Elnisya Mahendra
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Kumatikan pesawat televisi, tak ada berita yang menarik, apalagi siaran berbahasa kantonis yang sama sekali tak kumengerti artinya. Aku memang hanya ingin tahu ramalan cuaca hari ini, sepertinya lebih dingin dari hari kemarin. Dan kudapati 13-16 derajat untuk hari ini. Sudah cukup membuatku membekukan seluruh tubuhku. Apalagi aku ada bakat alergi dingin, seluruh tubuh terasa gatal jika suhu dibawah 2O derajat. Untung saja aku tidak dilahirkan dinegara yang mempunyai 4 musim.
Keberadaanku disini, di negri-nya Jacky Chan aktor kungfu yg mendunia, sudah 4 hari yang lalu. Tak terasa sudah 1O hari kutinggalkan Banjarmasin, kutinggalkan Nora istriku dan David anakku yang baru belajar jalan. Tugas kantor mendadak menghantarkan aku dan anak buahku Eko pergi ke Beijing, bersama beberapa teman dari kantor pusat, untuk menghadiri event pameran produc di Beijing. Dan di Hong Kong adalah bonus dari kantor pusat untuk menikmati liburan. Sungguh sangat beruntung bisa datang di negeri yang tak pernah ku impikan sebelumnya. Seandianya bisa kubawa serta Nora dan David mungkin pagi ini tak semalas sekarang.
Masih menikmati khayalku, aku jadi mengingat seseorang, yang selalu mengabarkanku tentang Hong Kong. “Aku sekarang berada di Tsim-Sha-Tsui mas,” katanya suatu hari di telepon. Dan sekarang aku berpijak dikota bernama Tsim Sha Tsui, seperti apa yang pernah dia ceritakan. Ah… Dimana dia sekarang? Masihkah dia berada di Hong Kong, ataukah sudah pulang berkumpul dengan keluarganya di Bojonegoro sana? Di kota tempat aku dan dia dilahirkan. Namun feelingku berkata lain, sepertinya dia masih disini, seperti telah dekat denganku. Entahlah…. berjuta kata seandainya itu telah meracuni otakku untuk mencari cara bagaimana bisa menemukannya saat ini. Padahal aku tak mempunyai alamatnya, tidak juga mengingat nomer teleponnya. Benar benar meracuni semangatku hingga aku malas keluar dari kamar hotel pagi ini. Sampai sampai berencana tak akan ikut keluar jalan bersama teman teman. Padahal sekarang adalah minggu, sudah tentu Hong Kong yang dinamakan pintu gerbang paris ini akan ramai dikunjungi touris.
“Dingin…brrr…!!” Eko anak buahku yg juga teman sekamarku keluar dari toilet telah mengagetkan lamunanku. “Kok belum siap siap pak Gondo, gak mau jalan tah?” tanyanya. Dan akupun hanya menggeleng. “Rencananya hari ini kita kan mau ke Disney land, masak menyia nyiakan kesempatan ini?” Aku berdiri dari sofa yang sejak tadi kududuki dan berjalan menuju jendela. Kutarik gorden, tampak disana view Hong Kong yang indah. Dari ketinggian terlihat di seberang pulau sana gedung berjajar, dan laut penyekat pulau dengan kapal ferry yang bergerak lambat. Tampak pula perahu tradisional khas Hong Kong. Namun pagi ini masih berkabut, pemandangan itu seperti diselubungi tirai putih tampak meremang. Eko berjalan kearahku, ikut membuka gorden di sebelahku, menghapus embun yang menempel di jendela kaca membentuk gambar hati. Sejenak kupandang dia, kami sama sama tertawa. “Saya tau pak Gondo, pasti mau mencarinya lagi kan? Masih mau datang ke Victoria Park, tempat kemarin? Katanya kalo hari minggu banyak sekali orang Indonesia yang bekerja disini pada ngumpul di Victoria Park.”
Ku duduk kembali di sofa ” Akan aku coba kesana lagi Ek, walau gak yakin ketemu, tapi paling tidak aku telah berusaha mencarinya,” desahku lirih. Eko merapikan pakaianya, tampaknya dia semangat sekali hari ini. “Seandainya sebulan sebelumnya kita mendapat kabar, kalo kita juga akan mampir ke sini, tentu kita bisa mengontaknya. Atau paling tidak bisa mencari nomor teleponnya. Sepertinya aku masih menyimpan, kucatat di buku telepon kantor,” kata Eko. Dan aku hanya bisa mengangguk, Eko telah bisa menebak apa yang ada di hatiku. Dia bukan hanya anak buahku, tapi tempat curhatku. Kami berdua sama sama datang ke Banjarmasin untuk menjawab tantangan dari kantor pusat di Bandung, untuk mendirikan cabang distributor obat obat ternak dan melayani inseminasi buatan pada peternakan. Cuma nasibnya kalah denganku, aku yang lebih dipercaya menduduki jabatan manager di kantor. Tapi berkembangan cabang ini tak lebih karna kerja keras Eko.
Dia sudah tampak rapi dengan jaket hitam dan kopyah winternya. Dalam hati aku benar menertawakannya, tampak kelihatan takut kedinginan. Berpakaian bertupuk tumpuk, seperti robot jika berjalan. “Pak Gondo… Saya pergi dulu,” kata Eko sambil menyambar tasnya berjalan menuju pintu. “Tunggu Ek… Aku nitip belikan sesuatu buat David,” cegahku sambil berjalan kearahnya, kuulurkan uang 5OO dolar. “Apapun yang penting lucu, yang kira kira David suka, terpenting lagi ada logonya Disney,” kataku sambil tertawa. Eko mengangguk, tertawa kecil sambil berlalu.
Masih dengan rasa malas kurebahkan tubuh ini diranjang, lamunanku tentang Nesha masih menari di otak. Rasa bersalah ini telah memojokkanku disudut kamar, seperti aku masuk ke dalam frezeer, menggigil. Padahal di kamar hotel ini telah di pasang penghangat ruangan. “Ya…. Aku harus mencarinya,” tekatku.
Bila kukatakan sejujurnya kalo aku masih mencintai Nesha, siapa yang akan percaya, karna akupun mencintai istriku Nora. Tapi ini adalah kenyataan, aku tak bisa melupakan Nesha. Nesha adalah pacar pertamaku waktu SMA dulu. Karena dalam 1 kost, teman teman tak pernah menduga kalo kami pacaran. Malah seperti kakak beradik, aku menyayanginya. Sikapnya yang manja membuat aku slalu ingin melindunginya. Bukan hanya sekedar cinta monyet, tapi aku sudah mengenal keluarganya, ibunya sudah seperti bundaku sendiri. Namun sungguh klise kalo cinta kami terpisah karena keyakinan yang menghalangi. Tapi ini adalah soal prinsip, akupun menghormatinya seperti dia menghormati keyakinanku. Namun hubungan baik masih terjalin, dia masih tetap manja walo aku bukan kekasihnya. Sampai akirnya dia menikah, dan akupun setahun kemudian menyusulnya. Kesibukan dengan keluarga masing masing telah menyita waktuku sampai suatu hari Nesha meneleponku dari Hongkong, aku hampir tak percaya dia senekat itu, merantau yang misalnya aku sendiri belum tentu berani. Dan kami pun semakin akrab tanpa sepengetahuan Nora. Apa ini yang dinamakan selingkuh? Walaupun aku tak pernah membicarakan masalah cinta lagi dengannya, demikian juga dia. Tapi di dalam hati ini masih tersimpan dan tumbuh bersemi bunga kasih itu, aku yakin dalam hatinya juga.
Tapi tragedi setahun silam telah menelan tubuh mungilnya di belantara Hong Kong tanpa kabar berita lagi. Dan itu karna salahku, aku mengakui dosaku. Aku telah memakinya walau aku sadar sebenernya bukan salah dia. Masih kuingat waktu itu hari jum’at, saat aku pulang tugas luar kota, sampai rumah disambut Nora dengan menu menu uji coba dia dari beberapa majalah dan tabloid dia coba. Ku hanya manggut manggut melahap masakan istriku. Dan tiba tiba ponsel ku bergetar, tanda sms masuk. Kubiarkan Nora membuka sms diponselku, seketika mukanya berubah merah dan telepon genggamku hancur setelah dilempar ke dinding. Hampir 1bulan aku harus merelakan dia pulang kerumah orang tuanya di Samarinda. Sejak peristiwa itu semua sms dan telepon Nesha tak pernah ku hiraukan lagi, nomor teleponnya pun sudah ku hapus dari phonebookku, yang lebih sadis lagi, Nesha adalah sasaran kemarahanku, karena dia Nora pulang ke orang tuanya dan menjadi masalah keluarga besar. Dalam sms ku pada Nesha tak ingin aku di hubungi lagi. Dan diapun berjanji tak akan pernah menghubungiku, ya sampai detik ini… Aku yakin hatinya saat itu begitu hancur mendengar kemarahanku, mendengar tuduhanku tlah menhancurkan rumah tanggaku. Dan sekarang baru kusadari bahwa semuanya adalah takdir, bukan karena dia. Terbukti Nora pulang kembali bersamaku, meminta maaf atas kecemburuannya. Dan beberapa bulan kemudian David lahir, sempurna sudah kebahagiaanku.
Tak terasa sudah 1jam aku tiduran di ranjang menatap plafon putih sambil mengingat ingat kejadian yang lalu, kemudian membayangkan bisa bertemu Nesha kembali. Dan tekatku semakin kuat mencarinya hari ini ke Victoria park lagi. Kusambar handuk dan beberapa lembar T-shit lengan panjang, masuk toilet dan berendam air hangat. Kukenakan beberapa lembar t-shit sekaligus, sweeter rompi dan jaket tebal plus syal yang kubeli kemarin di pasar murah Fayin kai yang artinya pasar murah di jalan bunga, itu kata guide nya, kemarin. Lumayan murah memang, hanya dengan 5O dolar syal cantik itu sudah ada digengamanku. Kusambar tas punggungku, dengan lift kuturun dilantai dasar, sarapan sebentar di resto hotel, hanya ku ambil sepotong egg tart dan secangkir kopi. Sebenarnya hawa dingin membuat perutku lapar terus, namun hari ini terasa tak nafsu makan. Segera kusudahi sarapanku, keluar dari hotel sekitar jam sepuluh, kulangkahkan kakiku dari ujung jalan kimberly dimana letak hotel, menuju ke Natthan road, dan diujung yang lain di seberang sana tampak masjid berdiri dengan megahnya. Seperti yang pernah ku dengar dari cerita Nesha dulu, banyak juga pekerja migran muslim yang di hongkong, diantara mereka aku berharap ada dia di sana. Tapi sudah lima menit aku berdiri didepan masjid itu tak tampak ada Nesha disana. Ku berjalan lagi kearah kanan masjid, ada stasiun kereta api bawah tanah. Ku beli tiket dengan tujuan causwebay seperti kemarin. Kemarin hari sabtu guide sempat membawa kami ke Victoria park, yang katanya banyak sekali pekerja migran dari indonesia. Dan memang benar, kutemui orang orang Indonesia disana, mereka seperti tau kalo kami rombongan dari bangsa yang sama, merekapun tersenyum ramah. Setengah jam kemudian aku telah sampai. Tak bisa ku bayangkan sebelumnya, benarkah ini Hongkong? Yang ada di benakku ini adalah negara bagian Indonesia saja. Sejauh mata memandang ketika masuk di kawasan Victoria park yang ada hanyalah orang orang Indonesia. Berbicara dengan bahasa jawa, serasa berada dikampungku, sebuah desa di kabupaten Bojonegoro.
Lalu lalang penjual nasi, bakso, buah dan minuman menawarkan dagangan, mereka ada yang sempat menanyaiku saat ku beli air mineral darinya. “Liburan ya mas, dari Korea atau Taiwan?” kata penjual minuman itu, terakir kutau namanya adalah Rukiyah, dia berasal dari lampung. Aku sempat tidak tau apa yang dimaksud dia menanyaiku aku dari Korea atau Taiwan, padahal tampangku Indonesia bahkan kelihatan jawa asli. Setelah Rukiyah jelaskan baru aku ngeh apa yang dimaksud. Hongkong memang tak menerima tenaga kerja laki laki dari Indo, jadi bila ada laki laki Indo di sini kebanyakan mereka adalah TKI yang bekerja di Korea dan Taiwan yang sedang berlibur di Hongkong. “Mungkin mereka akan menemui kekasih hatinya sampai mau datang ke Hongkong mas” kata Rukiyah. Dan dia pun sempat menanyakan maksud kedatanganku ke sini. Akirnya aku sempat ngobrol panjang lebar dengannya. Agak sedikit heran waktu kukatakan aku ingin mencari mantan kekasih ku.”Cisin…yang benar aja mas, mau nyari orang gak tau alamat dan nomor telepon nya.? Ya… Bagai mencari jarum di dalam jerami mas, disini BMI (Buruh Migran Indonesia) hampir mencapai 231 ribu, dan lebih dari separuhnya libur pada iari minggu, jadi keajaiban lah bila mas bisa menemukanya” katanya sambil di iringi derai tawa aku dan Rukiyah. Karna hampir satu jam aku ngobrol, rasanya kasian banget kalo aku tak membeli dagangannya. Ku beli beberapa bungkus klepon, tempe dan bakwan goreng, juga sebungkus kacang rebus. Rukiyah yang kira kira berumur 3O tahun itupun sempat memberi nomor teleponnya padaku.Kembali ku lanjutkan pencarianku, menyusuri sudut sudut Vitoria park, kusambangi tempat tempat mereka bergerombol, kupandangi satu persatu wajah mereka. Kadang aku memburu kala menemui wajah yang hampir mirip Nesha. Namun sampai jam 3 lebih aku tak menemukannya. Dalam keputus asaanku, kuputuskan kembali ke Tsim Sha Tsui, ke Kimberly di mana aku menginap.
Berjalan kearah stasiun kereta yang terdekat dengan melihat anak panah yang tertera di sepanjang jalan. Rasanya ingin cepat sampai di penginapan, tubuhku letih, tadi tidak sempat makan siang. Tubuhku menggigil, selain suhu udara sore yang semakin dingin ditambah gerimis halus mungkin juga karna perutku terasa lapar. Ku masukkan koin dolar untuk 1lembar tiket menuju Tsim Sha Tsui, namun harganya tak semahal berngkatnya tadi, buru buru kumasukan tiket kedalam mesin palang pintu, dan terbuka. Namun tiba tiba 2 laki laki menghampiriku “Emkoy pei ngo sa-fancing” kata salah satu dari mereka, aku benar benar tak tahu apa yang mereka maksud. Masih dalam keadaan kaget, seperti baru sadar dari mimpi dan disampingku telah berdiri seorang gadis, aku benar benar dalam keadaan bingung.”Singsang yao meysi a? Hai mai yao manthai thui ngo bangyao,.” tanya gadis disebelahku pada dua orang laki laki didepanku. Setelah berbicara sebentar dengan mereka gadis itu berpaling didepanku setengah berbisik “Anda salah membeli tiket mas” kusodorkan tiket kereta yang kubeli tadi padanya. Aku masih belum paham juga, kesalahan apa yang aku lakukan. Pasport ku juga diperiksa. Beberapa saat kemudian urusan selesai, dan tiket diberikan padaku namun tlah berganti warna. “Lily namaku” gadis itu mengulurkan tanganya. “Gondo” jawabku singkat sambil kusalami dia. “Mau kemana mas Gondo? Anda tau, kenapa tadi mas di hadang petugas dan diminta dokumen mas?” tanya Lily disertai senyum ramahnya. “aku sama sekali tak tau, apalagi mereka pake bahasa Kantonis, aku juga tak tau apa yang kau maksud aku salah membeli tiket?”. Lily menarik tanganku menuruni eskalator, Dia panjang lebar tentang tiketku yang salah membeli untuk junior, yang harganya separo dari dewasa. Setiap mesin pintu tiket selalu memberi tanda dengan bunyi tiket apa aja yang masuk. Jelas petugas akan tau tiket apa yang kita pake, dan aku telah melakukan kesalahan di negeri orang. Untung mereka memaklumi aku adalah turis yang baru 3hari disini, juga bantuan Lily yang menjelaskan pada mereka kalo aku benar benar tidak tau. Dengan tiket tujuan yang sama akirnya aku dan Lily naik kereta yang sama pula.
Sama sama turun di Tsim Sha Tsui, kami jadi ngobrol banyak. Lily teman ngobrol yang enak, friendly. Kami berjalan menyusuri dermaga menikmati debur ombak. Cukup terhibur hingga aku tak merasakan letihku lagi. Lily ternyata sudah lama disini, gadis berasal dari Malang itu dari awal bertemu kukira adalah seorang mahasiswi Indonesia yang study disini. Tapi ternyata bukan, dia adalah pekerja migran biasa yang bekerja disektor rumah tangga. Wajahnya yang mirip Chinese, rambut sebahu dan pakaiannya modis membuat aku salah menebak. Memang pekerja migran di Hongkong sudah tidak seperti TKW zaman djdulu, apalagi tadi waktu aku berjalan ke Victoria Park, banyak dari mereka telah mengakses laptopnya di tengah2 lapangan, mengisi hari libur mereka.
Duduk di bangku dermaga, tiba tiba ringing ponsel Lily berbunyi, berbicara sesaat, kemudian pria berperawakan jangkung dan berambut pirang itu menghampiri Lily. Gadis itu memperkenal kalo laki itu pacarnya. Pria Swedia bernama Stevent. Setelah berbicara sebentar, mereka pamit berlalu dariku, kebebasan bergaul dinegara cosmopolitan ini telah disalah gunakan, sampai tidak ada batas dan adab kita sebagai orang timur, seperti siang tadi aku melihat gadis yang sepertinya orang indo juga, sedang berpelukan didalam kereta dengan pria bermata tajam, berhidung mancung. Aku jadi teringat Nesha kembali, semoga dia dijauhkan dari hal hal seperti itu, aku yakin didalam pribadinya yang manja ada prinsip kuat yang bertengger di hatinya, sampai akupun tak mampu mengalahkannya… Ah.. Sepertinya bayang wajahnya berarak bersama mega putih diatas sana.
Masih duduk dan kunikmati heningnya sore ini. Perutku berkali kali berbunyi memanggil empunnya untuk memasukkan sesuatu. Kukeluarkan bungkusan tempe goreng dan bakwan yang sempat kubeli dari Rukiyah tadi, lahap aku menyantapnya. Masih ada beberapa potong lagi nanti buat eko. Pasti dia akan kaget, gak akan mengira aku dapatkan tempe goreng di Hongkong, sedangkan di Banjarmasin sulit mendapatkan tempe, apalagi seenak ini. Kukemas kembali kumasukkan kedalam tas. Kukenakan kembali syal yang siang tadi sempat kulepas, kini terasa lebih dingin lagi. Kuberanjak dari tepi dermaga, berjalan diantara dua musium, Hongkong musium of Art dan Hongkong space musium yang terletak disebelah dermaga, didepan Peninsula Hotel. Tsim Sha Tsui adalah kota wisata di Hongkong, banyak musium dibangun disini, Masjid, Kwoloon park yang terletak di blakang masjid. Hotel hotel berbintang, cafe, night club, banyak bertebaran di kota ini. Sampai di Nathan road berbelok ke Cammeron road, memutar ke Carnavon road, aku sepertinya kesasar, dari tadi hanya memutar mutar pada 2 jalan itu. Aku kembali masuk ke dalam stasiun kereta, disitu ada peta, dan lebih gampang bila aku keluar dari exit A, dekat masjid yang berseberangan dengan ujung jalan Kimberly.
Lumayan juga jalan sendiri, banyak hal yang ku tahu hari ini. Lebih bebas leluasa, tidak harus nurut ma boss. Bahkan ada pengalan yang tak terlupakan, ketangkap petugas di stasiun kereta bawah tanah, geli aku mengingatnya. Tiba tiba saja ponselku bergetar, ada SMS masuk, kubuka dari Nora. “pa, kapan papa pulang? Mama ma David dah kangen” isi SMS itu. Berdiri sebelah telepon umum ku balas sms Nora sebentar. Mengabarkan kalo baik baik saja, dan akupun merindukan mereka jg. Nomor teleponku sengaja tidak kuganti. Nomor telepon Indonesia dengan menggunakan pelayanan roaming, biar siapapun masih bisa menghubungiku. Dan aku tiap malem hari selalu mendapat laporan berupa sms maupun email dari Banjarmasin. Ternyata akupun masih punya harapan untuk bisa bertemu Nesha, berharap dia kembali menghubungiku lewat ponsel maupun email. Setidaknya aku masih punya waktu 3hari lagi untuk menemukannya sebelum aku benar benar terbang pulang.
Rasa bersalah pada Nesha tak bisa kupungkiri, tiba tiba butiran bening ini jatuh… Perih rasa ini. Ah… Sejak kapan aku cengeng seperti ini, tapi aku sekarang benar benar merindukannya. Langkahku semakin gontai meniti tangga tangga di pintu stasiun yang sebelah masjid. Ada apa sebenarnya yang terjadi padaku, aku telah mendramatisir suasana hatiku menjadi sedemikian pilu. Menunggu lampu merah di trafic light pun terasa lama. Sementara senja tembaga mengintip terhimpit diantara gedung gedung menjulang. “Tuhan berilah aku kesempatan sekali saja bertemu denganya” gunamku lirih.
Kutengadahkan wajahku keatas sesaat, untuk mencari lukisan wajahnya sebelum lampu merah menyala. Di atas sana hanya mega putih berarak yang tampak samar. Trafic light sudah menunjukkan boleh menyeberang, tampak ramai sekali seperti dikomando semua orang bergerak cepat, namun belum sampai tepi jalan, langkah ini begitu lunglai. “Nesha” yach… Gadis dari seberang itu mirip sekali Nesha, segera ku balik arah mengejarnya. “Nesha…Nesha Rahmadani” panggil ku lagi, dan sejurus gadis berjilbab pink itu menoleh kearahku. Benar dia Nesha yang ku cari, hampir ku tak percaya. Perempuan itu masih bengong ditepi jalan, dan akupun hampir tersambar kendaraan bila tak ku dengar teriakan orang di tepi maupun teriakan Nesha agar aku cepat menepi. “Benarkan kau Nesha?” tanyaku pada makhluk cantik dikeremangan senja sore ini, “Iya, mas Gondo kan? Bagaimana sampai disini, mimpikah aku?” Tanyanya, kulihat dari sorot lampu yang membias wajahnya, telaga bening itu mulai tumpah, satu tangannya menjabat tanganku, satunya lagi sibuk menghapus air matanya. Inikah keajaiban yang dimaksud Rukiyah tadi siang. Tuhan mendengar doaku sesaat setelah aku ucapkan. Berbicara dengannya sebentar, kemudian Nesha pamit ke masjid. Kuantar sampai pintu gerbang, dan aku menunggunya diluar. Dia janji akan menemuiku kembali setelah sholat Magrib.
Menunggunya hampir 15 menit ditangga Kowloon park sisi masjid, seperti tak sabar, serasa lama sekali. Beberapa menit kemudian muncul juga. Dia tampak sekali berbeda, keceriaan itu sepertinya telah sirna, entah apa yang tersimpan dalan misteri matanya yang sendu. Akirnya aku temukan tempat ngobrol yang enak bersama Nesha. Subuah cafetaria dengan memesan menu bebek bakar, walo tak seenak menu indonesia, tapi bolehlah, sehari aku tak makan nasi, apalagi ditemani seseorang yang benar2 aku rindukan. Tapi air mata perempuan diseberang meja itu tak bisa terbendung, aku ingin merengkuhnya, memeluknya seperti dulu, saat dia sakit karna tertabrak sepeda. Namun kini seperti ada sekat, semuanya telah jauh berbeda. Ketika aku ingin menggenggam tangannyapun dia buru buru menariknya. Entahlah apa yang tersembunyi dalam hatinya, aku tak mampu mengurai, mungkin senja ini atau malam yang akan membantu mengurai, jika dia tak mengijinkanku. Sementara lagu “What my heart wants to say” milik gareth gates terdengar menyayat hatiku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar