Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Rendra (7 November 1935 – 6 Agustus 2009), Si Burung Merak itu, akhirnya terbanglah. Sekian lama ia terbaring di rumah sakit, selama itu pula serangkaian doa untuk kesembuhannya terus dilantunkan oleh sejumlah komunitas seniman di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, para seniman di Malaysia, yang memang mengenal baik sosok Rendra, sengaja mengumandangkan doa bersama. Meskipun Tuhan berkehendak lain, kita menangkap adanya gelombang solidaritas atas seseorang yang sudah dianggap milik bersama. Fenomena apakah gerangan sehingga para seniman tiba-tiba bergerak berdoa bersama tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seorang Rendra?
Si Burung Merak dengan segala sepak terjangnya menjadi simbol bagi sebuah totalitas kerja berkesenian. Rendra telah menjelma menjadi ikon tentang sikap dan kiprah seniman sejati yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kerja sastra, seni, dan martabat kebudayaan bangsanya. Maka, seorang manusia Rendra hadir dalam kehidupan bangsa ini tidak lagi sebagai representasi seorang individu, melainkan milik bersama yang tetap dicintai—dikagumi, dan kemudian menjadi anutan dan orientasi, bagaimana kebudayaan harus menjadi teras kehidupan bangsa, kehidupan kemanusiaan. Itulah elan seniman sejati yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk menggairahkan seni yang dapat mengangkat harkat manusia, martabat bangsanya.
Rendra, sang maestro, terbanglah meninggalkan kita, meninggalkan pohon kesenian yang aromanya merebak ke mancanegara. Tetapi siapakah yang memetik buah dari pohon kesenian yang ditanam Rendra itu? Tentu saja kita sudah merasakannya. Lihat saja, bagaimana puisi yang semula cukup dibaca di dalam kamar sambil merenung sekalian mencari tahu maknanya, tiba-tiba berubah menjadi pentas kesenian yang memukau, menjadi sebuah pembacaan yang melibatkan publik dan menggedor emosi pendengarnya. Era vergadering (rapat umum) Bung Karno bagai menginspirasi Rendra yang lalu tampil tidak sebagai macan podium, melainkan aktor tunggal yang mengibarkan panji-panji puisi. Puisi tidak lagi sekadar teks yang cukup sebatas dibaca di ruang pribadi sambil mengunyah permen karet, tetapi coba dikembalikan sebagai pentas publik dan sekaligus menjadi alat memprovokasi problem moral, ideologi, bahkan kehidupan politik bangsa ini.
Ingat juga ketika dekade 1970-an, ia bergerak dari satu kampus ke kampus lain untuk mengobarkan semangat perjuangan—perlawanan pada sebuah rezim yang represif. Mula-mula melalui pentas drama Mastodon dan Burung Kondor. Lalu, tak terhindarkan, puisi menjadi pentas fenomenal ketika didengungkan di depan publik. Dengan segala konsekuensi yang harus diterimanya, Rendra, melalui puisi, coba menanamkan permusuhan pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Inilah awal—selepas Taufiq Ismail melakukannya pada rezim Orde Lama—puisi mempunyai harga sebagai seni pentas. Pembacaan puisi tidak sekadar sebuah pentas deklamasi yang menekankan intonasi mendayu-dayu dan gerak tubuh menggemulai. Ia menjadi sebuah pementasan yang di sana, gerak teatrikal fungsional meneguhkan pesan yang disampaikan. Di tangan Rendra, puisi menjadi gelombang sihir. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh seorang penyair yang menguasai retorika secara prima.
***
Bagi Rendra, boleh jadi kesadaran itu lahir dari sebuah pemahaman atas konsepsi teater modern. Sebab, sekembalinya dari Amerika (1964—1967), Rendra membentuk Bengkel Teater. Inilah salah satu pohon kesenian yang lain yang ditanam Rendra. Itulah titik berangkat perubahan besar dalam kehidupan teater Indonesia yang kemudian berdampak pada reformasi deklamasi yang cenderung didominsi gaya mayoret yang konvensional dan monoton. Bukankah sebelum itu, ia juga telah menghasilkan kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (1957), dan Empat Kumpulan Sajak (1961), serta tiga naskah drama, Dataran Lembah Neraka (1952), Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), dan Selamatan Anak-Cucu Soleman (1967)? Sebelum balik dari Amerika, antologi itu wujud sebagai karya-karya puisi penting dalam deretan karya penyair lain periode itu. Lalu, manakala sejumlah puisi itu dibacakan di depan publik, ia berubah menjadi kepak burung merak yang memancarkan aura magis yang memukau dan menyihir.
“Berdirinya Bengkel Teater … menandai awal zaman baru di bidang drama di Indonesia,” begitu komentar A. Teeuw. Dari sana pula, Rendra coba menawarkan “Bip-Bop” (1968) –teater mini kata—yang membakar kelesuan pentas drama Indonesia dasawarsa itu. “Bip-Bop” telah menghancurkan konsep-konsep drama konvensional, dan sekaligus makin menenggelamkan drama bangsawan dengan segala kemegahan propertinya. Bahkan, ia juga menyisihkan drama realis yang mendominasi pentas drama selama satu dekade (1950-1960-an). “Bip-Bop” yang mengutamakan eksplorasi gerak dan bahasa tubuh para pemainnya, tidak dipahami sekadar membangun “narasi” melalui gerak tubuh, tetapi juga membuka peluang dilakukannya improvisasi dalam keseluruhan adegan.
Segala pementasan drama pada akhirnya disadari tidak perlu terlalu bergantung pada segala properti. Itulah awal berlahirannya teater Indonesia modern yang kerap dilabeli sebagai drama absurd. Di sana, Rendra telah mengobarkan kesadaran, bahwa modal utama dalam drama, tidak lain adalah bahasa tubuh (body language). Jika kemudian bermunculan, drama-drama nonrealis, absurd, atau inkonvensional, sebagaimana yang dimainkan Arifin C Noer, Putu Wijaya, Ikranegara, dan sederet panjang dramawan kontemporer kita, tidak pelak lagi, “Bip-Bop” itulah yang mengawali perintisannya.
Ternyata, Rendra tidak berhenti pada “Bip-Bop”. Ada kesadaran lain pada Rendra ketika situasi bangsa memaksanya bergerak. “Bip-Bop” sekadar membakar kelesuan pentas drama. Dan ketika kegiatan pentas drama semarak terjadi di berbagai kota, dengan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seolah-olah menjadi puncak capaian estetiknya, Rendra memilih cara lain yang coba mengangkat fenomena sosial, problem bangsa, dan menolak penindasan dilakukan atas nama pembangunan. Maka, melalui kesenian yang dipilihnya, sekaligus hendak melakukan protes pada kekuasaan yang mulai diselewengkan. Mastodon dan Burung Kondor adalah ekspresi kreatif yang merepresentasikan perlawanan atas penyelewengan itu, pada tindakan represif yang mengatasnamakan pembangunan. Lalu, dengan semangat yang sama, berlahiranlah Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Sekda (1977), Panembahan Reso (1986), dan Tuyul Anakku (2000), serta sekitar 20-an produksi teater yang dipersembahkan Rendra bagi pentas drama di Indonesia.
Dalam sejarah pementasan drama di Indonesia, Panembahan Reso tercatat sebagai pentas yang begitu reputasional, paling spektakuler, paling lama (20.00—03.30 dini hari), dan paling banyak menyedot jumlah penonton. Jadi, “Bip-Bop” yang minikata itu sekadar cemeti eksperimental, dan Panembahan Reso sebagai totalitas, bagaimana kerja kesenian digarap dengan mempertaruhkan segala konsekuensi. Itulah tanggung jawab seniman pada kebudayaan, pada kehidupan manusia.
***
Willibrordus Surendra Broto, yang selepas masuk Islam (12 Agustus 1970) cenderung menggunakan nama Rendra, mengawali kerier berkesenian melalui drama Dataran Lembah Neraka, dimuat majalah Drama (No. 1, Februari 1953). Tak ada sambutan atas drama ini, ia menulis cerpen “Ia Melagu Merdu Sekali” (Kisah, No. 8, Maret 1954). Sekitar 30-an cerpen yang dihasilkan masa awal kesastrawanannya (1954—1962), pernah dimuat suratkabar dan majalah Kisah, Drama, Indonesia, Minggu Pagi, Roman, Siasat, Star Weekly, Varia, Sastra. Beberapa di antaranya dikumpulkan dalam antologi cerpen Ia sudah Bertualang (1963).
Pada masa itu pula, karier kepenyairannya mulai menonjol. Diawali lewat puisi “Anjuran” (Majalah Nasional, No. 64, Februari 1951), puisi-puisi Rendra yang banyak mengangkat persoalan rakyat kecil, makin kokoh membangun estetikanya sendiri yang tidak lagi mengesankan keterpengaruhannya pada gaya Chairil Anwar. Pada dasawarsa 1950-an, gaya Chairil Anwar sangat kuat mewarnai sejumlah puisi para penyair Indonesia. Dan Rendra menawarkan bentuk estetika lain, yang realis dengan bentuk balada dan coba mengangkat tema-tema pembelaan terhadap rakyat kecil. Model estetik Rendra ini tentu saja berbeda dengan gaya yang diperlihatkan sejumlah penyair Lekra dengan konsepsi realisme—sosialisnya. Ideologi yang dikedepankan Rendra adalah pembelaan pada orang-orang tertindas, pada kemanusiaan, dan bukan pemihakan pada ideologi partai.
Itulah sebabnya, Rendra tidak terjebak pada politik aliran. Ia menulis puisi sebagai manifestasi perlawanannya pada ketidakadilan, penindasan, dan pembelaannya pada orang-orang tercinta, orang-orang yang teraniaya. Intinya, segala bentuk penindasan apa pun, harus dilawan, termasuk juga penindasan pada hakikat kebudayaan Indonesia yang secara alamiah menyerap berbagai pengaruh kebudayaan dunia. Maka, puisi-puisinya yang belakangan memperlihatkan motif-motif kebudayaan Jawa tradisional yang berkelindan dengan unsur-unsur simbolik Kristiani, Islam, Hinduisme, dan animisme sebagai warisan awal kepercayaan leluhur.
Pemikiran ini pula yang disuarakannya dalam berbagai forum. Itulah konsepsi kebudayaan Indonesia yang coba ditawarkan Rendra. Sesungguhnya Rendra seperti hendak merevisi gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang hendak menekankan orientasi ke Barat dan membenamkan tradisi. Bahkan, Rendra juga seperti coba menggugat Surat Kepercayaan Gelanggang yang menyebutkan tanggung jawab sosial seniman sebagai: “Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja saling-pengaruh antara masjarakat dan seniman.”
Tanggung jawab seniman bukan cuma itu. Individu seniman memang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh masyarakat. Tetapi, seorang individu yang kuat, karismatik, dan berwibawa, dapat pula memberi pengaruhnya pada masyarakat. Maka, seniman sejati harus memiliki kesadaran itu. Untuk tujuan itulah, ia harus menjadi suara rakyat dan memahami gejolak kegelisahan dan harapan-harapannya. Meski tidak secara langsung Rendra menolak konsepsi elitis yang tidak menyentuh problem kemasyarakatan, konsep estetik yang ditawarkan Rendra melalui balada dan sejumlah puisinya yang retorik, jelas menunjukkan sebuah usaha membangun komunikasi penyair—masyarakat. Pesan itu tidak perlu dikumandangan dalam pesan-pesan yang begitu tersembunyi dan asyik-masyuk dengan problem individual dirinya sendiri.
Penyair adalah bagian integral masyarakat. Suara penyair adalah suara pembelaan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tanpa harus meninggalkan metafora, pembelaan itu harus sampai dan dipahami. Dengan begitu, kelugasan bukanlah tabu. Bagi Rendra, seniman tidak sekadar menawarkan gagasan tentang estetika seni sebagai sebuah capaian, melainkan juga pelibatannya dalam mengangkat problem sosial dan memberi penyadaran untuk melakukan perlawanan pada segala bentuk penindasan. Kesadaran itulah yang lalu melahirkan Potret Pembangunan dalam Puisi (1983).
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
….
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu
***
Kini, Si Burung Merak itu, terbang meninggalkan kita, meninggalkan begitu banyak monumen yang tak tergoyahkan. Seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, “Seniman besar tidak pernah pergi!” sebab, jejaknya abadi dan selalu akan memberi inspirasi. Pertanyaannya: siapakah yang dapat melanjutkan segala prestasinya, menyebarkan sikap dan konsistensinya melakukan perlawanan pada apa pun yang membelengu, menindas, dan menciptakan kelesuan dalam kehidupan berkesenian—berkebudayaan?
Itulah pertanyaan yang paling sulit dijawab. Pertanyaan itu juga makin menegaskan, bahwa keberlimpahan kekayaan kebudayaan Indonesia itu, ternyata berbanding terbalik dengan para pelaku budayanya. Keberangkatan Rendra telah memberi penyadaran, bahwa Indonesia begitu miskin sastrawan—seniman—budayawan besar! Maka, kepergian Rendra, adalah acuan, bagaimana mengukuhkan posisinya sebagai seniman besar. Dan seperti kata HB Jassin yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu: “Nama jenderal-jenderal besar, raja-raja, dan pendeta-pendeta dilupakan. Tetapi ucapan-ucapan seorang pengarang atau seorang penyair yang bermimpikan mimpi persatuan dan peri kemanusiaan akan hidup selalu….” Terbanglah si Burung Merak! Kepak sayapmu adalah inspirasi untuk membangun manusia Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat-bermarwah!
(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, kini menjadi dosen tamu di Hankuk University, Seoul)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar