Sabtu, 05 Maret 2011

Idealisme dalam Berkesenian

Syaiful Irba Tanpaka *
Lampung Post, 24 Agus 2008

SPIRITUALITAS berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau sumatera. Sseniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi.

Beberapa catatan menarik tentang dunia kesenian di Lampung saya dapatkan setelah membaca Lampung Post. Ari Pahala Hutabarat menulis kurangnya kesadaran seniman mendudukkan karya seni pada pondasi rasionalitas (Teater dan Usaha Menjadi Rasional, 27-7); Iswadi Pratama yang mengungkapkan masih banyak seniman yang malas dan takut menekuni kesenian secara mati-matian karena tidak menjanjikan masa depan (Kesenian di Lampung; Rasional, Spiritual atau Libidinal, 3-8); dan Isbedy Stiawan Z.S. yang menyatakan pentingnya spirit berkesenian untuk mempertahankan eksistensi kesenian (Bangun Spiritual Berkesenian?, 10-8).

Berangkat dari tiga tulisan itu, saya pun ingin turut memberikan iuran pemikiran seputar kehidupan kesenian kita di Lampung.

Perihal Idealisme dan Profesionalisme

Ini hal mendasar bagi kehidupan dunia kesenian di Lampung. Banyak seniman tidak memiliki idealisme dalam menekuni kesenian sehingga karya-karya yang dihasilkan adalah karya-karya yang tidak ideal. Karya-karya amatiran yang dibuat (seringkali) secara instan berdasarkan even-even plat merah (pemerintah) atau pesanan ini pesanan itu, dalam rangka ini dalam rangka itu. Sedikit yang mengasah potensi wawasan dan gagasan kreatifnya secara idealis.

Idealisme ini penting sebab, pertama, merupakan modal utama seniman memilih dan menentukan konsepsi estetik untuk diekspresikan dalam karya-karyanya sehingga dapat membedakan dengan jelas ekspresi artistik karya seniman yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana kita mencermati karya-karya lukis Affandi (abstrak) Basuki Abdullah (realis) dan Dede Eri Supria (surealis) atau karya-karya Chairil Anwar (ekspresionisme) Sapardi Djoko Damono (impresif) dan Afrizal Malna (obskurantis).

Kecenderungan konsepsi estetik ini yang kemudian dalam perjalanan sejarah estetika dunia memperkenalkan adanya estetika masa renaisans (Prancesco Petrarca, Leonardo da Vinci, Francis Bacon), estetika easionalisme kontinental (Descartes, Alexander Baumgarten), estetika masa romantik (Schopenhauer, Nietzsche) dll.

Dalam skala makro dapat kita sebutkan adanya estetika Yunani Kuno yang bertumpu pada suatu kerangka kosmosentris di mana alam menjadi sesuatu yang sakral. Sedangkan estetika abad pertengahan bersifat teologis, yang menjadi titik acuan refleksi estetis adalah Tuhan. Lalu estetika masa modern dengan kata kunci “antropos”, di mana manusia menjadi titik pusat, titik tolak, dan titik gerak.

Kedua; idealisme secara otomatis akan membangun spiritualitas berkarya. Tidak hanya kemauan dan ketekunan tapi juga semangat mengeksplorasi proses kreatifnya menuju pencapaian yang bersifat inovatif.

Bagaimana misalnya Pablo Neruda (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1971) terus memperbaiki gagasan-gagasannya dalam Obras Completas yang diterbitkan tahun 1951 sebanyak 459 halaman dan di tahun 1962 menjadi 1925 halaman lalu di tahun 1968 menjadi 3.237 halaman. Seperti juga karyanya Odas Elementales (1954–1959) yang berisi pesan-pesan kemanusiaan kepada dunia. Atau Elias Canetti (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1981) yang menulis novelnya Die; Blendung pada tahun 1930-1931. Tentu masih banyak yang dapat dicontohkan bagaimana seniman dunia maupun Indonesia yang tetap memiliki semangat berkarya karena idealismenya, katakanlah Putu Wijaya.

Lalu, ketiga, idealisme akan mendasari moralitas seorang seniman untuk berkarya secara orisinal. Meski dikatakan “tidak ada yang baru di muka bumi ini” tapi buat seorang seniman yang bermoral tidak akan pernah berkarya dengan berdasarkan karya orang lain. Interteks dalam batas-batas tertentu adalah suatu kewajaran namun plagitasi merupakan “kekurangajaran” yang menghancurkan struktur nilai-nilai moralitas.

Dalam seni musik, suatu karya dikatakan sebagai karya plagiat apabila terdapat kesamaan dengan karya sebelumnya sebanyak 8 bar. Dalam karya sastra, suatu karya puisi sudah dapat dikatakan sebagai karya palgiat apabila terdapat kalimat “aku ini binatang jalang/dari kumpulan terbuang” dari puisi Aku Chairil Anwar yang sangat terkenal itu bila tanpa menuliskan alasan kenapa ia memakai larik-larik sajak itu.

Alhasil, idealisme dengan ketiga unsur yang dibangunnya yakni konsep, semangat, dan moral berkarya inilah yang membuat seniman menjadi profesional. Suatu kesadaran bahwa kesenian yang digelutinya adalah sebuah profesi.

Tentang profesionalisme ini, Iswadi Pratama pernah menganalogikan dengan sangat baik ketika membedah kesenimanan Isbedy Stiawan Z.S. yang dikatakannya ibarat “nelayan” maka apatah mungkin dapat disamakan dengan seseorang yang ingin mendapatkan ikan dengan memancing di kolam pemancingan sebagai rekreasi?
***

Fenomena kesenian di Lampung yang dituturkan Iswadi sebagai keadaan “jahiliah” sangat dimungkinkan karena ketiadaan idealisme seniman. Sehingga dalam banyak even kesenian kita seringkali kebingungan mencari konsepsi estetik karya-karya yang digelar, umpamanya. Kita lebih banyak menemukan karya-karya instan yang tidak didukung pengetahuan teknis standar, wawasan budaya yang memadai serta gagasan kreatif yang bernas. Kesenian yang inginnya berakar pada nilai-nilai tradisi tapi tidak dibarengi pengetahuan dan wawasan tentang filosofis tradisi itu sendiri. Kesenian yang maunya mengangkat nilai-nilai kontemporer namun miskin perenungan tentang peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di sekitarnya. Jadilah kesenian tanpa roh. Kesenian yang libidinal. Kesenian yang lahir dari syahwat berkreasi yang temporal.

Dalam keadaan ini maka spiritualitas berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau Sumatera. Pasalnya seniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi. Baru satu-dua kali melukis sudah bergaya seperti Leonardo da Vinci. Baru satu-dua kali menulis puisi menganggap diri seperti Sutardji Colzum Bachri. Baru satu-dua kali bikin koreografi lagaknya kayak Boy G. Sakti. Baru satu-dua kali buat komposisi menganggap mirip Harry Roesli. Manajemen yang dipakai dalam proses kreatifnya adalah Manajemen Houdini (ilusionis kondang itu). Simsalabim!!!

Begitulah kenapa yang terhormat seniman kita enggan membedah keseniannya sampai putih tulang belulang. Tidak menjadikan keseniannya sebagai learning process. Lesu darah. Kehilangan motivasi. Pragmatis. Maunya mencari mutiara tapi takut menyelam. Maunya berburu rusa tetapi takut masuk rimba.

Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara keinginan dan tindakan. Paradoks! Karena itu barangkali saya tidak perlu heran ketika mendapatkan karya-karya kesenian seniman Lampung yang menyajikan ikon-ikon tradisi Lampung sebagai ornamen belaka bukan jiwa dalam karya-karya yang katanya berakar tradisi. Lampung itu.

Bagaimana, misalnya, sebagian besar koreografer kita cuma memahami gerak-gerak dasar tari Lampung tapi tidak untuk filosofis ke-Lampung-annya. Sehingga yang kita saksikan dalam LombalTari Kreasi Festival Krakatau dari tahun ke tahun adalah koreografi yang hampir seragam, begitupun musik pengiringnya. Tersebab para koreografer dan penata musiknya hanya bertumpu pada gerak-gerak dasar tari Lampung dan ragam musik Lampung bukan pada nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat Lampung.

Sebagai perbandingan layak dicermati bagaimana seorang Eri Mefri mengangkat nilai-nilai tadisi Sumatera Barat dalam karya-karya koreografinya. Ini cuma contoh kecil dari kemalasan seniman kita.

Begitupun di bidang sastra masih kita lihat kosa-kata kosa kata Lampung yang dipergunakan dalam sebuah puisi atau cerpen melulu sebagai tempelan tanpa memengaruhi substansi filosofis dari pesan-pesan yang ingin disampaikan. Dan barangkali bila kosa-kata itu diganti dengan kosa kata yang sepadan dari daerah lain maka pesan yang terkandung dalam puisi masih tetap sama.

Pasalnya para seniman kita tidak pernah membaca dan memahami secara serius adat istiadat budaya Lampung. Masih sebatas permukaan saja. Mana pula ingin melakukan penelitian yang panjang untuk kebutuhan keseniannya. Melakukannya dengan metodologi-metodologi. Rasanya hampil mustahil apa yang diharapkan Ari Pahala untuk menjadi lebih rasional.

Lantas bagaimana dengan moralitas kesenian kita? Bagi para kreator, bagaimana ia membatasi proses kreatifnya dalam koridor etis dan estetis. Norma-norma yang disepakati sebagai bingkai moral berkesenian. Bahwa plagiator itu tindakan primitif dan karenanya tidak boleh mendapat tempat dalam dunia (kreativitas) modern. Bahwa kualitas karya lebih utama ketimbang kuantitas karya (produktivitas) sehingga penggalian kreativitas harus terus menerus dilakukan. Bahwa eksplorasi ide-ide lebih penting untuk menghasilkan pencapaian kreativitas yang inovatif.

Dan bagi para aktor mengasah kemampuan lewat latihan dan membaca literatur-literatur lebih perlu ketimbang pementasan-pementasan. Sebab pementasan yang utama itu adalah latihan itu sendiri. Bahwa materi bukanlah tujuan karena yang lebih afdol ialah kebutuhan “menjadi aktor”. Ini merupakan persoalan-persoalan moral berkesenian yang harus diatasi.

Pada sisi lain terjadi kasus-kasus moral yang sempat mewarnai kesenian kita. Dewan Juri Lomba Menulis Cerita Pendek untuk pelajar yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung pernah kecolongan; ternyata seorang pemenang memplagitasi karya sastrawan Hamsad Rangkuti.

Kasus moral ini mungkin bisa dimaklumi karena menyangkut seorang pemula namun tetap harus diberi peringatan keras bahwa plagiarisme merupakan cara-cara tidak bermoral dalam dunia kreatif. Juga menurut hukum dapat diberikan sanksi secara pidana.

Kasus lainnya saya temui di bidang seni tari kalau ternyata seorang koreografer di Lampung yang notabene sarjana seni tari, karya-karyanya justru memplagitasi koreografi yang dipentaskan dalam event tingkat nasional. Lalu karena minimnya wawasan dewan juri yang tidak mengikuti perkembangan tari nasional, karya-karya plagiat itupun beberapa tahun jadi juara pertama dalam event Lomba Tari Kreasi Festival Krakatau.

Sungguh dunia tari di Lampung sudah “diledek” dan “dikentuti”. Tapi kenapa orang-orang tari tidak ada yang bersuara? Tidak mengikuti perkembangan tari nasional atau enggan menggugatnya. Padahal sudah beberapa tahun terjadi. Karena itu saya menyarankan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung jika betul-betul turut serta dalam pembinaan dan pembangunan dunia kesenian di Lampung, setelah pelaksanaan Lomba Tari Kreasi diadakan diskusi publik tentang pertanggungjawaban dewan juri dan para koreografernya. Jangan apriori dan menganggap ini bukan persoalan pemerintah daerah. Bukankah pembangunan kesenian menjadi tanggungjawab kita bersama: Seniman, pemerintah, dan masyarakat?

Kita tentunya tidak mengharapkan kesenian di Lampung dicemari oleh tindakan oknum-oknum seniman yang tidak memiliki moralitas berkesenian. Kesenian kita dicederai oleh karya-karya seniman yang culas. Yang berkarya atas nama kepentingan-kepentingan sesaat. Yang penting karyanya terlihat bagus. Yang penting dapat juara. Persetan kalau sudah melakukan pelecehan kreativitas.

Sungguh suatu hal yang memperihatinkan. Yang membuat satu faktor kenapa kesenian kita kurang mendapat tempat yang layak dan senimannya begitu langka yang meraih prestasi nasional.

Maaf kalau kebetulan saya mengambil bahasan dari dunia tari. Karena dibanding cabang-cabang seni yang lain (yang telah meraih prestasi nasional secara mandiri) bahwa seni tari kita belum bisa bicara apa-apa.

Betul kita memiliki penata tari yang meraih prestasi tingkat nasional sebagai koreografer terbaik Parade Tari Daerah (alm. Edi Bastari dan Titik Nurhayati) namun itu belumlah bisa dibanggakan karena terjadi pada event plat merah bukan hasil pencapaian kreatif yang “mengharu biru” (Taufiq Ismail).

Belum ada satupun koreografer kita yang dengan karyanya mendapatkan dana hibah dari Yayasan Kelola, misalnya. Ini tolok ukur yang sederhana. Konon pula yang diundang pada perhelatan akbar semacam Pentas Koreografer Muda Indonesia atau Indonesian Dance Festival (IDF) atau Arts Summit. Belum pernah ada.

Karena itu perlu menjadi renungan kita (para koreografer khususnya) bersama. Bahwa kondisi ini merupakan sebuah keprihatinan sekaligus peluang untuk berkompetisi secara konstruktif menjadi koreografer pertama yang menembus blantika seni tari nasional secara mandiri dan profesional. Tidak gampang memang. Karena merupakan hasil proses panjang berkesenian.

Seni dan Politik

Mencermati kegelisahan Isbedy tentang hubungan seni dan politik (pemerintah) sebagai suatu kenaifan. Saya pikir bukan suatu kesalahan dan bukan dosa manakala seorang atau sekelompok (komunitas) seniman menyertakan peran pemerintah dalam memproduksi karya keseniannya. Dan peran nyata dari pemerintah itu adalah dukungan dana yang memadai. Karena memang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil peran itu.

Sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya mengembangkan kebudayaan bangsa. Sehingga menjadi suatu kewajaran bagi seniman mengambil langkah itu sebagai bagian dari strategi manajerial dalam me-manage keseniannya.

Isbedy (mestinya) tidak perlu merasa khawatir kalau ada seniman-seniman yang memiliki kedekatan emosional dengan tokoh-tokoh tertentu yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan akan mengurangi dukungan pemerintah untuknya. Pemerintah dengan secara bijak telah mengalokasikan dana bantuan buat pembinaan dan pembangunan kesenian.

Justru kita harus merasa bangga bila pemerintah dapat mendukung seluas-luasnya setiap kegiatan kesenian dan membantu sebanyak-banyaknya seniman. Dan kita harus menerima kenyataan bahwa seniman sebagai manusia memiliki banyak karakter, motivasi dan tujuan berkeseniannya. Don’t worry be happy. Karena betapa pun juga ada hubungan yang erat antara seni dan politik. Sebuah hubungan timbal balik.

Komunikasi dialogis. Dengan mengambil setting Rusia awal abad ini Leon Trotsky mengungkapkan bahwa seni tidak pernah lepas dari kepentingan dan muatan politik. Banyak seniman yang menjalankan kreativitas seninya dalam rangka mencari kedudukan dan prestasi politis atau sekadar menyelamatkan diri dari kemungkinan malapetaka politis, dengan membuat karya yang mengagungkan para penguasa. Di sisi lain banyak juga penguasa yang meneguhkan status quo dengan mendayagunakan para seniman. Mereka, dengan janji maupun ancaman, memaksa para seniman membuat mitos-mitos tentang keagungan para pahlawan dan para petinggi negara. Dan terbukti seni sangat efektif.

Di samping persetujuan; di sisi lain karya seni juga mengandung penolakan dan bahkan pemberontakan terhadap pemerintah. Dan kita tidak bisa menghakimi keduanya. Karena keduanya diberikan tempat yang sama dalam tubuh dan jiwa demokrasi. Maka saya berharap kita dapat mengarifi kondisi ini sebagai capaian manajemen yang baik dari para seniman dalam memfungsikan peran negara.

* Syaiful Irba Tanpaka, Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2008/08/apresiasi-idealisme-dalam-berkesenian.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati