Selasa, 09 November 2010

Emha Ainun Nadjib, Pengelana dari Menturo

Sudah dimuat di Majalah alKisah edisi No 25/III/2005

Ia adalah sosok multikreatif. Kreativitasnya telah mengantarkan langkah kakinya ke berbagai dimensi kehidupan: santri, gelandangan, dan seniman sastra.

Tanggal 17 malam, di Dusun Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Halaman pesantren yatim piatu itu sudah nyaris penuh oleh jemaah. Nuansa putih mewarnai ribuan orang yang duduk di atas puluhan tikar yang terhampar, sampai ke luar kompleks Pesantren Zaituna. Pukul sembilan tepat, acara pun dibuka dengan pembacaan surah Al-Fatihah oleh seorang pria gagah yang juga mengenakan baju dan kopiah putih.

Acara demi acara pun kemudian mengalir dengan lancar. Selawat pembuka, yang diambil dari beberapa syair Maulid Simthud Durar, mengawali prosesi spiritual malam itu. Lantunan syair selawat itu semakin indah saat diiringi irama rancak yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik modern dan tradisional. Jemaah, yang sebagian besar pemuda dan mahasiswa, pun segera larut dalam kesyahduan.

Usai beberapa lagu pembuka, acara yang dinantikan jemaah pun tiba. Sang pemimpin kelompok musik asal Jawa Timur kembali tampil, meraih mikrofon dan menyapa hadirin. Dengan lugas ia lalu menyampaikan sebuah prolog diskusi yang cukup panjang. Dengan gaya bicaranya yang agak “nakal” dan penuh sentilan, tokoh yang belakangan tubuhnya “membesar” ini menyoroti berbagai permasalahan kemasyarakatan.

Forum malam itu semakin semarak setelah sang narasumber membuka kesempatan dialog. Bergantian, beberapa orang yang hadir menyampaikan unek-uneknya. Terkadang hadirin ger-geran ketika audiens berbicara dengan gaya yang lugu. Maklum, jemaah yang hadir di pengajian rutin bulanan itu memang berasal dari berbagai golongan dan strata sosial.

Sang narasumber, tokoh sentral kita kali ini, adalah sosok yang dikenal multikreatif. Ia melintasi berbagai dimensi kreativitas, diawalinya sejak usia muda, yang membuatnya bisa masuk ke hampir semua golongan. Dialah Muhammad Ainun Najib, yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.

Berbagai predikat, seperti budayawan, kolumnis, seniman, bahkan kiai, kini kerap dinisbatkan kepada pria yang mengaku mengawali segalanya dengan keterbatasan-keterbatasan yang melingkarinya. Sebuah proses panjang yang, menurutnya, berliku.

Dikenal memiliki stamina ketekunan dan keuletan yang menggebu-gebu dalam mengatur energi kebaikan, suami Novia Kolopaking ini mampu tetap eksis dalam berbagai geliat kehidupan. Ia bahkan mampu mewarnainya secara langsung dengan arif.

Santri Gelandangan

Lahir pada 27 Mei 1953 di Menturo, Jombang, Jawa Timur, Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya, Muhammad Abdul Lathif, seorang petani dan kiai surau, sering menjadi muara keluh kesah masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan ibunya, Chalimah.

Emha menjalani hampir seluruh episode awal kehidupannya di dusun kecilnya, Menturo. Ia bersyukur menjadi anak desa, yang memberinya pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, kewajaran, dan kearifan hidup.

“Saya banyak belajar dari orang desa yang berhati petani. Mereka makan dari hasil yang ditanam. Semuanya berdasarkan kewajaran, kerja sebagai orientasi hidup, tak pernah mempunyai keinginan menguasai atau mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah meskipun ditindih penderitaan,” kata Cak Nun.

Setamat SD, Emha melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor.

Pengalaman dua setengah tahun di Gontor, tampaknya begitu berkesan bagi Emha, yang memang dibesarkan dengan kultur santri. Sekelumit pengalaman itu pula yang kelak kerap mewarnai berbagai karyanya yang sarat kritik sosial, lugas tapi sufistis.

Keluar dari Gontor, Emha lantas hijrah ke Yogyakarta, kota yang membuka peluang bagi pengembangan kreativitasnya. Usai menamatkan pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah I pada 1969, ia juga sempat masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun setelah kuliah empat bulan, pada hari kedua ujian semester I, ia keluar.

Gejolak jiwa seniman Emha, membawa langkah kakinya ke “Universitas” Malioboro. Sepanjang kurun 1970-1975, ia menggelandang hidup di komunitas Maliboro. Ia bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub, yang kala itu diasuh oleh “mahaguru” Umbu Landu Paranggi. Saat itulah pengembaraan sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual Cak Nun memasuki babak baru, berkarya.

Nama Emha mulai dikenal orang, saat tulisan-tulisannya yang berupa esai, puisi, dan cerpen, bertebaran di berbagai media massa. Waktu yang hampir bersamaan ketika ia mulai rajin mementaskan pembacaan-pembacaan puisinya bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.

Selepas bergulat panjang di “Universitas” Malioboro, dekade ’80-an, sering dianggap sebagai periode produktif Cak Nun. Dalam rentang waktu tersebut, ia melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).

Kini, setelah 30 tahun berkarya, Emha Ainun Nadjib telah mela¬hirkan lebih kurang 25 antologi puisi yang berisi sekitar 800 judul puisi. Ciri khas puisi karyanya adalah kandungan protes sosial, sosio-religius, dan mistik Islam. Di luar puisi, Cak Nun, bersama Halim H.D., “pengasuh” jaringan kesenian Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa repertoar serta pementasan drama.

Di antara karya fenomenalnya adalah drama kolosal Santri-santri Khidhir, yang dipentaskannya bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor, dengan seluruh santri menjadi pemain, dan Lautan Jilbab, yang dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, tahun 1990.

Rumah Hantu

Hal unik lain dari tokoh satu ini adalah kenekatannya yang sering overdosis. Setelah sebelumnya pernah menggelandang di sepanjang emperan toko Malioboro, Yogyakarta, Cak Nun juga pernah menjadi gelandangan di Amsterdam, Belanda. Ketika itu, usai mengikuti salah satu event kepenyairan ia kehabisan bekal. Bahkan untuk membeli tiket pesawat pulang pun Cak Nun tidak mampu.

Beruntung, jiwanya adalah petualang. Ketidakberdayaan ini dimanfaatkannya untuk menimba pengalaman hidup. Bersama temannya, seorang penyair asal Amerika Serikat yang menjadi imigran gelap di Belanda, selama dua bulan Cak Nun, yang tak memegang uang sepeser pun, menempati satu petak flat yang tak berpenghuni.

Di Negeri Kincir Angin itu ada kebiasaan, jika ada sebuah rumah yang ditelantarkan atau ruang kosong yang tak ditempati lebih dari dua bulan, setiap orang berhak menempatinya. “Tapi jangan dianggap itu rejeki nomplok dulu,” kelakarnya. “Tinggal di rumah tanpa pemanas saat musim salju sama saja dengan kos di dalam kulkas.”

Beruntung tubuhnya telah terbiasa dengan kemelaratan. Meski melawan suhu di bawah nol derajat, Cak Nun tak pernah merasakan sakit. “Untuk mengisi kamar itu, kami menunggu setiap Senin malam orang-orang Belanda buang barang. Kasur, selimut, mesin ketik, teve hitam putih, kompor fungsi separo, meja, kursi, dan sebagainya kami angkut dari tempat pembuangan,” katanya lagi.

Untuk makan, keduanya mengais sisa-sisa restoran dan rumah tangga kaya yang membuang makanan agak kadaluwarsa.

“Rupanya, makin miskin dan menderita, perut kita makin tahan racun,” ujarnya terkekeh.

Di tempat itulah Cak Nun mengenal dan berinteraksi dengan para pengungsi, yang kebanyakan adalah pelarian politik dari berbagai negara Afrika.

“Tiap hari kami bercengekrama sambil mencari secuil roti di sekitar Centraal Station Amsterdam.”
Dari para “panduduk haram” ini pula ia mengaku mengetahui cara membongkar kotak telepon agar ratusan koinnya ambrol keluar. Atau teknik benang koin yang digunakan untuk untuk menipu telepon umum, sehingga satu koin bisa dipakai berulang kali, bahkan bisa dipakai menelepon ke luar negeri.

Belakangan, ketika punya sedikit uang, ia menyewa kamar yang tarifnya murah, karena dipercayai penduduk sekitar ada hantunya. Di Denhaag, pertengahan 1980-an, misalnya, Cak Nun pernah menyewa kamar yang konon juga ada setannya. Tarif sewanya kurang dari separuh harga normal, karena pernah ada penghuni kamar itu yang gantung diri. Setiap penghuni berikutnya selalu merasa terganggu.

“Saya ikhlas menyediakan diri diganggu dan berjanji tidak akan mengikutinya gantung diri, he he,” candanya.

Sepulang dari luar negeri, Cak Nun makin produktif berkarya dan bahkan mulai merambah ke dunia musik. Ia melahirkan genre baru, musikalisasi puisi. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan ia menolak disebut artis musik atau “penyanyi”.

Bersama Kyai Kanjeng, grup musik yang didirikannya, ia menelurkan album kaset bertajuk Kado Muhammad (1996), Wirid Padhang Mbulan (1997), Menyorong Rembulan (1999), Jaman Wis Akhir (1999), Perahu Nuh (1999), Kepada-Mu Kekasih-Ku (2000), Kenduri Cinta dan Maiyah Tanah Air (2002), dan Ummi Khultsum (2005).

Penulis Muda

Emha sebenarnya lahir bukan dari kultur “penyanyi”, ia lebih tepat sebagai pemikir dan penulis serba bisa. Sejak muda ia gandrung menulis puisi, cerpen, naskah drama, makalah, dan esei (kolom). Tahun 1977-1978, tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di harian Kompas. Juga di rubrik kolom di majalah Tempo pada tahun 1981. Bisa dibilang, waktu itu ia termasuk salah satu penulis termuda yang mampu menembus ketatnya seleksi dua media terbesar di tanah air tersebut.

Di antara sekian banyak tulisannya, jenis esei merupakan salah satu yang menonjol dan banyak dibukukan. Hingga tahun ini, tulisan-tulisannya yang terserak di berbagai media itu telah dikumpulkan menjadi lebih dari 30 buku.

Tulisan Cak Nun yang ekspresif memang mempunyai kekuatan untuk disukai. Ada banyak cara yang digunakan buat mengekspresikan “dirinya” ke dalam jagat kata, yang membuat pembacanya kerap ikut terbawa mangkel, geli, tertawa, berduka, marah, atau terbakar.

Dalam hal ini Emha pernah berpendapat, jika seseorang ingin menghadirkan suatu karya, ia harus meyakin¬kan diri bahwa salah satu penikmatnya adalah dirinya sendiri. Dan jadilah orang banyak. Artinya, pada saat yang bersamaan, agar karya bisa dinikmati oleh orang banyak, ia juga harus rela untuk menjadi siapa saja.

Tentu saja ilustrasi tersebut tidak mengatakan bahwa Emha cukup sukses mengatasi persoalan tersebut. Tetapi paling tidak untuk perspektif linguistis, karyanya memang memiliki “kelebihan” tertentu; dengan bahasanya yang padat, lugas, rileks, nakal, imajinatif, dan cerdas.

Pada kurun waktu selepas Orde Baru jatuh, produktivitas Emha tampak mulai menurun. Keadaan itu berlangsung sekitar tiga tahun. Hal ini tentu saja menggelisahkan teman-temannya, jangan-jangan Emha akan mengalami masa aus. Seperti mesin, secanggih apa pun, lambat laun ia akan men¬ghadapi suatu masa yang tak bisa dipakai lagi. Dengan tersenyum Emha mengatakan, “Manusia kan sama sekali bukan mesin.”

Kegelisahan atau mungkin juga asumsi di atas sering tidak sesuai kenyataan. Bukankah, dalam dunia pemikiran, makin matang usia, makin kreatif dan produktif pula seseorang?

Ia merasa, apa yang selama ini dapat dilakukannya tidak lepas dari kealamiahan yang Allah anugerahkan. Otak, yang dibantu akalnya, secara alamiah mengolah gagasan yang muncul dengan sendirinya, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.

Keliling Dunia

Saat ini Emha lebih banyak menekuni aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan di sejumlah kota. Hingga rata-rata 10-15 kali pertemuan digelarnya setiap bulan bersama musik Kyai Kanjeng. Sampai sekarang, Kyai Kanjeng telah menggelar pentas di lebih dari 8.500-an kota kecamatan se-Indonesia.

Sekali waktu, Kyai Kanjeng juga mengelana ke berbagai kota di luar negeri. Seperti, beberapa waktu lalu, Kyai Kanjeng mengadakan pentas muhibah ke Mesir, Hong Kong, Malaysia, Eropa dan Italia. Acara pentas tersebut, yang umumnya diselenggarakan di lapangan terbuka, diikuti berbagai golongan, aliran, dan agama. Ia dan kelompoknya menawarkan kegembiraan menikmati kebersamaan seraya menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Kyai Kanjeng juga merupakan satu-satunya grup musik muslim yang mengiringi prosesi pemakaman Paus Johannes Paulus II dengan iringin musik dan puisi-puisi khusus untuk suasana duka itu. Bahkan Comune di Roma, semacam wali kota, mengizinkan pentas Kyai Kanjeng di Teatro Dalmazia pada 5 April 2005 malam, yang membawakan lagu-lagu spiritual. Ini menunjukkan betapa Kyai Kanjeng diterima oleh semua kelompok dan kalangan masyarakat di mana pun.

Adapun jemaahnya di berbagai wilayah Nusantara yang rutin dikunjungi Kyai Kanjeng, antara lain, jemaah “Padang Bulan” tiap pertengahan bulan (15 malam 16, bulan Jawa) di Menturo, Jombang, Jawa Timur; jemaah “Mocopat Syafaat” tiap tanggal 17 malam di Ponpes Az-Zaituna, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta; jemaah Maiyah, tiap akhir pekan, sistem giliran (infak) di seluruh pelosok Yogyakarta; jemaah “Gambang Syafaat” di Semarang; “Pengajian Izroil” di Wonosobo, Jawa Tengah; “Papparandang Ate” di Sulawesi Selatan; “Haflah Shalawat” di Surabaya; “Tombo Ati” di Malang, Jawa Timur; jemaah “Kenduri Cinta”, tiap Jumat malam, minggu kedua, di halaman Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, atau plaza Universitas Paramadina di Pancoran, Jakarta Selatan, tiap Sabtu malam, minggu kedua. Perubahan jadwal biasanya diinformasikan melalui milis kenduricinta atau website resminya, www.padhangmbulan.com

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati