Kamis, 18 Maret 2010

Globalitas dan Lokalitas dalam “Membayangkan Indonesia”:

Sebuah Kritik Pascakolonial

Saut Situmorang
http://www.sastra-indonesia.com/

Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.

Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?

Antologi pertanyaan semacam ini, saya yakin, cukup relevan dilontarkan dalam konteks pembentukan sebuah wacana (discourse) yang implikasinya menyangkut kepentingan beragam kelompok sosial seperti “bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan mengambil sebuah contoh dari dunia budaya pop kita.

Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Piala Dunia Sepakbola di Jepang/Korea beberapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan sebuah shot seorang laki-laki muda Indonesia berpakaian seragam sepakbola di sebuah lapangan kosong yang kemudian memandang close up ke kamera dan bertanya, “Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang ganti pakaian di mana laki-laki muda tadi hendak mengambil minuman kaleng dari sebuah mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah layar (televisi?) dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indonesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indonesia itu dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya dalam subtitle di layar televisi kita berbunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul dalam kepala saya sehabis menonton iklan Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan itu dibuat? Siapa yang membuat iklan tersebut? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan ini adalah “orang Indonesia”, maka saya berkesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pandangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. Representasi “Indonesia” yang dibuat orang Indonesia untuk konsumsi orang Indonesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah sebuah sadomasokhisme nasionalisme, karena para konsumennya pun ternyata tidak merasa “terhina” melihat dirinya dipermainkan pemain asing dalam sebuah permainan sepakbola, dipantati keluar dari permainan dan dinasehati untuk tidak putus asa!

Dalam iklan Extra Joss tersebut saya melihat sebuah isu lama tapi yang masih tetap hangat didebatkan ditawarkan kepada penontonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal persepakbolaan dibanding “mereka”, makanya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan “mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”.

Tentu saja pendapat bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak selalu mendominasi di Indonesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menemukan justru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik daripada yang “global”, “Timur” lebih bernilai positif dibanding “Barat”.

Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, perdebatan penting tentang isu “globalitas” dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan 1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perdebatan Sastra Kontekstual. Saya melihat terdapat sebuah benang merah pemikiran yang menghubungkan ketiga peristiwa penting tersebut yaitu bagaimana “sekelompok elite intelektual” berusaha “membayangkan” apa yang mereka representasikan sebagai “Indonesia” itu sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya, paling tidak sebuah realitas yang paling ideal.

***

Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan pemikir lokal pertama yang melontarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam konteks sebuah usaha “membayangkan Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial yang dipublikasikannya di majalah yang didirikan dan dipimpinnya “Pujangga Baru” pada 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebudayaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-tokoh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poerbatjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa sejarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, zaman hingga penutup abad sembilanbelas, “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain”.

Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah pernyataan tegasnya bahwa:

“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya, agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas.

Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Amerika, Jepang.

Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”

“Timur” statis makanya mati dan “Barat” dinamis makanya hidup, maka sudah waktunya kita berkiblat ke “Barat” untuk menghidupkan kembali “Timur” yang sudah mati itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “membayangkan” komunitas “Indonesia” yang dilihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu. Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan kita temukan dengan kadar yang lebih kuat lagi pada pandangan lawan-lawan polemik Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama kedua yang terakhir ini justru memandang “Barat” sebagai yang negatif makanya mesti dihindarkan, demi kemurnian “Timur” yang adiluhung itu.

Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”, tulisan tanggapannya atas esei polemis Sutan Takdir tersebut, menyatakan, dengan tidak kalah tegasnya pula, bahwa:

“Barat. . .mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Walaupun Sanusi Pane beranggapan bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”, kita masih bisa merasakan justru sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya masih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena “materialisme, intellectualisme dan individualisme” – yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,” demikianlah alasan Sanusi Pane dalam memilih “Timur” ketimbang “Barat”.

Cara memandang “Timur” secara mistik begini terefleksi juga pada isi beberapa prasaran dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di Solo pada tahun yang sama, yang membuahkan kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan pada apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sikap “anti-intellectualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme” – atau anti-Barat secara umum karena isme-isme inilah yang dianggap sebagai dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang – pada pidato sejumlah besar pembicara pada Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas tumbuhnya egoisme dan materialisme, sementara mengasah intelek 8 jam di sekolah menimbulkan intelektualisme yang memisahkan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-sialah usaha pendidikan budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo mencela sistem pendidikan kolonial karena “terutama mementingkan kecerdasan akal”! Dr Wediodiningrat malah mengecam habis-habisan “kecerdasan otak cara sekarang” yang dikatakannya menciptakan “perasaan pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan ‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya “kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya “peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas merupakan sikap yang mengada-ada, tidak relevan, karena mengesankan seolah-olah isme-isme tersebut sudah mapan, sudah mentradisi makanya mulai menjadi negatif pengaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal:

“Kalau kita timbang benar-benar, soal bangsa kita bukannya soal intellectualisme, bukanlah soal egoisme, bukan pula soal materialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksudi bahagiannya yang sehat), kurang materialisme.”

Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal kekurangan intellect, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu dengan sebuah serangan balik yang telak dalam bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dialah yang pertama melontarkannya untuk diperdebatkan di kalangan intelektual kita: “Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendidikan Barat yang diejekkan intellectualistisch, individualistisch, egoistisch, dan materialistisch itu”.

***

Peristiwa “membayangkan” apa itu kolektivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan seperti yang bisa kita saksikan pada didirikannya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para intelektual muda kolonial yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Polemik Kebudayaan terlihat dengan jelas untuk pertama kalinya polarisasi konseptual antara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum intelektual Indonesia dalam “membayangkan Indonesia”.

Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawan polemiknya tentang apa itu “Barat” dan “Timur”, apa yang menarik adalah bahwa polemik tersebut terjadi di kalangan mereka yang rata-rata memperoleh “pendidikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal yang sangat mengherankan: walau bagaimanapun kerasnya (bahasa) kedua pihak membela diri sambil menyerang lawan polemik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan kritis membicarakan kondisi masyarakat mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda itu sendiri!

Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”, tentang yang “Universal” dan yang “Kontekstual”, tentang yang “Global” dan yang “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indonesia tidak bisa melupakan satu hal yang umum dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolonialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membicarakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga tidak akan memuaskan tanpa juga mempertimbangkan efek-efek kultural dari penjajahan, yang rata-rata berumur panjang itu. Dalam eseinya yang pertama, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi pemicu terjadinya perdebatan intelektual penting pertama dalam sejarah pemikiran modern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebenarnya sudah menyinggung soal-soal yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang justru menjadi sebab dari kondisi pascakolonial tersebut anehnya luput dari pembicaraannya, yaitu realitas kolonialisme yang sedang dialami “Indonesia” yang sedang dibayangkan itu. Membaca kumpulan tulisan mereka dalam buku “Polemik Kebudayaan” yang disusun oleh Achdiat K Mihardja, tidak ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka itu sebenarnya hidup sebagai manusia terjajah di negerinya sendiri, padahal beberapa di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, sangat terlibat dengan gerakan melawan penjajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “imagined community”, yang berfungsi sebagai sebuah kekuatan resistensi terhadap kekuasaan hegemonik kolonialisme yang mendominasi masyarakat dimaksud, menurut Ben Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme” itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah perdebatan di mana konsep “apa itu Indonesia” merupakan isu yang paling penting. Elitisme sekelompok terpelajar dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi justru terkesan sangat kuat mewarnai pandangan mereka walau mereka memakai kosakata yang menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”, dan “rakyat” malah.

***

Ada sebuah anekdot terkenal tentang seorang tokoh yang dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang secara esensialis merupakan nilai keadiluhungan budaya Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungannya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi mendapat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan setibanya di kota London: “Mr Gandhi, what do you think of Western civilization?” Jawaban Gandhi berikut ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu terkenal, “I think it would be a very good idea”.

Cerita anekdot semacam ini telah menciptakan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi lain melupakan identitas biografisnya sebagai seorang subjek pascakolonial par excellent.
Seperti diuraikan Robert Young dalam bukunya yang sangat bagus tentang pascakolonialisme, “Postcolonialism: An Historical Introduction”, warisan dari kritik Gandhi atas modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat secara derivatif tanpa kritis, masih merupakan kekuatan besar dalam pemikiran beberapa pemikir kontemporer India seperti Partha Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa Gandhi mencapai semuanya itu sebagian besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran para pemikir counter-culture Barat. Konsep hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak dipengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuangan nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan suffragette perempuan Inggris. Henry David Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter adalah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pemikiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai “asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpulkan Young, sekaligus sebagai respons terhadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan bahkan sudah, bicara”.

Kondisi pascakolonial macam inilah yang gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Sutan Takdir yang masih sibuk dengan romantisme “esensialisme” budaya “Timur” atau “lokal” yang mereka anggap masih utuh seperti sebelum terjadinya kolonialisme. Sementara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar berdasarkan pemahaman akan hibriditas identitas subjek pascakolonial itu sendiri, seperti pada pemikir Aljeria asal Martinique, Frantz Fanon, atau Minke dalam Novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepada usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai lewat pendidikan Barat – seakan-akan pendidikan Barat memang jaminan untuk itu, seakan-akan tidak ada politik alternatif lain di luar politik pendidikan yang bisa juga memungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan tersebut. Makanya juga tidak terdapat pembicaraan yang kritis atas (politik) kolonialisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprahan Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir-akhir ini dengan munculnya ide untuk membentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Kebudayaan Indonesia” di luar Indonesia, hanya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan dalam sebuah perlombaan imperialisme kebudayaan ketimbang benar-benar demi kepentingan kebudayaan itu sendiri.

***

Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga, dalam konteks pembicaraan globalitas dan lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa dijelaskan secara umum seperti berikut ini.

Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup langgeng happily ever after, kolonialisme memerlukan terjadinya proses regenerasi, seperti organisme hidup lainnya. Khas watak kapitalisme, ideologi ongkos-produksi minimum dengan keuntungan sebesar-besarnya membuat para kapitalis-kolonialis memanfaatkan sumber daya manusia, setelah mengeruk sumber daya alam, negeri jajahan masing-masing. “Pendidikan kaum tertindas” pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah rakyat” walau terbatas hanya untuk “para priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih murah ketimbang mendatangkan pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sendiri. Alasan untuk memilih hanya kelompok “para priyayi” karena mereka ini memang yang paling banyak berkepentingan, sebagai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan bahkan sesudah terjadinya kolonialisme), untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini jugalah yang kelak di kemudian hari bermetamorfosis menjadi “the founding fathers” itu, seperti presiden atau perdana menteri pertama negeri-negeri koloni yang berhasil memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena asalnya memang metamorfosis “kolaborasi penjajah-terjajah”, para “the founding fathers” negeri-negeri bekas koloni adalah subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumiputra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Amerika Serikat. Black skin, white masks, kata Fanon.

Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, menjadi pakem kebijaksanaan administrasi negara dan politik luar negeri setiap negeri pascakolonial untuk harus menggarisbesarkan orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah lama bercokol jadi hegemoni dominan di masing-masing negeri bekas koloni, yang telah berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu. Terutama lewat apa yang secara eufemistik disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu. Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu sarat dengan kandungan ideologi budaya Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak memiliki politik budaya. Akhirnya, “pendidikan kaum tertindas” ternyata cuma awal dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum kolonial belaka. Inilah paradoks dari “nasionalisme” hibriditas identitas subjek pascakolonial itu. La Trahison des Clercs?

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati