Rabu, 16 September 2009

Rendra dan Salah Sangka Tentang Dia

Oyos Saroso HN*
http://www.lampungpost.com/

W.S. Rendra, sang fambloyan yang akrab disapa Si Burung Merak, wafat Kamis malam, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dengan tenang, Kamis malam (6-8) dalam keadaan Islam.

Bagi sebagian seniman dan masyarakat Indonesia, Rendra–lebih akrab disapa Mas Willy–adalah tokoh besar yang sangat dihormati. Ia bak magnet atau sihir yang membuat orang berbondong-bondong mendekat padanya, ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sahabat yang menenteramkan. Bengkel Teater Rendra yang ia kelola bersama istrinya di atas areal sekitar 2 hektare di Citayam, Depok, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlatih teater, tetapi juga menjadi “universitas kehidupan” bagi banyak orang.

Saya termasuk bagian kecil dari kelompok yang berbondong-bondong itu. Saya merasa beruntung karena bisa menuntaskan ambisi saya untuk bisa bertemu Rendra, belajar padanya, dan mengenalnya lebih banyak. Saya memang tidak seberuntung Sitok Srengenge, kawan lama yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan menjadi kakak kelas saya di Universitas Negeri Jakarta. Pasangan Sitok dan Farah Maulida (Farah juga kakak kelas saya di UNJ) pernah sangat dekat dengan Rendra karena menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sementara saya hanya sesekali saja bertemu Rendra. Namun, saya banyak belajar dari dia: tentang sastra, kebudayaan, dan kehidupan.

Saya ingat pada sebuah penggal sore, saya dan Sitok datang ke rumah pribadinya di Depok pada Oktober 1991. Saya diajak Sitok untuk “merayu” Mas Willy agar mau datang ke UNJ untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka Bulan Bahasa yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mas Willy harus dirayu karena bukan perkara mudah meminta dia menjadi pembicara. Maklum, saat itu merupakan “zaman gawat”: Mas Willy dicekal di banyak tempat karena kevokalannya mengkritik Orde Baru.

Ketika Mas Willy memastikan bisa hadir, persoalan baru muncul: berapa saya harus memberi honor Mas Willy. Kata Sitok, “Beri saja yang dibutuhkan dia saat ini! Kalau bisa memberi dia sapi dan kerbau dia akan lebih senang!”

Setelah konsultasi dengan Sitok, akhirnya saya putuskan kami (para mahasiswa jurusan) akan memberi Mas Willy mesin ketik merek Brother! Kalau tidak salah harga mesin ketik itu pada saat itu Rp300 ribu.

Persoalan muncul kembali ketika pihak kampus tidak mau menanggung risiko jika “ada apa-apanya” berkaitan dengan kedatangan Mas Willy. Sebagai ketua panitia, saya harus minta izin kepada Polres dan Kodim Jakarta Timur. Saya menolak dengan alasan seminar merupakan kebebasan mimbar yang menjadi otoritas rektor.

Saya tetap nekat mendatangkan Mas Willy dengan risiko apa pun. Akhirnya Mas Willy pun benar-benar datang. Gedung Teater Besar UNJ penuh pengunjung. Rektor UNJ Prof. Dr. Conny R. Semiawan pun hadir. Bahkan Bu Rektor menjadi peserta aktif. Itulah kali pertama, seingat saya, Mas Willy kembali bisa datang ke kampus setelah beberapa waktu lamanya dicekal dan dilarang berbicara di kampus-kampus di Indonesia.

Saya lebih mengenal Mas Willy ketika saya menyusun skripsi. Karena yang saya teliti adalah drama Panembahan Reso karya Rendra, mau tak mau saya harus sering konsultasi dengannya. Selebihnya saya mengenal dia dari buku-buku yang ditulisnya dan dari para muridnya. Salah satunya yang terpenting adalah dari Jose Rizal Manua, guru teater saya. Mas Jose, orang Padang yang fasih berbahasa Jawa, adalah guru teater yang baik. Ia menurunkan banyak ilmu dari Rendra kepada para anak asuhnya.

Saya merasa berutang budi kepada Mas Willy karena berkat dorongannyalah saya menekuni dunia jurnalisme dan sastra. “Jadi apa pun asal ditekuni dan konsisten pasti akan ada hasilnya,” kata dia.

Salah Sangka Tentang Rendra

Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Lahir dalam keluarga Jawa lingkungan keratun dan agama Katolik, Rendra akhirnya menempuh hidup “urakan” sebagai seniman teater. Sepulang dari Amerika Serikat, pada 1961 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.

Namun, grup ini tak lama kemudian terhenti karena ditinggal Rendra pergi belajar ke Amerika Serikat. Setelah Rendra pulang belajar dari Amerika, pada 1967 Bengkel Teater kembali hidup. Beberapa tahun kemudian Bengkel Teater pindah ke Citayam, Depok, dan lebih dikenal menjadi Bengkel Teater Rendra.

Selain sebagai seorang seniman–yang melahirkan banyak karya puisi dan naskah drama–publik mengenal Mas Willy sebagai seorang budayawan tangguh. Pemikirannya tentang kebudayaan termasuk brilian. Ia juga terkenal sebagai pribadi yang terbuka dan penolong. Pada era 80-an hingga 90-an, seniman rasanya belum menjadi seniman jika belum pernah mengunjungi Bengkel Teater. Grup teater pun sering akan merasa “absah” jika sudah bisa pentas di Bengkel Teater Rendra. Bengkel Teater Rendra pada masa itu benar-benar menjadi oase bagi para seniman, selain Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Sebagai seniman dan budayawan, tak ada orang yang meragukan konsistensinya. Mas Willy adalah sedikit dari penyair-dramawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra dan drama. Meski begitu, seiring dengan popularitasnya yang tidak pernah pudar sepanjang lebih dari 40 tahun, ada juga sisi hidup Mas Willy yang dinilai minor. Di antaranya soal poligami yang dilakukannya. Tiga istrinya: Sunarti, Sitoresmi, dan Ken Zuraida pernah tinggal satu atap. Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Ketika menikahi Sitoresmi pada 1970, Mas Willy masuk Islam. Nama W.S. Rendra yang sebelumnya kepanjangannya Wilibrordus Surendra Broto Rendra diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Belakangan, ia lebih senang disebut Rendra saja. Proses menjadi mualaf juga menjadi cibiran banyak orang. Banyak orang ketika itu menuding Rendra masuk Islam demi bisa mendapatkan Sitoresmi. Namun, publik akhirnya bisa menilai Rendra tetap Muslim sampai wafatnya. Bahkan, Mas Willy tampak makin zuhud setelah naik haji.

Saya tersenyum simpul ketika membaca penuturan Mas Willy yang minta ampun pada Tuhan karena semua yang dia minum saat berhaji “air zamzam sekalipun” rasanya seperti minuman keras merek Chevas Regal. Itu karena meskipun sudah bergelar haji kebiasaan lama Mas Willy minum minuman beralkohol masih jalan terus.

Kata dia, “Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah.” Menurutnya, ia betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga ia ingin berteriak, “Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!”

“Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.” (Albaz-dari buku Saya memilih Islam Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press,

website : http://www.gemainsani.co.id oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com).

Sepak terjang Rendra memang sering membuat orang salah sangka tentangnya. Ketika ia menikahi Sitoresmi, banyak orang menyangka ia gila popularitas. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR dan Rendra datang untuk meneriakkan dukungan dan membacakan puisi, banyak orang menilai ia sedang cari muka. Ketika ia membaca puisi saat deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo di TPA Bantargebang, banyak yang menyangka Rendra sudah partisan. Saya pun termasuk yang salah sangka dan ikut jengkel dalam hati ketika Rendra runtang-runtung dengan Setiawan Jody saat acara konvensi Golkar menjelang Pemilu 2004 lalu.

Setelah saya renungkan, inti dari salah sangka itu lantaran Mas Willy ingin menjadi manusia merdeka yang memiliki moralitas otonom (dalam pengertian Kantian). Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang selalu memihak si lemah. Ia tidak ingin berada dalam arus kekuasaan. Makanya, dalam pelbagai kesempatan ia selalu lontarkan ide perlunya daulat rakyat dan mengkritik keras setiap kekuasaan yang mengedepankan daulat raja.

Ya, Mas Willy tetap Mas Willy. Ia tak perlu lagi membuat orang salah sangka terhadapnya. Ia pun tak perlu lagi mengkritik daulat raja. Ia kini dengan tenang dalam daulat Tuhan. Selamat jalan, Mas Willy.

*) Sastrawan, tinggal di Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati