Rabu, 29 Desember 2010

Gus Dur, Pluralisme dan Tuhan yang Tak Perlu Dibela

Jemie Simatupang
http://www.kompasiana.com/jemiesimatupang

Untuk: Gus Dur,
Tanda ziarahku kepadamu

KIRA-KIRA APA KOMENTAR orang ini, misal saja ia masih hidup, ketika tahu bangsa kita kalah 3-0 dari Malaysia di leg pertama final AFF tadi malam? Saya menduga pasti: “Mbok yo presiden kita itu jangan protas-protes, orang permainan Malaysia memang bagus kok! Yang sportif dong! Mestinya kita belajar dari mereka! Masak sih gara-gara, apa itu namanya? laser ya, kita kalah?” dan dilanjutkan dengan: “Begitu saja kok repot!”

Ya, saya berbicara tentang Kiyai Haji Abdurahman Wahid (1940-2009) atau yang sederhana kita kenal sebagai: Gus Dur. Mantan Presiden Indonesia—bahkan mungkin dunia—terlucu yang pernah ada. Akh, tak terasa sudah hampir setahun (30 Desember nanti) kita ditinggalkan olehnya, tapi humor-humornya nan cerdas serta ungkapan-ungkapan khasnya yang tak kalah lucu semisal: “Begitu saja kok repot!” masih hidup dalam benak kita—dan semoga juga kebijakan-kebijakan lain yang ditinggalkannya.

Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 Agustus 1940 dari pasangan Wahid Chasyim dan Solichah. Ia adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ia hidup dalam keluarga yang sangat terhormat pada komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. (www.wikipedia.org)

Walaupun berasal dari kalangan pesantren, namun Gus Dur tidak mengharamkan mempelajari hal-hal yang diluar agama Islam. Yang dari barat! Tradisi ini telah hidup dalam kelurganya sejak lama. Segala macam buku, majalah, dan literatur lainnya—yang diluar konten Islam—dibacanya. Sehingga wajar ia tumbuh menjadi sosok yang dengan pengetahuan yang luas. Ia bisa berbicara dan berdiskusi tentang kitab kuning sampai kitab suci kaum proletar (baca: Das Kapital). Pengetahuannya tentang sastra, musik, film, sepak bola, tak bisa diragukan. Jelas ia sosok yang memiliki multi talenta.

Pluralisme

Gus Dus semasa hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme. Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama, kebudayaan, dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in diversitity!”

Barang tentu ia tak sedang bercanda dengan gagasan ini. Serius! Ketika ada minoritas yang terpinggirkan oleh sistem yang tak adil Gus Dur maju membela, padahal siapa yang dibela bukan berlatar agama yang sama dengannya. Tak heran kemudian ia sering dimusuhi oleh orang segamanya sendiri. Tapi ia tak ambil pusing. Maju terus membela yang benar! Keseriusan itu terbukti pula pada saat menjadi presiden, ia tanpa ragu mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia.

Setelah itu kita tahu, etnis China sekarang bisa menjalankan budayanya dengan lega di negeri ini. Juga menjalankan kepercayaa leluhurnya di bawah jaminan perlindungan negara. Tak boleh ada yang mengganggu. Imlek kemudian diperingati secara nasional dan dinyatakan sebagai hari libur bersama.

Tak hanya pada kebudayaan, Gus Dur juga aktif membela kebebasan orang-orang berideologi. Baginya, sebagai bagian dari hak asasi, tak ada suatu kekuasaan pun yang bisa melarang orang memiliki ideologi—walaupun mungkin seberapa jahatnya ideologi itu. Kan sejatinya ada kuasa orang menghalangi orang berpikir? Bahkan ketika dibui sekalipun. Karenanya pelarangan ini sangat absurd. Karenanya, Gus Dur acap mewacanakan pencabutan Tap MPR yang melarang partai politik PKI serta paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Tapi karena banyak pertimbangan, ia belum melakukannya.

Bahkan ia juga dekat dengan kelompok-kelompok transgender. Ketika orang lain menghujat, Gus Dur justru pasang badan membela mereka. Tak heran kemudian mengapa banyak artis-artis seperti Dorce Malagama merasa sangat kehilangan ketika Gus Dur wafat setahun yang lalu.

Tuhan Tak Perlu Dibela

Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya, saya kembali teringat Gus Dur. Ia tentunya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Heran. Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan?

Padahal, “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin.

Ya, Tuhan memang tak perlu dibela. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo (bisa dibaca di wahidinstitute.org), Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”

Lanjutnya dalam artikel itu: “bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia.

Lalu Gus Dur menyimpulkan bahwa benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.

Dengan pijakan-pijakan ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tak perlu dibela, yang harus dibela adalah umatnya—yang tak mendapatkan keadilan. Tak heran kemudian ia membela kaum transgender, minoritas China, orang-orang yang berpaham komunis, dan lain kelompok terpinggirkan lainnya. Ia membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman.

***

Yah, kini Bapak Pluralisme itu telah pergi mendahului kita—setahun yang lalu. Semoga semangatnya dapat kita warisi di tengah masih sulitnya orang saling menghargai, menghormati, atau pun ber-empati. Tak bisa di dunia yang luas, mungkin kita praktikkan di kompasiana, blog kita ini, untuk saling menghargai pendapat, faham, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya. Tanpa perlu memaksakan apa yang menurut kita lebih benar, lebih beradab, lebih dekat diridhoi Tuhan, dlsb.

Terimakasih Gus, warisanmu selalu kami jaga … [*]

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati