Oyos Saroso HN*
http://www.lampungpost.com/
W.S. Rendra, sang fambloyan yang akrab disapa Si Burung Merak, wafat Kamis malam, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dengan tenang, Kamis malam (6-8) dalam keadaan Islam.
Bagi sebagian seniman dan masyarakat Indonesia, Rendra–lebih akrab disapa Mas Willy–adalah tokoh besar yang sangat dihormati. Ia bak magnet atau sihir yang membuat orang berbondong-bondong mendekat padanya, ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sahabat yang menenteramkan. Bengkel Teater Rendra yang ia kelola bersama istrinya di atas areal sekitar 2 hektare di Citayam, Depok, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlatih teater, tetapi juga menjadi “universitas kehidupan” bagi banyak orang.
Saya termasuk bagian kecil dari kelompok yang berbondong-bondong itu. Saya merasa beruntung karena bisa menuntaskan ambisi saya untuk bisa bertemu Rendra, belajar padanya, dan mengenalnya lebih banyak. Saya memang tidak seberuntung Sitok Srengenge, kawan lama yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan menjadi kakak kelas saya di Universitas Negeri Jakarta. Pasangan Sitok dan Farah Maulida (Farah juga kakak kelas saya di UNJ) pernah sangat dekat dengan Rendra karena menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sementara saya hanya sesekali saja bertemu Rendra. Namun, saya banyak belajar dari dia: tentang sastra, kebudayaan, dan kehidupan.
Saya ingat pada sebuah penggal sore, saya dan Sitok datang ke rumah pribadinya di Depok pada Oktober 1991. Saya diajak Sitok untuk “merayu” Mas Willy agar mau datang ke UNJ untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka Bulan Bahasa yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mas Willy harus dirayu karena bukan perkara mudah meminta dia menjadi pembicara. Maklum, saat itu merupakan “zaman gawat”: Mas Willy dicekal di banyak tempat karena kevokalannya mengkritik Orde Baru.
Ketika Mas Willy memastikan bisa hadir, persoalan baru muncul: berapa saya harus memberi honor Mas Willy. Kata Sitok, “Beri saja yang dibutuhkan dia saat ini! Kalau bisa memberi dia sapi dan kerbau dia akan lebih senang!”
Setelah konsultasi dengan Sitok, akhirnya saya putuskan kami (para mahasiswa jurusan) akan memberi Mas Willy mesin ketik merek Brother! Kalau tidak salah harga mesin ketik itu pada saat itu Rp300 ribu.
Persoalan muncul kembali ketika pihak kampus tidak mau menanggung risiko jika “ada apa-apanya” berkaitan dengan kedatangan Mas Willy. Sebagai ketua panitia, saya harus minta izin kepada Polres dan Kodim Jakarta Timur. Saya menolak dengan alasan seminar merupakan kebebasan mimbar yang menjadi otoritas rektor.
Saya tetap nekat mendatangkan Mas Willy dengan risiko apa pun. Akhirnya Mas Willy pun benar-benar datang. Gedung Teater Besar UNJ penuh pengunjung. Rektor UNJ Prof. Dr. Conny R. Semiawan pun hadir. Bahkan Bu Rektor menjadi peserta aktif. Itulah kali pertama, seingat saya, Mas Willy kembali bisa datang ke kampus setelah beberapa waktu lamanya dicekal dan dilarang berbicara di kampus-kampus di Indonesia.
Saya lebih mengenal Mas Willy ketika saya menyusun skripsi. Karena yang saya teliti adalah drama Panembahan Reso karya Rendra, mau tak mau saya harus sering konsultasi dengannya. Selebihnya saya mengenal dia dari buku-buku yang ditulisnya dan dari para muridnya. Salah satunya yang terpenting adalah dari Jose Rizal Manua, guru teater saya. Mas Jose, orang Padang yang fasih berbahasa Jawa, adalah guru teater yang baik. Ia menurunkan banyak ilmu dari Rendra kepada para anak asuhnya.
Saya merasa berutang budi kepada Mas Willy karena berkat dorongannyalah saya menekuni dunia jurnalisme dan sastra. “Jadi apa pun asal ditekuni dan konsisten pasti akan ada hasilnya,” kata dia.
Salah Sangka Tentang Rendra
Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Lahir dalam keluarga Jawa lingkungan keratun dan agama Katolik, Rendra akhirnya menempuh hidup “urakan” sebagai seniman teater. Sepulang dari Amerika Serikat, pada 1961 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.
Namun, grup ini tak lama kemudian terhenti karena ditinggal Rendra pergi belajar ke Amerika Serikat. Setelah Rendra pulang belajar dari Amerika, pada 1967 Bengkel Teater kembali hidup. Beberapa tahun kemudian Bengkel Teater pindah ke Citayam, Depok, dan lebih dikenal menjadi Bengkel Teater Rendra.
Selain sebagai seorang seniman–yang melahirkan banyak karya puisi dan naskah drama–publik mengenal Mas Willy sebagai seorang budayawan tangguh. Pemikirannya tentang kebudayaan termasuk brilian. Ia juga terkenal sebagai pribadi yang terbuka dan penolong. Pada era 80-an hingga 90-an, seniman rasanya belum menjadi seniman jika belum pernah mengunjungi Bengkel Teater. Grup teater pun sering akan merasa “absah” jika sudah bisa pentas di Bengkel Teater Rendra. Bengkel Teater Rendra pada masa itu benar-benar menjadi oase bagi para seniman, selain Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Sebagai seniman dan budayawan, tak ada orang yang meragukan konsistensinya. Mas Willy adalah sedikit dari penyair-dramawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra dan drama. Meski begitu, seiring dengan popularitasnya yang tidak pernah pudar sepanjang lebih dari 40 tahun, ada juga sisi hidup Mas Willy yang dinilai minor. Di antaranya soal poligami yang dilakukannya. Tiga istrinya: Sunarti, Sitoresmi, dan Ken Zuraida pernah tinggal satu atap. Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Ketika menikahi Sitoresmi pada 1970, Mas Willy masuk Islam. Nama W.S. Rendra yang sebelumnya kepanjangannya Wilibrordus Surendra Broto Rendra diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Belakangan, ia lebih senang disebut Rendra saja. Proses menjadi mualaf juga menjadi cibiran banyak orang. Banyak orang ketika itu menuding Rendra masuk Islam demi bisa mendapatkan Sitoresmi. Namun, publik akhirnya bisa menilai Rendra tetap Muslim sampai wafatnya. Bahkan, Mas Willy tampak makin zuhud setelah naik haji.
Saya tersenyum simpul ketika membaca penuturan Mas Willy yang minta ampun pada Tuhan karena semua yang dia minum saat berhaji “air zamzam sekalipun” rasanya seperti minuman keras merek Chevas Regal. Itu karena meskipun sudah bergelar haji kebiasaan lama Mas Willy minum minuman beralkohol masih jalan terus.
Kata dia, “Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah.” Menurutnya, ia betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga ia ingin berteriak, “Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!”
“Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.” (Albaz-dari buku Saya memilih Islam Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press,
website : http://www.gemainsani.co.id oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com).
Sepak terjang Rendra memang sering membuat orang salah sangka tentangnya. Ketika ia menikahi Sitoresmi, banyak orang menyangka ia gila popularitas. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR dan Rendra datang untuk meneriakkan dukungan dan membacakan puisi, banyak orang menilai ia sedang cari muka. Ketika ia membaca puisi saat deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo di TPA Bantargebang, banyak yang menyangka Rendra sudah partisan. Saya pun termasuk yang salah sangka dan ikut jengkel dalam hati ketika Rendra runtang-runtung dengan Setiawan Jody saat acara konvensi Golkar menjelang Pemilu 2004 lalu.
Setelah saya renungkan, inti dari salah sangka itu lantaran Mas Willy ingin menjadi manusia merdeka yang memiliki moralitas otonom (dalam pengertian Kantian). Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang selalu memihak si lemah. Ia tidak ingin berada dalam arus kekuasaan. Makanya, dalam pelbagai kesempatan ia selalu lontarkan ide perlunya daulat rakyat dan mengkritik keras setiap kekuasaan yang mengedepankan daulat raja.
Ya, Mas Willy tetap Mas Willy. Ia tak perlu lagi membuat orang salah sangka terhadapnya. Ia pun tak perlu lagi mengkritik daulat raja. Ia kini dengan tenang dalam daulat Tuhan. Selamat jalan, Mas Willy.
*) Sastrawan, tinggal di Bandar Lampung
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar