Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim
http://majalah.tempointeraktif.com/04 Mei 1999
SEBELUM berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO hingga beberapa kali. Sembari mengenakan kaus putih dan kain sarung, Pram, ketika menjawab pertanyaan TEMPO, sesekali suaranya meninggi dan keras tatkala menjawab pertanyaan agak sensitif.
Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalis yang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, “Saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil,” tutur Pram.
Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga ketertarikannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan dan politik tetap intens.
Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).
Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.
Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian di antara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif berjudul Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto.
Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang yang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun “diangkat”. Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjarakan itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya—kini disita—di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.
Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa karyanya—tetralogi pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan berakhir dengan Rumah Kaca–berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan.
Pada 1979 ia dibebaskan, meski melalui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, “Saya tidak bisa mengikuti irama teknologi,” katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok sehari, Pram mengisi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaannya yang mengagumkan dan terpelihara.
Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan TEMPO beberapa hari sebelum keberangkatannya ke AS:
Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang ke mana-mana?
Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri.
Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu?
Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wajibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. Kalikan saja, tiga puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-sumber historis. Dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah.
Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal?
Kalau ada sesuatu yang sangat menarik, saya tidak lupa.
Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, Anda selalu menceritakan berulang-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru?
Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971, kami—sekitar 12 orang—dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu dengan yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kamp konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.
Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?
Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.
Apa betul pembebasan Anda pada 1979 ada campur tangan pihak asing?
Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat Madura, sekitar 30 orang diturunkan dari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusakambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh gereja Katolik. Saya melihat sendiri orang gereja itu diusir, ia tidak boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu menjadi berita internasional.
Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.
Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandangannya yang membatasi pengarang melalui Manifes Kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis sampai sekarang ?
Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai realisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan itu justru untuk mencari input.
Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini?
Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan Barat yang menghendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang menghendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu, Manifes Kebudayaan kan menghendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central Inteligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang dari Amerika berikut jumlahnya.
Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno?
Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.
Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?
Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.
Bukankah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarno?
Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.
Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?
Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang dirampas dan diinjak-injak, dia diam saja. Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu.
Sebetulnya berapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu?
Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus erkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju, ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.
Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?
Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.
Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?
Itu terserah saja, kan orang punya pendapat. Menurut penilaian saya sendiri saya tidak pernah mengkhianati prinsip saya.
Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas?
Menindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap Soekarno. Pelarangan-pelarangan ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu Lekra. Aneh-aneh saja.
Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja?
Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kita membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis).
Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan bagian pandangan realisme sosialis?
Barangkali. Tetapi saya tak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silakan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dalam sastra.
Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaimana penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat?
Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalkan membela kebenaran, keadilan.
Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu?
Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.
Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat?
Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bisa lepas dari politik. Politik dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan masukan kepada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indonesia itu juga politik. Tidak ada yang bebas dari politik.
Termasuk karya sastra?
Termasuk. Semuanya.
Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?
Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya seperti itu.
Kalau karya Seno Gumira Adjidarma?
Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lama sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu menyatakan kebenaran yang dia anggap kebenaran
Novel Saman karya Ayu Utami?
Satu halaman saya baca. Isinya seks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat.
Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah?
Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.
Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?
Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra.
Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling Anda sukai?
Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.
Kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?
Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri. Mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar