Rabu, 29 Desember 2010

SASTRA DAN BUDAYA SASAK DIBELANTARA MODEREN

Janual Aidi*
http://sastra-indonesia.com/

“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)

Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.

Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.

Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.

Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.

Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.

Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.

Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.

Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.

Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***

*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati