Selasa, 09 November 2010

Wawancara Paramoedya Ananta Toer: “Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja”

Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim
http://majalah.tempointeraktif.com/04 Mei 1999

SEBELUM berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO hingga beberapa kali. Sembari mengenakan kaus putih dan kain sarung, Pram, ketika menjawab pertanyaan TEMPO, sesekali suaranya meninggi dan keras tatkala menjawab pertanyaan agak sensitif.

Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalis yang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, “Saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil,” tutur Pram.

Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga ketertarikannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan dan politik tetap intens.

Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.

Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian di antara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif berjudul Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto.

Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang yang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun “diangkat”. Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjarakan itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya—kini disita—di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.

Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa karyanya—tetralogi pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan berakhir dengan Rumah Kaca–berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan.

Pada 1979 ia dibebaskan, meski melalui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, “Saya tidak bisa mengikuti irama teknologi,” katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok sehari, Pram mengisi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaannya yang mengagumkan dan terpelihara.

Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan TEMPO beberapa hari sebelum keberangkatannya ke AS:

Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang ke mana-mana?

Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri.

Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu?

Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wajibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. Kalikan saja, tiga puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-sumber historis. Dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah.

Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal?

Kalau ada sesuatu yang sangat menarik, saya tidak lupa.

Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, Anda selalu menceritakan berulang-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru?

Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971, kami—sekitar 12 orang—dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu dengan yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kamp konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.

Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?

Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.

Apa betul pembebasan Anda pada 1979 ada campur tangan pihak asing?

Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat Madura, sekitar 30 orang diturunkan dari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusakambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh gereja Katolik. Saya melihat sendiri orang gereja itu diusir, ia tidak boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu menjadi berita internasional.

Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.

Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandangannya yang membatasi pengarang melalui Manifes Kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis sampai sekarang ?

Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai realisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan itu justru untuk mencari input.

Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini?

Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan Barat yang menghendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang menghendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu, Manifes Kebudayaan kan menghendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central Inteligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang dari Amerika berikut jumlahnya.

Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno?

Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.

Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?

Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.

Bukankah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarno?

Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.

Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?

Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang dirampas dan diinjak-injak, dia diam saja. Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu.

Sebetulnya berapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu?

Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus erkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju, ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.

Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?

Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.

Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?

Itu terserah saja, kan orang punya pendapat. Menurut penilaian saya sendiri saya tidak pernah mengkhianati prinsip saya.

Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas?

Menindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap Soekarno. Pelarangan-pelarangan ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu Lekra. Aneh-aneh saja.

Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja?

Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kita membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis).

Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan bagian pandangan realisme sosialis?

Barangkali. Tetapi saya tak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silakan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dalam sastra.

Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaimana penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat?

Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalkan membela kebenaran, keadilan.

Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu?

Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.

Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat?

Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bisa lepas dari politik. Politik dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan masukan kepada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indonesia itu juga politik. Tidak ada yang bebas dari politik.

Termasuk karya sastra?

Termasuk. Semuanya.

Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?

Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya seperti itu.

Kalau karya Seno Gumira Adjidarma?

Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lama sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu menyatakan kebenaran yang dia anggap kebenaran

Novel Saman karya Ayu Utami?

Satu halaman saya baca. Isinya seks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat.

Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah?

Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.

Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?

Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra.

Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling Anda sukai?

Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.

Kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?

Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri. Mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati