Selasa, 09 Maret 2010

Langit Gelap, Tanpa Bintang

Gunawan Budi Susanto
http://suaramerdeka.com/

”BU, Bapak mana?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir mungilmu, malam-malam sebelum tidur.
”Bapak ke surga.”
”Kenapa tak pulang-pulang?”
”Nanti, kalau sudah punya banyak duit. Bapak kerja keras di sana, cari duit buat kamu dan adik-adikmu.”
”Surga jauh, Bu?”
”Jauh, sangat jauh. Tidurlah, sudah malam.”
”Bapak pasti pulang, Bu? Naik pesawat?”
”Iya, naik pesawat. Doakan saja Bapak selamat dan pulang bawa banyak duit.”
Setelah itu, biasanya kamu menggumamkan doa. Entah apa. Aku tak benar-benar mendengarkan karena diam-diam sedang menekap kepedihan. Lalu, agar kamu segera tidur, kudongengkan segala kisah yang kupungut dari tebing ingatan: tentang kamu, tentang adik-adikmu, saat bapakmu masih hidup.
Kamu tak pernah tahu, saat itu aku selalu menangis. Tanpa suara, tanpa isak, sampai kamu terpejam dalam tidur yang tak pernah nyenyak.
Pertanyaan itu kamu lontarkan setiap malam. Tak bosan-bosan. Dan, setiap kali, aku pun mengulang jawaban yang sama seraya menekan kejenuhan. Sampai kamu masuk taman kanak-kanak. Entah kenapa, setiap malam sebelum aku mendongeng, kamu tak lagi menanyakan kenapa bapakmu tak segera pulang dari surga.
Ah, kalau saja kamu tahu, sejak malam itu aku bersyukur tak perlu lagi mengulang-ulang jawaban. Sejak saat itu pula aku meyakinkan diri sendiri: bapakmu memang berada di surga. Harapan itu sesekali berpilin-berkelindan dengan rasa iri. Ya, betapa enak dia: tinggal ongkang-ongkang kaki, tak lagi direcoki segala tetek bengek agar kamu serta adik-adik dan mbakyumu tetap bisa makan dan bersekolah. Dan, terutama, bisa menikmati masa kanak-kanak kalian sebagaimana anak-anak lain. Acap kali, diam-diam, aku menyalahkan bapakmu: kematiannya, entah di tangan siapa, telah membebaskan dia dari tanggung jawab membesarkan kalian, dan menimpakan sepenuh seluruh kewajiban itu kepadaku. Seorang diri. Mengasuh dan membesarkan kalian, lima orang anak, menjalani masa pertumbuhan.
Tanpa sepenuhnya kusadari di dasar hati muncul benih-benih kebencian pada bapakmu. Makin hari benih itu kian besar. Mengecambah, meracuni darah. Membarah. Jika mungkin, ingin kuhapus segala ingatan tentang bapakmu. Namun, tentu saja, itu mustahil. Dia telah maujud pada diri kalian berlima. Kalian sepenuhnya penjelmaan dia. Maka, jika muncul sekelebat kenangan bersama dia, segera kucungkil dari benak. Aku khawatir kebencian yang meruyak beralih pada kalian. Karena itulah aku bersyukur, benar-benar bersyukur, kamu tak lagi nyinyir bertanya apa yang sedang bapakmu perbuat di surga. Sampai sekarang.
***

KAU keliru membenci Bapak. Bapak amat-sangat mencintai Ibu. Begitu besar cinta Bapak sehingga tak pernah melarang apa pun yang diperbuat Ibu dalam organisasi Gerakan Perempuan Indonesia. Dia khawatir, sekali melarang, Ibu bakal pergi. Lantaran Bapak tahu Ibu tak mencintainya. Ibu cuma punya respek, rasa hormat. Perhatian Ibu lebih tercurah untuk mewujudkan cita-cita: membangkitkan kesadaran perempuan agar hidup secara mandiri. Bebas dari penindasan dalam segala bentuk, dalam aneka wujud.
Apalagi Bapak pun sepakat, tak semestinya perempuan dikurung dan ditelikung urusan dapur, kasur, pupur. Justru aktivitas Ibu itulah, antara lain, yang membuat Bapak kesengsem. Dia, lelaki pendiam dan introvet itu, diam-diam mengagumi Ibu ñ adik kelas dan kemudian menjadi kawan sekerja sebagai guru. Lama-kelamaan kekaguman itu berubah menjadi rasa kasih, menjadi rasa sayang.
Bapak pun melamar Ibu. Ibu, yang barangkali sudah terlalu capek menolak lamaran beberapa kawan pria, akhirnya menerima pinangan Bapak. Mereka menikah dan lahirlah kita, anak-anak mereka. Kehadiran kita tak pernah menghalangi Ibu untuk tetap aktif berorganisasi. Untunglah Bapak tipe orang rumahan; dialah yang lebih sering momong kita sembari menjalani kegemaran membuat sangkar bagi burung-burung perkutut piaraan.
Menyenangkan bukan? Tak ingatkah kau, sesekali pada malam hari Bapak dan Ibu mengajak kita berjalan-jalan, menyusuri jalanan kota kecil di tepian bengawan, tempat kita tinggal saat itu? Sesekali pula mereka menggiring kita ke pasar malam menjelang lebaran. Amboi, betapa senang, betapa riang!
Lalu, datanglah petaka itu. Prahara membadai. Acap kali, pada malam-malam gelap tanpa bintang, banyak orang menggedor-gedor rumah kita. Mereka berteriak-teriak dengan suara parau penuh amarah. Beringas, berseru-seru bersahut-sahutan, ”Bakar, bakar saja! Jangan kasih ampun! Pengkhianat bangsa, penghujat agama!”
Batu-batu pun beterbangan. Menghancurkan genting rumah kita, meremuk kaca jendela.
Bapak dan Ibu mengungsikan aku dan Lilik ke B, ke rumah Eyang. Tinggal kau dan Yoyok. Sri masih dalam kandungan Ibu.
Kau tentu ingat, beberapa kali kalian disembunyikan ke rumah para tetangga ketika orang-orang itu menyerbu rumah kita. Penyerbuan berlangsung berulang-ulang.
Akhirnya, setelah beberapa waktu, tentara menahan Bapak dan Ibu. Mereka membawa Yoyok dalam tahanan karena masih terlampau kecil untuk tinggal di rumah bersamamu dan Mbok Nah, pembantu kita.
Beberapa bulan kemudian, aku tak ingat lagi, Ibu keluar dari tahanan. Aku dan Lilik sangat gembira ketika suatu hari melihat Ibu, kau, dan Yoyok turun dari dokar di depan rumah Eyang. Namun Bapak tidak. Bapak tak pernah kembali. Sampai kini.
Kata orang, tentara membunuh Bapak dan mengubur mayatnya di tengah hutan di kawasan selatan C ke arah N. Orang-orang juga bilang, Bapak mengajukan diri sebagai pengganti Ibu yang jadi target eksekusi. Entah dengan cara apa, Bapak mampu meyakinkan tentara bahwa membunuh Ibu sama saja dengan membunuh tujuh nyawa sekaligus: nyawa Ibu, nyawa Bapak, dan nyawa kita berlima.
Begitulah kejadian sesungguhnya. Kini, tak sepatutnya kau masih menyimpan dendam pada Bapak yang kauanggap telah menelantarkan keluarga kita. Kau keliru menilai Bapak tinggal glanggang colong playu ñ lari, meninggalkan gelanggang - dengan memilih kematian ketimbang membiarkan Ibu terbunuh. Kematian Bapak sesungguh benar adalah alas bagi keselamatan kita. Tumbal bagi hidup kita.
***

AKU termangu seusai menonton film The Mass Grave Indonesia (2001) besutan sutradara Lexy Junior Rambadeta. Film itu mendokumentasikan penggalian kuburan korban pembantaian pasca-1965 pada 16 November 2000. Ke-21 jasad korban ditanam di satu liang di bawah pohon kelapa di Hutan Siturup, Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah.
Penggalian itu difasilitasi YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa atas permintaan Sri Muhayati, ahli waris salah seorang keluarga korban. Dalam film itu, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang pernah dijebloskan ke berbagai penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, menyatakan, ”Pers Barat menyebutkan antara 500.000 dan sejuta orang dibunuh. Kata Domo dua juta. Dan Sarwo Edi yang menjalankan pembantaian itu atas perintah Harto mengatakan dengan bangga telah menghabisi tiga juta nyawa.”
Ingatanku melejing ke sosok Bapak, yang samar tergambar dalam benak. Benarkah dia merupakan salah seorang di antara korban pembantaian itu? Bukankah sebaiknya aku meminta tolong pada YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa agar merunut kuburannya? Lalu, berupaya menggali dan memindah kerangka Bapak agar bisa dikuburkan kembali secara semestinya?
”Jangan punya pikiran macam-macam, Mas!” ujar Ita, istriku.
Tiba-tiba saja dia telah berada di belakang punggungku. ”Apa kau tak melihat resistensi yang muncul? Orang-orang mengaitkan penggalian jasad itu dengan kebangkitan komunisme segala. Ingat Kinan, Mas. Dia bakal menyandang tiga stigma sekaligus: beribu Cina korban pemerkosaan, berbapak keturunan komunis…”
Cina, pemerkosaan, komunis. Ketiga kata itu mendenging dalam kuping, merujing-rujing. ”Kalau kau Cina, lantas kenapa?”
”Lantaran Cinalah yang membuat aku diperkosa bukan?”
”Dan, tuduhan komunis pada bapak dan ibuku? Bukankah tak pernah dibuktikan?”
”Jangan berlagak bodoh! Perlukah semua itu kaujelas-jelaskan pada setiap orang? Omong kosong! Aku bersyukur kau mau menikahiku. Siapa mau mengawini perempuan Cina korban pemerkosaan, jika bukan orang gila pula? Dan, kedua orang gila itu masih dilekati stigma tambahan: anak turun komunis. Anak kita, Mas,… tak perlu memikul beban warisan semacam itu. Terlalu berat bagi kita, terlalu menyakitkan bagi dia…”
Tiba-tiba Ita bangkit dan masuk kamar tidur, membiarkan aku sendirian menatap layar monitor yang berkeredip tanpa gambar. Sekilas kulihat dia menghapus air mata dari pipinya.
Aku tergeragap ketika mendengar tangis Kinan, anakku. Ah, haruskah aku mengubur impian untuk suatu saat bisa menziarahi pusara Bapak? Pusara yang benar-benar kuyakini sebagai persemayaman jasad bapakku? Bukankah penggalian kubur Bapak bakal melengkapi guratan sejarah keluargaku? Meski memang berisiko bakal mempergelap atmosfer kehidupan Kinan untuk tumbuh dan kembang secara sehat. Raga dan jiwa? Di negeri yang terus-menerus mewariskan kebencian, dendam, dan kekerasan ini? Negeri yang terus dibasahi darah yang tertumpah? Darah yang membarah?
Aku bangkit, bersijingkat memasuki kamar. Kulihat Kinan lahap menyusu sang ibu. Mata sipitnya berkedip-kedip lucu ketika aku hendak mencium pipinya. Jemari kecilnya menarik-narik rambutku. Saat itu, jauh di dasar hati, ada sesuatu yang terasa terenggut. Entah apa. Entah oleh siapa.
Aku tersadar, ternyata Ita menyusui sambil menahan isak. Aku tak tahan, keluar, ke pekarangan rumah. Merokok sembari mengeliarkan pandangan. Langit gelap, tanpa bintang. Hawa dingin menusuk tulang. Bakal hujan? Tengah malam?
Aku tergugu, terduduk di rerumputan. Ah, Kinan, Kinanti Gurit Wening, haruskah aku memperlebar kemungkinan bagi orang lain untuk merenggut kemanisan hidupmu? Kemanisan yang sesungguh benar masih berupa kemungkinan pula, Anakku?

Gebyog, akhir April 2009

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati