru banyak memuat tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional atau sastra yang berakar dari kultur etnik.

Seperti dicatat Poerwoto Prawirahardjo (1933), Majalah Poedjangga Baroe pernah memuat tulisan Hoesein Djajadiningrat, Arti Pantoen Melajoe jang Gaib, yang menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Pada tahun yang sama, juga dimuat artikel Armijn Pane, Kesoesasteraan Baroe, yang menegaskan bahwa kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan dalam kesusasteraan baru. Sejumlah puisi karya Imam Soepardi, Amir Hamzah, Tatengkeng, dan A Tisna juga memperlihatkan pengaruh kebudayaan etnik.

Karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru. Di sana, masih ada Armijn Pane dan Amir Hamzah yang tak berpaling dari kebudayaan etnik. Hal yang sama juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamirkan sikap berkesenian lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang mempertahankan kekaguman Alisjahbana pada kebudayaan Barat. Meski Chairil tidak menelannya secara mentah-mentah, tapi menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan proses kreatifnya.

Rentang panjang perjalanan sastra Indonesia yang tak pernah tercerabut dari akar budaya etnik itu dapat terlacak hingga babakan sejarah paling mutakhir sekalipun. Lihatlah, tokoh imajiner Ajo Sidi garapan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), Wisran Hadi (Orang-orang Blanti, 2000), dan Gus Tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000).

Ekplorasi tematik yang digali dari kultur etnik merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air yang tak pernah kering. Tengoklah Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Kuntowijoyo (Pasar, 1994), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan cara amat cerdas.

Sampai di titik ini, maka sejarah sastra tidak hanya perlu, tapi juga penting. Sebab, hanya dengan penelusuran, pelacakan dan penulisan sejarahlah dapat ditemukan dan dirumuskan sebuah konsep sastra Indonesia yang ‘beridentitas’ kokoh dan orisinil (asali). Semesta sastra yang ‘meng-indonesia’ tanpa harus menghamba dan mengekor pada budaya Barat. Ya, sastra yang hidup, tumbuh, berkembang dan membiak dengan kultur etnik sebagai ruhnya.

*) Republika Online.
**) Penyair dan pengamat sastra.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati