Selasa, 09 November 2010

Keyakinan tidak Perlu Bukti

”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)

Judul: Larutan Senja
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Peresensi: Mikael Johani
http://www.ruangbaca.com/

Ada kecenderungan nihilistis dalam tulisantulisan Ratih Kumala. Tabula Rasa-nya diisi penuh karakter-karakter yang gagal hidupnya: drug addicts, dosen yang satu cintanya mati satunya lagi tak berbalas, lesbian yang wanita pujaannya (salah satu drug addicts tadi) mati OD, etc. Kecapan Budi Darma di belakang buku ini cukup akurat: ”kalau perkembangan zaman menuntut kehidupan orang-orang modern menjadi kosong dan tidak bermakna, maka cinta kasih manusia modern pun menjadi kosong dan tidak bermakna.”

[Kecenderungan nihilistis, sinisisme, ini, kalau dilihat dalam konteks sejarah sastra Indonesia, bisa juga merupakan reaksi Ratih terhadap ke”lugu” an (v. esei Intan Soewandi di Jurnal Perempuan edisi ”Perempuan dalam Seni dan Sastra”) dan ”pretensi” (v. esei Katrin Bandel, ”Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami”, sudah dikumpulkan di bukunya Sastra, Perempuan, Seks) pengarang-pengarang (perempuan) lain di jamannya. Bandingkan dua penggalan dari Saman dan Tabula Rasa berikut ini: ”... garis-garis cahanya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.” (Saman, hlm. 2), ”... hatiku tidak lagi bergelora cintanya seperti nasi yang telah tanak.” (Tabula Rasa, hlm. 68.) Alusi. Sindiran. Parodi.]

Satu novel lagi, Genesis, dan 14 cerpen kemudian yang dikumpulkan dalam Larutan Senja, apakah Ratih masih senihilis ini?

Pertama kali membaca, kelihatannya, ya. Ini daftar karakter- karakter Larutan Senja urut berdasar susunan ceritanya: dukun bayi yang (hampir) dibakar hidup-hidup, pasien rumah sakit jiwa, pekerja proyek di hutan Kalimantan, pencipta ”larutan senja” yang ciptaannya dibajak Tuhan, wanita yang ditinggalkan suami karena me-laser tahi lalat di punggungnya— klangenan suaminya, penggesek biola yang dituduh jadi anggota Lekra, hantu yang menghadiri upacara pengabenannya sendiri, penduduk Berlin Timur yang mati berusaha menyeberang ke Berlin Barat (saat Tembok Berlin masih berdiri tentu), ”Wanita Berwajah Penyok”, perempuan hamil tiga bulan yang bunuh diri di kos-annya yang sempit, Yesus (dan Maria si pencerita kisahnya), kakek-kakek yang ditembak mati Belanda karena radio gerilyanya, pengusaha peti mati yang tak laku-laku dan terpaksa mengobral mereka, dan seorang tattooist yang mengaku pernah melihat Muhammad dan buroqnya (dan tentu saja, tidak ada yang percaya). Semuanya orang-orang yang tersingkirkan, mereka yang dilumpuhkan oleh dunia sekitarnya atau mereka sendiri.

Di akhir Tabula Rasa, Raras (si lesbian tadi) berkata pada Violet (cintanya yang terlanjur dikremasi), ”Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.” (Tabula Rasa, hlm. 183) ”Terbentuk.” Bukan ”membentuk”. Manusia dalam Tabula Rasa tak punya daya cipta, terserah Tuhan mau mencoreti batu tulis-batu tulis kosong itu dengan apa, menghapus yang sudah dicoreti, atau menimpanya dengan garis-garis nasib baru sementara yang lama pun masih samar-samar terlihat di baliknya. Arti hidup tokoh-tokoh dalam Tabula Rasa (kalaupun ada artinya) disusun satu-satu dari pengalaman mereka, dari apa yang mereka alami di dunia ini, yang kasat mata. Ini memang terdengar seperti aliran empiris, versi sebelum Kristus, Aristotelian, bukan versi Locke, misalnya, yang memberikan hak alami pada manusia untuk mengarang hidupnya sendiri.

Tabula Rasa berakhir dengan Raras memohon, ”Temani aku, sebab sebenarnya aku takut sendiri.” Ini konsekuensi logis dari epistemologi novel ini, tentu Raras akan, sudah seharusnya, begitu takut sendiri, karena tanpa orang lain betapa sepi nanti jalan hidupnya, dan dengan begitu betapa sedikit makna yang bisa ia punguti sepanjang perjalanannya!

Nah, perbedaan pertama yang saya lihat antara Larutan Senja dan Tabula Rasa adalah bahwa karakter-karakter dalam 14 cerita pendek ini lebih berani daripada Raras & Co. Si penemu ”larutan senja” di akhir cerita berjudul sama mengancam bahwa kalau tuhan (ya, dengan t kecil) tidak mau mengakui bahwa ”sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku”, ia akan meneteskan ”Larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” ke dunia tuhan, dunia yang baru saja disempurnakan dengan ”larutan senja” yang dicuri tuhan dari si penemu itu. Karena tuhan tidak mau juga mengakui hak cipta si penemu, cerita ini tamat dengan ”dua orang anak manusia” yang ”menangis ketakutan” karena dunia mereka, yang tadinya sempurna, ditelan ”awan-awan bergulung, suasana … hitam,” hasil ramuan si penemu. Dua orang ini berdoa, ”Ya Tuhan (ya, dengan T besar—mereka berdoa kepada si penemu yang telah mengalahkan tuhan dengan t kecil!) apa salah kami hingga Kau (ya, dengan K besar) ciptakan bencana alam?” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 43.) Manusia di sini bukan lagi tabula rasa ex nihilo yang baru akan ”terbentuk” kemudian. Ia ”membentuk”, ”mencipta”, Ia Tuhan itu sendiri. Lengkap dengan (paling tidak dua) umat yang mengakui kebesaran-Nya.

Saya tidak tahu apakah ini agenda Ratih Kumala secara sadar untuk menjungkirbalikkan tatanan dunianya sendiri. Saya rasa itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa tatanan itu memang berubah.

Satu cerita lagi yang bagi saya akhirnya mengurai benang merah kumpulan cerpen ini adalah ”Anakku Terbang Laksana Burung”, cerpen yang ”diadaptasi dari Injil Mathius, Kitab Perjanjian Baru.” Ratih Kumala mengakhiri versi gospelnya, yang diceritakan oleh Perawan Maria (jadi The Gospel According to Mary the Virgin, bukan Mary Magdalene the Whore), di bagian pas kedua Maria itu mengunjungi kubur Yesus yang ternyata kosong. Malaikat yang turun dari langit menjelaskan (seperti yang dia lakukan dalam Mathius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ”Dia telah bangkit,” dan Perawan Maria pun menurut, mengulangi kata-katanya pada Maria Magdalena, ”Ia telah bangkit.” Sebagai narator cerita ini kemudian ia melanjutkan, ”Saat itu aku tahu, anakku telah terbang.” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 113.) Tahu. Maria tahu bahwa anaknya telah bangkit.

Saya tidak ingin membahas konsep ”bangkit” Ratih Kumala yang di sini kelihatannya campuran antara ”terbang” laksana burung dan ”moksa” laksana dewa (cf. Yohanes 20: 17, ”Kata Yesus kepadanya [Maria Magdalena], ‘Janganlah engkau memegang Aku terus, sebab Aku belum naik kepada Bapa …’”), tapi konsep ”tahu” Maria tadi sangat penting. Perbedaan paling mendasar antara cerpen ini dan The Gospel According to Matthew adalah bahwa dalam versi cerpen ini, according to Mary/-rk- (begitu Ratih Kumala menulis inisialnya di akhir cerita), Yesus tidak perlu membuktikan kebangkitannya. Tidak perlu marah-marah (”Ia mencela ketidakpercayaan dan keheranan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan- Nya.” (Markus 16: 14)), tidak perlu merasa tidak diperhatikan muridnya nama-Nya pun mereka lupa (”… datanglah Yesus sendiri mendekati mereka …Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Lukas 24: 15-16)), tidak perlu meyakinkan seorang pun skeptis seperti Tomas (”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)).

Saya sering berpikir bahwa The Gospel According to Jesus Christ, novel Saramago itu, adalah sebuah apokrifa, sebuah gospel sekuler, yang membuat kita percaya. Nah, ”Anakku Terbang Laksana Burung” ini rasanya bagi saya seperti apokrifa (mungkin harus ditulis di antara [kurung tegak] seperti teksteks Alkitab yang ”tidak terdapat dalam naskah-naskah yang dinilai paling baik atau kuno”) yang justru ultra-religius, sebuah gospel yang menuntut kita untuk percaya.

[Saya ingin tahu apakah -rksengaja memilih mengadaptasi Matius dan bukan Markus, Lukas, atau Yohanes karena di antara gospel-gospel itu Matius jugalah yang paling tidak peduli tentang keaslian, kemurnian cerita- ceritanya. Seperti ditulis dalam buku Pastur Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, terbitan Kanisius: ”Dalam Mat tidak ada bekasnya bahwa penulis menjadi saksi mata (telinga) tentang apa yang diceriterakannya. Sebaliknya, ia menggantungkan diri pada tradisi sebelumnya (mrk, Q, dll.). Seorang saksi mata pasti tidak berbuat demikian. ... mrk dan Luk kadang-kadang nampaknya lebih asli dan murni daripada Mat. Ternyata Mat menyusun, mengatur dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas sekali.” (Hlm. 87.)

Juga apakah dengan begitu arah pandangan -rk- dalam menulis cerita ini sama dengan arah pandangan Matius & Co. yang ”persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan ... yang tidak mempunyai minat ‘historis’ [sehingga tidak perlu bukti] … [yang tidak ingin membawa pembaca] kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa kepada jemaat sekarang … [yang] berupa pewartaan yang mau membina, memperteguh dan menjernihkan iman kepercayaan yang diandaikan saja.” (Masih buku Groenen, hlm. 77.)

Apakah ”Anakku Terbang Laksana Burung” ingin membawa Yesus yang telah bangkit/ terbang entah ke mana kepada kita sekarang?]

Kedua perbedaan ini sangat penting karena dalam cerita-cerita yang lain di Larutan Senja kita pun ditantang untuk percaya tanpa ada bukti, ataupun kalau ada bukti, itu pun berupa bukti-bukti mistis yang membutuhkan kepercayaan tersendiri, ekstra, untuk percaya bahwa mereka memang bukti, bukan kebetulan-kebetulan saja, juga untuk tahu apa itu yang mau dibuktikan.

Dalam ”Gin Gin dari Singaraja” misalnya, si pencerita yang ”antara percaya tidak percaya” bahwa Gin Gin yang baru saja berkenalan dengannya di bus sebenarnya sudah meninggal tiga tahun lalu akhirnya percaya juga setelah kartu nama yang ia berikan ke Gin Gin waktu itu suatu pagi ia temukan ”tergeletak di bantal sebelah”. (Larutan Senja, hlm. 72.)

Untuk mempercayai logika sebuah cerita hantu kita dituntut untuk percaya hantu itu ada, bahwa Gin Gin yang tiga tahun lalu mati mendaki gunung sekarang sudah siap untuk turun gunung ke Singaraja untuk dingabenkan (akhirnya). Bagaimana kita harus percaya? Bukan dengan bukti tentu, karena kalau begitu kita akan selama- lamanya terombang-ambing antara percaya tidak percaya. Kita harus yakin saja.

Sistem kepercayaan ini juga pembalikan dari sistem yang dulu ada di Tabula Rasa. Tokoh- tokoh di situ mencoba untuk memperbaiki hidup (walau gagal terus) dengan prinsip: ”Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bisa membawaku ke tahap hidup yang lebih baik.” (Tabula Rasa, hlm. 135.)

Destination: sebuah utopia Lockean? Bisa saja. Yang jelas trayek rute maskapai Tabula Rasa akhirnya tak pernah sampai ke situ.

Karena skeptisisme Ratih Kumala pada daya otak membahagiakan manusia itu sudah ada waktu itu pun. Contohnya waktu Galih pertama kali ketemu Krasnaya di Mausoleum Lenin: ”Sedetik kemudian hati —dan bukan akal—mendorongku untuk tak melepaskan pandangan dari dia. Tiba-tiba akalku memanggilku kembali, mengingatkanku akan pemenuhan rasa ingin tahu pada Lenin … Di jalan keluar baru aku sadar—dan ini saat—[sic] saat penuh di mana aku menggunakan akalku kembali [—] bahwa aku tak dapatkan keduanya: Lenin dan gadis itu.” (Tabula Rasa, hlm. 14)

Saya tidak tahu apakah sekarang ini hati yang digubris lagi, yang dituntut untuk percaya, supaya dunia dalam ceritacerita di Larutan Senja berputar; tapi paling tidak cerita-cerita itu kelihatannya memang berusaha menunjukkan, dengan serentetan kejadian, bahwa untuk membuat manusia jadi lebih kuat, diperlukan lebih daripada hanya otak.

Cerita terakhir di Larutan Senja juga tentang keyakinan (dan mereka yang tidak yakin). Qatrun/Cimeng setelah dewasa bermimpi melihat Nabi Muhammad yang ”penuh wibawa berdiri di atas buroq.” Wajah Muhammad tidak terlihat jelas (cf. Lukas 24: 16 tadi) tapi Qatrun melihat jelas buroq seperti apa, ”Seperti sampan yang panjang.” Waktu ditanya ustaznya, ”… bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?” Qatrun menjawab, ”Tahu! Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan.”

Sekali lagi, Cimeng, seperti Maria, seperti teman baru Gin Gin, tahu. Mereka yakin, sehingga tidak perlu bukti. Mereka bisa melihat, karena mereka percaya.

[Bahwa keyakinan saat ini sedang di atas angin dalam pertarungannya melawan otak/akal bukan hal yang terjadi tiba-tiba dalam fiksi Ratih Kumala. Kemungkinan bahwa mungkin keyakinanlah senjata pamungkas melawan otak/akal yang (mungkin—kita belum tahu sebenarnya untuk yakin itu kita perlu apa, hati? rasa?, tapi kelihatannya memang bukan otak/akal) berkongsi dengan nihilitas, kekosongan, ketabularasaan, mulai ditulisnya dalam Genesis, novel keduanya—yang nyaris nihil ada di pasaran. Pertarungan ini dalam Genesis diumpamakan sebagai perang batin Pawestri/Suster Maria Faustina untuk percaya atau tidak percaya. Dan, waktu ia pergi ke Ambon untuk menjadi biarawati di tengah-tengah konflik Acang vs. Obet, Suster Maria berpikir, “Perang di depan mataku adalah gambaran nyata perang batinku selama ini. Manusia dan manusia dan setan dan Tuhan?” (masih T besar). (Genesis, hlm. 124.)

Di sinilah, dalam kitab Kejadian versinya ini, dunia -rkyang dulunya hanya batu tulis kosong, nihil, mulai diisi. Pertama dengan keyakinan. Kemudian dengan Tuhan: ”Manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi dia ada.” (Genesis, hlm. 43.)—yang mulai disetip lagi di halaman kedua dari terakhir: ”There is no God.” (Genesis, hlm. 201), dan kembali lagi di kalimat terakhirnya, ”Tuhan telah memberi, Tuhan telah mengambil.” (Genesis, hlm. 202.) Pekerjaan untuk mengisi hidup (dengan makna) di dunia -rkmemang kelihatannya begitu susah payah, penuh keraguan, sikap mendua, (ada atau tiada makna itu? Bisakah manusia menciptakannya? Bisa, tidak, ah bisa, ah, tidak.), tidak bisa tujuh hari langsung jadi, sudah tiga buku dan bertahun-tahun belum selesai juga, harus dengan perang!

Sekarang, dalam cerita-cerita di Larutan Senja ini, keyakinan (sedang) menang. Manusia bisa melakukan apa saja, asal ia percaya. Ia tidak hanya mampu menciptakan Tuhan, ia mampu mengecilkan(t-)nya, kemudian menggantikannya. Setelah itu terserah dia (Dia) hidup ini punya arti atau tidak.]

MIKAEL JOHANI disajikan dalam Meja Budaya, PDS HB Jassin, 1 September 2006.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati