Syaiful Irba Tanpaka *
Lampung Post, 24 Agus 2008
SPIRITUALITAS berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau sumatera. Sseniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi.
Beberapa catatan menarik tentang dunia kesenian di Lampung saya dapatkan setelah membaca Lampung Post. Ari Pahala Hutabarat menulis kurangnya kesadaran seniman mendudukkan karya seni pada pondasi rasionalitas (Teater dan Usaha Menjadi Rasional, 27-7); Iswadi Pratama yang mengungkapkan masih banyak seniman yang malas dan takut menekuni kesenian secara mati-matian karena tidak menjanjikan masa depan (Kesenian di Lampung; Rasional, Spiritual atau Libidinal, 3-8); dan Isbedy Stiawan Z.S. yang menyatakan pentingnya spirit berkesenian untuk mempertahankan eksistensi kesenian (Bangun Spiritual Berkesenian?, 10-8).
Berangkat dari tiga tulisan itu, saya pun ingin turut memberikan iuran pemikiran seputar kehidupan kesenian kita di Lampung.
Perihal Idealisme dan Profesionalisme
Ini hal mendasar bagi kehidupan dunia kesenian di Lampung. Banyak seniman tidak memiliki idealisme dalam menekuni kesenian sehingga karya-karya yang dihasilkan adalah karya-karya yang tidak ideal. Karya-karya amatiran yang dibuat (seringkali) secara instan berdasarkan even-even plat merah (pemerintah) atau pesanan ini pesanan itu, dalam rangka ini dalam rangka itu. Sedikit yang mengasah potensi wawasan dan gagasan kreatifnya secara idealis.
Idealisme ini penting sebab, pertama, merupakan modal utama seniman memilih dan menentukan konsepsi estetik untuk diekspresikan dalam karya-karyanya sehingga dapat membedakan dengan jelas ekspresi artistik karya seniman yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana kita mencermati karya-karya lukis Affandi (abstrak) Basuki Abdullah (realis) dan Dede Eri Supria (surealis) atau karya-karya Chairil Anwar (ekspresionisme) Sapardi Djoko Damono (impresif) dan Afrizal Malna (obskurantis).
Kecenderungan konsepsi estetik ini yang kemudian dalam perjalanan sejarah estetika dunia memperkenalkan adanya estetika masa renaisans (Prancesco Petrarca, Leonardo da Vinci, Francis Bacon), estetika easionalisme kontinental (Descartes, Alexander Baumgarten), estetika masa romantik (Schopenhauer, Nietzsche) dll.
Dalam skala makro dapat kita sebutkan adanya estetika Yunani Kuno yang bertumpu pada suatu kerangka kosmosentris di mana alam menjadi sesuatu yang sakral. Sedangkan estetika abad pertengahan bersifat teologis, yang menjadi titik acuan refleksi estetis adalah Tuhan. Lalu estetika masa modern dengan kata kunci “antropos”, di mana manusia menjadi titik pusat, titik tolak, dan titik gerak.
Kedua; idealisme secara otomatis akan membangun spiritualitas berkarya. Tidak hanya kemauan dan ketekunan tapi juga semangat mengeksplorasi proses kreatifnya menuju pencapaian yang bersifat inovatif.
Bagaimana misalnya Pablo Neruda (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1971) terus memperbaiki gagasan-gagasannya dalam Obras Completas yang diterbitkan tahun 1951 sebanyak 459 halaman dan di tahun 1962 menjadi 1925 halaman lalu di tahun 1968 menjadi 3.237 halaman. Seperti juga karyanya Odas Elementales (1954–1959) yang berisi pesan-pesan kemanusiaan kepada dunia. Atau Elias Canetti (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1981) yang menulis novelnya Die; Blendung pada tahun 1930-1931. Tentu masih banyak yang dapat dicontohkan bagaimana seniman dunia maupun Indonesia yang tetap memiliki semangat berkarya karena idealismenya, katakanlah Putu Wijaya.
Lalu, ketiga, idealisme akan mendasari moralitas seorang seniman untuk berkarya secara orisinal. Meski dikatakan “tidak ada yang baru di muka bumi ini” tapi buat seorang seniman yang bermoral tidak akan pernah berkarya dengan berdasarkan karya orang lain. Interteks dalam batas-batas tertentu adalah suatu kewajaran namun plagitasi merupakan “kekurangajaran” yang menghancurkan struktur nilai-nilai moralitas.
Dalam seni musik, suatu karya dikatakan sebagai karya plagiat apabila terdapat kesamaan dengan karya sebelumnya sebanyak 8 bar. Dalam karya sastra, suatu karya puisi sudah dapat dikatakan sebagai karya palgiat apabila terdapat kalimat “aku ini binatang jalang/dari kumpulan terbuang” dari puisi Aku Chairil Anwar yang sangat terkenal itu bila tanpa menuliskan alasan kenapa ia memakai larik-larik sajak itu.
Alhasil, idealisme dengan ketiga unsur yang dibangunnya yakni konsep, semangat, dan moral berkarya inilah yang membuat seniman menjadi profesional. Suatu kesadaran bahwa kesenian yang digelutinya adalah sebuah profesi.
Tentang profesionalisme ini, Iswadi Pratama pernah menganalogikan dengan sangat baik ketika membedah kesenimanan Isbedy Stiawan Z.S. yang dikatakannya ibarat “nelayan” maka apatah mungkin dapat disamakan dengan seseorang yang ingin mendapatkan ikan dengan memancing di kolam pemancingan sebagai rekreasi?
***
Fenomena kesenian di Lampung yang dituturkan Iswadi sebagai keadaan “jahiliah” sangat dimungkinkan karena ketiadaan idealisme seniman. Sehingga dalam banyak even kesenian kita seringkali kebingungan mencari konsepsi estetik karya-karya yang digelar, umpamanya. Kita lebih banyak menemukan karya-karya instan yang tidak didukung pengetahuan teknis standar, wawasan budaya yang memadai serta gagasan kreatif yang bernas. Kesenian yang inginnya berakar pada nilai-nilai tradisi tapi tidak dibarengi pengetahuan dan wawasan tentang filosofis tradisi itu sendiri. Kesenian yang maunya mengangkat nilai-nilai kontemporer namun miskin perenungan tentang peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di sekitarnya. Jadilah kesenian tanpa roh. Kesenian yang libidinal. Kesenian yang lahir dari syahwat berkreasi yang temporal.
Dalam keadaan ini maka spiritualitas berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau Sumatera. Pasalnya seniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi. Baru satu-dua kali melukis sudah bergaya seperti Leonardo da Vinci. Baru satu-dua kali menulis puisi menganggap diri seperti Sutardji Colzum Bachri. Baru satu-dua kali bikin koreografi lagaknya kayak Boy G. Sakti. Baru satu-dua kali buat komposisi menganggap mirip Harry Roesli. Manajemen yang dipakai dalam proses kreatifnya adalah Manajemen Houdini (ilusionis kondang itu). Simsalabim!!!
Begitulah kenapa yang terhormat seniman kita enggan membedah keseniannya sampai putih tulang belulang. Tidak menjadikan keseniannya sebagai learning process. Lesu darah. Kehilangan motivasi. Pragmatis. Maunya mencari mutiara tapi takut menyelam. Maunya berburu rusa tetapi takut masuk rimba.
Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara keinginan dan tindakan. Paradoks! Karena itu barangkali saya tidak perlu heran ketika mendapatkan karya-karya kesenian seniman Lampung yang menyajikan ikon-ikon tradisi Lampung sebagai ornamen belaka bukan jiwa dalam karya-karya yang katanya berakar tradisi. Lampung itu.
Bagaimana, misalnya, sebagian besar koreografer kita cuma memahami gerak-gerak dasar tari Lampung tapi tidak untuk filosofis ke-Lampung-annya. Sehingga yang kita saksikan dalam LombalTari Kreasi Festival Krakatau dari tahun ke tahun adalah koreografi yang hampir seragam, begitupun musik pengiringnya. Tersebab para koreografer dan penata musiknya hanya bertumpu pada gerak-gerak dasar tari Lampung dan ragam musik Lampung bukan pada nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat Lampung.
Sebagai perbandingan layak dicermati bagaimana seorang Eri Mefri mengangkat nilai-nilai tadisi Sumatera Barat dalam karya-karya koreografinya. Ini cuma contoh kecil dari kemalasan seniman kita.
Begitupun di bidang sastra masih kita lihat kosa-kata kosa kata Lampung yang dipergunakan dalam sebuah puisi atau cerpen melulu sebagai tempelan tanpa memengaruhi substansi filosofis dari pesan-pesan yang ingin disampaikan. Dan barangkali bila kosa-kata itu diganti dengan kosa kata yang sepadan dari daerah lain maka pesan yang terkandung dalam puisi masih tetap sama.
Pasalnya para seniman kita tidak pernah membaca dan memahami secara serius adat istiadat budaya Lampung. Masih sebatas permukaan saja. Mana pula ingin melakukan penelitian yang panjang untuk kebutuhan keseniannya. Melakukannya dengan metodologi-metodologi. Rasanya hampil mustahil apa yang diharapkan Ari Pahala untuk menjadi lebih rasional.
Lantas bagaimana dengan moralitas kesenian kita? Bagi para kreator, bagaimana ia membatasi proses kreatifnya dalam koridor etis dan estetis. Norma-norma yang disepakati sebagai bingkai moral berkesenian. Bahwa plagiator itu tindakan primitif dan karenanya tidak boleh mendapat tempat dalam dunia (kreativitas) modern. Bahwa kualitas karya lebih utama ketimbang kuantitas karya (produktivitas) sehingga penggalian kreativitas harus terus menerus dilakukan. Bahwa eksplorasi ide-ide lebih penting untuk menghasilkan pencapaian kreativitas yang inovatif.
Dan bagi para aktor mengasah kemampuan lewat latihan dan membaca literatur-literatur lebih perlu ketimbang pementasan-pementasan. Sebab pementasan yang utama itu adalah latihan itu sendiri. Bahwa materi bukanlah tujuan karena yang lebih afdol ialah kebutuhan “menjadi aktor”. Ini merupakan persoalan-persoalan moral berkesenian yang harus diatasi.
Pada sisi lain terjadi kasus-kasus moral yang sempat mewarnai kesenian kita. Dewan Juri Lomba Menulis Cerita Pendek untuk pelajar yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung pernah kecolongan; ternyata seorang pemenang memplagitasi karya sastrawan Hamsad Rangkuti.
Kasus moral ini mungkin bisa dimaklumi karena menyangkut seorang pemula namun tetap harus diberi peringatan keras bahwa plagiarisme merupakan cara-cara tidak bermoral dalam dunia kreatif. Juga menurut hukum dapat diberikan sanksi secara pidana.
Kasus lainnya saya temui di bidang seni tari kalau ternyata seorang koreografer di Lampung yang notabene sarjana seni tari, karya-karyanya justru memplagitasi koreografi yang dipentaskan dalam event tingkat nasional. Lalu karena minimnya wawasan dewan juri yang tidak mengikuti perkembangan tari nasional, karya-karya plagiat itupun beberapa tahun jadi juara pertama dalam event Lomba Tari Kreasi Festival Krakatau.
Sungguh dunia tari di Lampung sudah “diledek” dan “dikentuti”. Tapi kenapa orang-orang tari tidak ada yang bersuara? Tidak mengikuti perkembangan tari nasional atau enggan menggugatnya. Padahal sudah beberapa tahun terjadi. Karena itu saya menyarankan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung jika betul-betul turut serta dalam pembinaan dan pembangunan dunia kesenian di Lampung, setelah pelaksanaan Lomba Tari Kreasi diadakan diskusi publik tentang pertanggungjawaban dewan juri dan para koreografernya. Jangan apriori dan menganggap ini bukan persoalan pemerintah daerah. Bukankah pembangunan kesenian menjadi tanggungjawab kita bersama: Seniman, pemerintah, dan masyarakat?
Kita tentunya tidak mengharapkan kesenian di Lampung dicemari oleh tindakan oknum-oknum seniman yang tidak memiliki moralitas berkesenian. Kesenian kita dicederai oleh karya-karya seniman yang culas. Yang berkarya atas nama kepentingan-kepentingan sesaat. Yang penting karyanya terlihat bagus. Yang penting dapat juara. Persetan kalau sudah melakukan pelecehan kreativitas.
Sungguh suatu hal yang memperihatinkan. Yang membuat satu faktor kenapa kesenian kita kurang mendapat tempat yang layak dan senimannya begitu langka yang meraih prestasi nasional.
Maaf kalau kebetulan saya mengambil bahasan dari dunia tari. Karena dibanding cabang-cabang seni yang lain (yang telah meraih prestasi nasional secara mandiri) bahwa seni tari kita belum bisa bicara apa-apa.
Betul kita memiliki penata tari yang meraih prestasi tingkat nasional sebagai koreografer terbaik Parade Tari Daerah (alm. Edi Bastari dan Titik Nurhayati) namun itu belumlah bisa dibanggakan karena terjadi pada event plat merah bukan hasil pencapaian kreatif yang “mengharu biru” (Taufiq Ismail).
Belum ada satupun koreografer kita yang dengan karyanya mendapatkan dana hibah dari Yayasan Kelola, misalnya. Ini tolok ukur yang sederhana. Konon pula yang diundang pada perhelatan akbar semacam Pentas Koreografer Muda Indonesia atau Indonesian Dance Festival (IDF) atau Arts Summit. Belum pernah ada.
Karena itu perlu menjadi renungan kita (para koreografer khususnya) bersama. Bahwa kondisi ini merupakan sebuah keprihatinan sekaligus peluang untuk berkompetisi secara konstruktif menjadi koreografer pertama yang menembus blantika seni tari nasional secara mandiri dan profesional. Tidak gampang memang. Karena merupakan hasil proses panjang berkesenian.
Seni dan Politik
Mencermati kegelisahan Isbedy tentang hubungan seni dan politik (pemerintah) sebagai suatu kenaifan. Saya pikir bukan suatu kesalahan dan bukan dosa manakala seorang atau sekelompok (komunitas) seniman menyertakan peran pemerintah dalam memproduksi karya keseniannya. Dan peran nyata dari pemerintah itu adalah dukungan dana yang memadai. Karena memang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil peran itu.
Sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya mengembangkan kebudayaan bangsa. Sehingga menjadi suatu kewajaran bagi seniman mengambil langkah itu sebagai bagian dari strategi manajerial dalam me-manage keseniannya.
Isbedy (mestinya) tidak perlu merasa khawatir kalau ada seniman-seniman yang memiliki kedekatan emosional dengan tokoh-tokoh tertentu yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan akan mengurangi dukungan pemerintah untuknya. Pemerintah dengan secara bijak telah mengalokasikan dana bantuan buat pembinaan dan pembangunan kesenian.
Justru kita harus merasa bangga bila pemerintah dapat mendukung seluas-luasnya setiap kegiatan kesenian dan membantu sebanyak-banyaknya seniman. Dan kita harus menerima kenyataan bahwa seniman sebagai manusia memiliki banyak karakter, motivasi dan tujuan berkeseniannya. Don’t worry be happy. Karena betapa pun juga ada hubungan yang erat antara seni dan politik. Sebuah hubungan timbal balik.
Komunikasi dialogis. Dengan mengambil setting Rusia awal abad ini Leon Trotsky mengungkapkan bahwa seni tidak pernah lepas dari kepentingan dan muatan politik. Banyak seniman yang menjalankan kreativitas seninya dalam rangka mencari kedudukan dan prestasi politis atau sekadar menyelamatkan diri dari kemungkinan malapetaka politis, dengan membuat karya yang mengagungkan para penguasa. Di sisi lain banyak juga penguasa yang meneguhkan status quo dengan mendayagunakan para seniman. Mereka, dengan janji maupun ancaman, memaksa para seniman membuat mitos-mitos tentang keagungan para pahlawan dan para petinggi negara. Dan terbukti seni sangat efektif.
Di samping persetujuan; di sisi lain karya seni juga mengandung penolakan dan bahkan pemberontakan terhadap pemerintah. Dan kita tidak bisa menghakimi keduanya. Karena keduanya diberikan tempat yang sama dalam tubuh dan jiwa demokrasi. Maka saya berharap kita dapat mengarifi kondisi ini sebagai capaian manajemen yang baik dari para seniman dalam memfungsikan peran negara.
* Syaiful Irba Tanpaka, Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2008/08/apresiasi-idealisme-dalam-berkesenian.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar