Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
dengan bismillah segala pintu kan terbuka
mengajarkan degup jantung mengeja langkah
atas nama cinta
Ada dua hal yang memengaruhi perkembangan pribadi seorang manusia. Dua hal itu yaitu bakat dan lingkungan. Bakat mengarah pada suatu pembawaan sejak lahir. Sedangkan lingkungan merupakan stimulan dalam merangsang bakat sebagai kesempurnaan perwujudan. Ibarat tanaman yang berkuncup dan pada suatu ketika akan merekah berbunga bahkan menyembulkan wewangi khasnya.
Salah satu bakat yang dimiliki oleh seorang manusia yaitu kemampuan untuk berbahasa. Secara normal, semua orang yang dilahirkan ke dunia, kemampuan berbahasa menjadi bekal pokoknya. Hal itu menjadi sarana dalam mengembangkan potensi kepribadiannya yang lain. Tinggal di mana orang tersebut berada, maka bahasa yang terbentuk adalah sesuai dengan lingkungannya.
Yang berkaitan dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa adalah sastra. Dalam mencipta karya sastra konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang berkonotasi pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.
Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, persajakan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.
Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah sertamerta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami akan hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.
Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai jasad dan yang lainnya sebagai ruh. Jasad tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa jasad maka tak tampak jejak keberadaannya.
Dalam puisi Indonesia mutakhir, pemanfaatan estetika struktural tidak diterapkan secara total. Seorang penyair kadang kala hanya menyematkan beberapa bagian saja. Misalnya hanya ada yang menyematkan konstruksi majas dan mengabaikan rima, asonansi, aliterasi, dan lain-lain. Hal itu sangatlah wajar sebab yang dijadikan patokan dalam perpuisian adalah nilai rasa dan selera pengarangnya. Oleh sebab itulah, bentuk puisi yang hadir di kalangan pembaca selalu berubah-ubah dalam setiap zamannya. Entah selera apa lagi yang akan melingkupi puisi Indonesia mendatang. Kita nantikan tanggal mainnya. Semoga kita jeli dan arif dalam mengantongi perkembangan zamannya.
Tengok saja dua puisi Saiful Anam Assyaibani berikut yang secara bentuk memiliki satu perbedaan. Padahal itu hanya berselang dua tahun saja. Dan perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh selera pengarang guna menciptakan suatu tampilan yang baru dalam karyanya. Biar sajak tampak terlihat segar. Namun perubahan dan perbedaan bentuk itu bisa jadi mengarah pada satu usaha pencarian karakter karya yang pasti sebagai ciri khas penyair itu sendiri. Baik secara estetika struktural maupun estetika semioik.
LAKILAKI TAK BERNAMA
lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini
lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan
lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka
lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama…
Lamongan, 2008
LAGU SURGA
aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening
tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian.
Lamongan, 2008
JALAN KETIADAAN
bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana
maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati
murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu
adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah.
Lamongan, 2010
Tiga sajak di atas tipografinya memiliki konstruksi bentuk yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada penulisan huruf kapital pada sajak Jalan Ketiadaan. Penyair selain berusaha menciptakan stile bentuk yang baru dalam karyanya, penulisan tersebut dapat berupa suatu tindak penegasan atau penekanan esensi dasar sajaknya. Nilai yang terkandung dalam ujaran yang tercetak kapital menjadi poros utama pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Penyair berusaha memberikan penekanan dalam bentuk kesadaran bagi pembaca melalui ujaran kapital tersebut.
Dalam ranah kepenulisan, konsistensi karya itu penting. Hal itu disebabkan oleh adanya tindak pengaruh pemahaman terhadap karakteristik pengarang. Jika perubahan-perubahan bentuk tersebut dilakukan secara serampangan oleh penyair, itu dapat menjadikan sesuatu yang kurang baik bagi keberadaan karya dan penyairnya. Berbeda lagi jika itu dilakukan secara berkala atau dalam kurun waktu tetentu, ini dapat menjadi kekuatan yang dahsyat yang mampu mewarnai khasanah kesusastraan yang ada.
Jika diuraikan lebih panjang, secara keseluruhan sajak di atas tidak memanfaatkan estetika struktural yang berupa rima. Hal itu tampaknya dilkukan oleh penyairnya sebagai usaha penyelarasan selera perpuisian Indonesia mutahkhir yang bersifat sedikit longgar dengan aturan-aturan kepuitisan yang ada. Meskipun demikian, penyir masih menyematkan kostruksi estetika struktural yang lain yang berupa asonansi, aliterasi, citraan, dan majas. Entah itu dilakukan secara sengaja atau tidak oleh penyairnya. Yang jelas konstruksi tersebut telah hadir dalam sajak.
Aliterasi tampak pada sajak Lakilaki Tak Bernama yang ditandai dengan ungkapan “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” dan “ia menggiring senja ke ujung paling sudut”, pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa”. Asonansi terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “membaca perubahan cuaca”, sajak Lagu Surga : “aku membaca surga di halaman matamu”, sajak Jalan Ketiadaan : “beribu rindu”.
Citraan juga tersematkan dalam tiga puisi di atas. Citraan penglihatan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “ lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara (bait 1), lakilaki tak bernama itu // khusyuk, membaca semburat waktu // membaca perubahan cuaca // yang berpendar di belantara sunyi (bait 2), menjadi gelombang gelap // menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)”. Pada sajak Lagu Surga : aku membaca surga di halaman matamu // kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu (bait 2)”. Pada sajak Jalan Ketiadaan : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu (bait 2)”.
Citraan gerak terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya // hidup dan mati sepanjang jalan raya // ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut // saat bayangbayang matahari jatuh // di lengkung langit utara // ia menggiring senja ke ujung paling sudut // takdir hidup ini (bait 1), lakilaki tak bernama itu // mengukir sejarah tubuhnya sendiri // (bait 3), lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama… (bait 4)”. Pada sajak Lagu Surga : “kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1), yang merampas keabadian (bait 2). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI (bait 1), biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), tubuhmu yang mengalir (bait 2), adalah ziarah dalam diri (bait 3), pengembaraan sesaat (bait 3)”.
Citraan perasaan terdapat pada sajak Lakilaki Tak Bernama : “yang berpendar di belantara sunyi // ingatan // cinta dan kegelisahan (bait 2), menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3). Pada sajak Jalan Ketiadaan : “biarkan ia membakar rasa bersalah (bait 2), simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu (bait 3), dalam isyarat beribu rindu (bait 3)”. Citraan pendengaran pada sajak Jalan Ketiadaan : “maka mengeranglah dalam kasidah doadoa” (bait 2). Adapun citraan pikiran terdapat pada seluruh sajak Lagu Surga yang berkonotasi pada tragedi Adam dan Hawa saat melanggar larangan Tuhan agar tidak memakan buah khuldi yang menyebabkannya terusir dari keabadian surga hingga berada di bumi. “tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu // dan kita menikmatinya dalam hentian waktu // yang merampas keabadian (bait 2).
Majas yang disematkan juga terdapat majas metafora. Dalam sajak Lakilaki Tak Bernama, Tuhan diibaratkan sebagai laut, yaitu sosok tanpa batas yang tak bermula dan tak berakhir: “ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut” (bait 1). Hari tua atau usia tua dimetaforkan dengan senja : “ia menggiring senja ke ujung paling sudut” (bait 1). Perjalanan dan prahara hidup yang suram dimetaforkan dengan delombang gelap : “menjadi gelombang gelap” (bait 3). Perjalanan dan prahara hidup yang penuh dengan keterpayahan dimetaforkan dengan hujan yang tidak pernah berhenti meneteskan luka : “menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka” (bait 3). Perenungan, pemahaman, serta pengetahuan yang luas dan mendalam serta penuh misteri dimetaforkan dengan dasar laut yang tak bernama : “lakilaki tak bernama itu // menyeretku ke dasar laut // tak bernama…” (bait 4). Pada sajak Jalan Ketiadaan, getar hati yang paling dalam dimetaforkan dengan sungai tubuh : “murnikan dalam sungai // tubuhmu yang mengalir // hingga kau lihat dasar // di pedalaman dadamu” (bait 2). Majas simile terdapat pada sajak Jalan Ketiadaan dengan membandingkan tubuh dengan ranjang yang kumal : “BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL” (bait 1).
Ada satu hal yang sempat terasa sungsang dari sajak Jalan Ketiadaan. Hal itu mengarah pada penyematan satu diksinya, yaitu: “di pedalaman dadamu”. Kesungsangannya disebabkan oleh ketidakkoherensian dengan larik-larik sebelumnya. Pada larik sebelumnya, penyair menyematkan konstruksi kata dengan fenomena air. Akan tetapi pada penyematan larik “di pedalaman dadamu”, kata pedalaman seolah menggambarkan fenomena untuk kampung atau hutan. Lebih efektif dan koherennya jika disematkan kata “kedalaman” yang sama-sama memiliki konotasi fenomena air.
Dari sisi estetika semiotik, ada pesan yang sangat indah dan menyentuh melalui sajak tersebut. Pesan yang sangat kentara berorientasi pada nilai religius. Sajak di atas pada dasarnya tergolong dalam puisi lirik. Ini merupakan suatu luapan batin penyairnya atas pengalaman ruhaniah yang sangat dalam yang dipicu oleh fenomena lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis.
Pada sajak Lakilaki Tak Bernama, hadirnya puisi ini diilhami dari suatu fenomena lingkungan yang ada di sekeliling penyair. Fenomena tersebut bersifat sederhana yang kadang kerap tak tersentuh oleh kebanyakan orang. Lakilaki Tak Bernama tampaknya diilhami oleh fenomena orang gila. Sang penyair menangkapnya sebagai ide dasar dalam sajaknya. Penyair yang notabenenya tidak mengetahui nama orang gila tersebut, kemudian menyebutnya dengan istilah laki-laki tak bernama.
Saat itu penyair menyaksikan keberadaan lelaki gila yang tengah berjalan menyusuri jalan raya. Lelaki itu dalam pandangan penyair adalah sesosok manusia yang pada akhirnya nanti menghabiskan masa hidupnya di sepanjang jalan raya. Ia tak memiliki tempat persinggahan dan tujuan hidup yang pasti. Ia melangkah sesuka hati tanpa memahami perjalanan yang ditempuhnya. Lelaki itu saat itu berjalan dari arah utara yang pada gilirannya nanti akan kembali kepada Tuhan pada usia tua. Ia melakoni kegilaannya hingga sampai batas usia yang paling akhir. Yaitu takdir kematian.
lakilaki tak bernama itu berjalan sepanjang jalan raya
hidup dan mati sepanjang jalan raya
ia datang dari arah laut dan akan mencair di laut
saat bayangbayang matahari jatuh
di lengkung langit utara
ia menggiring senja ke ujung paling sudut
takdir hidup ini (bait 1).
Sungguh liar imajinasi penyair ketika memandang dan menyaksikan lelaki gila itu yang sedang berdiam diri di hadapannya. Kediamannya diimajinasikan oleh penyair sebagai usaha dalam memahami perjalanan waktu yang semakin bertambah sore dan perubahan cuaca saat itu dengan suasana hati yang sunyi. Tak ada seorangpun yang meemani dan memahami keberadaanny. Penyair mengimajinasikan lelaki itu tengah mengingat fenomena dan kenangan masa lalunya tentang cinta dan kegelisahan hati dalam menjalani realitas kehidupan yang menimpa dirinya. Berusaha memahami sebab musbab kegilaannya.
lakilaki tak bernama itu
khusyuk, membaca semburat waktu
membaca perubahan cuaca
yang berpendar di belantara sunyi
ingatan
cinta dan kegelisahan (bait 2)
Penyair kembali memahami bahwa lelaki gila itu dengan kegilaannya pada dasarnya telah membuat sejarah hidupnya sendiri. Ia telah memosisikan dirinya secara alamiah pada prahara hidup yang suram dan selalu berada dalam keterpayahan. Ia dalam caci maki, hinaan, dan keburukan. Hal itu seolah-olah tampak sebagai sesuatu yang pasti yang melekat dalam pribadi lelaki gila tersebut yang tak penah lekang dalam kehidupannya hingga akhir hayatnya. Kecuali ia telah sembuh dari kegilaannya.
lakilaki tak bernama itu
mengukir sejarah tubuhnya sendiri
menjadi gelombang gelap
menjadi hujan yang tak henti meneteskan luka (bait 3)
Pada akhirnya, melalui tindak pengamatan terhadap sosok lelaki gila tersebut, penyair merasa bahwa imajinasi dan perasaannya dibawa masuk dalam pemahaman hakikat hidup sejati yang penuh dengan misteri. Tentang rasa syukur atas rahmat yang menempatkan dirinya sebagai lelaki normal yang tak kehilangan akal sehatnya. Rasa ikhlas dan ridla dalam menerima segala ujian dan coban dari-Nya. Rasa iba dan prihatin atas keberadaan sesama.
lakilaki tak bernama itu
menyeretku ke dasar laut
tak bernama… (bait 4)
Pada sajak Lagu Surga, tampaknya penyair diilhami oleh suasana kebersamaan bersama istrinya. Saat itu penyair diindikasikan tengah bermain cinta dengan istrinya. Penyair memandang kedalaman sorot mata istrinya hingga ia teringat tentang suatu peristiwa di surga. Peristiwa yang terjadi antara Adam dan Hawa yang menjadikannya keluar dari keabadian surga dan berdiam diri di bumi. Peristiwa itulah yang kemudian menjadikan diri penyair seolah-olah mendapatkan petunjuk serta ilham tentang kesucian kehidupan.
aku membaca surga di halaman matamu
kutemukan seayat sungai mengalir bening (bait 1)
Penyair tampaknya tak sanggup memungkiri dan mengakui akan eksistensi khuldi yang dulu sempat terpetik dan termakan oleh Adam dan Hawa. Ternyata, khuldi tersebut merupakan satu jembatan dalam menghadirkan kenikmatan yang lain. Yaitu kenikmatan surga dunia. Khuldi itulah yang pada gilirannya saat ini menjadi stimulus untuk saling berbagi kenikmatan antara lelaki dan perempuan di dunia hingga ia sampai pada puncak kebahagiaannya yang hanya tergapai dalam seper sekian detik saja. Namun semua orang berusaha ingin menggapainya, termasuk penyair dan istrinya yang hendak menikmatinya secara bersma.
Fenomena itu menandaskan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan yang terengkuh oleh seseorang di dunia itu bersifat sementara dan hanya sekejap saja. Keberadaannya tidaklah abadi layaknya Adam dan Hawa yang terlempar keluar dari kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan surga yang sesungguhnya.
Saat itu penyair benar-benar merasakan dan menikmati dengan sendirinya buah dari khuldi bersama sang istri. Ia merasa bahwa benar-benar telah merampas keabadian. Tindak perampasan keabadian itu terwujud dengan adanya peleburan sel kelamin hingga menjadi darah. Darah menjadi daging. Kulit membalut daging. Daging membalut tulang. Tulang membalut sum-sum. Hingga menjadi orok yang pada akhirnya memaksa Tuhan untuk melepaskan sebagian keabadian-Nya dalam wujud ruh guna mendiami tanah sementara waktu. Mengaliri hidup pada jasad mati hingga kembali mati lagi dalam takaran yang telah pasti.
tak bisa kutolak khuldi menggantung ranum di dadamu
dan kita menikmatinya dalam hentian waktu
yang merampas keabadian. (bait 2)
Pada sajak Jalan Ketiadaan, merupakan suatu seruan untuk mengenali jati diri. Barang siapa yang berkenan menginstropeksi diri melalui perjalanan hidup yang telah terlewati, maka ia akan menemukan satu gambaran tentang betapa sulitnya perjuangan dalam mengenali hakikat hidup ini. Seseorang bahkan akan menemukan dan merasakan keputusasaan yang sungguh luar biasa perjuangan pencarian itu. Sebab pada dasarnya tindak pencarian jati diri merupakan suatu proses perjalanan panjang yang melelahkan dan tanpa akhir kecuali dengan kematian jasad. Bahkan di balik kematian jasd itu masih menuntut akan adanya pencarian hakekat ketuhanan. Seseorang akan menemukan bahwa dirinya merupakan sesuatu yang tak berharga yang dijadikan wahana dan berselimutkan kelalaian di dalam dunia yang sementara.
bacalah maktab tubuhmu
dan kau kan temukan
BETAPA RAPUH PERJALANAN SETAPAK MENEMU DIRI
BETAPA TUBUH HANYA SEMACAM RANJANG KUMAL
tempat terlelap dalam fana (bait 1)
Jika seseorang telanh mengethui akan hal tersebut, maka tindakan yang patut dilakukan menurut penyair yaitu mengagungkan nama Tuhan dalam lantunan doa agar Tuhan berkenan melebur dan menghapuskan segala dosa yang telah tercipta yang disebabkan oleh lupa. Rasa bersalah akan terhapus pula atas tindakan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri dan jiwa yang sempat terlewati. Hal itu merupakan suatu usaha dalam hidup dan kehidupan untuk menuju kesejatian, yaitu Tuhan. Ini adalah jalan ketiadaan. Meniadakan eksistensi diri dengan meleburkan diri ke dalam eksistensi tuhan yang sejati. Laa khaula wala kuwwata illa billah.
maka mengeranglah dalam kasidah doadoa
biarkan ia membakar rasa bersalah
kepada jalan ketiadaan yang pernah kau lewati (bait 2)
Dalam usaha mengenali jati diri, hakikat hidup, dan kesejatian Tuhan seseorang harus mengakui bahwa diri pada dasarnya tidak ada tanpa adanya cinta kasih dan kuasa dari Tuhan. Ini termasuk dalam usaha pemurnian hasrat dari unsur nafsiah. Seseorang haruslah membeningkan hati dengan bersikap polos, tulus dan ikhlas hingga ia melihat dan menemukan getar hati yang terdalam yang memancarkan nur ilahiah sebagai risalah kesejatian diri, hidup, dan Tuhan. Jika ini terengkuh maka muncullah istilah tajjali. Penglihatan adalah penglihatan Tuhan. Pendengaran adalah pendengaran Tuhan. Ucapan adalah ucapan Tuhan. Perilaku adalah perilaku Tuhan.
murnikan dalam sungai
tubuhmu yang mengalir
hingga kau lihat dasar
di pedalaman dadamu (bait 2)
Diri seseorang pada dasarnya merupakan suatu tempat yang sakral. Diri itulah yang menjadikan manusia “sempurna” dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Diri itulah yang mampu menampung keberadaan dan tajjali Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaanya perlu untuk diziarahi, didatangi, dan dikenal sebagai wahana persemayaman Sang Mahasepi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Yang harus digapai dalam perjalanan hidup di dunia yang hanya sesaat. Itulah yang disebut pengembaraan sebagai isyarat rindu akan kebersamaan dan keabadiaan Tuhan yang gerbang dan bekal perjalanannya terdapat dalam bismillah. Dalam kesaksian dan pengagungan nama-Nya. Dalam implementasi sifat-Nya.
adalah ziarah dalam diri
simpuh sepi dalam ketakterhinggaan waktu
pengembaraan sesaat
dalam isyarat beribu rindu
dalam bismillah. (bait 3)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar