Sabtu, 05 Maret 2011

Estetik Sajak Syaiful Anam Assyaibani

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

dengan bismillah segala pintu kan terbuka
mengajarkan degup jantung mengeja langkah
atas nama cinta

Ada dua hal yang memengaruhi perkembangan pribadi seorang manusia. Dua hal itu yaitu bakat dan lingkungan. Bakat mengarah pada suatu pembawaan sejak lahir. Sedangkan lingkungan merupakan stimulan dalam merangsang bakat sebagai kesempurnaan perwujudan. Ibarat tanaman yang berkuncup dan pada suatu ketika akan merekah berbunga bahkan menyembulkan wewangi khasnya.

Salah satu bakat yang dimiliki oleh seorang manusia yaitu kemampuan untuk berbahasa. Secara normal, semua orang yang dilahirkan ke dunia, kemampuan berbahasa menjadi bekal pokoknya. Hal itu menjadi sarana dalam mengembangkan potensi kepribadiannya yang lain. Tinggal di mana orang tersebut berada, maka bahasa yang terbentuk adalah sesuai dengan lingkungannya.

Yang berkaitan dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa adalah sastra. Dalam mencipta karya sastra konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang berkonotasi pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.

Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, persajakan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.

Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah sertamerta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami akan hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.

Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai jasad dan yang lainnya sebagai ruh. Jasad tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa jasad maka tak tampak jejak keberadaannya.

Dalam puisi Indonesia mutakhir, pemanfaatan estetika struktural tidak diterapkan secara total. Seorang penyair kadang kala hanya menyematkan beberapa bagian saja. Misalnya hanya ada yang menyematkan konstruksi majas dan mengabaikan rima, asonansi, aliterasi, dan lain-lain. Hal itu sangatlah wajar sebab yang dijadikan patokan dalam perpuisian adalah nilai rasa dan selera pengarangnya. Oleh sebab itulah, bentuk puisi yang hadir di kalangan pembaca selalu berubah-ubah dalam setiap zamannya. Entah selera apa lagi yang akan melingkupi puisi Indonesia mendatang. Kita nantikan tanggal mainnya. Semoga kita jeli dan arif dalam mengantongi perkembangan zamannya.

Tengok saja dua puisi Saiful Anam Assyaibani berikut yang secara bentuk memiliki satu perbedaan. Padahal itu hanya berselang dua tahun saja. Dan perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh selera pengarang guna menciptakan suatu tampilan yang baru dalam karyanya. Biar sajak tampak terlihat segar. Namun perubahan dan perbedaan bentuk itu bisa jadi mengarah pada satu usaha pencarian karakter karya yang pasti sebagai ciri khas penyair itu sendiri. Baik secara estetika struktural maupun estetika semioik.

LAKILAKI TAK BERNAMA

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama…

Lamongan, 2008

LAGU SURGA

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian.

Lamongan, 2008

JALAN KETIADAAN

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati
murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah.

Lamongan, 2010

Tiga sajak di atas tipografinya memiliki konstruksi bentuk yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada penulisan huruf kapital pada sajak Jalan Ketiadaan. Penyair selain berusaha menciptakan stile bentuk yang baru dalam karyanya, penulisan tersebut dapat berupa suatu tindak penegasan atau penekanan esensi dasar sajaknya. Nilai yang terkandung dalam ujaran yang tercetak kapital menjadi poros utama pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Penyair berusaha memberikan penekanan dalam bentuk kesadaran bagi pembaca melalui ujaran kapital tersebut.

Dalam ranah kepenulisan, konsistensi karya itu penting. Hal itu disebabkan oleh adanya tindak pengaruh pemahaman terhadap karakteristik pengarang. Jika perubahan-perubahan bentuk tersebut dilakukan secara serampangan oleh penyair, itu dapat menjadikan sesuatu yang kurang baik bagi keberadaan karya dan penyairnya. Berbeda lagi jika itu dilakukan secara berkala atau dalam kurun waktu tetentu, ini dapat menjadi kekuatan yang dahsyat yang mampu mewarnai khasanah kesusastraan yang ada.

Jika diuraikan lebih panjang, secara keseluruhan sajak di atas tidak memanfaatkan estetika struktural yang berupa rima. Hal itu tampaknya dilkukan oleh penyairnya sebagai usaha penyelarasan selera perpuisian Indonesia mutahkhir yang bersifat sedikit longgar dengan aturan-aturan kepuitisan yang ada. Meskipun demikian, penyir masih menyematkan kostruksi estetika struktural yang lain yang berupa asonansi, aliterasi, citraan, dan majas. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak oleh penyairnya. Yang jelas konstruksi tersebut telah hadir dalam sajak.

Aliterasi tampak pada sajak Lakilaki Tak Bernama yang ditandai dengan ungkapan “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” dan “ia menggiring senja ke ujung paling sudut”, pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa”. Asonansi terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “membaca perubahan cuaca”, sajak Lagu Surga : “aku membaca surga di halaman matamu”, sajak Jalan Ketiadaan : “beribu rindu”.

Citraan juga tersematkan dalam tiga puisi di atas. Citraan penglihatan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “ lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara (bait 1), lakilaki tak bernama itu // khusyuk, membaca semburat waktu // membaca perubahan cuaca // yang berpendar di belantara sunyi (bait 2), menjadi gelombang gelap // menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)”. Pada sajak Lagu Surga : aku membaca surga di halaman matamu // kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu (bait 2)”. Pada sajak Jalan Ketiadaan : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu (bait 2)”.

Citraan gerak terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara // ia menggiring senja ke ujung paling sudut // takdir hidup ini (bait 1), lakilaki tak bernama itu // mengukir sejarah tubuhnya sendiri // (bait 3), lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama… (bait 4)”. Pada sajak Lagu Surga : “kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), yang merampas keabadian (bait 2). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI (bait 1), biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), tubuhmu yang mengalir (bait 2), adalah ziarah dalam diri (bait 3), pengembaraan sesaat (bait 3)”.

Citraan perasaan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “yang berpendar di belantara sunyi // ingatan // cinta dan kegelisahan (bait 2), menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu (bait 3), dalam isyarat beribu rindu (bait 3)”. Citraan pendengaran pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa” (bait 2). Adapun citraan pikiran terdapat pada seluruh sajak Lagu Surga yang berkonotasi pada tragedi Adam dan Hawa saat melanggar larangan Tuhan agar tidak memakan buah khuldi yang menyebabkannya terusir dari keabadian surga hingga berada di bumi. “tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu // dan kita menikmatinya dalam hentian waktu // yang merampas keabadian (bait 2).

Majas yang disematkan juga terdapat majas metafora. Dalam sajak Lakilaki Tak Bernama, Tuhan diibaratkan sebagai laut, yaitu sosok tanpa batas yang tak bermula dan tak berakhir: “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” (bait 1). Hari tua atau usia tua dimetaforkan dengan senja : “ia menggiring senja ke ujung paling sudut” (bait 1). Perjalanan dan prahara hidup yang suram dimetaforkan dengan delombang gelap : “menjadi gelombang gelap” (bait 3). Perjalanan dan prahara hidup yang penuh dengan keterpayahan dimetaforkan dengan hujan yang tidak pernah berhenti meneteskan luka : “menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka” (bait 3). Perenungan, pemahaman, serta pengetahuan yang luas dan mendalam serta penuh misteri dimetaforkan dengan dasar laut yang tak bernama : “lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama…” (bait 4). Pada sajak Jalan Ketiadaan, getar hati yang paling dalam dimetaforkan dengan sungai tubuh : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu” (bait 2). Majas simile terdapat pada sajak Jalan Ketiadaan dengan membandingkan tubuh dengan ranjang yang kumal : “BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL” (bait 1).

Ada satu hal yang sempat terasa sungsang dari sajak Jalan Ketiadaan. Hal itu mengarah pada penyematan satu diksinya, yaitu: “di pedalaman dadamu”. Kesungsangannya disebabkan oleh ketidakkoherensian dengan larik-larik sebelumnya. Pada larik sebelumnya, penyair menyematkan konstruksi kata dengan fenomena air. Akan tetapi pada penyematan larik “di pedalaman dadamu”, kata pedalaman seolah menggambarkan fenomena untuk kampung atau hutan. Lebih efektif dan koherennya jika disematkan kata “kedalaman” yang sama-sama memiliki konotasi fenomena air.

Dari sisi estetika semiotik, ada pesan yang sangat indah dan menyentuh melalui sajak tersebut. Pesan yang sangat kentara berorientasi pada nilai religius. Sajak di atas pada dasarnya tergolong dalam puisi lirik. Ini merupakan suatu luapan batin penyairnya atas pengalaman ruhaniah yang sangat dalam yang dipicu oleh fenomena lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis.

Pada sajak Lakilaki Tak Bernama, hadirnya puisi ini diilhami dari suatu fenomena lingkungan yang ada di sekeliling penyair. Fenomena tersebut bersifat sederhana yang kadang kerap tak tersentuh oleh kebanyakan orang. Lakilaki Tak Bernama tampaknya diilhami oleh fenomena orang gila. Sang penyair menangkapnya sebagai ide dasar dalam sajaknya. Penyair yang notabenenya tidak mengetahui nama orang gila tersebut, kemudian menyebutnya dengan istilah laki-laki tak bernama.

Saat itu penyair menyaksikan keberadaan lelaki gila yang tengah berjalan menyusuri jalan raya. Lelaki itu dalam pandangan penyair adalah sesosok manusia yang pada akhirnya nanti menghabiskan masa hidupnya di sepanjang jalan raya. Ia tak memiliki tempat persinggahan dan tujuan hidup yang pasti. Ia melangkah sesuka hati tanpa memahami perjalanan yang ditempuhnya. Lelaki itu saat itu berjalan dari arah utara yang pada gilirannya nanti akan kembali kepada Tuhan pada usia tua. Ia melakoni kegilaannya hingga sampai batas usia yang paling akhir. Yaitu takdir kematian.

lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini (bait 1).

Sungguh liar imajinasi penyair ketika memandang dan menyaksikan lelaki gila itu yang sedang berdiam diri di hadapannya. Kediamannya diimajinasikan oleh penyair sebagai usaha dalam memahami perjalanan waktu yang semakin bertambah sore dan perubahan cuaca saat itu dengan suasana hati yang sunyi. Tak ada seorangpun yang meemani dan memahami keberadaanny. Penyair mengimajinasikan lelaki itu tengah mengingat fenomena dan kenangan masa lalunya tentang cinta dan kegelisahan hati dalam menjalani realitas kehidupan yang menimpa dirinya. Berusaha memahami sebab musbab kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan (bait 2)

Penyair kembali memahami bahwa lelaki gila itu dengan kegilaannya pada dasarnya telah membuat sejarah hidupnya sendiri. Ia telah memosisikan dirinya secara alamiah pada prahara hidup yang suram dan selalu berada dalam keterpayahan. Ia dalam caci maki, hinaan, dan keburukan. Hal itu seolah-olah tampak sebagai sesuatu yang pasti yang melekat dalam pribadi lelaki gila tersebut yang tak penah lekang dalam kehidupannya hingga akhir hayatnya. Kecuali ia telah sembuh dari kegilaannya.

lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)

Pada akhirnya, melalui tindak pengamatan terhadap sosok lelaki gila tersebut, penyair merasa bahwa imajinasi dan perasaannya dibawa masuk dalam pemahaman hakikat hidup sejati yang penuh dengan misteri. Tentang rasa syukur atas rahmat yang menempatkan dirinya sebagai lelaki normal yang tak kehilangan akal sehatnya. Rasa ikhlas dan ridla dalam menerima segala ujian dan coban dari-Nya. Rasa iba dan prihatin atas keberadaan sesama.

lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama… (bait 4)

Pada sajak Lagu Surga, tampaknya penyair diilhami oleh suasana kebersamaan bersama istrinya. Saat itu penyair diindikasikan tengah bermain cinta dengan istrinya. Penyair memandang kedalaman sorot mata istrinya hingga ia teringat tentang suatu peristiwa di surga. Peristiwa yang terjadi antara Adam dan Hawa yang menjadikannya keluar dari keabadian surga dan berdiam diri di bumi. Peristiwa itulah yang kemudian menjadikan diri penyair seolah-olah mendapatkan petunjuk serta ilham tentang kesucian kehidupan.

aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1)

Penyair tampaknya tak sanggup memungkiri dan mengakui akan eksistensi khuldi yang dulu sempat terpetik dan termakan oleh Adam dan Hawa. Ternyata, khuldi tersebut merupakan satu jembatan dalam menghadirkan kenikmatan yang lain. Yaitu kenikmatan surga dunia. Khuldi itulah yang pada gilirannya saat ini menjadi stimulus untuk saling berbagi kenikmatan antara lelaki dan perempuan di dunia hingga ia sampai pada puncak kebahagiaannya yang hanya tergapai dalam seper sekian detik saja. Namun semua orang berusaha ingin menggapainya, termasuk penyair dan istrinya yang hendak menikmatinya secara bersma.

Fenomena itu menandaskan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan yang terengkuh oleh seseorang di dunia itu bersifat sementara dan hanya sekejap saja. Keberadaannya tidaklah abadi layaknya Adam dan Hawa yang terlempar keluar dari kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan surga yang sesungguhnya.

Saat itu penyair benar-benar merasakan dan menikmati dengan sendirinya buah dari khuldi bersama sang istri. Ia merasa bahwa benar-benar telah merampas keabadian. Tindak perampasan keabadian itu terwujud dengan adanya peleburan sel kelamin hingga menjadi darah. Darah menjadi daging. Kulit membalut daging. Daging membalut tulang. Tulang membalut sum-sum. Hingga menjadi orok yang pada akhirnya memaksa Tuhan untuk melepaskan sebagian keabadian-Nya dalam wujud ruh guna mendiami tanah sementara waktu. Mengaliri hidup pada jasad mati hingga kembali mati lagi dalam takaran yang telah pasti.

tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian. (bait 2)

Pada sajak Jalan Ketiadaan, merupakan suatu seruan untuk mengenali jati diri. Barang siapa yang berkenan menginstropeksi diri melalui perjalanan hidup yang telah terlewati, maka ia akan menemukan satu gambaran tentang betapa sulitnya perjuangan dalam mengenali hakikat hidup ini. Seseorang bahkan akan menemukan dan merasakan keputusasaan yang sungguh luar biasa perjuangan pencarian itu. Sebab pada dasarnya tindak pencarian jati diri merupakan suatu proses perjalanan panjang yang melelahkan dan tanpa akhir kecuali dengan kematian jasad. Bahkan di balik kematian jasd itu masih menuntut akan adanya pencarian hakekat ketuhanan. Seseorang akan menemukan bahwa dirinya merupakan sesuatu yang tak berharga yang dijadikan wahana dan berselimutkan kelalaian di dalam dunia yang sementara.

bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana (bait 1)

Jika seseorang telanh mengethui akan hal tersebut, maka tindakan yang patut dilakukan menurut penyair yaitu mengagungkan nama Tuhan dalam lantunan doa agar Tuhan berkenan melebur dan menghapuskan segala dosa yang telah tercipta yang disebabkan oleh lupa. Rasa bersalah akan terhapus pula atas tindakan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri dan jiwa yang sempat terlewati. Hal itu merupakan suatu usaha dalam hidup dan kehidupan untuk menuju kesejatian, yaitu Tuhan. Ini adalah jalan ketiadaan. Meniadakan eksistensi diri dengan meleburkan diri ke dalam eksistensi tuhan yang sejati. Laa khaula wala kuwwata illa billah.

maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati (bait 2)

Dalam usaha mengenali jati diri, hakikat hidup, dan kesejatian Tuhan seseorang harus mengakui bahwa diri pada dasarnya tidak ada tanpa adanya cinta kasih dan kuasa dari Tuhan. Ini termasuk dalam usaha pemurnian hasrat dari unsur nafsiah. Seseorang haruslah membeningkan hati dengan bersikap polos, tulus dan ikhlas hingga ia melihat dan menemukan getar hati yang terdalam yang memancarkan nur ilahiah sebagai risalah kesejatian diri, hidup, dan Tuhan. Jika ini terengkuh maka muncullah istilah tajjali. Penglihatan adalah penglihatan Tuhan. Pendengaran adalah pendengaran Tuhan. Ucapan adalah ucapan Tuhan. Perilaku adalah perilaku Tuhan.

murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu (bait 2)

Diri seseorang pada dasarnya merupakan suatu tempat yang sakral. Diri itulah yang menjadikan manusia “sempurna” dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Diri itulah yang mampu menampung keberadaan dan tajjali Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaanya perlu untuk diziarahi, didatangi, dan dikenal sebagai wahana persemayaman Sang Mahasepi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Yang harus digapai dalam perjalanan hidup di dunia yang hanya sesaat. Itulah yang disebut pengembaraan sebagai isyarat rindu akan kebersamaan dan keabadiaan Tuhan yang gerbang dan bekal perjalanannya terdapat dalam bismillah. Dalam kesaksian dan pengagungan nama-Nya. Dalam implementasi sifat-Nya.

adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah. (bait 3)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati