Dina Oktaviani
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
DIA sudah tidak tahan lagi. Beratnya sudah turun sebanyak dua belas kilo selama sepuluh bulan ini. Tapi dia masih harus menahan diri sampai pertemuan itu tiba. Baru pukul empat. Terdengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Dia berdebar-debar. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser; pintu pagar milik tetangga rumahnya tidak berpagar, dan dia harus kembali bekerja.
Siang tadi dia pergi ke toko daging dan membeli kikil sapi. Uangnya masih banyak, upah terjemahan yang turun kemarin karena dia memaksa pihak penerbit menurunkannya meski pekerjaannya belum selesai diedit, tapi dia hanya membeli kikil. Dan sepanjang perjalanannya, semua orang menoleh dan menyapanya hanya karena rambutnya yang dicat merah, dan bukan karena rok pendek yang memperlihatkan kakinya yang cokelat.
Di meja dapur, cabe hijau, bawang putih dan bawang merah telah selesai dipetik dan dikupas. Dia mengiris bawang merah terlebih dahulu dan menggesernya sehingga berada di deretan paling depan di atas talenan. Air matanya deras, dia dapat melihatnya di cermin yang menempel di dinding dapur ke arah mana dia menghadap. Dan dia mengeluh karena, meski orang Sumatera, dia tidak bisa memasak rendang. Padahal dia hanya mau makan daging sapi yang direndang, terutama bila dibuat oleh ibunya sendiri yang kini entah di mana.
Bawang merah telah selesai diiris. Dia menatap cermin sekali lagi, hening dan kaku, seolah mencoba memahami arti dari wajahnya yang sembab, seolah air mata itu muncul dari perasaan tertentu dan tak ada hubungannya dengan bawang merah. Kemudian dia mengelap air mata dengan lengan kaus katunnya, mengiris bawang putih dan cabe hijau lalu beranjak menyalakan kompor.
Ketika mulai menumis, tiba-tiba dia merasa jengkel karena suara yang muncul dari penggorengan tidak dapat menimbulkan kesan akan apa pun, dan aromanya tidak bisa menggoda kekasihnya untuk datang tiba-tiba. Kekasihnya yang sibuk dengan keluarga besar dan tradisi-tradisinya. Kekasihnya yang pemikir, yang tergila-gila akan semangat klasik dalam belajar, yang menurutnya terobsesi pada gaya hidup kuno. Dia selalu berdebar-debar dan lunglai menatap layar ponselnya, tetapi laki-laki itu lebih senang menulis surat yang selama sepuluh bulan mereka berpacaran baru dua kali dikirimkan tukang pos kepadanya.
Selama sepuluh bulan itu, sudah sembilan kali mereka terpisah. Dan pada bulan-bulan terakhir, setiap perpisahan memakan waktu sampai satu bulan. Dan dalam satu bulan itu, hanya beberapa hari saja dia menerima pesan atau telepon dari laki-laki itu. Begitulah, dia mengharapkan komunikasi yang rutin dan tanpa hambatan, tapi kekasihnya lebih gemar memberi kejutan yang alamiah.
Di tengah perasaan jengkel itu dia teringat pada jahe dan menambahkannya pada tumisan setelah menumbuknya buru-buru. Setelah tumisan bumbu, kikil dan kecap asin menyatu, dia baru sadar masakan itu tidak akan habis dimakan selama tiga hari, mengingat dirinya cuma sendirian dan tak ada kawan yang bakal datang.
Nasi telah tanak secara elektrik. Tak ada orang lain di meja makan. Hari masih terang pula. Dia masih malas makan, dan duduk termenung menatap cermin. Kosong. Hanya terdengar suara motor behenti di depan rumahnya. Dia memasang telinga hati-hati dengan hati berdebar-debar. Hening. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Dia memaki dirinya sendiri. Konyol! Sudah berulang-ulang laki-laki itu memutuskan hubungan dengan alasan yang hebat-hebat: pengkhianatan, perbedaan dunia dan tradisi, sakit hati yang mendalam. Semuanya melewati pertengkaran-pertengkaran yang juga hebat. Tapi mereka selalu kembali bersama.
Dia merasa sudah tidak tahan lagi. Waktu bertindak begitu cepat dan kasar terhadap hubungan mereka, tapi begitu lambat dan dungu terhadap penantiannya. Oh, kerinduan! Dia sudah tak punya apa-apa lagi selain kerinduan. Tapi dia merasa harus melepaskan juga yang satu itu.
Bulan ini, sudah empat kali laki-laki itu berjanji untuk datang. Dan setiap kali batal, tak ada kabar yang datang dengan segera. Dan dia sudah mengutarakan kekecewaanya setiap kali karena bila tak ada kabar, dia akan selalu mengira akan mendapat kejutan. Tapi? Suara pintu pagar digeser itu membuatnya gila!
Namun kali ini mereka pasti bertemu. Laki-laki itu telah meneleponnya dari kereta tadi malam. Dan masing-masing telah berjanji akan mengatakan sesuatu. Tidak di rumah, tapi di kafe mahal tempat kali pertama mereka kencan dulu. Malam itu dia baru saja mendapat pinjaman uang untuk membayar sewa rumah, dan menghabiskan sebagian untuk membayar pesanan. Kali ini dia akan menggunakan upah terjemahannya untuk kembali ke kafe itu. Tapi entah kenapa dia membeli kikil dan memasaknya hari ini, dan entah kenapa dia masih saja terganggu dengan suara motor dan suara pintu pagar digeser itu.
Tiba-tiba sudah pukul lima. Jantungnya berdegup cepat, semangatnya naik drastis. Dia mandi dengan lulur dan mengenakan gaun yang dijahitnya sendiri dengan tangan. Gaun itu... Dia telah menyelesaikannya tiga minggu lalu, menyempurnakannnya setiap hari selama seminggu, dan telah menggantungnya selama dua minggu. Dia berencana mengenakannya untuk pergi menonton Festival Film Asia bersama kekasihnya sehingga menyimpan kegembiraan itu sampai kekasihnya datang. Tapi gaun itu tetap tergantung di balik pintu kamar, sampai festival habis, sampai kegembiraan itu terasa pahit. Dibikin pahit oleh kerinduan yang tak sabar. Tak pernah sabar.
Dia mencoba memaafkan ketidaksabarannya sendiri dan memusatkan kerinduan pada puncaknya. Terdengar suara motor, lalu jeda, lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Segera ingatan-ingatan berkumpul dan menyerbunya.
Dia teringat jalan-jalan basah pada dini-dini hari, saat dia dan kekasihnya mengenakan jaket tebal dan syal dan berjalan kaki mencari warung makan. Laki-laki itu memegang payung dan berjalan di sisi kanannya sambil merangkul bahunya dengan tangan kirinya. Dini-dini hari itu, sesekali mereka menghentikan langkah karena perut dan pinggangnya terasa sakit dan laki-laki itu bertanya kepadanya dengan lembut namun galau: sakit? Kemudian mereka kembali berjalan di bawah gerimis, mencari sesuatu yang belum pasti mereka temukan.
Dia teringat suatu senja di swalayan saat kekasihnya menatapnya dari dekat pintu keluar ketika dia membayar sayuran dan pakaian dalam pria di kassa. Tatapan yang lurus dan tajam; tak ada jalan untuk berbelok, tak ada senjata apa pun untuk melawan ketajaman itu. Tatapan itu membakarnya bagai tatapan pertama yang membuatnya jatuh cinta pada laki-laki itu.
Dia ingat sebuah stasiun tempat mereka berkali-kali saling melambai tanpa menggerakkan sedikit pun tangan mereka. Dia teringat tempat tidur yang dingin di kamarnya, yang enggan sekali dia naiki sendirian pada malam-malam penantiannya. Dia teringat semuanya, tapi dia telah memutuskan untuk tidak berlarut-larut dengan semua itu lagi. Dia sudah memutuskan: untuk berdandan sempurna dan menemui kekasihnya di kafe, dan mengatakan sesuatu yang telah dijanjikannya. Tapi...ah, suara motor dan pintu pagar digeser itu lagi!
Laki-laki itu sampai di kafe terlebih dahulu, mengenakan kemeja yang dibelikan ibunya dan memandang kekasihnya penuh kekaguman ketika dia datang. Akhirnya: pertemuan! Seperti biasa, mereka hanya berjabat tangan pada pertemuan yang pertama: belum kuat melepaskan ledakan rasa kangen.
Laki-laki itu memulai percakapan dengan mengutarakan kekagumannya. Sedang kekasihnya memulai dengan mengeluh ketika mendengar suara motor lewat di sekitar kafe, mengingatkan kepada laki-laki itu pada kisah suara motor dan pintu pagar digeser yang lusinan kali dia dengar. Ya, jika kamu tidak pernah tidur dan pergi dari rumah, kamu akan tahu berapa lusin kali suara motor dan pintu pagar digeser terdengar selama sehari semalam. Dan seperti biasa, dengan nuansa bangga karena amat dirindu-rindukan, laki-laki itu meminta maaf atas penundaan-penundaan yang telah dilakukannya.
"Seperti biasa, cintaku memaafkan semua yang kamu lakukan padaku."
Laki-laki itu tersenyum. Kekasihnya menatapnya.
"Tapi kukatakan: aku sudah tidak tahan lagi."
Laki-laki itu menatap kekasihnya yang baru saja berbicara dengan sikap paling dingin yang pernah dilakukannya; mencari-cari cinta di matanya tapi tidak ketemu; tiba-tiba merasa seakan kekasihnya atau dirinya sendiri telah menggunakan mata yang salah selama ini.
"Bukankah kamu sudah memaafkan semua kejahatanku? Kamu tidak pernah mengungkitnya lagi, atau membicarakannya? Dan Darlin....kamu sudah berjanji tidak akan kembali kepadanya kan?"
"Bukan karena semua itu. Sungguh. Kamu tahu, sekarang, jika ada alasan yang membuat kita harus berpisah, itu hanyalah..."?
"Apa, Sayang? Bilang."
"Suara motor dan pintu pagar digeser itu..."
Oh! Laki-laki itu mengharapkan dia berteriak-teriak memakinya sambil menangis, membeberkan semua kejahatannya dalam hubungan ini. Ia mengharapkan perempuan itu melemparkan gelas ke mukanya dan membanting meja sampai semua orang memperhatikan mereka. Ia mengharapkan kekasihnya merengek dengan kasar: aku mencintaimu... coba mengerti aku sedikit, bajingan! Tapi hanya penampilan yang anggun dan kata-kata ini yang keluar dari mulut perempuannya:
"Sekarang giliranmu."
"Tidak mungkinkah kita memulainya dari awal lagi?"
Dia menggeleng sedikit saja sambil mengedipkan kedua matanya pelahan.
"Sekarang giliranmu."
Laki-laki itu menyedot napas lewat hidungnya kuat-kuat, menimbulkan suara seakan ada cairan di dalamnya. Tetapi wajahnya tidak apa-apa, juga matanya: tetap kaku, bahkan ketika mulai berbicara kembali.
"Aku datang untuk mengatakan: aku sudah siap mengambil risiko, dan mengajakmu menikah."
Mereka bertatapan, masing-masing dengan ketegaran yang pucat. Lalu perempuan itu menundukkan wajahnya. Dia menangis, akhirnya, terisak-isak. Dia menangis, karena tak tahu laki-laki itu baru saja berbohong.
Begitulah, mereka berpisah. Malam jatuh. Kesedihan yang hebat naik ke wajah laki-laki itu sepanjang malam, sublim oleh cahaya bulan, menjadi kaca-kaca di matanya. Namun kesedihan itu terlalu berat, dan akhirnya jatuh mengikuti perilaku malam, membasahi jalan-jalan: gu gu gu... Tak tahu kenapa. Pada saat itulah aku bertemu dengannya. Aku ingin ia menatapku, tapi aku takut ia akan mengatakan yang sebenarnya: sebuah keputusan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 20 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar